tag:blogger.com,1999:blog-11001935161003588252024-03-13T03:55:08.134-07:00Seputar Sastra IndonesiaWahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.comBlogger421125tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-36374607389559680242021-09-05T07:37:00.005-07:002021-09-05T07:37:56.745-07:00Puisi-Puisi Sigit Sugito<b>SAWAH, SEBUAH SKETSA</b><br /> <br />Aneh, sawah kini tidak lagi ramah<br />banyak satwa pergi, enggan bercanda seperti dahulu lagi<br />atau berangkali udara sudah begitu kental berpolusi<br />dan bau lumut tidak lagi amis, warna air coklat tua<br />ungu-biru mengkilat tercemar bahan kimia<br />Ketika pagi hari sawah basah<span><a name='more'></a></span><br />menebas mimpi Pak Tani, yang segera beranjak<br />menghafal rumus-rumus kimia<br />ketika dia dahulu kursus pertanian di Balai Desa<br /> <br />Seratus keringat mengucur dari tubuh Pak Tani<br />di antara zat pupuk Urea yang sakti mengurai tanahnya<br />burung bangau tidak lagi memakan katak, tidak enak rasanya<br />tikus, ular dan belut enggan lagi bersarang, panas lumpurnya<br /> <br />Seribu keringat mengucur dari tubuh Pak Tani<br />di antara zat insektisida yang membungkus batang padi<br />belalang terkapar mati sia-sia<br />ulat dan serangga tidak lagi punya tempat<br />karena batang padi gemuk sudah penuh racun mengancam<br />Kini, serombongan burung pipit datang menyerbu sawah<br />Pak Tani, dalam satu nada maju perang<br />menggerayah bulir-bulir pada Pak Tani<br /> <br />Sejuta keringan mengucur dari dahi Pak Tani<br />di antara sisa-siasa mimpinya kemarin<br />dia membuat rumus-rumusan kimia untuk melenyapkan<br />burung pipit yang semakin hari semakin tidak peduli<br />Burung pipit kini telah menjadi bisu dan tuli<br />Ketika sore tiba istri Pak Tani datang mengganti berjaga<br />sambil membawa sepucuk sarat dari Balai Desa<br />yang isinya: sepetak tanahnya terkena projek<br />jalan lingkar Yogyakarta lintas selatan<br /> <br />Maka semilyar keringat mengucur dari dahi Pak Tani<br />kemenangannya kini sia-sia, tidak berarti lagi<br /> <br />Bangunharja, akhir Desember 1988<br /> <br /> <br /> <br /><b>SAJAK KOTAK CERMIN</b><br /> <br />Kotak kertas-kertas kotak. Besi kotak-kotak besi<br />Kotak kardus-kardus kotak. Kotak kayu-kayu kotak<br />Rumah kotak-kotak rumah. kotak rumus-rumus kotak<br />Bangun kotak-kotak bangun. Kotak otak-otak kotak<br />Kota telah menjangkiti semua sendi kehidupan<br />Kotak menghantui semua manusia, menyebar<br />dengan segala merk-dagang, kotak menjadi sampah<br />peradaban. Kotak adalah dunia yang terkotak<br />Kotak adalah dunia yang mengotak-kotak manusia<br />Kotak adalah aturan-aturan yang membatasi manusia<br />menjadi kecil, kotak adalah mata-mata yang terletak<br />di mana-mana. Di kampung. Di sudut kota. Di warung-warung<br />Di kantor-kantor. Kotak terkemas sangat rapi, disegel<br />dan didistribusikan dengan iklan yang penuh pesona<br />Kotak-kotak ialah perangkap raksasa yang diproduksi<br />oleh pabrik-pabrik raksasa, sebagai simbol modernitas<br />dan stabilitas. Kotak adalah penjara. Yang menggulung<br />apa saja dan siapa saja. Pikiran. Gerakan. Kemerdekaan<br />Kotak membuat manusia tidak mampu lagi berbuat apa-apa<br />Kotak membuat para mahasiswa memasuki sebuah<br />gua-intelektualitas yang asing bagi masyarakatnya<br />Kotak membuat para pemuda menjebak dirinya<br />menjadi pernik-pernik laborat ilmu sosial<br />Kotak mampu mengubah muka-muka manis<br />jadi menyeringai dengan kedua siung-siungnya<br />Kotak mampu mengubah warna-warni. Mengubah bendera<br />Mengubah baju. Mengubah segala atribut di belakangnya<br />Kotak adalah sebuah pilihan yang beraneka<br />yang membuat manusia saling hantam, saling bunuh<br />atas tahta kemanusiaan, demi keadilan<br />demi pemerataan<br />demi pembangunan<br />Dan manusia-manusia lapar, marah mengamuk<br />melihat kotak cermin di muka, sudah berbeda<br />dengan wujudnya, berbeda dengan otaknya<br />berbeda dengan gerakannya, berbeda dengan pikirannya<br />Kotak adalah penjara<br />yang terekam rapi<br />penuh teka-tek<br /> <br />Bantul, 28 Oktober 1988<br /> <br /> <br /> <br /><b>KETIKA DATANG SIANG</b><br /><b>JEMPUTLAH DI PERSIMPANGAN</b><br /><b>AKU INGIN PULANG</b><br />Untuk Ragil Suwarna Pragolapati<br /> <br />Ketika datang malam<br />aku memburu bulan dan bintang-bintang<br />yang selalu berlari meninggalkan matahari<br />menjaring misteri. Hidup memang suatu perburuan<br />siang-malam, bertikai dan bertengkar<br />kejujuran sulit ditawar, hidup adalah sebuah perlawanan<br />di mana salah, di mana benar, saling berpacu terdepan<br />Maka Ibu tiap hari selalu mengajariku<br />menyedu madu bercampur empedu dan dia bertutur<br />“Ini yang membuat keringat wangi, menjadi suara hati.”<br />Tetapi aku berkata, “Hidup harus selalu menang<br />Jika tidak, manusia akan memperkarakan!”<br />Lalu keringat Ibu pun keluar dari pori-porinya renta<br />tetes airmata melesat dari keteduhan matanya<br />yang bertahun-tahun ditempa perihnya sebuah perjuangan<br />Namun Ibu begitu perkasa, tulus menyembunyikan<br />rembulan dan matahari di hatinya<br />dan bersekutu dalam nalurinya<br />Ketika adzan Shubuh berkumandang<br />apakah yang bisa kulakukan, selain aku menginsyafi diri<br />sungguh lama diriku diperbudak berhala-berhala<br />akau menjadi kecil, kelewat kerdil, dan sia-sia<br />Lalu terdengar suara Ibu mengucap kalimat-kalimat<br />panjang, dalam doa dan iqstifar tiada putus-putus<br />bersama Malaikat-Malaikat berdzikir tidak pernah henti<br />Maka ketika datang siang<br />jemputlah aku di persimpangan<br />Aku mau pulang!<br /> <br />Permenungan Jumat Kliwon<br />22-23 Desember 1988<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2010/04/puisi-puisi-sigit-sugito/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2010/04/puisi-puisi-sigit-sugito/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-52355998834120378842021-09-03T16:19:00.006-07:002021-09-03T16:19:33.013-07:00MEMBACA SASTRA DARI LOKUS BUDAYA SANG PENGARANG<b>Studi “Serampangan” atas Buku Puisi Takdir Terlalu Dini karya Nurel
Javissyarqi *</b><br /> <br />Mh Zaelani Tammaka<br /> <br />KETIKA saya diminta untuk mengupas karya-karya puisi Nurel Javissyarqi,
seperti yang terlumpul dalam Takdir Terlalu Dini ini, saya nyaris buta terhadap
pengarang ini. Hal itu di antaranya karena faktor dekade kepengarangan dari
yang bersangkutan, yang muncul pada paruh akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an,
di mana pada periode itu lebih aktif sebagai seorang jurnalis daripada sebagai
aktivis sastra. Tentu saja akan berlainan dengan kawan-kawan penyair yang aktif
menulis pada tahun-tahun paruh akhir 1980-an hingga paruh pertama 1990-an, saya
lebih banyak mengenalnya secara pribadi, setidak-tidaknya lebih intens membaca
karya-karyanya, karena pada waktu itu memang sebagai besar waktu saya banyak
tercurahkan pada dunia sastra.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Tentu saja pengetahuan saya yang minimal ini terhadap diri si penyair, dan
juga karya-karyanya, mau tidak mau sedikit merepotkan saya, setidak-tidaknya
menyulitkan saya harus memulai dari mana ketika harus berhadapan dengan
puisi-puisi tersebut. Namun demikian, ketidakkenalan saya ini bisa saja menjadi
lebih menguntungkan, karena barangkali penilaian saya akan lebih obyektif,
meskipun tidak menutup kemungkinan justru melahirkan ketersesatan. Bukankah
studi strukturalisme dalam sastra justru mengharuskan adanya pengabaian
terhadap latar belakang pengarang, karena bisa saja kehadirannya justru menjadi
“kecap penyedap rasa” sehingga menenggelamkan nilai obyektif dari karya sastra
itu sendiri.<br /> <br />Karena keminusan pengetahuan saya pada diri pengarang bisa melahirkan dua
kemungkinan yang saling bertolakan – antara berpikir obyektif dan peluang
ketersesatan – ditambah tiadanya kesempatan untuk melakukan studi yang
mendalam, maka tidaklah terlalu salah kalau saya menamakan pembahasan ini
sebagai sebuah “studi serampangan”. Semoga saja, sebagai “studi serampangan” atas
pembacaan yang penuh ketergesa-gesaan ini, tidaklah melahirkan terlalu jauh
“ketersesatan”, namun justru menghasilkan suatu pembacaan yang “otentik” karena
kecilnya pengaruh-pengaruh di luar teks puisi – seperti biografi pengarang –
yang kehadirannya justru bisa saja mencemari proses penyimpulan.<br /> <br />Fokus pembahasan ini memang saya hindarkan dari upaya penilaian atau
penghakiman, karena tulisan ini memang bukanlah dimaksudkan sebagai kritik
sastra, tetapi lebih upaya penyelaman terhadap lokus budaya si pengarang yang
mau tidak mau sering kali akan mempengaruhi corak kepengarangan yang
bersangkutan. Dari sini diharapkan akan lebih membimbing pada pemahaman dan
penghayatan terhadap puisi- puisi yang ada, bukan sekadar memperoleh
pengetahuan kognitif-struktural tapi lebih pada pengetahuan
afektif-emosional-transendental.<br /> <br />SEORANG penulis (pasti) memiliki “rumah”. Demikian kata Cynthia Ozick,
pengarang Yahudi Amerika ketika diwawancarai The New York Time pada awal
1990-an, sebagaimana pernah dikutip R. William Liddle ketika memberi pengantar
buku Catatan Pinggir 3 Goenawan Mohammad (1991: VII). Ketika itu, dengan
mengutip Shakespeare bahwa kehidupan moral memiliki “a habitation and a name” –
bertempat tinggal dan bernama – , Ozick menegaskan bahwa seorang penulis mau
tidak mau mencerminkan sifat-sifat kebudayaan dan peradaban tempat ia lahir dan
dibesarkan.<br /> <br />Bahkan, dengan nada sedikit provokatif, Ozick memberi kredo, yang
barangkali bisa dijadikan panduan bagi seorang sastrawan: “If you want to live
the live that can best bring into a sense of being a civilized person, then you
heve to suize it through your own culture.” Kalau anda ingin menghayati
kehidupan yang akan menyebabkan Anda merasa menjadi orang beradab, Anda harus
merebutnya melalui budaya Anda sendiri.<br /> <br />Memang, meski setiap orang memiliki “rumah”, yang tidak lain adalah
kebudayaan sendiri, namun tidak semua orang berhasil menemukan “rumah”-nya
tersebut. Butuh perjuangan panjang, dialektika yang tiada henti, agar seseorang
menemukan “rumah”-nya, yang tidak lain adalah jati dirinya sendiri. Namun
demikian, yang tidak dapat dielakkan, pastilah setiap orang pertama-tama dan
pada akhirnya mestilah mereguk peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan.<br /> <br />Lantas di mana “rumah budaya” Nurel Javissyarqi? Dari sedikit pengetahuan
yang saya milki, khususnya setelah saya menemukan nama kunci Nur Laili Rohmat
yang sedikit banyak telah saya kenal, saya mendapatkan kesan kuat bahwa Nurel
pastilah “orang Jawa” yang berasal dan dibesarkan dari kultur santri. Memang,
dari puisi-puisinya yang ada, termasuk banyaknya nama samaran yang dia pakai,
tampaknya dia masih dalam periode “pengembaraan” dan belum sepenuhnya menemukan
“rumah jati diri”-nya, namun dari potret perjalanan yang ada, alur “pesantren”
tampak lenih dominan.<br /> <br />Kuntowijoyo pernah menyebutkan ada tiga loci kebudayaan Jawa, yaitu
keraton, pedesaan dan pesantren dengan unsur wong agung, wong cilik dan santri.
Tentu, kalau dilihat dari pendekatan tiga loci model Kuntowijoyo ini,
kebudayaan yang dominan yang membentuk pribadi Nurel adalah loci pesantren,
meski pada perkembangannya juga bersentuhan kedua loci budaya Jawa yang lain
(wong cilik dan wong agung) dan budaya kosmopolitan (Barat dan Timur) khas
kelas menengah (terdidik) di negara berkembang, seperti Indonesia ini.<br /> <br />Corak “kesastrapesantrenan” Nurel tampak dari kecenderungan gaya bertutur
yang kuat dalam puisi-puisinya. Ini seakan mendekatkan pada puisi-puisi lisan
pesantren, seperti syair puji-pujian, cara pembacaan kitab-kitab yang
dilagukan, serta suluk yang berisi ajaran-ajaran tarekat (sufisme) dan
sebagainya. Gaya ini juga ditunjukkan pada kecenderungan pada pola epik
daripada lirik. Gaya epik kian terasa ketika membaca, misalnya “Balada Jala
Suta” atau tiga sajak tentang Van Gogh. Dengan demikian, sajak-sajak Nurel
lebih mengesankan sastra lisan yang ditulis.<br /> <br />Sebagai sastra epik, khususnya epik-tutur, puisi-puisi tampak mengedepankan
“pikiran” daripada “perasaan”, khususnya ketika ia harus dihadapkan pada
kesimpulan-kesimpulan filosofis-ideologis. Puisi-puisinya tidak lagi cenderung
bernyanyi seperti sajak-sajak imajis yang banyak berkembang di Tanah Air,
tetapi lebih mengajak berpikir dan berfilsafat. Gaya seperti ini barangkali ada
pararelismenya – kalau tidak dikatakan terpengaruh – dengan sajak-sajak Iqbal yang
juga berkecenderungan filosofis-ideologis.<br /> <br />Sekadar contoh pararelisme antara Iqbal dan Nurel tampak pada perbandingan
berikut ini. “Kemarajaan Roma yang megah ada obat penawar/Sekali lagi telah
kita turunkan mimpi Yulius Caesar/Kepada Musolini, anak cucunya, yang bertangan
besi/Bangsa ini amat perkasa menjaga laut Itali/Dalam sejarahnya pernah megah
kemudian jatuh tersungkur tanah” (kutipan “Parlemen Setan” Muhammad Iqbal).
Sementara dalam bait XXIX puisi “Nietzsche, Aku Tetap Diet”, Nurel menulis: “Kau
cemooh Socrates, dengan dialektikanya/kau tak sadar dengan dialektikanya
sendiri/seperti serangga dalam kuluman bunga teratai/di atas kertas ia berdiam
diri, sedang telaga-samudra Tuhan.”<br /> <br />NAMUN demikian, kecenderungan epik dan kelisanan Nurel bukannya tidak ada
bahayanya. Yang paling nyata barangkali puisi-puisinya menjadi sangat
“memprosa” dan sangat boros dengan kata-kata. Kata-kata tidak lagi diperas
hingga diperoleh kata-kata yang metaforis, tetapi cenderung lugas dan apa
adanya. Sesuatu yang barangkali bertolakan dengan prinsip-prinsip puisi modern,
apalagi seperti yang dirumuskan oleh “wali” penyair Indonesia Chairil Anwar
yang berkata, “ …tiap kata akan kugali-korek sedalamnya, hingga ke kernwood, ke
kernbeeld.” (Chairil Anwar, Kartu Pos, 8 Januari 1944).<br /> <br />Bahkan, dalam tataran ekstrem, puisi-puisi Nurel menjadi terasa
“anti-puitik”. Sebab, kalau hendak konsisten dengan teori-teori puisi modern,
setidak-tidaknya syarat-syarat bahasa puisi yang bersumber dari tradisi sastra
Barat-Modern, jelas sebagian puisi-puisi itu tidak memenuhi syarat sebagai
puisi, setidaknya dianggap puisi yang gagal. Ini tampak, misalnya, pada sajak
“Nyala Api Kehidupan”. Bait-bait dalam sajak ini lebih kumpulan jargon-jargon
kata-kata mutiara, yang dalam hal tetentu sering kehilangan kepaduan. Bahkan,
ada baik-bait yang berisi sumber-sumber inspirasi penyair, yang ditulis begitu
saja dan terkesan kurang pendalaman.<br /> <br />Kelemahan lain yang tampak adalah penyebutan nama-nama tokoh atau sumber
yang tidak akurat dalam puisi. Ini penting, sebab bila memilih bentuk ucap
puisi epik-filosofis-ideologis seperti Iqbal, akurasi baik nama maupun sumber
menjadi penting. Sebab, kalau tidak, bisa menimbulkan keraguan bagi pembaca
bahwa itu sebagai perwujudan sikap kenes, sok filsafat, namun sebenarnya belum
menyentuh inti filsafat itu sendiri.<br /> <br />Namun demikian, saya tetap merasakan kehangatan nyala semangat kepenyairan
Nurel. Di lihat usianya yang relatif muda (kelahiran Kendal-Kemlagi, Lamongan,
8 Maret 1976), masih terbentang harapan perkembangan ke depan. Dan tampaknya
kekuatan bentuk pengucapan epik tuturannya, yang merupakan salah satu kekhasan
sastra pesantren, sangat berpeluang terus digali dan kelak pasti bisa
memperkaya khazanah sastra Indonesia yang terlanjur Eropa-sentris. Semoga!<br />***<br /> <br />Solo, Wisma Ceremai V-14E, 10 Juni 2001<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Sekadar bahan diskusi untuk Bedah Buku “Takdir Terlalu Dini” Karya Nurel
Javissyarqi di Taman Budaya Surakarta (TBS), 11 Juni 2001. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2011/10/membaca-sastra-dari-lokus-budaya-sang-pengarang/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2011/10/membaca-sastra-dari-lokus-budaya-sang-pengarang/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-90015029655536340512021-08-30T15:27:00.007-07:002021-08-30T15:27:59.182-07:00Gola Gong: Kesuksesan Itu Dari AllahPipiet Senja *<br /> <br />Siapa yang tak kenal Rumah Dunia? Inilah pengelolanya; Gola Gong!<br />Penulis legendaris serial Balada Si Roy<br /> <br />Sedang sibuk apa saat ini, Mas GG?<br /> <br />Saya sedang writer block. Sudah sejak Maret 2007, tidak bisa bikin novel.
Mentok. Saya sedang mengarap novel serial LABIRIN LAZUARDI dengan Tiga
Serangkai. Sudah 3 judul buku; Langit Merah Saga, Ketika Bumi Menagis, dan
Pusaran Arus Waktu. Tapi, buku keempat belum jadi-jadi. Mungkin kaerna terapi
setiap hari. Ditambah kesibukan di Rumah Dunia, syuting di RCTI. Biki novel itu
duduk. Penyakitnya di situ. Lebih baik jalan-jalan buat saya. Duduk lama, sakt.
Saya mengalami pengapuran di lumbar lima. Alhamdulillah, batu di ginjal sudah
hancur.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Bagaimana anda mengenang masa kecil?<br /> <br />Indah. Andai bisa diputar, saya ingin kembali ke masa kecil. Hujan-hujanan,
mandi di kali Banten, hanyut-hanyutan, bersepeda ke pantai, jadi jendral kecil
lagi. Asyiklah. Pokoknya, saya adalah anak kecil yang bahagia, di mana
kecerdasan majemuk saya tersalurkan.<br /> <br />Apakah anda menikmati seluruh kegiatan saat ini?<br /> <br />Ya, ya, ya. Teatap meniimati. Tapi tidak seperti dua tahun ke belakang, di
mana tubuh saya fit. Sekarang harus extra kerja keras, ngatur waktu. Kadang
mesti rebah-rebahan dulu. Meluruskan punggung. Antara bekerja, terapi, berobat,
ngatur makanan. Kadang membosankan.<br /> <br />Boleh tahu cota-cita waktu kecil?<br /> <br />Jadi pilot, bisa keliling dunia, melihat daerah-daerah baru.<br /> <br />Pengalaman yang menggetarkan waktu kecil?<br /> <br />Sewaktu saya harus kehilangan tangan kiri akibat terjatuh dari pohon. Itu
saat umur saya 11 tahun (kelas 4 SD).<br /> <br />Dengan seluruh kegiatan yang padat ini, apakah anda merasa “terpaksa”
dengan harus mengorbankan “quality time” bersama anak-anak, istri?<br /> <br />Tidak. Saya sudah mengaturnya bahwa semua kegiatan saya tidak bolh jauh
dari keluaga. Itulah sebabanya ”Rumah Dunia” berada di halaman belakang. Istri
dan anak-anak saya terlibat jadi relawan semuanya. Itulah waktu terbaik kami.
Selalu kami lewati bersama.<br /> <br />Sosok yang paling mempengaruhi kehidupan anda?<br /> <br />Bapak cermin kerja kerasnya, emak cara memimpinnya yang dialogis. Mereka
adalah panutan saya, karena mengabdikan hidupnya untuk orang lain lewat
pendidikan. Rumah Dunia adalah mimpi kami bersama.<br /> <br />Kebahagiaan terbesar dalam hidup anda?<br /> <br />Jika di Banten ada gedung kesenian dan perpustakaan yang besar dan
representatif.<br /> <br />Sudah puaskah dengan prestasi yang telah anda capai saat ini?<br /> <br />Saya selalu mensyukuri apa yang sudah saya peroleh. Itu adalah cermin bagi
saya untuk terus memperbaiki diri dan tentu selalu ingat, bahwa semua akan
kembali kepadanya. Itulah kenapa nama pena saya ”Gola Gong” (gol – a = gong).
Gola artinya karya saya masuk, a dari alif, yang pertama atau Allah, dan gong
ibarat bunyi gong yang membekas lama di telinga pendengar. Jadin Gola Gong
dimaksudkan ”kesuksesan itu adalah anugerah dari Allah”<br /> <br />Pesan untuk generasi muda.<br /> <br />Pergilah dari rumah, karena itu akan menjadikan kita kuat. Anak muda harus
jadi pionir, yang menghantarkan orang lain ke jalan setapak menuju mata air.
Harus kuat, mandiri, dan jadi generasi pelopor, bukan generasi instan.<br /> <br />Catatan; wawancara ini sudah lama terjadi.<br /> <br />Tadi pagi entah mengapa mendadak saya teringat adikku yang satu ini.<br /> <br />Dan saya pikir, kisah hidup Gola Gong memang sangat menginspirasi untuk
generasi muda.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Seniman perempuan, sahabat BMI Hong Kong, Singapore, Macau, Taiwan.
Aktivis FLp, Pembincang Karya Bilik Sastra VOI RRI. Motivator, konsultan
kepenulisan.Buku terbaru: Orang Bilang Aku Teroris (Jendela). <a href="http://sastra-indonesia.com/2012/05/gola-gong-kesuksesan-itu-dari-allah/">http://sastra-indonesia.com/2012/05/gola-gong-kesuksesan-itu-dari-allah/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-39541158314473978422021-08-29T14:46:00.006-07:002021-08-29T14:46:55.527-07:00Sastra Kalimantan Barat Era KekinianMusfeptial Musa *<br />insidepontianak.com, 5 Mei 2020<br /> <br />Perkembangan sastra di Kalimantan Barat tidak dapat dipisahkan dengan
sastra lama, di daerah ini telah lama tumbuh dan berkembang sastra dalam bentuk
lisan. Sastra lisan telah menjadi tradisi bagi masyarakat sejak beberapa abad
silam. Tradisi lisan telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Hampir seluruh
aspek kehidupan masyarakat masa lampau selalu berkaitan erat dengan tradisi
lisan. Baik aktivitas keseharian maupun aktivitas kepercayaan. <span><a name='more'></a></span>Seperti
kebanyakan sastra lisan di Nusantara, sastra lisan, baik sastra lisan Melayu
maupun sastra lisan Dayak dan dapat dikelompokkan dalam tiga bentuk, yaitu (1)
puisi, (2) prosa, dan (3) drama (Djamaris, 2000 : 10 ). Adapun yang termasuk
kelompok puisi adalah mantra, seperti mantra nyopuh pada suku Dayak, pantun
atau bapantun pada sebagian suku Dayak, talibun, pepatah-petitih, dan syair.
Sastra lisan yang dapat dikelompokkan kedalam sastra lisan prosa adalah cerita
rakyat, baik berupa mite, legenda, maupun dongeng. Sementara itu, yang dapat
dikelompokkan ke dalam sastra lisan drama adalah mendu.<br /> <br />Dengan demikian ,kehidupan bersastra sebenarnya sudah lama ada dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat Melayu dan Dayak Kalimantan Barat. Namun
demikian kehidupan bersastra tersebut bersifat lisan. Dituturkan dari mulut ke
telinga. Barulah pada awal tahun 1950-an kehidupan sastra modern betul-betul
terlihat di Kalimantan Barat.<br /> <br />Tonggak Sastra Modern di Kalimantan Barat<br /> <br />Kelahiran sastra Indonesia di Kalimantan Barat dimulai sekitar tahun
1950-an. Ini dibuktikan dengan munculnya nama pengarang Kalimantan Barat di
pentas gelanggang sastra Indonesia. Yusakh Ananda dan Muawar Kalahan telah
menancapkan namanya sebagai sastrawan perintis kelahiran sastra Indonesia di
Kalimanan Barat. Karya Munawar Kalahan muncul di majalah Siasat nomor 285.6
tahun 1950 dengan judul puisinya Riwayat Sedih. Sementara itu, Yusahk Ananda
berhasi menembus majalah Kisah dengan judul cerpennya Kampungku Yang Sunyi yang
termuat dalam majalah tersebut pada tahun 1953. Setelah sukses menembus kedua
media massa tersebut, karya-karya mereka juga menembus media Mimbar Indoesia,
Seni, Zenit, Indonesia, Fantasi, Aneka, dan Duta Suasana (Muin Ikram dalam
Yayasan Penulis 66 Kalbar, 1997 : VII).<br /> <br />Pada masa ini juga muncul pengarang daerah Kalimantan Barat yang ikut
menyemarakkan pentas sastra Indonesia di Kalimantan Barat. Mereka antara lain,
Slamet Muslana, M.Nazirin Ar, Abdul Madjid Ar, Asfia Mahyus, A. Muin Ikram,
Soesani A.Is, M.Siri R, Maria Manggala, Ibrahim Abdurrahman, H. Bustani HA,
Gusti Mohamad. Mulia, Alydrus, Bey Acoub, Zainal Abidin, H.A, Heri Hanwari, MS
Effendi, dan Delly Ananda. Mereka biasanya menyalurkan aspirasi dengan mengisi
siaran Radio Republik Indonesia Pontianak dengan nama siaran Gelanggang. Radio
Rebublik Indonesia cabang Pontianak sangat membantu pengembangan sastra
Indonesia di Kalimantan Barat ketika itu. Ini disebabkan karena media cetak
sangatlah terbatas. Maka media elektronik inilah yang mereka manfaatkan untuk
mengirimkan dan membaca puisi.<br /> <br />Di antara para pengarang pada masa kelahiran sasra Indonesia di Kalimantan
Barat ini, kemudian mereka membentuk kelompok yaitu Taratak Lima. Anggota
kelompok ini antara lain, H. Bustani HA, Gusti Mohd. Mulia, Alydrus, Bey Acoub,
Zainal Abidin, H.A, M.Siri, Soesani A.Is, Heri Hanwari, MS Effendi, dan Delly
Ananda. Menurut pengakuan salah seorang pendiri dari kelompok ini, kata Taratak
Lima berasal dari dua suku kata. Kata tarak bermakna pondok atau dangau.
Sedangakan kata lima bermakna bahwa anggota kelompok ini selalu berkumpul di
Gedung Pertemuan (depen Korem sekarang), dimana ditempat tersebut banyak
pedagang kaki lima. Kelompok ini tidak hanya bergerak dalam bidang sastra
tetapi juga bergerak dalam bidang seni musik, bahkan ketika itu mereka
membentuk satu grup musik dengan nama Kumbang Cari. Penamaan Taratak Lima
berasal dari saran salah seorang dari anggota kelompok tersebut yaitu Gusti
Mohamad Mulya. Penamaan taratak lima terilhami dari nama Taratak Seni
Purta-Putri Simpang (kumpulan orang Ketapang yang mengeluti kesenian) dimana
Gusti Mohamad Mulya juga salah seorang dari anggota kelompok ini.<br /> <br />Taratak Lima merupakan kelompok pertama pengarang di Kalimantan Barat.
Ikatan rasa kebersamaan kelompok ini sangat terasa sekali. Ini terbukti pada
tanggai 3 Maret 1966 kelompok ini menjelma menjadi sebuah yayasan. “Yayasan
Taratak Lima”. Pendirian yayasan ini bertujuan ingin menghimpun dan
mempersatukan seniman, budayawan Kalimantan Barat. Pendirian yayasan ini
disahkan dengan Akte Notaris. Uray Kastarani (Pontianak Post, 11 Februari 2001)
menyebutkan bahwa pendirian Yayasan Taratak Lima ini dengan Akte Notaris M.
Damiri (nomor 10) tahun 1966 dan kemudian diubah dengan Akte nomor 150 tahun
1987. Pada tahun 1987 tujuan dari pendirian yayasan ini telah mengalami
perkembangan, tidak hanya tempat menghimpun para sastrawan dan budayawan tetapi
juga bergerak dalam bidang kebudayaan, pendidikan, penerbitan, dan usaha lain.
Tapi akhirnya yayasan inipun tidak berjalan. Satu di antara penyebabnya, karena
kesibukan dari para anggotanya. Ini dapat dipahami karena para anggotanta
yayasan ini juga harus memikirkan kelangsungan hidup keluarga mereka
masing-masing.<br /> <br />Pada 1966 kreativitas para pengarang pada masa 1950-an juga ditopang dengan
adanya surat kabar. Tercatat ketika itu pada tahun 1956, Yusakh Ananda, A.Muin
Ikram, Slamet Muslana pernah menerbitkan Majalah Gaya. Majalah ini menerbitkan
karya berupa cerpen, puisi,dan esai. Majalah ini tidak berumur panjang. Hanya
mampu terbit lima nomor saja. Menurut pengakuan para pendirinya, masalah dana
merupakan alasan utama mengapa majalah ini tidak mampu untuk bertahan.<br /> <br />Pada tahun 1957 di kota Sambas, kota yang jauh dari pusat Kalimantan Barat,
lahir sebuah surat kabar mingguan yang bernama Sambas Bergolak. Pendirian surat
kabar ini dipelopori oleh (Alm) H. Munawar Kalahan. Walaupun terbitan mingguan
“mini” (Muin Ikram, Pontianak Post 28 Januari 2001), mingguan ini mampu menjadi
sarana meluapkan ekspresi berkarya para pengarang ketika itu.<br /> <br />Selain kedua media di atas, (A. Muin Ikram dalam Pontianak Post 4 Februari
2001) juga menyebut nama media massa yang memiliki andil “melahirkan” pengarang
Kalimantan Barat, yaitu sekitar tahun 1945 sampai dengan tahun 1954 yaitu surat
kabar Terompet, surat kabar Suasana yang kemudian berganti nama surat kabar
Pembangunan, surat kabar Mimbar Masyarakat, surat kabar Bebas, surat kabar
Kemudi, surat kabar Bukit Tilung, dan surat kabat Seksama. Para pengarang
angkatan perintis sastra Indonesia di Kalimantan Barat ini produktif berkarya
sekitar tahun 1950-sampai dengan sekitar tahua 1960-an. Walaupun ada di antara
mereka yang produktif berkarya sampai sekarang atau sampai akhir hayatnya tapi
sangat kecil parsentasenya.<br /> <br />Sastra Indonesia Era Perkembangan<br /> <br />Setelah kelahiran sastra Indonesia di Kalimantan Barat dipelopori oleh
Yusakh Ananda dan Munawar Kalahan hingga memunculkan banyak karya sastra,
sekitar akhir tahun 1960-an sampai akhir tahun 1979 kehidupan kesastraan
Indonesia di Kaimantan Barat kembali sepi (Odys, 2002:4). Seakan terjadi
kefakuman dalam berkarya kalau tidak boleh dikatakan mati. Sekitar awal 1980-an
barulah kehidupan kesastraan di Kalimantan Barat kembali bangkit. Ini terbukti
banyaknya pengarang yang muncul. Kita bisa menyebut nama-nama seperti, Khairani
Hartisani, Sulaiman Pirawan, Satarudin Ramli, Efendi Asmara Zola, A.S. Fan
Ananda, Mizar Bazarvio, Odhy. s, dan Yudhiswara. Kemunculan nama-nama tersebut
di “pangung” gelanggang sastra Kalimantan Barat tidaklah secara serta-merta,
akan tetapi melalui proses yang panjang. Merekalah yang kembali menggerakkan
kebangkitan sastra Indonesia di Kalimantan Barat. Banyak di antara mereka yang
memanfaatkan Koran Akcaya sebagai wadah menuangkan kreativitas sastra.
Setidaknya dapat dicacat bahwa koran ini telah membuka rubrik tersendiri
sebagai ruang sastra. Rubrik ini dinamakan “Forum”. Rubrik ini banyak
memunculkan para pengarang muda berbakat di Kalimantan Barat. Odys (2002)
setidaknya mencatat banyak nama yang muncul dari rubrik ini. Rubrik ini terbit
setiap hari Sabtu dan berlangsung dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1994.<br /> <br />Di era ini pula, mulai muncul komunitas sastra yang berusaha memperjuangkan
keberadaan sastra di Kalimantan Barat. Sistem kelompok atau komunitas sastra
ini kemudian berkembang di berbagai sudut kota Pontianak. Meski realitasnya
kelompok atau kominitas ini belum mampu melahirkan bibit penulis berkualitas dengan
karya-karyanya. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat perkembangan sastra
pada masa ini menjadi lambat, antara lain lambannya regenerasi di daerah
Kalimantan Barat dan kurangnya sarana media pendukung yang mampu menjadi wadah
untuk menyalurkan aspirasi dan kreativitas sastra. Ody’s dalam kertas kerjanya
(2002) juga menjelaskan bahwa hal penting yang sangat menentukan perkembangan
sastra di Kalimantan Barat ketika itu adalah masyarakat. Masyarakat masih
membatasi diri dengan dunia sastra, setidaknya masih beranggapan bahwa sastra
tidak menjanjikan masa depan yang berarti.<br /> <br />Pada tanggal 1 April 1984 beberapa orang di antara mereka membentuk satu
wadah (kelompok). Kelompok ini mereka namakan Kompak (Kelompok Penulis
Pontianak). Anggota dari kelompok ini adalah Aant Kawisar, Tulus Sumaryadi,
Odhy s. Dharmawat, Zailani, Aryo Arno Morario, Mizar Bazarvio, dan Dian MSt.
Kelompok ini bahkan juga menerbitkan buletin dan beberapa antologi puisi.
Antologi puisi yang pernah diterbitkan oleh kelompok ini antara lain,
Perjalanan Kucing Hitam (Odhys), Bara Lapar dan Kabut di Atas Borneo (Tulus
Sumaryadi), dan Kabar dari Langit (Tadjoel, dkk). Malah Kompak juga pernah
menerbitkan sebuah antologi yang memuat karya penyair dari delapan kota di
Indonesia, yaitu antologi Sajak Delapan Kota (Makalah Odhys, 2002:3).<br /> <br />Kelompok ini memiliki arti tersendiri bagi perkembangan sastra Indonesia di
Kalimantan Barat. Setidaknya kelompok ini membuka cakrawala baru wajah sastra
Indonesia di Kalimantan Barat. Selain peran penting yang dilakukkan oleh
kelompok Kompak, media massa juga memiliki arti yang penting dalam perkembangan
sastra Indonesia pada tahun 1980-an. Setidaknya kita dapat mencatat beberapa
nama media massa baik elektronik maupun cetak, antara lain Radio Republik
Indonesia cabang Pontianak, radio La Paloma, koran Akcaya, dan koran Swadaya.
Radio La Paloma sebagai radio swasta ketika itu telah menyelenggarakan satu
paket acara yang disebut acara Apresiasi Sastra. Acara ini diasuh oleh
pengarang Kalimanan Barat yaitu Yudhiswara. Acara ini berlangsung dari tahun
1982 sampai dengan tahun 1985.<br /> <br />Di sisi lain, Koran Akcaya terus membuka sebuah rubrik sastra dan budaya.
Rubrik ini pada awalnya lahirnya sampai tahun 1991 diasuh oleh Odhy’s dan dari
tahun 1991 diasuh oleh Nies Alantas. Rubrik ini secara rutin menampilkan
tulisan berbentuk puisi dan cerpen serta berbicara tentang kesastraan secara
umum. Sementara itu, Koran Swadaya dari 1985 telah menyedikan sebuah rubrik
yang diberi nama Ruang Budaya. Rubrik ini memberikan kesempatan kepada
pengarang dan pemerhati budaya untuk mengirim karya-karyanya.<br />Perkembangan selajutnya, sastra Indonesia semakin mendapat tempat di
tengah-tengah kehidupan masyarakat. Maka muncullah nama-nama Meyzar Syailendra,
Pradono, Aspan Ananda, Mulyadi, Abdullah, Syaza Kayong, Chandra Argadinata,
Uray Kastarani HAs. Dalam perjalanan sastra Kalimantan Barat selanjutnya banyak
kelompok pengarang yang muncul di Kalimantan Barat. Kita bisa menyebut nama
seperti, Ikatan Pencinta Sastra Kota Hantu (IPSKH). Selain itu, kehadiran Dewan
Kesenian Provinsi Kalimantan Barat juga memberikan angin segar terhadap
perkembangan sastra Indonesia di Kaimantan Barat. Dewan ini dibentuk pada tahun
1993. Dewan ini telah menerbitkan beberapa antologi baik puisi maupun cerpen.
Kain Tilam dan Jepin Kapuas merupakan dua antologi (cerpen dan puisi) yang
pernah diterbitkan oleh Dewan Kesenian Kalimantan Barat.<br /> <br />Sastra Kalimantan Barat Kekinian<br /> <br />Menarik untuk membicarakan sastra ke kinian di Kalimantan Barat. Setidaknya
dilihat dari dua aspek, yaitu pertama dari aspek komunitas sastra dan kantong
sastra, kedua aspek karya sastra. Komunitas sastra merupakan kelompok atau
kumpulan beberapa orang yang membentuk wadah dalam berkreativitas dalam bidang
sastra. Banyaknya muncul komunitas sastra di Pontianak dan berbagai daerah di
Kalimantan Barat tentu merupakan pertanda positif dalam gerak dan laju
perkembangan sastra di Kalimantan Barat. Selain komunitas sastra yang telah
lama ada, kehadiran Komunitas Seni Jalan Lain (KSJL) STKIP PGRI Pontianak, Forum
Lingkar Pena (FLP) Kalimantan Barat, Sanggar Kiprah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP Untan), dan Club Menulis STAIN, telah membuka cakrawala baru
dalam perkembangan sastra Kalimantan Barat. Setidaknya dari kelahirannya pada
Juli 2010, telah menghasilkan 60-an karya, baik karya sastra maupaun karya
ilmiah lainnya. Artinya, kehadiran komunitas ini telah memberi rangsangan dalam
perkembangan sastra di Kalimantan Barat. Sampai saat ini Club Menulis STAIN
memiliki anggota aktif sebanyak lima puluh orang. Langkah konkrit yang
dilakukan club ini selain pembinaan kader ke dalam adalah melakukan pembinaan
bibit sastra ke sekolah-sekolah. Hebatnya club ini tidak hanya merambah Sekolah
Menengah, tetapi juga masuk ke Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiah (SD Islam).
Bahkan, untuk merangsang peserta biasanya Club Menulis STAIN juga menerbitkan
hasil karya anak sekolah tersebut.<br /> <br />Forum Lingkar Pena (FLP) Kalimantan Barat merupakan komunitas kepenulisan
yang eksis di Kalimantan Barat. Akan tetapi, kurangnya publikasi membuat
komunitas ini seakan tidak terlihat geliatnya. Secara nasional Forum Lingkar
Pena (FLP) didirikan pada 1997 dengan tokohnya Helvy Tiana Rosa. Di Kalimantan
Barat Forum Lingkar Pena (FLP) berdiri pada tahun 2000.<br /> <br />Hal lain yang juga penting dan mewarnai perjalanan sastra kekinian adalah
munculnya komunitas di berbagai kabapaten dan kota di Kalimantan Barat. Di
Ketapang geliat sastra memberikan harapan pada pencerahan dunia sastra. Tokoh
seperti Wyas Ibn Sinentang, Agus Kurniawan, Syaza Kayong, Fatirkal Danarto, dan
E. Widiantoro (yang sekarang menetap di Kubu Raya) merupakan tokoh patensi
sastra yang eksis menggerakkan geliat sastra di Ketapang. Di Kayong Utara kita
dapat menyebut nama Saifun Arif Kojeh, penulis yang telah memiliki nama di tingkat
nasional. Bahkan, karya cerpen Saifun Arif Kojeh yang berjudul Kempunan
memenangi hadiah Hescom (Malaysia) kategori ACAS 2009 (Jangak, 2012: 66).
Komunitas Penulis Bumi Lelabi Putih, merupakan komunitas yang digerakkan oleh
Saipun Arif Kojeh.<br /> <br />Geliat sastra di Kota Singkawang juga membanggakan. Komunitas Wapres dan
Komunitas Rumah Gergasi merupakan dua komunitas yang memberi warna perjalanan
sastra di Singkawang. Gunta Wirawan, Pradono (yang kembali pulang kampung), Aan
Rosadi, Iwan Darmawan, Ipheng, serta kehadiran Nano L. Basuki (yang sering
bertandang ke kampung halamannya istrinya), merupakan tokoh yang ada di balik
geliat sastra tersebut. Tentu banyak lagi nama yang bisa diurutkan untuk
mengurai geliat dan perkembangan sastra di tiga daerah tersebut.<br /> <br />Menarik juga mencermati apa yang dilakukan oleh Pay Jarot Sujarwo (PJS),
Nano L.Basuki, Joseph Oendoen (puisi dan seni pertunjukan), Ilham Setia, dan
lain-lain dalam gerak sastra Kalimantan Barat. Kehadiran PJS dan Nano L. Basuki
dalam ranah sastra Kalimantan Barat sesungguhnya membuka babakan baru sastra
Kalimantan Barat. Setelah meninggalnya Odhy’s tahun 2005 dan Yudhiswara tahun
2007. Geliat sastra seakan kehilangan ”penjaga gawang”. Kehadiran PJS dengan
model datang ke sekolah-sekolah memunculkan harapan baru dalam perkembangan
sastra Kalimantan Barat. Dengan model ini, PJS telah membangkitkan semangat
generasi baru Kalimantan Barat dalam dunia sastra. Dari sekolah menengah banyak
muncul bibit baru yang menjanjikan bagi perkembangan sastra Kalimantan Barat.
Pada saat sekarang ini banyak kawan-kawan penggiat sastra yang turun ke sekolah
untuk melakukan pembinaan. Komunitas Rumah Aloy, Forum Indonesia Menulis, Forum
Sastra Kalbar misalnya. Tentu akan banyak lagi nama komunitas yang bisa diurut
di sini. Belum lagi Balai Bahasa Kemdikbud yang juga serius dalam pembinaan
sastra di sekolah bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota dan Kabupeten se-
Kalimantan Barat.<br /> <br />Menarik juga untuk membahas sastra pertunjukan di Kalimantan Barat. Nama
(alm) John de Gautte tentu tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sastra
pertunjukkan di Kalimantan Barat. Nama Sataruddin Ramli, Josep Odilo Oendoen,
Matse Yakoub, Yudi, Iwan Wientania, Pitra Sar dan lain-lain (sumber: Josep
Odilo Oendoen) merupakan nama yang muncul di ranah teater Kalimantan Barat
berkat bimbingan beliau. Sataruddin Ramli fokus di sastra pertunjukan Mendu.
Selain Sataruddin Ramli, kita bisa menyebut nama Yakop Matse, Yusub Aba,
Herman, Latif Simajuntak, Benni, Musa, Suhatman, Jery Anwar, Kamel, Agus, Uli,
Ilham Setia, Budi KK, dan Suhaili (dirangkum dari sumber: Uli dan Ilham Setia).
Di sisi lain, Josep Odilo Oendoen fokus di teater modern. Setidaknya ketokohan
Josep Odilo Oendoen di teater modern Kalimantan Barat menjadi magnet tersendiri
dalam menggerakkan sastra pertunjukan di Kalimantan Barat.<br /> <br />Perkembangan teater kekinian di Kalimantan Barat tentu tidak bisa
dilepaskan dengan Forum Masyarakat Teater Kalimantan Barat (Format Kalbar) yang
berdiri 2007, dinahkodai oleh Mugiono dan pembina H Eko Akbar Setiawan dan Hery
Anshari Boy. Selain itu, kita bisa menyebut sanggar Teater Baret, Dapur Teater,
Teater Topeng, Rumah Teater (Ruter), Teater Retak, Teater Mata, dan Teater
Terbit Dua Belas. Menaiknya, teater Terbit Dua Belas yang dipimpin oleh
Adiansyah (Plontos) juga membina sembilan sanggar di Pontianak Timur.<br /> <br />Dari kampus kita bisa menyebut nama Sanggar Teater Sassan (IAIN), Ekosnomos
(Ekonomi Untan), KSJL (IKIP PGRI), Kiprah (FKIP Untan). Sementara itu, secercah
harapan juga muncul dari Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan. Dari sana muncul
nama Sanggar Teater Linka (SMA 1 Pontianak), Sanggar Teater Gempa (SMA 3
Pontianak), Sanggar Teater Cadar (SMK 3 Pontianak), Sangga Teater Ketupat (SMA
4 Poarntianak), Sanggar Teater Kota Tujuh (SMA 7 Pontianak), Sanggar Teater
Pitung (SMA 8 Pontianak), Sanggar Teater Dasa (SMA 10 Pontianak), Sanggar
Teater SMA Mujahidin, Sanggar Teater Termos (SMA Muhamadiyah 1 Pontianak),
Sanggar Teater Abunawas (SMA 1 Sungai Raya), dan Sanggar Teater Tembak (SMA
Kemala Bhayangkari). Munculnya sanggar teater di sekolah tentunya menjadi
harapan dalam perkembangan sastra pertunjukan di Kalimantan Barat. Peran serta
Balai Bahasa Kalimantan Barat, Kemdikbud dalam membina generasi muda teater
Kalimantan Barat adalah telah dilaksanakan dua tahun berturut-turut 2018 dan
2019, Festival Teater untuk Siswa Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan
se-Kalimantan Barat.<br /> <br />Langkah lain yang harus kita galakkan dalam perkembangan sastra di
Kalimantan Barat adalah perlunya usaha bersama dalam menjaga kualitas dan mutu
karya sastra. Peran pelaku dan penggiat sastra dalam meningkatkan kualitas
karya tentu harus didukung. Bedah karya sastra dengan ulasan yang kritis tentu
dibutuhkan oleh kawan-kawan penulis, pelaku sastra dalam meningkatkan mutu
karya sastra.<br />***<br /> <br /><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">*) Musfeptial Musa, S.S., M.Hum, peneliti Ahli Madya bidang Sastra di
Balai Bahasa Kalimantan Barat. </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/sastra-kalimantan-barat-era-kekinian/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2021/08/sastra-kalimantan-barat-era-kekinian/</span></a></span><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-13966894373112072692021-08-29T09:02:00.002-07:002021-08-29T09:02:08.773-07:00Sastra Anak yang DianaktirikanHeru Kurniawan<br />lampungpost.com<br /> <br />Setiap minggunya hampir setiap media massa memuat rubrik sastra: sastra
serius (yang diperuntukan remaja hingga dewasa) dan sastra anak (diperuntukan
dunia anak-anak). Tapi persoalannya, apakah sastra anak sudah mendapat
apresiasi yang baik, baik dari aspek penulis, estetika-edukatif, sampai pada
resepsi pembacanya?<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Jawaban yang berani saya nyatakan adalah “tidak”.<br /> <br />Sastra anak kita masih dianaktirikan. Tidak mendapat apresiasi yang serius
penulisnya. Lihat saja, siapa sekarang penulis-penulis (sastrawan) yang masih
menulis cerita-cerita anak. Hal ini menunjukkan sikap yang tidak apresiatif
sastrawan (penulis) sekarang terhadap sastra anak. Penulis cerita anak saat ini
didominasi oleh remaja, mahasiswa, guru, dan ibu-ibu rumah tangga yang punya
kecenderungan klangenan, tidak intens menggeluti estetika-edukatif sastra anak.
Hampir setiap minggu cerita-cerita anak muncul di berbagai media massa, tetapi
penulisnya hilang tumbuh silih berganti. Sastra anak pun hanya sebagai bahan
kompensasi terhadap rubrik hiburan untuk anak-anak saja. Tidak peduli terhadap
estetika-edukatif cerita-cerita di dalamnya, apakah baik untuk anak-anak atau
tidak.<br /> <br />Padahal, menurut Lukens (2005), sastra anak harus bisa memberi hiburan dan
pemahaman. Sastra anak, selain harus menghibur juga harus memberi nilai
moralitas. Menghibur bersifat estetis-personal, sedangkan pemahaman berkaitan
nilai estetis-edukatif. Maka, kontrol atau kritik terhadap sastra anak juga
harus dilakukan secara intens. Tapi, lagi-lagi muncul persoalan, tidak ada yang
aktif menulis kritik seputar sastra anak kita. Bahkan, di dunia akademis,
penelitian-penelitian dan buku-buku yang membahas sastra anak masih sangat
minim.<br /> <br />Ironisitas ini menjadikan sastra anak semakin jauh dari harapan. Terasing
dan tanpa terkontrol. Efeknya, tidak ada kemajuan dunia sastra anak, baik dari
aspek estetis dan nilai edukatifnya. Hal ini, jika diteruskan, bacaan-bacaan
anak (sastra anak) akan jauh dari dunia anak yang sesungguhnya sehingga sastra
sebagai medium nilai moralitas bisa hanya sebagai impian belaka. Implikasinya,
budaya literasi dan moralitas anak pun semakin rendah, seperti yang saat ini
diprihatinkan banyak orang. Bahkan, keprihatinan ini sampai pada institusi
pendidikan, pembelajaran sastra anak di sekolah-sekolah semakin memprihatinkan.
Semuanya akan berujung pada sikap baca sastra dan nilai karakter anak-anak yang
rendah karena, bagaimanapun, sastra anak bisa jadi media paling efektif dalam
distribusi dan internalisasi nlai moralitas.<br /> <br />Revitalisasi Kesadaran Kolektif terhadap Sastra Anak<br /> <br />Dengan kenyataan di atas, dunia sastra (yang mengganggap dirinya serius)
harus bertanggung jawab. Ingat, internalisasi nilai yang paling baik adalah
sejak dari anak-anak. Maka, tanggung jawab kolektif terhadap persoalan sastra
anak yang terlanjur dianaktirikan ini menjadi milik kita semua: sastrawan,
penulis, guru, kritikus, dan orang tua untuk aktif mengapresiasi sastra anak
sesuai dengan ranah dan bidangnya masing-masing. Penulis harus care dan menulis
cerita anak yang baik aspek estetik-edukatifnya. Guru harus mampu mengkritisi
dan mengajarkan sastra anak dengan baik. Kritikus dan peneliti tidak merasa
terendahkan dengan meneliti dan mengkritis sastra anak. Orang tua harus selalu
aktif menyosialisasikan sastra anak kepada anak-anak mereka. Bahkan, redaktur
dan penerbit juga harus benar-benar selektif dalam memilih cerita-cerita anak
yang akan dipublikasikan dan diterbitkan.<br /> <br />Bisa jadi, persoalan ketertarikan anak-anak kita terhadap dunia
audio-visual daripada dunia literal-imaginal saat ini disebabkan oleh kesalahan
kolektif kita yang tidak pernah serius terhadap sastra anak. Padahal, pada
perkembangan anak, kebutuhan primer fantasi, imajinasi, dan literasi wajib
untuk dipenuhi, tetapi kita melalaikannya sehingga anak-anak kita mencari dan
mendapatkannya lewat televisi dan internet, misalnya. Jadi budaya game dan
menonton televisi pun lebih digemari daripada budaya baca sastra.<br /> <br />Oleh karena itu, sudah saatnya kita membangun kesadaran kolektif untuk
merevitalisasi sastra anak yang sudah lama dianak tirikan, dan tanggung jawab
itu ada pada kita semua, sebagai penulis, pendidik, dan orang tua untuk selalu
care terhadap perkembangan penulisan, nilai, media, dan eksistensi sastra anak.<br /> <br />Siapa yang akan peduli terhadap anak-anak kita kalau bukan kita sendiri,
dan dengan memajukan sastra anak, maka kita berarti sudah menyayangi anak-anak
kita karena lewat sastralah anak belajar berimajinasi, berasosiasi, dan
mengidentifikasi diri untuk menjadk anak yang baik literasi dan karakternya.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Penulis cerita anak dan dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Purwokerto. <a href="http://sastra-indonesia.com/2011/07/sastra-anak-yang-dianaktirikan/">http://sastra-indonesia.com/2011/07/sastra-anak-yang-dianaktirikan/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-70497076288422593322021-08-28T22:37:00.006-07:002021-08-28T22:37:46.703-07:00Negeri Riau, Pilar Agung Sastra MelayuEdy A Effendi *<br />Media Indonesia, 2 Des 2007<br /> <br />DALAM jejak sejarah, tradisi penulisan kesusastraan Melayu selalu
melahirkan ‘prasasti’. Prasasti itu membiak ke berbagai wilayah, yang pada
akhirnya membangun identitas Melayu sebagai poros besar dalam lajur kehidupan
sastra di ranah Nusantara ini.<br /> <br />Prasasti yang bisa dibaca dalam lajur tapak sejarah sastra Melayu adalah
lahirnya tokoh-tokoh agung, sebutlah Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Tuan Guru
Abdurrahman Sidik, Soeman HS, BM Syamsuddin. Mereka telah menitikkan jejak
sejarah kesusastraan Melayu sejak 500 tahun silam.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Seperti kita tahu, tradisi itu dimulai dari Hamzah Fansuri. Seorang
pelanjut warisan sastra Melayu, Umar Usman Hamidy (UU Hamidy), atau lebih akrab
disapa Pak UU, bertutur, Hamzah Fansuri berangkat dari Aceh. Ia digelari
sebagai Pilar Agung Sastrawan Melayu Abad XVI.<br /> <br />Pada abad XVII, posisi itu diteruskan Tun Sri Lanang. Ia menulis Sulatus
Salatin yang berisi sejarah Melayu. Sesudah itu, gemanya terus mengalir hingga
ke Riau. Pada dekade itu, lahir tokoh agung dalam sastra Melayu, Raja Ali Haji.
Ia berkibar pada kurun waktu abad XIX.<br /> <br />Raja Ali Haji ialah sastrawan Melayu yang tumbuh dari negeri Riau. Ia
menulis kurang lebih 13 karya dan yang paling populer disimak generasi sastra
di jagat nusantara ini, Gurindam Dua Belas.<br /> <br />Pak UU, budayawan dan sekaligus kritikus sastra Melayu, pada 26 November,
menerima Anugerah Sagang sebagai Tokoh Budayawan Pilihan Sagang 2007 di
Pekanbaru, ia pun berkisah bahwa Raja Ali Haji menulis berbagai persoalan dari
sejarah, kitab hukum serta tata bahasa dan sastra. Raja Ali Haji berhasil
membina generasi penulis Melayu dan melahirkan kelompok cendekiawan Riau
bernama Rusydiah Club pada abad XX.<br /> <br />Rusydiah Club itulah yang menebar pesona Melayu. Ia bisa dicap sebagai
paguyuban terbesar di Asia Tenggara pada abad XIX. Tempat menyimak berbagai
delik persoalan.<br /> <br />Sumbangan bahasa<br /> <br />Dalam percakapan informal dengan berbagai wartawan Ibu Kota, Rida K Liamsi,
Ketua Yayasan Sagang, di Pekanbaru, mengurai sumbangan terbesar dari khasanah
Melayu adalah soal bahasa. Bahasa menjadi identitas penulis yang lahir dari
ranah Melayu dan menjadi pembeda dengan penulis-penulis di luar wilayah Melayu.
Maka, tidak salah jika UU Hamidy menulis buku bertajuk Riau sebagai Pusat
Bahasa dan Kebudayaan Melayu.<br /> <br />Dalam konteks itulah, Rida mempersoalkan adakah sumbangan lain setelah
bahasa? Rida layak mempersoalkan sumbangan lain dari daratan Melayu ini selain
bahasa karena seperti kita tahu, satu identitas yang tidak luput kesusastraan
Melayu adalah bahasa. Dan identitas-identitas lain selain bahasa dalam kultur
Melayu, tidak ubahnya identitas lokal dari berbagai kultur lokal di bumi
Indonesia ini. Pertanyaan sekaligus gugatan Rida sebetulnya masalah dasar dari semua
elemen kehidupan masyarakat Melayu.<br /> <br />Memang dalam bahasa selalu terdapat keselarasan, bahkan terkandung dalam
kata-kata atau substansi bahasa, maka menjadi lebih membekas dan mendalam
hingga terwujudlah sebuah puisi; melalui puisilah menggema kembali keselarasan
fundamental yang memungkinkan manusia untuk kembali kepada keberadaan dan
kesadarannya yang lebih tinggi.<br /> <br />Di sinilah bahasa sastra menemukan karakternya. Ia hadir sebagai ragam
ekspresi yang melewati perakitan-perakitan psiko-psikis dalam diri seseorang.
Mengenai bahasa dalam wilayah sastra, Sutan Takdir Alisjahbana pun memberi
komentar, “Bahasa hanyalah alat untuk menjelmakan perasaan dan pikiran yang
terkandung dalam sanubari pujangga. Bagi saya, tiap-tiap pujangga itu bebas
memakai alat sekehendak hatinya, asal saja dengan jalan demikian terang dan
indah ia menggambarkan perasaan dan pikirannya. Apa pula salahnya kalau orang
hendak melagukan dendangnya dengan perkataan arianingsun, mayapada, laksamana,
imbang irama, kesturi.”<br /> <br />Di tepi lain, fakta-fakta sejarah yang lurus harus dibangun atas
keselarasan antara bahasa dan pikiran. Seperti kata Roger Trigg, ‘Thought
without language becomes impossible, and difereent languages will produce
different thought. Berpikir tidak mungkin dipisahkan dari bahasa dan adanya
perbedaan bahasa akan melahirkan perbedaan produk pemikiran.<br /> <br />Kekuatan bahasa sastra sebagai sarana representasi dari mekanisme kerja
keseharian senantiasa menawarkan ruang-ruang subjek untuk beroperasi melakukan
tindakan-tindakan sosial serta menentukan strategi-strategi dan tema-tema yang
diyakini mampu membangun medan kesadaran publik. Dari sanalah posisi bahasa,
tidak sekadar alat korespondensi antarsubjek, tapi bahasa telah membangun satu
peta kekuatan di luar dirinya. Bahasa dalam takaran ini, menurut Benjamin Lee
Whorf, tidak hanya medium untuk berkomunikasi, tapi bahasa pada wilayah
tertentu, berfungsi untuk mendefinisikan kehidupan dirinya. Bahasa, mengikuti
jejak pikiran Whorf, bukan hanya alat reproduksi untuk menyuarakan kembali
gagasan-gagasan, melainkan justru bahasa itu sendirilah yang menjadi pembuat
gagasan, program, dan panduan aktivitas mental individu, untuk menganalisis
kesan dan untuk sintesis kemampuan mentalnya.<br /> <br />Pikiran Whorf, setidak-tidaknya menolak doktrin tradisional bahasa, yang
dihinggapi definisi-definisi normatif sebagai alat komunikasi dan pemekaran
yurisdiksi kata-kata. Menurut doktrin tradisional, kata-kata yang tertuang
dalam puisi memerlukan penjelasan lebih lanjut karena hubungan antara realitas
kosmis dan bahasa manusia telah memudar selama kurun waktu tertentu, yang
menilai alam secara kuantitatif dan mempelajari bahasa secara analitis belaka,
dengan mengabaikan aspek kualitatif sintetis puitis. Dalam bahasa, kata menjadi
substansi yang menggantikan hakikat materi dunia eksternal, dan menyiratkan
keselarasan kosmis.<br /> <br />Anugerah Sagang<br /> <br />Sejatinya, Anugerah Sagang merupakan representasi lain untuk menjaga tanah
Melayu, khususnya Riau, menjaga bahasa ibu, bahasa Melayu. Dan tentu segenap
apresiasi kita tumpahkan untuk para pengelola Yayasan Sagang, yang mau membuang
energi mereka untuk menjaga kultur Melayu dari sergapan budaya lain. Anugerah
Sagang ke-12 ini merupakan cermin dari perjalanan panjang Rida K Liamsi dalam
menjejakkan kakinya ke dalam wilayah kultur Melayu.<br /> <br />Rida, sosok yang perlu diberi catatan. Energi yang ia tumpahkan untuk
menjaga bahasa ibu seperti mengabaikan energi lain yang seharusnya ia sandarkan
dengan sepenuh jiwa untuk keluarga dan kerabatnya. Yayasan Sagang seolah-olah
sebagai rumah pertama Rida untuk berpijak dan meneruskan akar kemelayuan.<br /> <br />Di sisi lain, Gubernur Riau Rizal Nurdin pun merupakan sosok yang punya
dedikasi yang tinggi terhadap kultur Melayu. Nurdin sendiri berujar bahwa visi
dan misi Riau 2020 adalah menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu di
Asia Tenggara. Dedikasi Nurdin juga tercermin dari dana APBD untuk Dewan
Kesenian Riau yang merangkak sampai kisaran Rp4 miliar. Untuk ukuran Indonesia,
itulah bujet terbesar yang diberikan kepada dewan kesenian. Selamat untuk Rida,
Nurdin, dan tentunya Eddy Akhmad RM, Ketua Dewan Kesenian Riau, yang menuai
berkah dari apresiasi yang tinggi dari berbagai sosok Riau tersebut. Sebuah
berkah apresiasi. Tidak lebih dari itu.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Edy A Effendi, Wartawan Media Indonesia. <a href="http://sastra-indonesia.com/2011/04/negeri-riau-pilar-agung-sastra-melayu/">http://sastra-indonesia.com/2011/04/negeri-riau-pilar-agung-sastra-melayu/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-64312756819361163062021-08-28T22:28:00.005-07:002021-08-28T22:31:28.788-07:00Membaca Mata Pangara, Raedu Basha<a href="https://1.bp.blogspot.com/-H9PIoMc7c1I/YSsa6BoykQI/AAAAAAAABRQ/o67_TXapPccDeCigCwiMoxRMEc0uIM0lgCLcBGAsYHQ/s448/Matapangara%252C%2BRaedu%2BBasha.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="309" height="320" src="https://1.bp.blogspot.com/-H9PIoMc7c1I/YSsa6BoykQI/AAAAAAAABRQ/o67_TXapPccDeCigCwiMoxRMEc0uIM0lgCLcBGAsYHQ/s320/Matapangara%252C%2BRaedu%2BBasha.jpg" width="221" /></a><span><a name='more'></a></span><div>Judul Buku: Mata Pangara<br />Kategori Buku: Kumpulan puisi<br />Pengarang: Raedu Basha<br />Penerbit: Ganding Pustaka<br />Tahun Terbit: Cetakan I, Juli 2014<br />Cetakan II, November 2014<br />Tebal Buku: 68 halaman<br />Peresensi: Dodit Setiawan Santoso<br /> <br />Kehidupan karya sastra yang tercipta tidak akan terlepas dari kehidupan
penyairnya. Penyair yang mampu menyelami kehidupannya, kemudian mampu
dituangkannya dalam sebuah wadah menjadi kata-kata yang menarik, merupakan
penyair yang kritis dan kreatif. Salah satu jenis karya sastra yang tidak
banyak peminatnya dibanding jenis karya sastra lain, adalah puisi. Puisi
dipandang memiliki kesukaran pemaknaan karena kepadatan kata-katanya. Tidak
jarang beberapa penyair puisi yang pernah saya temui juga bernafas sama, mereka
telah membuktikan sendiri hal itu setelah antologi puisi mereka berhasil
diterbitkan. Mereka lebih memilih menerbitkan kumpulan cerpen ataupun novel.<br /> <br />Di balik redupnya peminat dan penyair puisi, adapun seorang penyair
berdarah Madura yang cukup konsisten pada bidang yang menjadi panggilan
hidupnya itu. Dia adalah Raedu Basha, pria kelahiran Sumenep Madura. Seorang
pria yang membaurkan setengah jiwanya dan segala pengalaman hidupnya dengan
puisi. Sikap konsistennya terwujud dalam penerbitan buku kumpulan sajak olehnya
berjudul "Mata Pangara" yang diterbitkan dua kali pada tahun 2014.<br /> <br />Pengalamannya ketika berbaur dengan puisi, ia wujudkan dalam sajaknya
berjudul "Ternyata Sudah Sangat Malam." Sebuah sajak yang
menceritakan tentang kehidupan puisi yang begitu sunyi sepi. Keadaan ini
tergambarkan pada potongan sajak berikut.<br /> <br />"...Bunyi katak bercumbu di tengah sawah/Kerikan jangkrik mengalun di
semak sebelah/Kurasakan pekat sangat burat/Gelap teramat gelap/Jiwa suram
ibarat purnama terburam awan/Ternyata sudah sangat malam." (2007)<br /> <br />Berbeda halnya dalam sajaknya yang berjudul "Penjaga Abad". Sajak
ini menceritakan sisi lain puisi dari kehidupan manusiawi. Puisi olehnya lebih
dipandang sebagai media penyampai sabda dan pelukis perjalanan manusia dari
abad ke abad. Sajak atau puisi ini bisa dibilang sebagai pembuka atas semua
sajak dalam buku "Mata Pangara" miliknya ini. Ada gelombang lain yang
kita rasakan ketika menyelami sudut demi sudut kumpulan sajak pada buku
miliknya ini. Ketika kita membukanya, ibarat malam sampai pagi, kita
dipertontonkan pada film pendek miliknya tentang kegentiran dan perjalanan
pengembaraannya membaca setiap jengkal kehidupan untuk mendekatkan diri pada
sang Pencipta, serta setiap kisah tentang peradaban Islam ia ceritakan dengan
begitu detail dan padat yang sungguh akan membuka iman dan menambah pengetahuan
kita tentang peradaban Islam dulu dan sekarang. Maka tidak mengherankan jika
setiap sajak Raedu Basha terkandung nuansa keislaman yang cukup kental. Kondisi
ini tidak serta merta muncul begitu saja. Banyak latar belakang yang
menyebabkan sajak miliknya menjadi begitu kental dengan nuansa keislaman, salah
satunya adalah pengalaman pendidikannya di beberapa Pondok Pesantren yang
pernah dijalani.<br /> <br />Maka boleh dibilang buku ini sangat cocok untuk semua orang yang ingin
mengenal Islam lebih jauh. Sangat disayangkan untuk kita melewatkan buku ini,
sebab banyak pesan dan pengalaman yang berbeda bisa kita dapatkan dari penyair
berdarah Madura ini.<br /> <br />Mengenai judul kumpulan sajak "Mata Pangara" ini, Raedu Basha
mengambil satu kata bahasa Madura miliknya. Kata "Pangara" berasal
dari bahasa Madura yang bisa berarti "mungkin, barangkali, maunya, masih
rencana". Jika kita gabungkan dengan kata "Mata", maka akan
memunculkan judul buku yang sungguh luar biasa dan bisa dibilang judul ini
adalah inti maksud yang ingin disampaikan dalam beberapa kumpulan sajak
miliknya. Dengan digabungkannya kedua kata itu, maka judul buku itu bisa
bermakna "mungkin mata", "barangkali mata", "maunya
mata", "masih rencana mata". Sebuah gaya metafora coba
diselipkannya pada makna kata "Mata", yang pada hakikatnya bermakna
"Tuhan (Allah SWT)". Sungguh luar biasa.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/membaca-mata-pangara-raedu-basha/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/membaca-mata-pangara-raedu-basha/</span></a></span></p>
</div>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-42604784095504049652021-08-27T22:34:00.006-07:002021-08-27T22:34:56.353-07:00Mamanda dan Eksistensi Bahasa BanjarMahmud Jauhari Ali<br />Sinar Kalimantan<br /> <br />Secara administratif, wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dengan
Banjarmasin sebagai ibukotanya, terletak di bagian tenggara pulau Kalimantan
dengan batas-batas, yakni sebelah utara dengan Provinsi Kalimantan Timur,
sebelah selatan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Selat Makasar, dan
sebelah barat dengan Provinsi Kalimantan Tengah (Sam’ani dkk, 2005:7). Provinsi
ini mayoritas didiami oleh masyarakat dari suku Banjar. Hal inilah yang
menyebabkan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya di Provinsi
Kalimantan Selatan adalah bahasa Banjar. <span><a name='more'></a></span>Memang akan kita temukan pemakaian
bahasa selain bahasa Banjar di Provinsi Kalaimantan Selatan, seperti bahasa
Bakumpai, bahasa Dusun Deyah, bahasa Ma’anyan, dan bahasa Dayak Meratus. Akan tetapi,
pemakaian bahasa-bahasa selain bahasa Banjar tersebut dipakai dalam kelompok
masing-masing suku yang bersangkutan.<br /> <br />Sebagai contoh, bahasa Bakumpai dipakai oleh masyarakat suku Bakumpai atau
bahasa Ma’anyan dipakai dalam masyarakat suku Ma’anyan. Berbeda dengan
bahasa-bahasa tersebut, bahasa Banjar dapat kita katakan sebagai bahasa
perantara (lingua pranca) di Provinsi Kalimantan Selatan. Semua suku yang ada
di provinsi ini dapat menggunakan bahasa Banjar. Dengan demikian, masyarakat
dari suku Banjar tidak perlu harus menguasai bahasa dari suku lain di provinsi
ini jika ingin berkomunikasi dengan masyarakat dari suku lain tersebut.
Misalnya, anggota masyarakat dari suku Banjar tidak perlu harus menguasai
bahasa Bakumpai jika ingin berkomunikasi dengan anggota dari masyarakat suku
Bakumpai. Anggota dari masyarakat suku Bakumpai akan menggunaan bahasa Banjar
jika mereka berkomunikasi dengan anggota dari masyarakat suku Banjar.<br /> <br />Masyarakat Banjar memiliki khazanah sastra yang sudah hidup dan berkembang
sejak dahulu. Karena bahasa perantara (lingua pranca) yang dipakai di Provinsi
Kalimantan Selatan adalah bahasa Banjar, bahasa yang digunakan dalam sastra
lisan di provinsi ini juga menggunakan bahasa Banjar. Sebagaimana yang kita
ketahui bahwa wujud cipta sastra terdiri atas tiga bentuk, yakni puisi, prosa
fiksi, dan teater tradisional. Begitu pula dengan wujud sastra daerah di
Provinsi Kalimantan Selatan, terdiri atas tiga bentuk tersebut. Bentuk puisi,
di Provinsi Kalimantan Selatan berupa mantra. Mantra-mantra ini juga terbagi
dalam empat jenis, yakni mantra Banjar jenis tatamba, mantra Banjar jenis
tatulak, mantra Banjar jenis pinunduk, dan mantra Banjar jenis pitua. Bentuk
prosa fiksi, di Provinsi Kalimantan Selatan dapat berupa mite, legenda, dan dongeng.
Contoh bentuk prosa fiksi yang dapat kita temukan adalah Hikayat Lambung
Mangkurat. Salah satu jenis teater tradisonal di Provinsi Kalimatan Selatan
yang sampai hari ini masih dipentaskan, walaupun tingkat frekuensi
pementasannya mulai berkurang adalah mamanda.<br /> <br />Mamanda merupakan salah satu teater tradisional di Indonesia yang berasal
dari daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Teater tradisional ini dapat kita
sebut sebagai salah satu sastra daerah yang setingkat dengan sastra daerah
sejenis di daerah lainnya seperti lenong di daerah Jakarta dan ketoprak di
daerah Jawa. Bahasa yang digunakan para tokoh dalam pementasan mamanda adalah
bahasa Banjar yang hidup dan berkembang di Provinsi Kalimantan Selatan, baik di
daerah pesisir (Kuala) maupun di daeah pedesaan (Pahuluan).<br /> <br />Tujuan dari pementasan mamanda salah satunya adalah untuk mempertahankan
eksistensi pemakaian bahasa Banjar yang dewasa ini mulai mengalami pergeseran.
Pergesaran yang saya maksud adalah bahasa Banjar digeser pemakaiannya dengan
pemakaian bahasa gaul dan bahasa Inggris di masayarakt Banjar, baik di daerah
pesisir maupun di daerah pedesaan Provinsi Kalimantan Selatan. Dengan
meningkatnya pementasan mamanda dalam bentuk modern diharapkan masyarakat akan
mengurangi aktivitas menonton sinetron yang menggunakan bahasa gaul. Sinetron
sebenarnya merupakan salah satu penyebab timbulnya kebanggaan masyarakat Banjar
memakai bahasa gaul dan bahasa Inggris di Kalimantan Selatan.<br /> <br />Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa bahasa Banjar adalah salah satu
bahasa daerah yang harus kita lestarikan eksistensinya. Bahkan, dalam
penjelasan pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Bahasa negara ialah bahasa
Indonesia”, tercantum dengan tegas, “Di daerah-daerah yang memunyai bahasa
sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik, bahasa-bahasa itu akan
dihormati dan dipelihara juga oleh negara” dan “Bahasa-bahasa itu pun merupakan
sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup”<br /> <br />Mamanda dan Pementasannya<br /> <br />Istilah mamanda pada teater mamanda di Provinsi Kalimantan Selatan
ditengarai berasal dari kata paman. Kata ini merupakan kata sapaan dalam sistem
kekerabatan masyarakat Banjar, yang merujuk pada pengertian saudara laki-laki
dari ayah atau ibu. Kata ini direkatkan dengan morfem -nda sebagai sebuah sugesti
kekerabatan atau keakraban dengan orang yang disapa dengan sapaan ini, sehingga
terbentuklah kata pamanda, mamanda, ayahanda yang mengisyarakatkan keakraban
dengan kata sapaan dasar yang dirujuknya. (Jarkasi, 2002:20). Kata Sapaan
pamanda dalam dialog antara mangkubumi kepada wajir saat cerita mamanda
dipentaskan akhirnya sangat dikenal dikalangan masyarakat Banjar. Karena
itulah, setiap pementasan teater ini selalu dikenal masyarakat Banjar dengan
nama bamanda atau mamanda. Masyarakat Banjar tidak menyebut teater ini pamanda
karena kata tersebut lebih merujuk pada kata sapaan saja yang tidak cocok untuk
nama sebuah bentuk seni pementasan. Lama-kelamaan masyarakat Banjar hanya
menyebutnya dengan mamanda dan bukan bamanda karena afiks ba- dalam kata bamanda
lebih merujuk pada kata kerja.<br /> <br />Sejak dahulu hingga sekarang bahasa yang sering sekali dipakai dalam
pementasan mamanda adalah bahasa Banjar. Memang ada juga mamanda yang
dipentaskan di televisi dengan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi ceritanya
menjadi kurang hidup. Hal ini karena bahasa Banjar merupakan bagian dari budaya
Banjar sehingga pemakaian bahasa Indonesia dalam mamanda kurang dapat
memunculkan nuansa dan nilai rasa budaya Banjar. Kekakuan itu juga disebabkan
oleh para pemeran lakon dalam mamanda yang terbiasa menggunakan bahasa Banjar
menjadi kurang lancar dalam berimprovisasi jika menggunakan bahasa Indonesia,
meskipun para pemerannya menguasai bahasa Indonesia.<br /> <br />Di samping itu pengunaan bahasa Indonesia dalam pementasan mamanda kurang
dapat melestarikan pemakaian bahasa Banjar. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
hubungan antara sastra dan bahasa tertentu sangatlah erat dan hubungan keduanya
dapat kita katakan sebagai simbiosis mutualisme (hubungan yang saling
menguntungkan). Hal ini berlaku juga dengan hubungan mamanda dan bahasa Banjar.
untuk lebih jelasnya perhatikan penjelasan saya berikut ini.<br /> <br />Dalam kaitannya dengan mamanda, bahasa Banjar menjadi unsur penting yang
digunakan pemeran mamanda untuk berkomunikasi dengan dirinya atau pemeran lainnya.
Dengan kata lain, pementasan mamanda memerlukan bahasa Banjar. Di sisi lain
dalam mamanda, bahasa Banjar menjadi unsur yang langsung disentuh masyarakat
penonton. Kita sebagai masyarakat penonton langsung mendengarkan bahasa Banjar
dalam pementasan mamanda. Jika bahasa Banjar adalah bahasa yang digunakan para
pemeran pementasan mamanda, berarti dengan mendengarkan bahasa Banjar dalam
pementasan tersebut masyarakat penonton pun menggunakan bahasa Banjar secara
reseptif. Dengan demikian, bahasa Banjar yang digunakan para pemeran dan
masyarakat penonton dalam pementasan mamanda akan bertambah lestari. Dengan
kata lain kehidupan bahasa Banjar akan bertambah lestari dengan adanya
pementasan mamanda. Jadi, mamanda dan bahasa Banjar saling memerlukan dan hubungan
keduanya saling menguntungkan.<br /> <br />Dewasa ini, pementasan mamanda mulai jarang digelar dalam masyarakat Banjar
di Kalimantan Selatan terutama di kota Banjarmasin. Masyarakat Banjar di
Kalimantan Selatan lebih sering disuguhi tontonan lain. Tontonan lain tersebut
antara lain, sinetron, acara dangdut, dan konser musik. Tontonan-tontonan lain
ini menjadi penyebab mamanda jarang dipentaskan di hadapan masyarakat Banjar.
Sinetron berbahasa Gaul dewasa ini sangat sering ditayangkan di televisi
suwasta. Dahulu sinetron hanya ditayangkan satu kali dalam seminggu, misalnya
hanya setiap hari Sabtu malam. Kini, setiap hari ada tayangan sinetron
berbahasa Gaul di televisi. Penayangan sinetron berbahasa Gaul ini selain dapat
menyebabkan masyarakat Banjar menggunakan bahasa gaul, juga dapat menyurutkan
minat masyarakat Banjar untuk menonton cerita mamanda dipentaskan di televisi
lokal maupun dipentaskan di gedung kesenian. Karena itulah, pada saat ini
jarang sekali dalam acara pesta perkawinan ada ditampilkan pementasan mamanda.<br /> <br />Sebagian besar masyarakat Banjar modern juga lebih menyenangi acara dangdut
di masyarakat. Jika ada acara dangdut, sebagian besar masyarakat Banjar
terutama para pemuda Banjar sangat antusias ikut bergoyang hingga acara dangdut
tersebut selesai. Bukan hanya itu, jika dahulu mamanda ikut memeriahkan pesta
perkawainan, kini mamanda sudah digantikan dengan musik dangdut. Hampir di
semua tempat pesta perkawainan di Kalimantan Selatan ada musik dangdut yang
diperdengarkan kepada para undangan. Konser musik pop dan rock juga semakin
sering ditampilkan di hadapan masyarakat Banjar secara langsung. Band-band
terkenal di Indonesia sering menampilkan aksi mereka di hadapan masyarakat
Banjar. Sebaliknya, mamanda semakin hari semakin jarang dipentaskan di hadapan
masayarakat Banjar.<br /> <br />Hal-Hal yang Perlu Dilakukan<br /> <br />Sehubungan dengan semakin maraknya penggunaan bahasa Gaul dan bahasa
Inggris yang digunakan oleh sebagian masyarakat Banjar modern, perlu adanya
tindakan nyata dari semua pihak yang peduli terhadap eksistensi bahasa Banjar
yang merupakan pemerkaya bahasa Indonesia dan pemerkaya bangsa Indonesia. Salah
satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan memperbanyak tontonan berbahasa
Banjar di masyarakat. Mamanda merupakan salah satu tontonan berbahasa Banjar.
Pementasan mamanda di masyarakat dapat menjadi cara efektif untuk membendung
pengaruh luar yang berdampak negatif terhadap pemakaian bahasa Banjar oleh
masyarakat Banjar sendiri. Berkaitan dengan pementasan mamanda tersebut, ada
hal-hal yang perlu dilakukan.<br /> <br />Pertama, mamanda harus sering dipentaskan di hadapan masyarakat. Pementasan
mamanda ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni cara langsung di gedung atau
di lapangan terbuka dan cara tidak langsung di televisi berupa tayangan
rekaman. Hal ini pelu dilakukan karena dengan semakin seringnya mamanda
dipentaskan di hadapan masyarakat Banjar, bahasa Banjar akan semakin lestari di
Provinsi Kalimantan Selatan.<br /> <br />Kedua, anak-anak harus diberikan pengetahuan tentang pentingnya
melestarikan bahasa Banjar sebagai pemerkaya bahasa dan pemerkaya bangsa
Indonesia. Para orang tua dan para guru harus sedapat mungkin mengajak anak
untuk berbahasa Banjar dalam situasi kebahasaan yang tidak resmi secara
nasional atau resmi secara adat. Bahasa lain juga penting, akan tetapi
pemakaian bahasa Banjar juga jangan dilupakan oleh generasi penerus masyarakat
Banjar.<br /> <br />Ketiga, Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan harus tanggap
terhadap masalah pergesaran yang terjadi di daerah tempat mereka bekerja.
Pemerintah setempat harus sungguh-sungguh secara rutin mendukung pementasan
mamanda dalam hal dana karena pementasan tersebut memerlukan dana yang
jumlahnya tidak sedikit.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2011/06/mamanda-dan-eksistensi-bahasa-banjar/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2011/06/mamanda-dan-eksistensi-bahasa-banjar/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-62226763019095351112021-08-25T23:11:00.001-07:002021-08-25T23:11:05.550-07:00Kini, Kritik Kritikus Sastra SumutMihar Harahap<br />Harian Analisa, 4 Nov 2012<br /> <br />Kini, kembang kritik kritikus sastra Indonesia modern di Sumut, mengapa
kuncup? Setidaknya ada 3 hal. Pertama, sejumlah kritikus telah meninggal dunia,
misal B. Y. Tand, Herman KS, Ahmad Samin Siregar dan Antilan Purba. Tinggallah
Damiri Mahmud, Mihar Harahap, Shafwan Hadi Umry dan yang istirahat. Untung,
muncul angkatan baru seperti Yulhasni, Afrion, Suyadi San, Jones Gultom, Budi
P.Hatees dan lainnya. Kritik sastra pun mengalir, walau tekanan arus tak
sederas masa lalu.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Kedua, para kritikus jarang membicarakan karya sastra Sumatera Utara,
apalagi karya anak muda, kecuali anak muda itu sendiri. Entah karena
temperamen, multi etnis atau apa -barangkali perlu penelitian- tampaknya kritik
sastra dengan karya sastra dalam beberapa angkatan agak berjarak. Contohnya,
angkatan 80-an dan 2000-an terasa berjarak dengan angkatan sebelumnya.
Dampaknya, generasi Sugeng Satya Dharma dan Hasan Al Bana lahir sendiri tanpa
diantar kritik kritikus sastra.<br /> <br />Ketiga, para kritikus umumnya adalah para pencipta (pemuisi, pecerpen,
penovel, pengesai dan penaskah drama). Berfungsi ganda memang bermanfaat untuk
menambah pengalaman mencipta, pengayaan dan pendalaman, sehingga lahirlah
kritik dan karya sastra yang pilihan dan bukan asalan. Kenyataan dan
kebanyakan, pengarang terlena dengan kemeriahan (mengarang apa yang dia bisa) akan
tetapi lupa dengan keutamaan (bagaimana mengkritik karya sastra itu dengan
baik).<br /> <br />Kritik kritikus sastra Indonesia modern di Sumut dewasa ini, dapat dilihat
dari 3 tempat yakni di kampus, buku-buku dan koran Di kampus, misalnya UNIMED,
USU, UISU, UMSU, UMN dan NOMENSEN. Contoh, skripsi mahasiswa UISU, Habibah,
2008, “Mengapresiasi Cerpen Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah karya Hamsad
Rangkuti” dan Rini Iriani Siregar, 2011, “Pembelajaran Metode Partisipatif
Terhadap Nilai Budaya Cerpen Perawan Dari Pantai Karya Sulaiman Sambas”.<br /> <br />Habibah mengurai tema, plot, setting, penokohan/perwatakan, point of view
dan stilistika. Rini pula dapat menemukan nilai-nilai sosial, budaya, ekonomi
serta agama. Kedua peneliti tingkat sarjana ini mengulas cerpen dengan sederhana,
hati-hati dan teoretis. Selain itu, ada diktat, jurnal, majalah dan makalah
seminar. Semuanya, merupakan hasil penelitian/pengamatan dari dan untuk
kepentingan akademik.<br /> <br />Kemudian, buku-buku kritik kritikus.Contoh, buku “Kompleksitas Sastra
Indonesia” karya Antilan Purba, USU Press, 2007. Dalam buku, dia mengatakan
puisi “Tanpa Kata” A.Rahim Qahhar adalah puisi kontemporer. Alasannya, mengutip
Rachmat Djoko Pradopo, antara lain bergaya mantra, bereduplikasi kata, frasa,
kalimat, imajis dan simbolis. Saya heran, mengapa mentang-mentang ada
reduplikasi kata atau frasa dalam puisi itu, lantas disebut puisi kontemporer?<br /> <br />Apa iya puisi bergaya mantra (bagaimana gaya lain atau mengapa karena gaya)
disebut puisi kontemporer? Ada apa Rchmat membuat 15 ciri puisi kontemporer
layaknya mode puisi Sutardji Calzoum Bachri? Ataukah Antilan yang keliru
mengutip menafsir dan memetakan pendapat orang demi kepentingan bukunya? Bahkan
keliru menandai puisi Rahim bergaya mantra (bereduplikasi kata/frasa), imajis,
simbolis, sementara pengucapan puisinya sebenarnya normatif, lugas dan konkrit.<br /> <br />Buku Menafsir Kembali Amir Hamzah karya Damiri Mahmud, BPAD, 20-12, terbit
mengejutkan. Dia menolak H.B.Jassin, A.H. Johns, A.Teeuw, Sutan Takdir
Alisjahbana dan Abdul Hadi W. M. bahwa antologi Nyanyi Sunyi terutama puisi
Padamu Jua karya Amir Hamzah bertema religi, ketuhanan bahkan sufistis. Padahal
menurutnya, bertema cinta (semisal cinta Amir pada kekasihnya Ilik Sundari atau
Aja Bun) yang kandas di tengah jalan akibat persoalan keluarga, politik dan
ekonomi.<br /> <br />Sayangnya Damiri tak mengurai Padamu Jua dan puisi lain dalam antologi itu
secara perbaris perbait berurutan. Malah kembang ke kanan-kiri menyinggung
pemuisi lain. Unsur-unsur pendekatan (strukturalisme-ekspresionisme) yang digunakan
tak jelas diungkapkan. Apalagi ‘daftar isi’ pun tak membantu. Akibatnya, sangat
mengganggu pembaca untuk memahami, merasakan dan mendalami ide-ide baru penulis
buku.<br /> <br />Selanjutnya, kritik kritikus sastra di koran. Berbagai harian seperti
Analisa, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Mimbar Umum, Medan Bisnis, Sumut Pos,
Jurnal Medan, memiliki rubrik budaya, sastra termasuk kritiknya. Bahkan terasa
lebih semarak dibanding di kampus dan di buku. Meski ada pengarah, penguji,
pengantar, editor skripsi, tesis dan buku, tetapi para redaktur di koran dapat
bertindak lebih dinamis, ketat dan cepat menilai kritik sastra yang layak muat
atau tidak.<br /> <br />Contoh kritik sastra itu adalah tulisanYulhasni, Mihar Harahap, Damiri
Mahmud,T.Agus Khaidir, Supri Harahap dan Budi P.Hatees tentang antologi
cerpen”Sam- pan Zulaiha” (SZ) karya Hasan Al Bana (Analisa-Waspada 2011-2012).
Yulhasni menemukan SZ, Metamorfosis Puisi Dalam Cerpen (Waspada,01-01-2011)
yakni 1).tema/karakter kedaerahan Tapsel dan 2). memindahkan kaidah puisi ke dalam
bentuk cerpen. Entah mengapa, dia hanya mengurai hal kedua, 4 dari 14 cerpen
yang ada.<br /> <br />Dalam pemindahan, dia 1). menyetir persamaan-perbedaan Rumah Amangboru
dengan cerpen Ibu Senang Duduk Depan Warung, karya Jujur Pranoto, 2). menca tat
pemakaian majas dan bahasa komunikasi ala Medan, 3). melihat kekuatan-kelemahan
cerpen bagi pembaca awam.<br /> <br />Terus terang, saya kecewa dengan temuannya ini, karena tak mengurai SZ
dengan metode/pendekatan frankfurt bersama tokohnya Jurgen Habermas, yang
katanya lebih baik, kekinian dan tidak ketinggalan zaman.<br /> <br />Damiri Mahmud menulis “Muatan Lokal atau Gaya yang Membius”(Analisa,
15-07-2012). Simpulannya 1). cerpen Hasan bukan bermuatan lokal dan 2). Bergaya
bahasa membius, tetapi bisa meracuni. Ternyata, simpulan ini memicu polemik,
kecuali tulisan Supri Harahap “Tradisi Lisan atau Muatan Lokal” (Analisa,
29-07-2012). Dia lebih suka istilah tradisi lisan ketimbang muatan lokal sambil
menegaskan Mandailing adalah Batak juga serta kelihatan mendukung tulisan
Damiri.<br /> <br />Polemik Damiri dengan Mihar Harahap diikuti T.Agus Khaidir. Tanya Agus, apa
hubungan nihilisme dengan SZ dan di mana letak absurditas cerpen Hasan, seraya
mengulas pertanyaannya sendiri (Analisa, 26-08-2012). Mengingat itu, Budi
P.Hatees tegas menyebut Damiri hanya menyoroti pribadi Hasan dan bukan karyanya
(Analisa, 02-09-2012). Bahkan menolak pernyataannya tentang istilah
‘pelancong’, isi lebih uta-ma dari bentuk dan terlalu membesar-besarkan
(Analisa, 16-09-2012).<br /> <br />Bagi saya, tak menarik mengeritik tema/sub tema, termasuk soal benar apa
salah tentang mulok, urban dan lainnya. Bukan tak perlu, sebab tema sama
pentingnya dengan bentuk. Hanya, bentuk lebih menuntut kretifitas. Kalau tema
mengenai apa, siapa, mengapa cerita itu, sedang bentuk mengenai bagaimana cerita
itu diceritakan. Bahkan saya beranggapan, keberhasilan cerpen cenderung
ditentukan akan kebolehan bentuknya daripada keberatan/kebesaran temanya.<br /> <br />Oleh karena itulah, saya melihat cerpen yang terhimpun dalam antologi SZ
ini berhasil, karena kebolehan bentuknya yang memikat, memesona, melebihi
temanya yang kebetulan sederhana dan biasa-biasa saja. Barangkali, di sinilah
letak perbedaan interpretasi dan pandangan saya dengan Damiri, sehingga harus
berpolemik. Jika Damiri memandang cerpen Hasan adalah gagal, maka saya
sebaliknya, adalah berhasil karena kekuatan bentuknya yang memikat, memesona
pembaca itu.<br /> <br />Kesimpulan, pertama, kritik kritikus sastra Indonesia modern di Sumatera
Utara dewasa ini, tetap ada, walau keadaannya mengalir begitu saja, kecuali sesekali
datang secara mengejutkan. Meski ‘kritikus lama’ hilang dimakan usia atau
ditelan masa, akan tetapi ‘kritikus baru’ muncul satu-satu. Hanya, perlu dicari
kritikus sastra yang benar-benar serius, kontinu dan konsisten. Saya melihat
pertumbuhan komunitas sastra sekarang ini dapat menampung dan mendukung usaha
pencarian ini.<br /> <br />Kedua, kritik kritikus sastra Indonesia modern di Sumatera Utara dewasa ini
dapat dilihat dari tiga tempat, dalam kampus, buku-buku dan koran-koran. Tempat
yang semarak adalah di koran-koran ketimbang di dalam kampus dan di buku-buku.
Sebab, pertumbuhan kritik sastra di dalam kampus dan buku-buku didasari oleh
kepentingan akademik dan ekonomik, sedang di koran-koran lebih kepada kualitas
murni sastra di mana nilai akademik dan ekonomik hanyalah dampak positifnya.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Penulis Kritikus Sastra dan Dekan FKIP-UIU Medan. <a href="http://sastra-indonesia.com/2018/02/kini-kritik-kritikus-sastra-sumut/">http://sastra-indonesia.com/2018/02/kini-kritik-kritikus-sastra-sumut/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-78839020939274217882021-08-25T23:09:00.007-07:002021-08-25T23:09:44.163-07:00Siapa Peduli Buku Sastra Medan?J Anto<br /> <br />PENGALAMAN tak terlupakan bagi Yulhasni, beberapa hari setelah buku
kumpulan cerpennya Bunga Layu di Bandar Baru terbit dan sampai ke tangannya
dari sebuah penerbit di Jakarta, ia lalu bergegas mempromosikan bukunya.
Pertama tentu ia memanfaatkan jaringan pertemanan yang ada.<br /> <br />Di dunia maya, ia mem-posting sampul bukunya di akun jejaring sosial
miliknya. Jejaring media cetak, komunitas yang pernah membesarkannya sebelum
jadi dosen dan Komisioner KPUD Sumut, juga dirangkulnya. Maka lahirlah resensi
dan berita tentang bukunya. Tak lupa ia juga mendatangi Badan Perpustakaan
Arsip dan Dokumentasi Sumut (Baperasda) yang berada di depan Istana Maimun.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Yul, begitu panggilan karibnya, menaruh sebuah harapan. Lembaga yang digadang
mempromosikan buku-buku karya penulis lokal itu akan membeli beberapa eksemplar
bukunya. Syukur-syukur mereka mau membeli dalam paket besar. Dengan demikian
buku karyanya bisa dinikmati pengunjung perpustakaan.<br /> <br />“Aku tawarkan buku tersebut ke mereka, eh mereka malah minta gratis,”
tuturnya. Beruntung kampus tempatnya mengajar mampu memberi apresiasi terhadap
staf pengajarnya yang kreatif. Universitas Muhamadyah Sumut memborong 500
eksemplar buku itu. Yul pun lega. Ini sebuah penghargaan yang memicu andrenalinnya
untuk terus berkarya.<br /> <br />Apresiasi terhadap buku sastra karya penulis lokal, menurut Yul memang
dibutuhkan untuk merangsang gairah berkarya penulis. Terlebih lagi untuk
penulis muda. Hal ini juga dilakukan di kota tetangga, seperti Aceh, Padang,
serta Pekanbaru. Sebagai penulis fiksi, Yulhasni terus terang iri dengan
perbukuan sastra di ketiga kota itu. Di sana, penyair, cerpenis dan novelis
berlomba-lomba menulis karya-karya mereka. Pemerintah daerah bijak memberi
subsidi ke penulis untuk membantu biaya penerbitan, bahkan proses selama mereka
menulis.<br /> <br />Menurut Idris Pasaribu, jumlah subsidi yang diberikan bisa mencapai antara
Rp10 juta sampai Rp15 juta per satu buku yang dihasilkan. Apresiasi juga datang
dari pengusaha media massa sukses. Damiri Mahmud menyebut setiap tahun di Riau
ada penghargaan karya sastra terbaik dari Yayasan Sagang. Karya sastra yang
terbaik bisa mendapatkan uang apresiasi puluhan juta rupiah.<br /> <br />Di Aceh, penulis senior yang dianggap berjasa dalam melestarikan sastra
tradisional Aceh, juga mendapat uang apresiasi Rp 5 juta. Uang apresiasi itu
diterima setiap tahun. Bukan hanya sekali. “Saya juga pernah dapat uang
apresiasi dari Pemprovsu Rp 2,5 juta, namun hanya sekali, setelah itu tak ada
lagi,” tambah Damiri Mahmud yang puisi-puisinya telah dimuat penerbit nasional
maupun lokal itu.<br /> <br />Ragam Model Penerbitan<br /> <br />Minimnya apresiasi pemerintah daerah, tak membuat surut semangat para
penulis melahirkan karya-karyanya. Beruntung beberapa penerbit di Jakarta dan
Yogyakarta juga mulai melirik karya-karya sastra Medan. Maka terbitlah novel
seperti Pincalang, Acek Botak, Nikah Lagi dan Mangalua karya Idris Pasaribu,
kumpulan cerpen Sampan Zulaikha karya Hasan Albana atau kumpulan puisi Elegi
Titi Gantung karya Sartika Sari.<br /> <br />Cerpen-cerpen Yul termasuk yang dilirik, maka terbitlah Bunga Layu di
Bandar Baru, juga kumpulan esai sastranya Senjakala Kritik Sastra. Beberapa
novel remaja karya T. Sandi Situmorang, Shandy Tan, dan Anggrek Lestari juga
termasuk yang “dipinang”.<br /> <br />Bahkan tak sedikit penulis (muda) memanfaatkan model penerbitan indie.
Mereka mengganti biaya cetak, menjual sendiri dan menerima royalti dari hasil
penjualan, yang dibayar sesuai jumlah eksemplar buku yang laku di pasaran. Ada
juga penulis yang menerbitkan karya mereka dengan mencetak dan menerbitkan
sendiri di Medan. Pernah juga digagas oleh Antilan Purba membuat Arisan Sastra
dengan mengumpulkan modal patungan untuk membiayai penerbitan buku kumpulan
puisi dan cerpen.<br /> <br />Berbagai model penerbitan itu tentu punya plus-minus. Misalnya saat karya
sastra penulis diterbitkan penerbit di luar Medan, Yul sadar ada kelemahan
distribusi mengintip.<br /> <br />“Buku saya hanya beredar di pulau Jawa saja, beruntung kemarin UMSU membeli
500 eksemplar,” katanya. Itu artinya jika tidak ada inisiatif untuk membeli
buku itu, karya Yul mungkin hanya kurang dinikmati masyarakat Medan sendiri.
Kejujuran penerbit juga diuji. Misalnya akuratkah laporan penjualan buku per
bulan yang diberikan ke penulis? Termasuk benarkah buku-buku itu
didistribusikan ke toko-toko buku di Jawa?<br /> <br />Idris Pasaribu beruntung punya jaringan penulis di beberapa kota besar
karena ia adalah Ketua Umum Komunitas Sastra Indonesia (KSI). “Jadi saya telpon
teman di Bandung. Tanya ada tidak novel saya dijual di sejumlah toko buku di
Bandung. Dari situ ketahuan,” katanya.<br /> <br />Dalam perjalanan proses kreatifnya, beberapa karya Yul telah dibukukan dan
diterbitkan di Medan, misalnya Rezim (Antologi Puisi Lima Penyair Demonstran),
Koin Satu Milyar (Antologi Cerpen Jurnalis Medan) dan Raja Tebalek: 10 Naskah
Teater ‘O’ USU, dan sebuah buku esai-esai sastra berjudul Senjakala Kritik
Sastra. Semuanya diterbitkan di Medan.<br /> <br />Tapi Yul sadar, mutu cetakan dan perwajahan penerbit lokal kerap kalah
“kelas” dibanding penerbit di Jawa. Di samping harga cetak yang lebih mahal.
Itu juga yang membuat sejumlah penulis Medan, sekalipun tahu ada berbagai
kelemahan, tetap melirik model penerbitan indie.<br /> <br />Penerbitan seperti ini telah menjadi alternatif di tengah lesunya
penerbitan buku-buku sastra di Medan yang mati suri itu.<br /> <br />“Sebenarnya untuk menghidupkan perbukuan sastra di Sumut, pemda perlu
membentuk dewan kurator,” usul Yul. Ini sebenarnya sudah lama diusulkannya.
Salah satu tugas dewan kurator nantinya menilai buku sastra terbaik dan
memberikan penghargaan untuk merangsang gairah penulis berkarya.<br /> <br />Sayang, suara Yul seperti juga yang berkali dikumandangkan banyak penulis
lain, hilang ditelan hiruk-pikuk suara klakson mobil yang telah membuat pekak
para petinggi pemerintahan di daerah ini.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2020/04/siapa-peduli-buku-sastra-medan/">http://sastra-indonesia.com/2020/04/siapa-peduli-buku-sastra-medan/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-90787012979801087642021-08-25T23:08:00.005-07:002021-08-25T23:08:29.776-07:00Cyber Sastra: Perlawanan terhadap Hegemoni dalam Sastra IndonesiaYulhasni *<br />balaibahasasumut.kemdikbud.go.id 17 Jan 2017<br /> <br />Dalam khazanah Sejarah Sastra Indonesia, perkembangan karya sastra selalu
identik dengan proses kreativitas yang mengikutinya. Sejak pertama sekali
Sastra Indonesia Modern diperkenalkan dalam panggung politik Indonesia, maka
sejarah kemudian mencatat beberapa bagian penting yang harus dipahami
masyarakat, yakni tokoh, waktu, dan peristiwa sastra. Dengan demikian, ruang
lingkup pembicaraan sastra tidak melebar terlalu jauh dan bisa dimaknai sebagai
lahirnya tanda-tanda dari proses kreatif tersebut.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Dari zaman Balai Pustaka yang ditandai dengan lahirnya novel fenomenal Siti
Nurbaya karangan Marah Rusli hingga lahirnya Angkatan 2000 yang dimaknai
kelahiran pengarang-pengarang perempuan Indonesia, khazanah Sastra Indonesia
selalu ditandai dengan berbagai persoalan ‘politik berkarya.’ Saya menyebut
politik berkarya karena proses penciptaan karya sastra cenderung
mempertontonkan penolakan terhadap gerakan mengatasnamakan sastra. Di
Indonesia, geger sastra sempat muncul ke permukaan akibar gerakan puisi esai
Denny JA yang kemudian bermuara masuknya nama ini dalam buku kontroversial
terbitan Pustaka HB Jassin ‘’33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.’’<br /> <br />Jauh sebelum geger sastra itu muncul, di berbagai daerah telah lahir
politik sastra dengan genderang perang Anti Jakarta. Konon kabarnya soal Jakarta dan non Jakarta
dalam khazanah sastra kita sudah cukup lama berlangsung bahkan dinilai sebagai
sesuatu yang ‘basi.’ Sekadar mengingatkan
memori kita tentang itu, pada dekade 1972-1973 Remy Silado yang berasal dari
Jawa Barat telah menolak dominasi itu lewat Gerakan Puisi Mbeling di majalah
Aktuil, kemudian ada gerakan Pengadilan Puisi di Bandung (1974), Proklamasi
Puisi Bebas oleh Grup Apresiasi Sastra ITB (1979), Emha Ainun Nadjib dengan
kumpulan esainya Sastra yang Membebaskan (1982), dan Perdebatan Sastra
Kontekstual di Solo (1984). Di akhir
1990, di luar Jakarta juga bermunculan komunitas-komunitas sastra dalam gerakan
kreativitas. Kita mengenal gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) oleh
Kusprihyanto Nama (Ngawi) dan Beno Siang Pamungkas di Solo, Masyarakat Sastra
Jakarta (MSJ) oleh Korrie Layun Rampan dan Slamet Sukirnanto, Komunitas Sastra
Indonesia (KSI) di Jabotabek yang dimotori Wowok Hesti Prabowo dkk, Komunitas
Gorong-gorong di Depok yang dimotori Sitok Srengenge, Teater Utan Kayu (TUK) di
Jakarta yang dimotori Gunawan Mohamad, Forum Lingkar Pena yang dimotori Helvy
Tiana Rosa, Yayasan Multimedia Sastra (YMS) yang dimotori Medy Loekito dkk,
Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY) oleh Puthut EA dkk, Komunitas Rumahlebah
oleh Raudal Tanjung Banua, komunitas Rumah Dunia yang dimotori Gola Gong, dan
banyak lagi komunitas-komunitas di berbagai daerah di Indonesia.[3]<br /> <br />Proses dan dinamika yang tergambar di atas saya letakkan sebagai politik
sastra. Ini dimaknai sebuah upaya penolakan atas berbagai dominasi satu
kelompok. Praktik hegemoni sastra sudah berlangsung cukup lama terutama sejak
bangsa ini mengenal baca tulis. Bahkan perlawanan terhadap dominasi tersebut
menandakan telah terjadi hegemoni dalam sastra Indonesia. Praktik hegemoni
tidak hanya dipraktikkan oleh kekuasaan (bangsa ini pernah mengalami distorsi
budaya saat karya-karya Hamka dibreidel Lekra dan karya-karya Pramudya Ananta
Toer dibakar Orde Baru).<br /> <br />Cyber Sastra : Perlawanan atas Kekuasaan<br /> <br />Gerakan cyber sastra atau karya sastra yang terbit di internet, sebenarnya
telah lama muncul di kurun waktu 90-an namun kemudian di tahun 2001 kembali
mencuat setelah terbitnya buku Graffiti Gratitude pada tanggal 9 Mei 2001.
Graffiti Gratitude merupakan buku antalogi puisi cyber. Penerbitan antalogi
tersebut dimotori oleh Sutan Iwan Soekri Munaf, Nanang Suryadi, Nunuk Suraja,
Tulus Widjarnako, Cunong, dan Medy Loekito. Mereka tergabung dalam satu yayasan
yaitu Yayasan Multimedia Sastra (YMS).[4]<br /> <br />Di luar medium konvensional cetak, internet menghadirkan cara distribusi
baru. Pada tahun 90-an muncul laman Cybersastra yang cukup aktif menerbitkan
karya maupun kritik. sayangnya laman ini sudah tidak aktif lagi. Posisi laman
ini dilanjutkan oleh laman Mediasastra yang, sayangnya, tidak terlalu aktif
dalam menerbitkan kritik. Banyak pula penulis pemula yang menulis ulasan,
apresiasi, maupun kritik dalam blog pribadi. Belakangan muncul pula grup-grup
di sosial media yang khususkan dalam mendiskusikan sastra koran (di Facebook
misalnya, ada grup sastra koran minggu yang mengumpulkan cerpen, puisi, dan
esai yang dimuat dalam koran minggu). Medium internet sebenarnya menawarkan
kemajuan dalam kritik sastra; ia lebih mudah diakses, tidak terbatas dalam
panjang tulisan, memungkinkan lebih banyak kritikus yang muncul, serta
memungkinkan diskusi yang lebih intens. Namun, pada nyatanya, tulisan di
internet belum punya otoritas sebagaimana cetak. Banyak kritik sastra dalam
laman blog pribadi memiliki masalah dalam hal penulisan dan penyuntingan; dari
susunan kalimat yang berantakan, kedodoran dalam hal rujukan, argumentasi yang
tidak runtut, kurangnya perspektif kritis, atau bahkan tidak punya ide tulisan
sama sekali.[5]<br /> <br />Kehadiran gerakan cyber sastra memunculkan pro dan kontra. Dalam buku yang
dieditori Saut Situmorang terangkum berbagai reaksi negatif dan positif
kehadiran gerakan tersebut.[6] Ahmadun
Yosi Herfanda dalam artikelnya berjudul ”Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah”
secara terang-terangan menyebut puisi yang terbit di internet sebagai ’’tong
sampah.’’ Hal itu karena karya yang terbit di internet adalah jenis sastra yang
tidak bisa terbit di media cetak.[7] Bahkan tidak kurang garang, penyair
ternama Sutardji Coulzoum Bachri menyebutnya sebagai ’tai yang dikemas secara
menarik akan lebih laku dibandingkan dengan puisi yang dikemas secara
asal-asalan.’ Ia mengkritik cover buku tersebut yang dipandang kurang baik dan
tidak layak dijual.[8]<br /> <br />Begitu keras dan tajam ’penghinaan’ terhadap kehadiran sastra di internet tidak
serta merta kemudian mematikan kecederungan itu. Justeru karena tekanan yang
bertubi-tubi tersebut membuat sastra internet mendapat tempat tersendiri dalam
khazanah sastra Indonesia. Berbagai perlombaan bertajuk ’’sastra online’’
justeru marak di tanah air. Polemik kehadiran puisi internet ini kembali
menggiring perbincangan kepada kanonisasi dalam sastra Indonesia, sesuatu yang
telah lama diterapkan Belanda ketika membuat Komisi Bacaan Rakyat atau Balai
Pustaka di era tahun 20-an.<br /> <br />Kanonisasi dalam sastra Indonesia tersebut sejatinya tetap mendudukkan
adanya otoritas tertentu dari mereka yang mengklaim sebagai sastrawan. Padahal
dalam perkembangan karya sastra, otoritas tertinggi tersebut berada di tangan
pembaca. Radhar Panca Dahana menulis sastra semestinya dikembalikan pada
pembaca, baik secara teoretis maupun praktis. Jika sastra dibiarkan dalam
kondisi penyingkiran, yang terjadi hanyalah perebutan otoritas sastra di
kalangan sastrawan, penerbit, dan kritikus sastra.[9]<br /> <br />Sebenarnya polemik tersebut muncul ketika karya-karya tersebut diterbitkan
dalam bentuk buku. Saat karya tersebut muncul di internet, polemiknya tidak
menguat sebagaimana gerakan yang cenderung sering lahir dalam khazanah Sastra
Indonesia.<br /> <br />Munculnya sastra internet tentu berkait langsung dengan kemuncula internet
di Indonesia di kurun waktu 90-an.[10] Kemunculan internet ditengarai ikut
menumbuhkembangkan khazanah sastra Indonesia. Bahkan beberapa penulis ternama
muncul ke permukaan berawal dari internet, sepert Raditya Dika.[11]<br /> <br />Dapat dipahami bahwa sastra internet mau tidak mau akan mengalami sebuah
metamorfosis sebagai akibat berkembangnya jejaring sosial di tanah air. Siapa
pun hari ini, serta merta akan memperebutkan otoritas pembaca di facebook,
twitter, dan blog pribadi. Tentu saja problem terbesar kemudian adalah ujian
yang berada pada otoritas pembaca. Pengguna internet di Indonesia yang telah
menembus angka 88,1 juta jiwa memungkinkan kehadiran sastra internet mendapat
tempat tersendiri.[12]<br /> <br />Menuangkan gagasan dan ide di mana saja adalah hak pribadi setiap manusia.
Ide dan gagasan dalam bentuk apapun, sepertinya halnya sastra internet, membuka
ruang yang luas bagi tumbuhnya sastra alternatif yang ”memberontak” terhadap
kemapanan – terhadap estetika yang lazim—dan bukan hanya menjadi media
duplikasi dari tradisi sastra cetak. Sebab di sanalah tempat bagi semangat dan
kebebasan kreatif, yang seliar-liarnya sekalipun, yang selama ini tidak
mendapat tempat selayaknya di media sastra cetak, baik di rubrik sastra koran,
majalah sastra, maupun antologi sastra.<br /> <br />Kita menaruh hormat terhadap segala bentuk kreatifitas sastra. Berbagai
medium penyampaian gagasan mesti diletakkan sebagai gejala yang lumrah dalam
perjalanan kreatifitas pengarang. Sekarang kunci dari perjalanan itu harus diuji
oleh otoritas pembaca. Jutaan orang menggunakan internet, bahkan sekarang
digampangkan dengan teknologi telepon selular yang menyediakan berbagai
perangkat jejaring sosial. Apakah mereka itu pembaca karya sastra?<br />***<br /> <br />[1] Disampaikan pada Seminar Internasional ‘’Perkembangan Sastra Cyber di
Indonesia dan Malaysia’’ yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) bekerjasama dengan E-Sastra
Management Interprise, Aula UMSU 19 September 2015.<br />[2] Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU<br />[3] Yulhasni, Jangan Pernah Percaya Jakarta, Analisa, 9 Desember 2012<br />[4] Nanang Suryadi, dkk. 2001. Graffiti Gratitude (Sebuah Antologi Puisi Cyber). Angkasa :
Bandung<br />[5] Yovanta Arief : Kritik Sastra dan Sastra Populer dalam Lembar Kebudayaan
Indoprogress Edisi 18, 2014.<br />[6] Situmorang, Saut (Ed.). 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk.
Yogyakarta : Jendela<br />[7] Herfanda, Ahmadun Yosi. 2004. “Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah”
dalam Cyber Grafitti Polemik: Sastra Cyberpunk. Saut Situmorang (Editor).
Yogyakarta: Jendela.<br />[8] Semboja, Asep. 2008. ”Peta Politik Sastra Indonesia (1908-2008)”. Dalam
Anwar Efendi (Ed.). Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta:
Tiara wacana.<br />[9] Radhar Panca Dahana. 2001. Kebenaran dan Dusta Dalam Sastra. Jakarta :
Indonesia Tera.<br />[10] Berdasarkan catatan whois ARIN dan APNIC, protokol Internet (IP)
pertama dari Indonesia, UI-NETLAB (192.41.206/24) didaftarkan oleh Universitas
Indonesia pada 24 Juni 1988. RMS Ibrahim, Suryono Adisoemarta, Muhammad Ihsan,
Robby Soebiakto, Putu, Firman Siregar, Adi Indrayanto, dan Onno W. Purbo
merupakan beberapa nama-nama legendaris di awal pembangunan Internet Indonesia
pada tahun 1992 hingga 1994. Masing-masing personal telah mengontribusikan
keahlian dan dedikasinya dalam membangun cuplikan-cuplikan sejarah jaringan
komputer di Indonesia.<br />[11] Raditya Dika mengawali keinginan untuk membukukan catatan hariannya di
blog pribadinya saat ia memenangi Indonesian Blog Award. Dari pengalaman itu,
ia mencetak tulisan-tulisannya di blog kemudian ia menawarkannya ke beberapa
penerbit untuk dicetak sebagai buku. Awalnya banyak yang menolak, tapi kemudian
ketika ia ke Gagasmedia, sebuah penerbit buku, naskah itu diterima, meski harus
presentasi dahulu. Ia sukses menjadi penulis dengan keluar dari arus utama
(mainstream). Ia tampil dengan genre baru yang segar.<br />[12] Menurut data yang dirilis oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia), jumlah pengguna internet pada tahun 2014 sebesar 88,1
juta. Angka tersebut naik dari 71,2 juta di tahun sebelumnya.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Penulis adalah esais, cerpenis, dan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Provinsi Sumatera Utara. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/cyber-sastra-perlawanan-terhadap-hegemoni-dalam-sastra-indonesia/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/cyber-sastra-perlawanan-terhadap-hegemoni-dalam-sastra-indonesia/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-6603270382432376452021-08-25T17:12:00.006-07:002021-08-25T17:12:58.388-07:00SASTRA TERDEPAN DAN SASTRA TERBELAKANG<b>---mengenang Budi Darma---</b><div><b><br /></b> <a href="https://1.bp.blogspot.com/-CcH5kKZxAn0/YSbcXugsMcI/AAAAAAAABRA/c_LgDSe8PvEa2OZf_S3ZWXsT1eyek_bNgCLcBGAsYHQ/s340/Sastrawan%2BFatah%2BYasin%2BNoor.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="340" data-original-width="336" height="320" src="https://1.bp.blogspot.com/-CcH5kKZxAn0/YSbcXugsMcI/AAAAAAAABRA/c_LgDSe8PvEa2OZf_S3ZWXsT1eyek_bNgCLcBGAsYHQ/s320/Sastrawan%2BFatah%2BYasin%2BNoor.jpg" width="316" /></a><div>(Wajah Sastrawan Fatah Yasin Noor)<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Taufiq Wr. Hidayat<br /> <br />Fanton Drummond---dengan tak sengaja, berjumpa Olenka. Ia berjumpa Olengka
dalam lift di Apartemen Tulip Tree.<br /> <br />“Siapa Fanton Drummond itu?” tanya Jiobet Darmawan.<br /> <br />“Yang jelas dia adalah manusia. Bukan yang lain. Gemar membaca karya sastra
terdepan, juga menggemari sastrawan-sastrawan terdepan,” jawab Penyair
Matjalut.<br /> <br />“Uraikan perihal sastra terdepan. Juga tolong jelaskan perihal sastrawan
terdepan.”<br /> <br />“Itu akan dijelaskan nanti. Panjang. Penuh teori. Dan logika. Nanti setelah
saya ceritakan perihal kisah asmara Fanton Drummond dan Olenka dalam orang yang
bernama Budi Darma.”<br /> <br />“Baiklah.”<br /> <br />Menurut Penyair Matjalut, Fanton Drummond adalah manusia biasa. Manusia
biasa yang lancang mengintip dan mencintai istri orang serta mengkhayalkan
istri orang tersebut dengan khayalan yang bukan-bukan. Mesum. Dan bejat. Istri
orang itu bernama Olenka. Olenka hanya perempuan biasa. Kebetulan perempuan
yang gemar melukis. Belakangan Olenka kena kasus pemalsuan lukisan, dan
didapati polisi sedang sekarat di kamarnya. Meski Fanton Drummond gemar membaca
buku-buku sastra yang berat-berat, dia tak memalsukan karya sastra seperti
Olenka memalsukan lukisan.<br /> <br />“Sastra berat itu seperti apa?” tanya Jiobet Darmawan.<br /> <br />“Sastra berat itu tidak sama dengan sastra ringan. Kamu harus tahu,” jawab
Penyair Matjalut sambil menghisap rokoknya.<br /> <br />“Coba jelaskan.”<br /> <br />“Sastra berat itu membingungkan. Kalau kamu membaca sastra, lalu kamu
bingung, bisa ditebak yang kamu baca adalah sastra berat. Sedang kalau kamu
baca sastra, tapi tidak bingung, bisa diterka itu cuma sastra ringan. Sastra
sampah yang tidak bisa didaur ulang.”<br /> <br />“Apakah hanya begitu perbedaannya?”<br /> <br />“Cukup itu.”<br /> <br />“Apa kaitannya dengan Fanton Drummond yang menurutmu adalah narator ulung
dalam Budi Darma?”<br /> <br />“Tidak ada. Hanya saja kebetulan Fanton Drummond gemar membaca karya
sastra. Menjalin hubungan terlarang dan kurang ajar dengan perempuan yang
bernama Olenka. Anehnya. Olenka adalah perempuan yang menelanjangi dirinya
sendiri di dalam pikiran-pikiran Fanton Drummond.”<br /> <br />“Lantas apa kaitan kliping-kliping koran itu?”<br /> <br />“Kliping-kliping koran itu sebenarnya tak ada urgensinya dengan Olenka dan
Fanton Drummond.”<br /> <br />“Kenapa kliping-kliping itu disimpan kalau tak terkait dengan Olenka dan
Fanton Drummond.”<br /> <br />“Itu hanya keisengan. Keisengan yang pada waktu itu mendapat tempat. Tapi
itu pula yang menimbulkan kelainan pada keberadaan Olenka dan Fanton Drummond.”<br /> <br />“Penjelasanmu semakin membingungkan, Penyair Matjalut.”<br /> <br />“Jelas membingungkan. Karena inilah perkataan sastra berat. Dan saya adalah
penyair berat. Bukan golongan penyair ringan. Membingungkan. Tapi juga membuat
kelainan. Kelainan yang sebenarnya tak ada kaitannya dengan kebingungan itu
sendiri.”<br /> <br />“Sampai di sini saya tambah bingung.”<br /> <br />“Bagus. Itu artinya ini perkataan sastra terdepan dengan penyair terdepan.
Bukan sastra dan penyair yang terbelakang.”<br /> <br />Anehnya, Penyair Matjalut juga bingung dengan dirinya sendiri. Keduanya pun
bingung. Tapi kemudian sama-sama minum kopi. Agaknya kopi tak bisa meredakan
kebingungan keduanya. Malam semakin larut. Dan entah di mana, Fanton Drummond
tengah memikirkan sastra terdepan, tokoh sastra berpengaruh seperti alkohol,
atau penghargaan sastra bergengsi seperti roti. Di dalam pikiran Fanton
Drummond ada Olenka. Membayangkan dengan lancang dan kurang ajar, meniduri
Olenka yang adalah istri orang. Suami Olenka adalah penulis sastra. Ke
mana-mana dan di mana-mana, suami Olenka mengaku sebagai seorang pengarang.
Pengarang hebat sehebat-hebatnya. “Perkenalkan, saya adalah pengarang hebat.
Sastrawan berpengaruh dengan sastra terdepan. Bukan sastra terbelakang. Menulis
banyak sastra kanon. Dan hanya menghasilkan sastra kanon atau kanon sastra,”
katanya.<br /> <br />Meski menjalani asmara yang gagal karena berkali-kali cintanya ditolak,
Fanton Drummond tidak memprotes Budi Darma sampai kapan pun. Fanton Drummond
bersyukur menjadi tokoh sejarah, meski dibangun dari barat atau Amerika. Barat
atau Amerika disebut dan dielu-elukan sebagai yang sungguh-sungguh keren dan
luar biasa. Menurut Penyair Matjalut, sastra yang berbau barat, atau kiri dan
latin, termasuk sastra berat dan dianggap terdepan. Jika penghargaan sastra
sudah disematkan di dada penyair, disebut penyair berpengaruh besar
sebesar-besarnya.<br /> <br />Seringkali Penyair Matjalut tertawa dengan anggapan dan pikiran-pikirannya
sendiri. Tapi Penyair Matjalut segera melupakan semua itu dengan kopi dan
rokok. Kebutuhan makan dan rokok, kopi dan pulsa jauh lebih merepotkan Penyair
Matjalut daripada perihal semua omong kosong itu.<br /> <br />“Penyair gombal!” ucap Jiobet Darmawan.<br /> <br />“Hahaha! Peradaban terancam rusak dan kesusastraan sedang diserbu tukang
batu, kau masih bercanda!” ujar Penyair Matjalut.<br /> <br />“Omong kosong apa lagi, Penyair Matjalut?”<br /> <br />“Kau harus tahu. Orang bernama Rafilus dalam kisah Budi Darma itu bisa mati
dua kali. Hidupnya sangat lamban. Dan membosankan. Rafilus menerima surat dari
petugas pos bernama Munandir.”<br /> <br />“Apakah Rafilus menjelaskannya?”<br /> <br />“Ya! Semua orang di situ menjelaskan dirinya sendiri. Menunjukkan
prestasinya sendiri. Menampilkan kehebatannya sendiri. Menyebut dirinya
sendiri. Memamerkan dirinya sendiri. Bahkan menghargai dirinya sendiri dan
menyebut dirinya sendiri berprestasi, berpengaruh, dan paling unggul. Tapi
ingat! Dalam setiap pengakuan itu, mereka munafik. Dan seringkali berbohong
alias gombal. Meski sebenarnya keberadaan mereka banyak dijelaskan oleh orang
yang bernama Tiwar.”<br /> <br />“Siapa Tiwar? Apakah dia juga narator ulung? Ataukah dia sastrawan mashur
semashur-mashurnya yang sangat berpengaruh secara internasional?”<br /> <br />“Dengarkanlah, wahai Jiobet Darmawan.”<br /> <br />Penyair Matjalut mengisahkan. Menurut Penyair Matjalut, orang bernama Tiwar
memang bercerita. Tapi rupanya orang harus pula tahu, di situ ada Jumarup yang
congkak, katanya. Orang kaya yang selalu ingin dipuja, membeli pujian-pujian
dengan uang. Dengan kekayaannya, Jumarup mengkhitankan anaknya. Tapi tak satu
pun orang yang diundang oleh Jumarup dapat melihat Jumarup. Sedang Jumarup dapat
mengamati para tamu dengan kamera pengintai. Zaman itu, kamera pengintai hanya
dimiliki Jumarup. Teknologi belum membuat kamera pengintai. Jumarup tidak mau
menemui tamu-tamunya. Barangkali bagi Jumarup, tamu-tamu itu tidak setara
dengan dirinya, mereka hanya kumpulan kebo yang melarat. Tidak layak bertemu
dan berbincang dengan Jumarup yang kaya, terhormat, dan sangat berpengaruh.<br /> <br />“Itu mirip sastrawan terdepan, atau sastrawan berat dengan ilmu-ilmu
filsafat dan kiri. Tapi kadang-kadang ke kanan. Sastrawan hebat atau sastrawan
terdepan yang berpengaruh itu merasa tidak layak berbincang dengan sastrawan
terbelakang yang tidak berpengaruh. Percis Jumarup. Padahal Penyair Besar masih
mau berbincang, bahkan menginap di gubuk Penyair Kecil,” terang Penyair Matjalut.<br /> <br />“Apakah benar Penyair Besar bisa bertemu dan berjabat tangan dengan Penyair
Kecil?” tanya Jiobet Darmawan.<br /> <br />“Benar. Apa benar? Ya benar!”<br /> <br />“Bagaimana Penyair Kecil tahu kalau yang ia salami adalah Penyair Besar?”<br /> <br />“Jelas tahu. Ketika Penyair Besar datang ke daerah. Di jalan-jalan
terpampang tulisan ucapan penyambutan besar-besaran terhadap kedatangan Penyair
Besar, berbunyi: SELAMAT DATANG. SELAMAT DAN SUKSES PENYAIR BESAR. Agaknya
tulisan besar itu memakai huruf-huruf kapitalis.”<br /> <br />“Huruf-huruf kapitalis?”<br /> <br />“Maksudnya huruf-huruf besar. Ada puisi besar dan ada puisi kecil. Sastra
berbobot dan sastra tak berbobot. Penyair berpengaruh. Dan penyair non-pengaruh
alias penyair tidak punya pengaruh. Lokal, interlokal, dan internasional.
Karena Penyair Besar gemar berjabat tangan, maka diadakanlah acara oleh
panitia, berjudul: “Jabat Tangan dengan Penyair Besar”. Itu jelas telah
melanggar protokol kesehatan!”<br /> <br />“Penyair gombal!”<br /> <br />“Hahaha!”<br /> <br />“Hahaha!”<br /> <br />Tembokrejo, 2021<br /> <br />kisah ini seharusnya bukan fiksi.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/sastra-terdepan-dan-sastra-terbelakang/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/sastra-terdepan-dan-sastra-terbelakang/</a></span></p>
</div></div>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-12982497006613117682021-08-24T19:56:00.001-07:002021-08-24T19:56:05.666-07:00Mengenang BUYA HAMKA dan Tenggelamnya Kapal Van der WijckAhmad Gaus<br />ahmadgaus.com<br /> <br />Terlalu gegabah menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di
Senen. – HB Jassin.<br />(Berikut adalah esai untuk mengenang Buya Hamka yang wafat pada tanggal 24
Juli 1981 dalam usia 73 tahun. Beliau almarhum adalah seorang ulama dan
sekaligus sastrawan besar yang dimiliki bangsa kita. Selamat membaca).<span><a name='more'></a></span><br /> <br />ADA CERITA menarik dari Kutaraja (kini Banda Aceh). Setiap Rabu malam,
orang-orang berkerumun di stasiun kereta menunggu kiriman majalah Pedoman
Masjarakat yang terbit di Medan. Mereka bukan hanya agen penjual majalah itu,
tapi juga ratusan pembaca yang tidak sabar ingin membaca kelanjutan kisah
“Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” yang dimuat di majalah itu secara bersambung
pada 1938.1] Penulis cerita bersambung itu ialah Hamka, nama lengkapnya Haji
Abdul Malik Karim Amrullah, yang juga pengasuh dan pendiri majalah mingguan
Pedoman Masjarakat.<br /> <br />Hamka menuturkan bahwa ia mendapat banyak surat dari pembaca—atau tepatnya,
penggemar—cerita Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Sebagian surat itu berisi
pengungkapan kesan mereka setelah membaca kisah cinta tragis antara Zainuddin
dan Hayati yang dikungkung adat dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
“Seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri,” tulis seorang pemuda dalam
suratnya.2]<br /> <br />Berdasarkan masukan dari berbagai pihak, cerita bersambung itu akhirnya
diterbitkan dalam bentuk novel dengan judul yang sama pada 1939. Hamka menulis
novel itu berdasarkan kisah nyata tentang kapal Van Der Wijck yang berlayar
dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Tanjung Priok, Jakarta, dan
tenggelam di Laut Jawa, timur laut Semarang, pada 21 Oktober 1936. Peristiwa
itu kemudian diabadikan dalam sebuah monumen bersejarah bernama Monumen Van Der
Wijck yang dibangun pada tahun 1936 di Desa Brondong, Kecamatan Brondong,
Kabupaten Lamongan, sebagai tanda terima kasih masyarakat Belanda kepada para
nelayan yang telah banyak membantu saat kapal itu tenggelam. Dan Hamka
mengabadikannya dalam sebuah novel.<br /> <br />Walaupun peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck itu benar-benar
terjadi, kisah yang ditulis Hamka dalam novel itu tentu saja fiksi belaka.
Sebagaimana umumnya karya sastra yang baik dibangun di atas serpihan kejadian
nyata, Hamka pun mengolah tragedi yang memilukan itu dalam kisah fiksi yang
diberi badan peristiwa konkret dengan plot yang apik sehingga imajinasi
pembacanya memiliki pijakan di dunia faktual. Karakter utamanya (Zainuddin,
Hayati, dan Aziz) seolah pribadi-pribadi yang benar-benar hidup dan mewakili
potret kaum muda pada masa itu ketika mereka berhadapan dengan arus perubahan
sementara kakinya berpijak pada adat dan tradisi.<br /> <br />Kepiawaian Hamka dalam menyampaikan kritiknya atas tradisi boleh jadi
melanjutkan kesuksesan pendahulunya Marah Rusli dalam roman Siti Nurbaya yang
melegenda itu. Keduanya juga sama-sama berkisah tentang adat dan kawin paksa.
Dan keduanya berujung kematian tokoh-tokoh utamanya. Bedanya, Siti Nurbaya
menimbulkan dampak yang sangat kuat dan melintasi zaman karena ide ceritanya
itu sendiri, sementara Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck melahirkan guncangan
keras karena kontroversi yang menyertai ide cerita. Siti Nurbaya adalah kisah
cinta di atas panggung tradisi. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga kisah
cinta yang sama namun sekaligus kisah tentang kesusastraan di pentas
pertarungan politik. Belum pernah ada perdebatan yang begitu keras tentang
sebuah novel melebihi karya Hamka ini. Novel ini dituduh sebagai plagiat dari
novel Majdulin karya Mustofa Lutfi al Manfaluti (sastrawan Mesir), yang
merupakan saduran dari novel Sous les Tilleuls (‘Di Bawah Pohon Tilia’) karya
Alphonse Karr (sastrawan Prancis).3]<br /> <br />Sebagaimana novel Siti Nurbaya, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga
berkisah tentang cinta yang tak sampai. Tokoh utamanya, Zainuddin, adalah anak
dari Pendekar Sutan yang diasingkan ke Cilacap karena membunuh mamaknya dalam
sebuah perselisihan harta warisan. Setelah bebas ia pergi ke Makassar dan di
kota ini menikah dengan Daeng Habibah. Dari pernikahan inilah lahir Zainuddin.
Setelah orangtuanya meninggal, Zainuddin pergi ke Batipuh, Padang Panjang, yang
merupakan kampung halaman ayahnya. Sayangnya, di sana ia tidak diperlakukan dengan
baik karena dianggap bukan anak Minang. Maklum walaupun ayahnya seorang Minang,
ibunya orang Bugis sehingga putuslah pertalian darah menurut garis matrilinear
yang bernasabkan kepada ibu.<br /> <br />Sungguhpun begitu Zainuddin menjalin cinta dengan Hayati, gadis Minang yang
prihatin terhadap nasibnya dan sering mencurahkan kesedihan hatinya kepada
Hayati. Sebagai gadis keturunan bangsawan, tentu saja keluarga Hayati
mencegahnya berhubungan dengan Zainuddin yang bukan orang Minang dan tidak
jelas pula masa depannya. Keluarga Hayati memilih Aziz yang asli Minang dan
berasal dari keluarga terpandang. Hayati harus tunduk pada kesepakatan
keluarga, walaupun hatinya condong pada Zainuddin.<br /> <br />Zainuddin menganggap Hayati telah berkhianat. Akhirnya dengan membawa
perasaan luka ia pergi ke Jakarta, kemudian pindah ke Surabaya. Sementara itu
Hayati dan Aziz yang telah menikah juga pergi ke Surabaya dan tinggal di sini
karena alasan pekerjaan. Tanpa sengaja, dalam suatu acara keduanya bertemu
dengan Zainuddin yang telah menjadi orang sukses. Sedangkan kehidupan ekonomi
Aziz dan Hayati semakin lama semakin memburuk. Aziz jatuh miskin sampai-sampai
ia dan istrinya harus menumpang di rumah Zainuddin. Tak tahan menahan
penderitaan, Aziz akhirnya bunuh diri dan sebelumnya meninggalkan pesan agar
Zainuddin menjaga Hayati.<br /> <br />Zainuddin yang pernah dikhianati merasa sulit untuk menerima kembali
Hayati. Perasaan cinta yang masih menyala dicoba untuk dipadamkan. Bahkan ia
meminta Hayati untuk kembali ke kampung halaman di Batipuh, walaupun wanita itu
merajuknya: “Tidak Hayati ! kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkan saya
dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang
hidup saya , orang tak tentu asal ….Negeri Minangkabau beradat !…..Besok hari
senin, ada Kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Periuk, akan terus ke
Padang! Kau boleh menumpang dengan kapal itu, ke kampungmu”. (hal. 198)<br /> <br />Hayati pun pulang dengan menumpang kapal Van Der Wijck. Namun nasib malang
menimpanya. Kapal yang ditumpanginya tenggelam di Laut Jawa. Zainuddin yang
mendengar berita itu langsung menuju rumah sakit di Tuban. Sayang nyawa Hayati
tidak dapat diselamatkan. Sejak peristiwa itu Zainuddin sering mengalami sakit
sampai akhirnya meninggal dan dimakamkan di samping pusara Hayati.<br /> <br />Ujung cerita tragis tampaknya menjadi pilihan untuk menyampaikan pesan
bahwa cinta yang merupakan pangkal kebahagiaan seseorang sering dikorbankan
demi martabat keluarga atau keturunan. Novel ini ditulis sebagai kritik
terhadap beberapa tradisi dalam adat Minang saat itu yang tidak sesuai dengan
dasar-dasar Islam ataupun akal budi yang sehat.4] Penulisnya sangat berwenang
melakukan itu karena ia hidup dalam kumparan masa tersebut. Sehingga ia bukan
hanya merekam sejarah, melainkan juga sang pelaku yang fasih dengan kultur
masyarakat Minang dan perubahannya pada zaman itu.5]<br /> <br />Sejak awal novel ini diterbitkan berpindah dari satu penerbit ke penerbit
lain. Mula-mula penerbit swasta, kemudian mulai tahun 1951 oleh Balai Pustaka.
Lalu pada tahun 1961 oleh Penerbit Nusantara. Hingga tahun 1962 novel ini telah
dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Setelah itu penerbitannya diambilalih
oleh Bulan Bintang.6] Tidak hanya di Indonesia, Van Der Wijck juga berkali-kali
dicetak di Malaysia. Hingga kini novel ini terus dicetak, bahkan tahun ini
(2013) novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini sedang dibuat film layar
lebarnya.<br /> <br />Reaksi negatif dari sejumlah pembaca Muslim telah muncul saat pertama novel
ini diterbitkan. Mereka menolak membacanya dan mengatakan bahwa seorang ulama
tidak sepatutnya mengarang cerita tentang percintaan. Dalam sebuah tulisan di
Pedoman Masyarakat No. 4 1938, Hamka seolah membela diri menyatakan bahwa tidak
sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya seperti roman tahun
1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa,
poligami, dan bahaya pembedaan kelas.7]<br /> <br />Tidak berhenti di situ, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menghadapi batu
sandungan lebih keras pada 1962, yakni 24 tahun sejak pertama diterbitkan.
Seorang penulis bernama Abdullah SP membuat esai berjudul “Aku Mendakwa Hamka
Plagiat” yang dimuat di Harian Bintang Timur 7 September 1962. Dalam esai itu
ia menilai bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ialah hasil jiplakan dari
novel Magdalena karya sastrawan Mesir Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi yang juga
hasil saduran dari novel Sous les Tilleuls karya pengarang Prancis, Alphonse
Karr.<br /> <br />Untuk membuktikan tuduhannya Abdullah SP membuat perbandingan dengan metode
“idea-script” dan “idea-sketch” yang menjajarkan dua novel itu secara detail
dalam bentuk tabel perbandingan. Metode perbandingan semacam ini baru pertama
dilakukan sepanjang sejarah sastra Indonesia. Dan dari hasil perbandingan itu
Abdullah SP menemukan banyak kemiripan, sehingga ia menuduh Hamka sebagai
plagiator. Karuan saja tuduhan itu memicu polemik, lebih-lebih serangan
terhadap Hamka tidak berhenti pada esai tersebut melainkan berlanjut dengan
dibuatnya kolom khusus di Harian Bintang Timur yang berjudul “Varia Hamka”
dalam lembaran kebudayaan Lentera yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer.<br /> <br />Kasus ini terus bergulir menjadi polemik lantaran muncul pada era
pertentangan ideologi yang cukup keras antara kubu seniman kiri Lekra versus
kubu Manifes Kebudayaan. Para sastrawan Manifes Kebudayaan membela Hamka dari
tuduhan para seniman Lekra. Kedudukan Hamka sebagai anggota Masyumi (Majelis
Syuro Muslimin Indonesia), partai yang dilarang oleh Presiden Soekarno pada
Agustus 1960, memperkeras polemik dan membawanya ke ranah politik—bukan semata
polemik sastra. Lekra banyak menentang agama. Oleh sebab itu, Hamka yang
merupakan ulama dianggap sebagai salah satu target penting.8] Kubu Abdullah SP
(yang konon adalah nama samaran dari Pramoedya Ananta Toer sendiri) berhadapan
dengan kubu HB Jassin bersama para sastrawan yang ikut membela Hamka yakni Anas
Makruf, Ali Audah, Wiratmo Soekito, Asrul Sani, Rusjdi, Umar Junus, Soewardi
Idris, dan lain-lain.<br /> <br />Serangan terhadap Hamka berlangsung berbulan-bulan “dengan bahasa yang
sangat kasar dan tak layak sama sekali dimuat dalam ruang kebudayaan Lentera
dan telah menjadi fitnah terhadap pribadi dan keluarga sastrawan tersebut.”9]
Dalam sebuah pembelaannya terhadap Hamka, HB Jassin menulis bahwa Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck bukanlah karya plagiat. Menurutnya, yang disebut plagiat
adalah pengambilan karangan orang lain sebagian atau seluruhnya dan membubuhkan
nama sendiri seolah-olah kepunyaannya. Di samping plagiat, ada saduran, yaitu
karangan yang jalan ceritanya dan bahan-bahannya diambil dari suatu karangan
lain, misalnya cerita luar negeri disesuaikan dengan alam sendiri (Indonesia)
dengan mengubah nama-nama dan suasananya. Saduran itu pun harus disebutkan nama
pengarang aslinya. Selain “plagiat” dan “saduran”, ada juga “pengaruh”, yakni
hasil ciptaan pengarang sendiri mendapat pengaruh pikiran atau filsafat
pengarang lain, baik disengaja maupun tidak.<br /> <br />Menurut HB Jassin dalam pengantar buku Manfaluthi yang kemudian
diterjemahkan menjadi Magdalena (1963), memang antara dua novel itu terdapat
ada kemiripan plot, pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang mengingatkan
kepada Magdalena, tetapi ada pengungkapan sendiri, pengalaman sendiri,
permasalahan sendiri. Sekiranya ada niat pada Hamka untuk menyadur Magdalena
Manfaluthi, lanjutnya, maka kepandaian Hamka melukiskan lingkungan masyarakat
dan menggambarkan alam serta manusianya, kemahirannya melukiskan seluk-beluk
adat istiadat serta keahliannya membentangkan latar belakang sejarah masyarakat
Islam di Minangkabau, mengangkat ceritanya itu jadi ciptaan Hamka sendiri.<br /> <br />Atas dasar itu, Jassin berpandangan bahwa karya Hamka bukan plagiat atau
jiplakan, karena Hamka tidak hanya menerjemahkan dan membubuhkan nama sendiri
dalam terjemahan itu, melainkan ia menciptakan karya dengan seluruh
kepribadiannya. Karena itu, “terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat
seperti meneriaki tukang copet di Senen.”<br /> <br />Bagaimana sikap Hamka sendiri atas kasus yang menimpanya. Dalam majalah
Gema Islam (1962) ia menulis: “Tjatji maki dan sumpah-serapah terhadap diri
saja dengan mengemukakan tuduhan bahwa buku Tenggelamnja Kapal Van der Wijck
jang saja karang 24 tahun jang lalu, adalah sebuah plagiat, atau djiplakan,
atau hasil tjurian atau sebuah skandal besar, tidaklah akan dapat mentjapai
maksud mereka untuk mendjatuhkan dan menghantjurkan saja. Dengan memaki-maki
dan menjerang demikian persoalan belumlah selesai.”<br /> <br />Hamka akhirnya memang lebih banyak bersikap pasif. Ia menyatakan bahwa kalau
ada orang yang menunggu-nunggu dirinya membalas segala serangan dan hinaan itu,
maka mereka akan lelah menunggu karena ia tidak akan membalas. Yang ia tunggu,
ujarnya, adalah terbentuknya satu Panitia Kesusastraan yang bersifat ilmiah,
yang apabila Panitia tersebut memandang perlu untuk menanyainya, maka ia akan
bersedia memberikan keterangan.<br /> <br />Pada tanggal 19 November 1962, Bintang Timur memuat pernyataan bahwa
redaksi menerima larangan dari Peperda (Penguasa Perang Daerah) agar persoalan
Hamka tidak dimuat lagi di lembar kebudayaan Lentera. Namun pro-kontra kasus
itu sudah terlanjur membesar sehingga larangan dari Peperda itu seolah dianggap
sepi. Polemik terus bergulir selama kurang lebih 3 tahun, sampai terjadinya
peristiwa yang disebut G30S/PKI 1965 yang benar-benar mengubur kasus tersebut.<br /> <br />Sisi lain yang menarik dari karya Hamka ialah pelabelan sastra Islam
padahal tidak satu pun ada petuah agama yang terkandung di dalamnya (secara
eksplisit). Baik di dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck maupun karya lainnya
yang terkenal seperti Di Bawah Lindungah Kabah dan Merantau Ke Deli, sastrawan
kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, ini sangat piawai
menyisipkan nilai-nilai keislaman secara implisit.<br /> <br />Hal ini berbeda dengan para penulis karya islami yang banyak bermunculan
akhir-akhir ini yang sangat gamblang menggunakan simbol-simbol Islam, bahkan
mengutip ayat-ayat Quran atau hadis, sehingga karya novel hampir menyerupai
kitab fikih. Pada Hamka, penyebutan kata Islam bisa dihitung dengan jari,
alih-alih mengutip Quran. Hal ini menarik perhatian kritikus sastra Jakob
Soemardjo. Ia menilai bahwa Hamka lebih mengutamakan substansi keislaman
ketimbang pemaparan tentang hukum-hukum Islam secara eksplisit. “Hamka
memasukkan nilai-nilai agama secara universal, sehingga umat di luar Islam juga
tertarik untuk menikmatinya,” kata Guru Besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) Bandung itu.10]<br /> <br />Mungkin karena sifatnya yang tidak verbalistik itulah maka karya-karya
Hamka menjadi abadi. Sampai wafatnya pada 24 Juli 1981, Hamka akan terus
dikenang sebagai pengarang yang berdedikasi pada kesusastraan di tanah air.
Kabar terakhir yang menggembirakan ialah bahwa selain akan difilmkan, novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
dan akan diterbitkan di Mesir. Buku Hamka ini merupakan langkah awal
penerjemahan buku-buku Indonesia ke dalam bahasa Arab.11]<br /> <br />Catatan:<br />1. Sebagaimana dituturkan kolega Hamka yang juga wartawan dan penulis
terkenal, M. Yunan Nasution, lihat: http://buyahamka.org/
mengenang-sastrawan-besar-hamka/.<br />2. “Hamka Menggebrak Tradisi”, Tempo, 19 Mei 2008.<br />3. Polemik mengenai kasus ini telah didokumentasikan, di antaranya dalam
buku: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dalam Polemik, editor Junus Amir Hamzah dengan
bantuan penuh HB Jassin (Jakarta: Mega Book Store, 1963); Aku Mendakwa Hamka
Plagiat! Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 oleh Muhidin M Dahlan (Yogyakarta:
ScriPtaManent dan Merakesumba, 2011).<br />4. HB Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I
(Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 63<br />5. “Hamka Menggebrak Tradisi”, Tempo, 19 Mei 2008.<br />6. Maman S. Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 168.<br />7. “Hamka Menggebrak Tradisi”, Tempo, 19 Mei 2008.<br />8. Maman S Mahayana, Oyon Sofyan, dan Ahmad Dian, Ringkasan dan Ulasan
Novel Indonesia Modern (Jakarta: Grasindo, 1995), hal. 78–79.<br />9. DS Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif
Lekra/PKI Dkk (Jakarta: Mizan, 1995), hal. 40, catatan kaki no. 1.<br />10. “Berdakwah Tanpa Mengajari”, Jurnal Nasional, 31 Agustus 2008.<br />11.
http://www.antaranews.com/berita/334814/novel-tenggelamnya-kapal-van-der-wijch-menyapa-pembaca-arab
diakses pada 14 Juni 2013.<br />***<br /> <br /><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck saya masukkan ke dalam buku saya
yang terbaru: 21 Karya Puncak Sastra Indonesia (1920-2012) yang sedang dalam
proses terbit. Kata Pengantar ditulis oleh budayawan, sastrawan, dan penyair
senior Leon Agusta. (Ahmad Gaus). <a href="http://sastra-indonesia.com/2017/09/mengenang-buya-hamka-dan-tenggelamnya-kapal-van-der-wijck/">http://sastra-indonesia.com/2017/09/mengenang-buya-hamka-dan-tenggelamnya-kapal-van-der-wijck/</a></span><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-84469003286788247502021-08-23T20:56:00.006-07:002021-08-23T20:56:57.030-07:00RAHASIA SEKUNTUM YONI<span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Iva Titin Shovia *</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Sekuntum Yoni dari Desa Panawijen</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ken Dedes putri Mpu Purwa sang pendeta</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Di Tumapel, beredar langgam tentang elok sang puspa</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Tunggul Ametung, akuwu di ujung senja tergoda</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Melupa tata krama, sang dewi diboyong tanpa pamit</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Mpu Purwa, mengutuk sengit<span><a name='more'></a></span></span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">“Dunia takkan lagi kau rasa nikmat</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Di ujung keris, nyawamu telah kuikat</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Panawijen, keringlah sumur-sumurnya</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Tak keluar air dari kolam-kolamnya!”</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Sekuntum Yoni, tak cocok pada lingga</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Meski ditahta permata dan sutera</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Juwita terkadang bermuram hati</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ke taman Boboji ia rendam sepasang kaki</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ken Arok, putra Ken Ndok bosan</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">menjadi begundal Bango Samparan</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Bertemu Lohgawe, brahmana pencari wajah wisnu</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Pada Ken Arok, garis emas ditemukan</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Diruwatlah sang pemuda mantan begal,</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Mengabdi pada Tunggul Ametung yang menanggung kutukan</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Di Boboji suatu hari</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">tersingkaplah tak sengaja rahasia sekuntum Yoni</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Biru bersinar, Ken Arok berbinar</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">“Wahai apa yang berpendar di antara dua jenjang kaki</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Mekar wangi, tak bisa aku menahan kisruh nurani.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Mpu Lohgawe, aku tak mampu</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Apakah kuambil saja Yoni itu untukku?</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Katamu inilah pertanda ia putri Nareswari</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Pemilik rahim di mana akan dilahirkan raja-raja negeri.”</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Dia milik Tunggul Ametung!</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Dia telah milik orang lain!</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ken Arok, sejak bayi dibuang ke pemakaman</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Lembong mendidiknya jadi penjudi dan berandalan</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Kasar berkelakuan, pada Mpu Gandring membentak-lawan</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">“Buatkan aku sebatang keris, jangan lama!</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Keris digdaya yang layak untuk calon raja.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Karena akan kusunting Nareswari jelita</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ken Dedes namanya.”</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Bilah keris harusnya setahun dipipih-tajamkan</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Bara mengolah besi menjadi jahannam</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ken Arok tak sabar, lima bulan tak sanggup menahan rindu Yoni</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Mpu Gandring ditusuk keris buatannya sendiri, mati</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Sebelum berhenti biji matanya berkedip, ia mengutuk pedih</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">“Takkan berhenti keris memakan nyawa, tujuh orang
jumlahnya</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Termasuk kau sendiri dan cucumu, Ken Arok serakah!”</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ah, ini demi cinta saja</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Dan rahasia sekuntum Yoni yang terbuka</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Kasihan, kasihan Kebo Hijo</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Mabuk arak, tergoda ia pada keris Mpu Gandring</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ken Arok menarikan kemenangan dalam gending</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">“Matilah kau Tunggul Ametung,</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Nyawa pertama tumbal keris Mpu Gandring</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Kupinjam tangan Kebo Hijo</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Agar Ken Dedes tak terlalu risau.”</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Nyawa kedua, Kebo Hijo</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Melayang sudah ditangan Ken Arok sang akuwu baru</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Sang penyelamat Tumapel dari makar sang pengawal</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Padahal inilah taktik cinta sepasang binal</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Ken Dedes, sekuntum Yoni akhirnya dimiliki</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Meski 3 bulan, merekah tumbuh calon jantan</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Milik Tunggul Ametung sebagai kenangan</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Panji Anengah, alias Anusopati</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Di tangannya nanti, jiwa Ken Arok dibasmi.</span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"> </span><br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">Lamongan, 16-06-2020</span><br /><p class="MsoNoSpacing" style="text-align: left;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Iva Titin Shovia, lahir tahun 1980, masih setia dengan
nama Titin Pardesi di Instagram. Tulisannya masuk dalam antologi: Ini Hari
Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, Nyala Abadi, September Love, Kubiarkan Kau
Terus Bercerita, Dongeng Cantik 300 Detik, Memoar Purnama Di Kampung Halaman,
dll. Antologi puisi tunggalnya berjudul “From Bibir with love” (2018), dan
“Lelaki Gandrung Takut Basah” (2019). Sedangkan kumpulan cerminnya, “Lelaki
Pemetik Embun” terbit tahun 2020. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/rahasia-sekuntum-yoni/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/rahasia-sekuntum-yoni/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-53211382638456596672021-08-23T19:19:00.005-07:002021-08-23T19:19:36.099-07:00 Zadie Smith (25 Oktober 1975 – )Nurel Javissyarqi<br /><a href="http://pustakapujangga.com/?p=318">http://pustakapujangga.com/?p=318</a><br /> <br />Zadie Smith nama lahirnya Sadie Smith, pengarang Inggris lahir di barat
laut London 25 Oktober 1975. Ibunya Yvonne McLean asal Jamaika berimigrasi ke
Inggris tahun 1969, ayahnya Harvey Smith dari perkawinan kedua. Masa kanak suka
berdansa, kala remaja aktris teater musikal, uang kuliahnya dari menyanyi jazz.
Ketika berusia 14 tahun mengubah namanya “Zadie.” Sekolah di Malorees SMP,
Hampstead Comprehensive School dan King’s College, Cambridge University demi
belajar sastra Inggris. Novel pertamanya White Teeth memenangkan Whitbread
First Novel Prize 2000,<span><a name='more'></a></span> novel bercorak realisme magis tersebut menggegerkan Inggris
sepanjang tahun 2000. Seperti Zadie sendiri, tokoh utama White Teeth seorang
London berdarah campuran yang lahir di pertengahan 1970-an. Adapun tokoh utama
novel keduanya The Autograph Man (2002), seorang warga London berdarah campuran
Yahudi-Cina. Zadie bertemu Nick Laird di Cambridge University, menikah tahun
2004 di Kapel King’s College. Novel ketiganya, On Beauty (2005) masuk nominasi
pemenang Booker Prize 2005. {dari Ensiklopedia Sastra Dunia, Anton Kurnia,
i:boekoe 2006 & //www.facebook.com/pages/Zadie-Smith/36287826148?v=info}<br />***<br /> <br />Terus terang aku belum pernah membaca sekelumit pun kalimah novelnya, namun
kan kucoba menelisiki dirinya atas pantulan tujuh foto di facebook-nya: Zadie
perempuan periang berdarah Jamaika, ada sekuntum bunga menyembul dari
fikirannya, hari esok cahaya matahari meresap ke dalam diri.<br /> <br />Langkah luwes dendangkan irama hayati, sorot matanya tajam menembus segala
benda memasuki ruang puitik. Dan sentuhan jemarinya tergarit kemeriahan,
lintangan alis menandas ketegasan, serupa ada makhluk gaib ikuti gerak-geriknya
berpantulan keyakinan.<br /> <br />Cahaya ketegaran menapaki tangga kemungkinan dilalui bersama masa purnama
segera tiba. Ada pesona tak luntur dari darah campuran sedarah seniman setiap
hari meradang demam pencarian, digodok jiwa terpanggang takjub perikehidupan.<br /> <br />Jarak pengamatannya selentik angin menggoyang taburkan makna, tapi
ketiba-tibaan datang hantu kenang membuyarkan renungan. Itu takkan lama sebab
tatapan jitu membelah bayang menambah pengetahuan terbit dari keraguan.<br /> <br />Kukira tiap karakter dalam novelnya kentara resapan pribadi tampak terang
pada ruangan, selukisan beruapan magis antara abstrak dan surealis. Umpama
beban panggung berwarna hitam, ditimpanya cahaya beraroma harum memasuki
penciuman terlambat dirasakan.<br /> <br />Langkah sederhana menegaskan sikap alami, saat tanyakan sesuatu dengan
ringan disertai naiknya alis sebulan sabit dijanjikan malam-malam dinanti. Yang
suka bergaul pandai bicara menelisiki ceruk jiwa-jiwa kehabisan tanpa kata-kata
kecuali menyetiai keterpencilan misterinya.<br /> <br />Zadie yakin masa depan telah digariskan nenek moyang, dirinya tinggal
melakoni yang tertitah serupa kuntuman kembang menunggu musim diedarkan mega,
biru langit gemintang malam, suara-suara jauh di balik pandang. Bunga takkan
mekar kecuali dibantu kaki-kaki kumbang cekatan, senyuman matang kuluman bibir
berkecup kesuntukan menentukan terjadi kemudian.<br /> <br />Zadie pengagum diri sendiri, betapa percaya mengukur sudut pandang
pewarnaan pantulan cahaya, hampir semua diperhitungkan seksama. Namun canda
tawanya buyarkan segala, atau ini keseimbangan debur ombak teratur menghantam
karang membelai bulir pasir, sewarna hitam-putih tonjolkan citra melunturkan
pesona mengada-ada.<br /> <br />Paras tercipta tempaan malam-malam terjaga, kegelisahan tidak kunjung
menepi, meski jiwa tegas menuwai arti mengejar makna dalam diri. Entah
kehati-hatian atau telah faham saat tercenung menghampiri persoalan serta
keteguhan mengagumkan.<br /> <br />Aku petik pendapat novelis bercorak realisme magis Gabriel Garcia Marquez;
“…sebuah kenyataan bukanlah yang tertulis di kertas, namun yang hidup dalam
diri kita dan menentukan saat-saat kematian sehari-hari yang tak terbilang
banyaknya, menjelma sumber kreativitas yang tiada pernah habis, penuh
penderitaan serta keindahan…”<br /> <br />Mungkin demikian ada kilatan tak terkendali saat berkarya, lesatnya
nyawa-nyawa perasaan dari eraman bathin memuntahkan darah kental sulit
dipercaya. Serta berlangsung menyusuri lorong bahasa menjelma hadirnya temuan
peperangan tiada habis menghampiri waktu-waktu percobaan abadi.<br /> <br />Sisi lain bermakna kesurupan pun ketegangan seolah tenang menawan
keganjilan yang rumit digambarkan, meski dalam kurun masa paling akrab. Atau
itulah cerminan jenaka bersenyum ceria dilepaskan jemari kata-kata, memperindah
menutupi cela-cela tak terjamah cahaya.<br /> <br />Dan ketenangan menentukan perimbangan kalimah, apakah tertunduk menghadap
bumi dengan angan melayang atau menatap langit bersimpan keganjilan. Kurasa
dunia kanaknya menuntun nurani ke laut perasaan derita sunyi ingatan pantai,
namun seolah hidup tanpa batas berlarian dendangan hati.<br /> <br />Berhenti sejenak sebelum kedewasaan pandang pemahaman meningkat tetapi
waktu kian lesat, hanya kesungguhan terpatri. Membaca buku dalam damai
menyingkap kelambu di balik tulisan mengarungi sejauh lemparan, kedipan
sukacita pula kebencian.<br /> <br />Catatan ini mengingatkanku pada penyair Wislawa Szymborska dan sutradara
Samira Makhmalbaf, memang tiada hubungan namun mungkin bersambung erat.
Setidaknya sama-sama menjalani realitas hayat beraura keluguan bathin memikat
di tengah jiwa kadang sontak digelandang badai pencarian menghadap matahari
benar-benar tenang.<br /> <br />Sebagai penutup kupetik perkataan Imre Kertesz; “Kelak ia harus bersandar
pada gambarannya sendiri tentang calon pembacanya, harapan-harapan yang ia rasa
berasal dari pembacanya, dan membayangkan pengaruh yang ingin dicapainya.”<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2009/12/zadie-smith-25-oktober-1975/">http://sastra-indonesia.com/2009/12/zadie-smith-25-oktober-1975/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-28152955276056325112021-08-23T19:16:00.006-07:002021-08-23T19:16:53.497-07:00Dimanakah Sastra Dunia?Nirwan Dewanto *<br />islandsofimagination.id<br /> <br />Kurang lebih empat dasawarsa lalu, kritikus sastra H.B Jassin berkata bahwa
sastra Indonesia adalah warga sastra dunia. Hari-hari ini tampaknya kita mesti
berkata bahwa pernyataan Jassin itu benar dalam satu hal: sastra dunia itu
milik kita, menjadi bagian dari kehidupan sastra Indonesia mutakhir. Apalagi di
zaman “globalisasi” sekarang! Paling tidak, dengan “sastra dunia” itulah para sastrawan
kita mempunyai ukuran baik-dan-buruk dalam mencipta dan menilai.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Ya, “sastra dunia.” Dengan tanda kutip. Sebab istilah itu sangat
bermasalah. Bagaimana mungkin kita tahu tentang sastra dunia jika itu berarti
karya-karya sastra yang ada di seluruh dunia dari berbagai zaman pula?<br /> <br />Pada suatu hari, saya bertanya kepada seorang penulis prosa yang suka
membanggakan diri mengenal sastra dunia: Apa yang Bung kenal tentang sastra
dunia?<br /> <br />Lalu ia menyebut nama-nama, antara lain, Haruki Murakami dan Roberto
Bolaño. Dan sejumlah penulis pemenang Hadiah Nobel dan Hadiah Man Booker dalam
sepuluh tahun terakhir. Tanpa penulis-penulis itu, katanya, kita akan miskin.<br /> <br />Tapi itu nama-nama yang ada di pasar, yang hot di toko-toko buku di seluruh
dunia (juga di Jakarta), begitulah jawab saya.<br /> <br />Saya bertanya lebih lanjut: Jadi buat Bung sastra dunia itu adalah
nama-nama pengarang yang didesakkan pasar buku dunia kepada kita? Lagipula itu
hanya buku-buku yang berbahasa Inggris, bukan?<br /> <br />Ketika dia mulai merah-padam, saya bertanya lagi: Apa Bung peduli pada pada
karya-karya sastra dari Lithuania, Pantai Gading, Laos, Ecuador, Vanuatu? Apa
kita peduli kepada karya-karya yang biarpun dianggap penting dalam bahasa-bahasa
nasional masing-masing, tetap tak tersedia terjemahan Inggrisnya?<br /> <br />Ia tercenung lama, dan jawaban kami adalah tidak. Sudah pasti tidak!<br /> <br />Maka di titik ini, kami berdua bersepakat bahwa kami tidak mengenal apa itu
sastra dunia. Maka, cuma ada “sastra dunia.”<br /> <br />Dengan cara yang sama kita bisa bertanya siapakah penulis dan pengulas
sastra di belahan bumi mana saja yang tahu sastra Indonesia? Jawabnya, sangat
mungkin adalah: Tidak ada. Atau, belum ada. Kecuali segelintir pakar yang
peduli kepada Indonesia—dan melihat sastra Indonesia sebagai bagian dari
perhatian mereka kepada Indonesia. Dan kita tahu pula, studi Indonesia di luar
negeri semakin susut jumlahnya. (Yang paling terkenal, seperti di Universitas
Leiden, bahkan sudah tutup.)<br /> <br />Baiklah. Kita kendurkan sedikit makna “sastra dunia”. Misalnya saja,
“sastra dunia” adalah sastra-sastra nasional atau regional yang mungkin dikenal
di kancah dunia. Dengan cara ini tampaknya kita bisa menggolongkan “sastra
dunia” berdasarkan seberapa jauh bahasa-bahasa pembawanya tersebar ke
belahan-belahan bumi.<br /> <br />Golongan pertama adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa
bekas kaum penjajah—bahasa-bahasa Prancis, Spanyol, Portugis
dan—terutama—Inggris. Lagipula, lembaga penerbitan di khazanah bahasa-bahasa itu
memang luar biasa kuatnya, sehingga jadilah mereka agen-agen globalisasi yang
kuat. (Maka kita paham kenapa sastra Argentina dan sastra Brasil mudah
ditangkap oleh industri perbukuan di dunia ini.)<br /> <br />Golongan kedua adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa yang
terpelihara sejak dari masa klasik ke masa modern—misalnya saja, bahasa-bahasa
Arab, Turki, Cina, Jepang. Sementara itu, minat dunia akademik di Barat
terhadap bahasa-bahasa ini juga sudah melembaga lantaran bangsa-bangsa yang
membawa bahasa-bahasa tersebut (pernah) telanjur kuat dalam sebaran agama,
perdagangan, dan diaspora terkait.<br /> <br />Golongan ketiga adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa Eropa
“pinggiran”—misalnya bahasa-bahasa Rusia, Finlandia, Swedia, Cek; bahkan bahasa-bahasa
Albania, Polandia, Lithuania. Mereka ini bukan hanya “saudara sepupu” Eropa
Barat; dalam lapangan seni budaya, mereka pernah menyumbang banyak kepada
gerakan modernisme artistik.<br /> <br />Golongan keempat adalah sastra-sastra dalam bahasa-bahasa setempat yang,
betapapun lebih terbaca luas di negeri-negeri bersangkutan, tertutup (kepada
dunia luar) oleh sastra berbahasa bekas-penjajah, misalnya Inggris. Ini kasus
untuk sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahas Hindi, Tamil, Telugu,
Mayalayam, Bengali, Urdu di anak benua India dan Pakistan, misalnya.<br /> <br />Golongan kelima adalah sastra-sastra nasional yang dijajakan oleh
bangsa-bangsa yang bersangkutan ke seluruh dunia, sebagai bagian dari kiprah
mereka sebagai kekuatan ekonomi dan budaya yang baru. Misalnya saja sastra
Korea Selatan dan Cina. (Sebagaimana kita tahu, Korea Selatan, adalah negeri
yang sangat bersistem mengembangkan ekonomi kreatif.)<br /> <br />Golongan keenam adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa
nasional yang tidak dikenal dunia; dan bangsa-bangsa yang bersangkutan pun
tidak menjalankan diplomasi budaya yang genah, yang bisa membuat hasil-hasil
seni dan sastra mereka dikenal masyarakat internasional. Sastra Indonesia
termasuk ke golongan ini.<br /> <br />Tak terkira jumlah karya sastra yang sudah dihasilkan oleh bangsa-bangsa di
dunia ini. Inilah lautan karya sastra yang keluasaannya tidak akan pernah
terjelajahi bahkan oleh mereka yang mengaku pakar sastra bandingan, apalagi
oleh pasa sastrawan yang mengaku kenal dengan “sastra dunia.”<br /> <br />Demikianlah, sastra dunia adalah rumah jagal sastra, jika saya boleh
meminjam istilah seorang pakar sastra bandingan bernama Franco Moretti. The
slaughterhouse of literature. Dalam sejarah sastra dunia sejak dulu hingga sekarang,
karya-karya yang dilupakan, lenyap, “dimatikan” dalam gelombang sejarah, jauh
lebih banyak daripada karya-karya yang masih dibaca. Sastra dunia adalah the
great unread, kata Moretti.<br /> <br />Demikianlah, yang dianggap besar di masa kini banyak yang diremehkan di
masanya sendiri. Yang dianggap berjaya di masa sekarang mungkin akan dilupakan
di masa-masa mendatang. Yang terkubur di zaman kemarin bisa saja naik ke puncak
di zaman esok. Yang dianggap penting di pasar dan dunia akademik mungkin akan
jadi sepele setelah para “agen pemasaran” itu berlalu, begitu juga sebaliknya.<br /> <br />“Sastra dunia” buat saya adalah sebuah perpustakaan mahabesar. Di situ
tersedia seluruh dokumentasi sastra-sastra nasional di dunia ini dari seluruh
zaman. Sayangnya para pustakawan di situ lebih banyak mengarahkan para
pengunjung ke sastra-sastra tertentu saja, yang berada di bagian yang bersih
dan terang cahayanya. Tidak ada seorang pustakawan pun yang tahu jalan menuju
rak sastra Indonesia nun di pojok gelap dan terpencil.<br /> <br />Tentu saja bangsa Indonesia bisa memilih sendiri karya-karya sastra apa
yang penting untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat pembaca di luar di
sana. Kenapa tidak?<br /> <br />Dan membawa sastra Indonesia ke gelanggang dunia adalah 1001 langkah yang
harus direncanakan dan ditempuh dengan cara saksama—dan dalam tempo yang tidak
sesingkat-seingkatnya. Terlibat sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Buchmesse
di tahun ini baru satu langkah belaka, barangkali hanya langkah kebetulan.
Bahkan jika kita nanti berhasil mengerjakan 1003 langkah pun, kaidah “rumah
jagal sastra” tetap akan berlaku bagi sastra-sastra mana pun di dunia ini.<br /> <br />Menerjemahkan ke bahasa-bahasa asing; menarik minat para ahli, agen,
penerbit, media dan pembaca mancanegara; bergiat dalam berbagai “diplomasi
kebudayaan” yang genah, dan seterusnya—semua itu memerlukan kerja dan komitmen
(dan dana) yang sinambung dan bersistem. Perlu kita camkan bahwa dalam
soal-soal tersebut negara-negara “kecil” seperti Georgia, Israel dan Slovenia
jauh lebih siap ketimbang Indonesia.<br /> <br />Tetapi jangan-jangan semua upaya menuju “sastra dunia” itu hanya bisa
terlaksana bila bangsa dengan 250 juta warga ini benar-benar jadi bangsa yang
gemar membaca dan menulis—bangsa yang mencintai dan merawat bahasa, sastra dan
kesenian sendiri. Bukankah mendunia itu efek samping belaka dari beresnya kita
menata kehidupan di rumah sendiri?<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Nirwan Dewanto adalah penyair, editor sastra dan kurator seni. <a href="http://sastra-indonesia.com/2017/09/dimanakah-sastra-dunia/">http://sastra-indonesia.com/2017/09/dimanakah-sastra-dunia/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-90288907245485669672021-08-22T18:32:00.004-07:002021-08-22T18:32:33.924-07:00tengara.id dan DKJ NET Diluncurkan Dewan Kesenian Jakarta<p><b>DKJ NET dan Situs Kritik Sastra Tengara.id Resmi Diluncurkan</b></p> <a href="https://1.bp.blogspot.com/-JoMB4onG3GE/YSL6AyKIQvI/AAAAAAAABQw/f3EOCxry7b079p_yeRgxCCvV5b0XNWtEgCLcBGAsYHQ/s448/Tengara.id%252C%2Bsitus%2Bkritik%2Bsastra%2BDewan%2BKesenian%2BJakarta.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="300" data-original-width="448" height="214" src="https://1.bp.blogspot.com/-JoMB4onG3GE/YSL6AyKIQvI/AAAAAAAABQw/f3EOCxry7b079p_yeRgxCCvV5b0XNWtEgCLcBGAsYHQ/s320/Tengara.id%252C%2Bsitus%2Bkritik%2Bsastra%2BDewan%2BKesenian%2BJakarta.jpg" width="320" /></a><div>Farah Noersativa, Reiny Dwinanda<a name='more'></a><br />Republika, 20 Agu 2021<br /> <br />Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menangkap peluang untuk terus berkarya dalam rangka menembus keterbatasan akibat pandemi. Mereka meluncurkan DKJ NET dan situs kritik sastra bernama Tengara.id.<br /> <br />“DKJ NET sekaligus menjadi akses publik tambahan untuk produksi pengetahuan dalam jejaring konten digital kami,” kata Ketua DKJ, Danton Sihombing, dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (19/8/2021).<div> <br />Danton menjelaskan, DKJ NET adalah salah satu inisiatif kolaboratif lintas komite yang berfungsi sebagai pengembangan lebih lanjut dari kanal-kanal luaran DKJ yang telah eksis sebelumnya. Melalui DKJ NET, DKJ berupaya mengembangkan dan meluaskan “Suara Jernih dari Cikini” dalam khazanah ragam pemikiran dan perspektif seni budaya di Indonesia dan dunia.<br /> <br />Dalam DKJ NET, menurut Danton, ragam luaran pengetahuan dalam kemasan feature audio visual, acara bincang, maupun kurasi kearsipan akan tersedia. Itu semua bisa berbentuk video dan podcast dengan perspektif khas DKJ akan tumbuh dan bernaung di DKJ NET.<br /> <br />Sebagai langkah awal, konten yang diproduksi pada DKJ NET akan berpijak dari bahan yang selama ini telah ada di/dari/melalui DKJ. Nantinya, platform dan konten ini akan berkesinambungan serta bersinergi dengan jejaring produksi konten dari komunitas dan simpul-simpul dalam ekosistem seni di Jakarta dan di mana pun.<br /> <br />Sementara itu, situs kritik sastra tengara.id adalah upaya lanjutan DKJ dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia. Situs itu ditujukan untuk menghidupkan tradisi kritik sastra, terlebih-lebih yang bermutu, baik melalui undangan menulis, sayembara, maupun atas upaya mandiri seorang kritikus.<br /> <br />“Kritik sastra bukan hanya menjadi jembatan yang menghubungkan karya sastra dan pengarangnya dengan pembaca, tetapi juga menjadi menjadi pembuktian keterampilan seni menulis, keterbukaan wawasan dan kehidupan intelektual yang sehat dan meriah,” kata Danton.<br /> <br />Dengan situs kritik sastra tengara.id, DKJ mengundang sekaligus menantang kemunculan kritik sastra. DKJ berharap ada pembicaraan karya sastra yang tekun dan bernas, di samping pembicaraan yang hangat di antara sastrawan tentang kesusastraan dan soal-soal lain di sekitarnya.<br /> <br />***<br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/dkj-net-dan-situs-kritik-sastra-tengara-id-resmi-diluncurkan/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/dkj-net-dan-situs-kritik-sastra-tengara-id-resmi-diluncurkan/</a></span></div></div>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-91469373863680191572021-08-20T14:53:00.005-07:002021-08-20T14:53:58.831-07:00Novel Orang-Orang Bertopeng (23)Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002<br /> <br />Teguh Winarsho AS<br /> <br />Fatma menarik nafas lega ketika tak jauh dari tempat ia berjalan mulai
terlihat beberapa rumah penduduk. Cahaya lampu, samar, membias dari rumah-rumah
itu.<br /> <br />“Kita sudah sampai,” kata Cut Hindar berhenti di depan pintu rumah.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Fatma tahu itu adalah rumah Cut Hindar. Tapi Fatma tidak tahu pintu itu ada
di sebelah mana. Samping kiri? Kanan? Atau belakang? Yang jelas bukan pintu
depan. Karena kalau pintu depan pastilah Fatma akan melihat deretan bangku,
meja, tikar, rak piring yang biasa digunakan untuk buka warung kopi. Fatma
bimbang untuk mengajukan beberapa pertanyaan yang selama perjalanan tadi ia
simpan dalam hati.<br /> <br />“Masuklah,” Cut Hindar membuka pintu. Pintu dari kayu itu berderit pelan.
Cahaya lampu di dalam rumah membias keluar. “Ayo! Cepat masuk!” Ulang Cut Hindar
saat dilihatnya Fatma hanya berdiri diam.<br /> <br />Fatma kemudian masuk disusul Cut Hindar. Sepi. Rumah Cut Hindar sepi
seperti tak berpenghuni. Hanya ada seorang anak kecil tidur pulas di atas kursi
panjang. Bocah kecil itu anak Cut Hindar. Fatma tidak habis pikir bagaimana
mungkin Cut Hindar tega meninggalkan anak itu sendirian di rumah. Bagaimana
jika anak itu tadi tiba-tiba bangun? Pasti akan ketakutan dan menangis keras.
Tak berkedip mata Fatma menatap wajah bocah itu, tampak begitu lugu, polos,
tenang tanpa beban hidup. Tiba-tiba Fatma ingin kembali menjadi kanak-kanak.
Dunia yang sudah jauh sekali tertinggal di belakang.<br /> <br />Hati-hati Cut Hindar membuka pintu salah satu kamar seolah takut jika
gerakannya sampai menimbulkan bunyi. Perlahan-lahan pintu kamar terbuka. Fatma
tidak tahu apa yang akan dilakukan Cut Hindar selanjutnya sebab setelah pintu
terbuka penuh, Cut Hindar hanya berdiri mematung di depan pintu dengan sorot
mata haru. Sayu. Fatma penasaran segera menghampiri Cut Hindar. Tampak di kamar
itu, dalam temaram cahaya lampu, sesosok tubuh terbungkus selimut. Mungkin
tidur. Sebelah tangannya menyembul keluar dan terlihatlah bekas-bekas luka
goresan yang sebagian sudah kering. Cut Hindar masih mematung dan tak sepatah
katapun keluar dari mulutnya.<br /> <br />“Siapa?” suara Fatma nyaris tak terdengar.<br /> <br />Cut Hindar menoleh. Menatap lekat-lekat seraut wajah didepannya seolah
ingin mencari kekuatan di situ. Lalu, “Hasan….” suara Cut Hindar lebih mirip
ratapan. Matanya sebak.<br /> <br />“Siapa?” Fatma membelalak hingga kedua belah bola matanya yang hitam
seperti terlempar keluar. Fatma mendengar suara Cut Hindar yang pelan mirip
ratapan itu, tapi Fatma tidak percaya jika nama itu yang disebutkan Cut Hindar.
Jangan-jangan Cut Hindar salah menyebut nama orang.<br /> <br />“Hasan,” lagi Cut Hindar mengulang jawabannya lebih keras. Berusaha
menyakinkan Fatma.<br /> <br />Fatma menggeleng. “Tidak. Tidak…..” katanya seperti pada diri sendiri.
Ditatapnya Cut Hindar yang masih berdiri didepannya seperti ingin mencari
kebenaran atas ucapannya tadi.<br /> <br />Cut Hindar tahu, lantas menggangguk. “Sungguh dia Hasan. Kekasihmu.
Tunanganmu….” berkata begitu secepat kilat Cut Hindar meraih bahu Fatma lalu
menariknya dalam dekapan. Jika tidak tubuh Fatma pasti akan jatuh ke lantai.
Cukup lama Cut Hindar membiarkan Fatma menangis tersedu-sedu di bahunya hingga
baju yang dipakainya basah.<br /> <br />Baru setelah tangis Fatma reda Cut Hindar membimbing Fatma, duduk di kursi.
Matanya masih sebak. Merah.<br /> <br />“Tunggu sebentar,” kata Cut Hindar bergegas ke dapur lalu keluar lagi
dengan dua gelas kopi panas.<br /> <br />Cut Hindar duduk di sebelah Fatma. Tapi keduanya saling diam. Hanyut oleh
pikiran masing-masing.<br /> <br />“Bagaimana dia masih……..” Fatma tak melanjutkan kalimatnya ketika tiba-tiba
Cut Hindar menempelkan jari telunjuknya di depan mulut.<br /> <br />“Jangan keras-keras. Kamu tentu sedang dicari-cari banyak orang!” kata Cut
Hindar membuka tutup gelas kopinya.<br /> <br />Fatma baru sadar, ia pergi tanpa pamit. Tanpa pesan. Salman, suaminya dan
kedua orang tuanya saat ini pasti sibuk mencari dirinya. Mungkin mereka juga melibatkan
saudara-saudara lain atau orang-orang kampung. Betapa sibuknya mereka semua.<br /> <br />“Ceritanya panjang…..” Cut Hindar menerawang, mengusap peluh di keningnya.
“Kemarin malam Hasan datang kemari. Aku terkejut, hampir tak bisa mengenalinya.
Pakaiannya compang-camping. Tubuhnya kurus kering banyak luka. Begitu masuk ke
dalam rumah ia langsung pingsan. Untung, malam itu warung kututup, jadi tidak
ada orang yang tahu,” Cut Hindar berhenti sebentar mengingat-ingat sesuatu.
“Salman memang pendusta! Pengkhianat! Cerita bahwa Hasan ditembak berkali-kali
oleh gerombolan orang bertopeng itu omong kosong. Bohong besar. Cerita itu
dikarang sendiri oleh Salman untuk mengelabuhi orang-orang kampung. Justru
Salman sendiri yang berusaha menghabisi Hasan dengan menuang racun ke dalam
minuman Hasan. Kau tahu, karena itu Hasan kesakitan, sekarat. Lalu pingsan.”<br /> <br />“Terus, bagaimana dia bisa keluar dari tempat gerombolan orang bertopeng?”<br /> <br />“Hasan sendiri tidak tahu karena dia pingsan. Ketika siuman tiba-tiba Hasan
mendapati dirinya berada di jurang tengah hutan. Tapi mungkin ceritanya begini,
karena terlalu lama Hasan pingsan, gerombolan orang bertopeng itu mengira Hasan
sudah tewas. Lalu mereka melempar tubuh Hasan ke dalam jurang.”<br /> <br />Fatma bergidik. Ia seperti ikut merasakan kesakitan yang dialami Hasan.<br /> <br />Malam semakin larut. Dari jauh terdengar kentongan dipukul bertalu-talu
disertai derap langkah kaki di jalan depan rumah. Cut Hindar tahu mereka adalah
orang-orang yang sedang mencari Fatma. Cut Hindar segera menyuruh Fatma masuk
ke dalam kamar. Sembunyi. Cut Hindar kawatir orang-orang itu akan memergokinya.<br /> <br />Terdengar seseorang mengetuk pintu. Hati Cut Hindar deg-degan. Tak salah
lagi mereka sedang mencari Fatma, batin Cut Hindar Semakin lama ketukan semakin
keras. Suara langkah kaki juga semakin banyak. Setelah melap wajahnya dengan
ujung kain bajunya, Cut Hindar keluar membuka pintu.<br /> <br />Benar. Ada sekitar sepuluh orang berdiri di halaman.<br /> <br />“Kalau gelap berarti warung tutup. Kenapa kalian masih datang kemari, hah?
Ngganggu orang tidur saja! Hai, Masnir, kau masih berhutang lima belas ribu
padaku. Juga kau Yahya, Makmun, Hamam, Suhud!” Cut Hindar langsung menggertak.
Beberapa orang yang disebut namanya ciut, mundur merapat.<br /> <br />“Mmaaf, Cut Hindar, kami kemari bukan mau ngopi. Tapi mencari Fatma. Apa
Cut Hindar melihat?” seseorang bersuara dengan mulut gagap gemetar.<br /> <br />“Heh! Kalian pikir aku Ibunya?!”<br /> <br />“Kenapa Cut Hindar jadi marah-marah? Kami datang dengan maksud baik. Kami
ingin….”<br /> <br />Yahya tak meneruskan kalimatnya, dipotong Cut Hindar. “Yahya, kau boleh
masuk ke dalam, tapi malam ini juga kau harus lunasi semua hutang-hutangmu!”
Sentak Cut Hindar berkacak pinggang di depan pintu.<br /> <br />Yahya, laki-laki berperawakan gendut itu tak berkutik.<br /> <br />“Sudah, sudah, sudah. Sebaiknya kita pergi. Tak mungkin Cut Hindar
menyembunyikan Fatma. Untuk apa?” Masnir yang pertama kali namanya disebut Cut
Hindar memberanikan diri bersuara.<br /> <br />“Baiklah, kalau begitu kami pergi. Tapi kalau Cut Hindar melihat Fatma
tolong segera melapor pada kami….”<br /> <br />“Betul, Cut Hindar. Kami kasihan pada orang tuanya dan juga Salman…”<br /> <br />Cut Hindar tetap menunjukkan muka tidak bersahabat. Tapi begitu masuk ke
dalam rumah Cut Hindar tak sanggup menahan senyum. Fatma yang mendengar
pembicaraan tadi segera keluar dari tempat persembunyiannya, tersenyum geli.<br /> <br />“Apakah Hasan tahu kalau aku sudah menikah dengan Salman?” tanya Fatma
larut malam.<br /> <br />“Ia sudah merelakanmu,” suara Cut Hindar pelan, sambil menyruput kopi.
“Yang sekarang ingin dilakukan Hasan hanya satu, mengunjungi makam Ibunya.
Setelah itu mungkin dia akan kembali merantau, entah ke mana. Tapi saat ini
kondisi fisiknya masih sangat lemah. Kadang-kadang pingsan tanpa sebab yang
jelas. Mungkin dia masih sedih kehilangan Ibunya. Karena itu kau kusuruh datang
kemari. Hanya kau satu-satunya orang yang mengetahui persis saat-saat terakhir
kematian Hamidah. Besok kau bisa bercerita kepadanya. Hasan ingin mengetahui
cerita itu.”<br /> <br />Lama dua perempuan beda usia itu diam. Entah apa yang sedang mereka
pikirkan.<br /> <br />“Jadi, Hasan benar-benar sudah merelakan aku? Hasan tidak mencintaiku
lagi?” Pertanyaan itu tanpa sadar keluar dari mulut Fatma.<br /> <br />“Hasan tak punya pilihan lain.”<br /> <br />“Tapi….”<br /> <br />“Tak ada tapi-tapian,” potong Cut Hindar. “Bagaimanapun juga sekarang kau
sudah menjadi milik Salman. Dia suamimu yang syah. Akupun hanya akan
mengizinkanmu tinggal di sini sampai besok saja. Setelah itu kau harus pulang.
Kau harus tetap hidup dengan Salman.”<br /> <br />Fatma menunduk. Butiran halus kembali bergulir dari sudut matanya.<br /> <br />“Tak perlu menyesal. Semuanya sudah menjadi kehendak Allah.”<br /> <br />Fatma kembali mengisak. Air matanya tumpah seperti luapan air bah.<br /> <br />(bersambung)<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-23/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-23/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-27050626494125540342021-08-20T04:03:00.002-07:002021-08-20T14:50:38.599-07:00Denny JA adalah Muncikari yang Harus Dibunuh!<p><b>Denny JA, Kejahatan Intelektual, Pembodohan Sejarah Sastra Indonesia, Perusak Peradaban!</b></p><br /><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-6jBqTHa9agY/YR-IHhX7WlI/AAAAAAAACyw/wgbgjonwyjkE6mJ8u_zV2CoqAx3d2DHYACLcBGAsYHQ/s448/Denny%2BJA%252C%2BKejahatan%2BIntelektual%252C%2BPembodohan%2BSejarah%2BSastra%2BIndonesia%252C%2BPerusak%2BPeradaban%2521%252C%2Bfoto%2Bsatuhatisumutdotcom.jpeg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="252" data-original-width="448" height="180" src="https://1.bp.blogspot.com/-6jBqTHa9agY/YR-IHhX7WlI/AAAAAAAACyw/wgbgjonwyjkE6mJ8u_zV2CoqAx3d2DHYACLcBGAsYHQ/s320/Denny%2BJA%252C%2BKejahatan%2BIntelektual%252C%2BPembodohan%2BSejarah%2BSastra%2BIndonesia%252C%2BPerusak%2BPeradaban%2521%252C%2Bfoto%2Bsatuhatisumutdotcom.jpeg" width="320" /></a></div><div>Muhammad Yasir<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Denny JA adalah Jim Colosimo atau “Big Jim” versi Indonesia. Jika Big Jim terkenal dengan bisnis prostitusi, gelamoritas, butiran batu mulia, revolver berhias berlian, dan pembunuhan, Denny JA lebih suka bisnis prostitusi dan membantu para politisi berkuasa di Indonesia. Dia mendirikan Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA untuk membantu pemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dalam perebutan kursi presiden pada Pemilu 2004 dan berhasil mendepak Megawati Soekarnoputri.<br /> <br />Bahkan, TIME Magazine tidak segan-segan memberikan penghargaan terhadap 17 tahun kiprah LSI Denny JA dan dianggap memecahkan rekor dunia World Guiness Book of Record dan mendapat penghargaan dari Twitter Inc, karena kemampuannya memenangkan presiden langsung empat kali berturut-turut, 33 gubernur, dan 95 bupati/walikota. Serentetan penghargaan yang diberikan oleh pelbagai sisi ini menunjukan Denny JA tidak bisa dianggap sebagai seseorang yang remeh-temeh, baik sebagai bandit maupun muncikari.<br /> <br />ANTARA News, sebuah media massa nasional, pada bulan Januari 2018 menerbitkan sebuah berita yang bertajuk “Sastrawan: 2018 jadi kelahiran angkatan puisi esai” yang mengulas secara singkat tentang apa, siapa, kapan, mengapa, dan bagaimana Denny JA menjadi sosok “sastrawan” yang membuat dobrakan terbaru dalam dunia Sastra Indonesia dengan melahirkan satu genre baru karya sastra, yaitu puisi esai.<br /> <br />Dalam wawancaranya dia mengatakan, 2018 menjadi tonggak kelahiran angkatan puisi esai. Angkatan puisi esai berisi 170 orang - termasuk Sujiwo Tedjo: Presiden Djancukers sampah! - dari kalangan penyair, penulis, aktivis, peneliti, dan jurnalis dari Aceh hingga Papua.<br /> <br />Tentu saja, angkatan puisi esai telah melahirkan standar-standar puisi esai, seperti bahwa puisi esai memiliki ciri menampilkan fakta dan fiksi tentang kehidupan sosial, bahwa puisi esai harus mengandung 2000 kata, bahwa setiap puisi esai memiliki 10 catatan kaki tentang fakta kehidupan sosial berupa hasil riset sebagai sumber informasi, bahwa puisi esai memiliki nilai dramatik dan hubungan pribadi seperti cerita pendek yang “dipuisikan”, dan bahwa puisi esai (hanya) lahir saat momen yang sama sebagai penanda sebuah masa karya generasi sastra (?).<br /> <br />Kelahiran angkatan puisi esai ini bukan tanpa korban. Pada tahun 2015, Sastrawan Saut Situmorang ditangkap di rumahnya, di Yogyakarta, karena dituduh melakukan tindak “pencemaran nama baik” salah seorang “penyair perempuan” yang juga hidup dalam prostitusi milik Denny JA, di Facebook.<br /> <br />Kejahatan intelektual ini bermula dari kelahiran buku pembodohan sejarah Sastra Indonesia, yaitu “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” yang disusun secara khusus oleh Tim 8 alias pelacur khusus dan kesayangannya: Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah nama-nama yang harus dicatat dalam daftar perburuan!<br /> <br />Denny JA dan pelacur-pelacur yang dia pelihara dalam prostitusinya memenangkan pertarungan itu dengan menyogok hukum untuk melegitimasi dirinya sebagai “tokoh sastra paling berpengaruh”.<br /> <br />Namun apakah Saut Situmorang dan orang-orang yang memburu Denny JA benar-benar kalah? Tidak. Komitmen memerangi para medioker dan parasite dalam Sastra Indonesia itu tetap tumbuh dan mengakar. Apakah Denny JA dan pelacur-pelacurnya diterima dalam dunia Sastra Indonesia?<br /> <br />Ya! Karena banyak sekali orang yang mendaku diri mereka sebagai pegiat sastra, penulis sastra, aktivis sastra, dan akademisi sastra memilih diam dan diam-diam menjadi pelacur pula dalam dunia Sastra Indonesia dan karena tidak banyak orang yang benar-benar mencintai Sastra Indonesia! Bukankah demikian? Bukankah engkau lebih menyukai memprioritaskan eksistensi dirimu belaka ketimbang berjuang untuk Sastra Indonesia?!<br /> <br />Baru-baru ini, Big Jim versi Indonesia ini kembali berulah. Dengan kekayaannya sebagai muncikari, dia membeli penghargaan Lifetime Achievement Award dari Persatuan Penulis alias Satupena. Kemudian, selanjutnya dia terpilih sebagai Ketua Satupena. Semua terjadi begitu saja. Akan tetapi, jika menelisik Lifetime Achievement Award kita akan menemukan kejanggalan ini: bahwa penghargaan untuk seseorang yang yang berkarya di bidangnya minimal 40 tahun, sementara bisnis prostitusinya bahkan belum berumur satu dekade!<br /> <br />Dan, meskipun sebagian anggota Satupena menulis pernyataan tentang kejadian memalukan itu, mereka pun tidak memiliki kemampuan membantah atau menghalang-halangi kemampuan Big Jim! Dan, lihatlah! Bagaimana dia dan pelacur-pelacurnya merayakan kemenangan mereka! Sementara, Dewan Kesenian dan Balai Bahasa dan Sastra hanyalah kumpulan kambing yang mengembek; harap-harap di tahun yang mengerikan ini mendapat proyek-proyek menguntungkan tentang Kesenian dan Sastra Indonesia!<br /> <br />Engkau, Denny JA alias Jim Colosimo alias Big Jim versi Indonesia, silakan dengan kekayaanmu membeli jiwa-jiwa pelacur untuk memenuhi setiap sudut bisnis prostitusimu! Silakan engkau klaim dirimu sebagai manusia yang menulis dan menerima seribu penghargaan!<br /> <br />Tetapi, engkau tidak akan bisa lari dari kebenaran, bahwa yang engkau lakukan adalah kejahatan intelektual, pembodohan sejarah Sastra Indonesia, dan merusak peradaban! Engkau tidak akan bisa lari dari tajamnya hari pembalasan yang akan membunuh dan memenggal kepalamu! Sogoklah hukum untuk melindungimu dan menangkap penulis-penulis yang berkomitmen untuk mempertahankan nilai-nilai Sastra Indonesia! Suatu saat, akan tiba kepadamu penulis-penulis itu dan mencincang mayatmu!<br /> <br />Gresik, 2021.<br /><p class="MsoNormal"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/denny-ja-kejahatan-intelektual-pembodohan-sejarah-sastra-indonesia-perusak-peradaban/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/denny-ja-kejahatan-intelektual-pembodohan-sejarah-sastra-indonesia-perusak-peradaban/</a></p></div></div>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-1160741798810441272021-08-19T11:12:00.006-07:002021-08-19T11:12:50.114-07:00Prasmanan Untuk Romo DickUmar Kayam<br />majalah.tempointeraktif.com<br /> <br />TANTANGAN KEMANUSIAAN UNIVERSAL, antologi filsafat, budaya, sejarah-politik
& sastra kenangan 70 tahun Dick Hartoko<br />Editor: Drs. G. Moedjanto, M.A., Drs. B. Rahmanto, Dr. J. Sudarminta, S.J.<br />Penerbit: Kanisius, 1992, 580 halaman<br /> <br />SALAH satu kebiasaan baik dari masyarakat cendekiawan adalah memperingati
ulang tahun ke70 atau 80 dari seorang rekan yang dianggap berprestasi dalam
bidang yang digelutinya, dengan menerbitkan suatu festschrift, suatu buku
peringatan atau perayaan. Demikianlah Dick Hartoko, S.J., seorang romo Katolik,
yang selama 37 tahun memimpin majalah kebudayaan Basis, tanggal 9 Mei lalu
genap berusia 70 tahun.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Kawan-kawannya bersepakat untuk menerbitkan sebuah buku kenangan. Dan
karena Romo Dick adalah seorang yang menaruh perhatian serta memiliki wawasan
yang luas dalam berbagai bidang: filsafat, budaya, sejarah, politik, dan
sastra, tak mengherankan bila para pemrakarsa buku ini mengundang kenalan dan
sahabatnya yang aktif dalam bidang-bidang itu ikut menyumbang karangan.<br /> <br />Kemudian lahirlah buku ini dengan 30 karangan. Namun, menerbitkan suatu
festschrift bukannya tanpa risiko. Ia adalah suatu “meja prasmanan”, suatu
smorgashbord, dengan aneka hidangan pikiran dan renungan. Yang terhidang dalam
“meja prasmanan” itu adalah antologi karangan dari berbagai ilmuwan dan cerdik
pandai, sehingga “masakan”nya pun aneka macam.<br /> <br />Undangan untuk mengarang pada satu festschrift adalah tentang tema apa saja
yang disenangi dan bergantung sepenuhnya pada kehendak sang penyumbang
karangan. Dalam buku Tantangan Kemanusiaan Universal ini karangan dapat pendek
sekali seperti sumbangan G.J. Resink, Ibukota Prabu Rama dan Takhta Kraton
Mangkubumi, yang hanya dua halaman. Tapi ada pula yang lebih dari dua puluh
halaman seperti sumbangan karangan A. Teeuw dan Alex Sudewa. Dimensi karangan
itu pun beragam.<br /> <br />Dalam bagian pertama yang menjelajahi dunia filsafat, misalnya, karangan
itu berorientasi “praktis” seperti karangan K. Bertens, Mengajar Filsafat: Apa
Gunanya? dan J. Sudarminta, Etika Profesi Bagi Dosen. Namun, juga ada karangan
yang “murni” bertanya secara falsafati seperti tulisan John Verhaar, Teori,
Keyakinan, dan Pembuktian, dan Anton Bakker, Badan Manusia dan Budaya.<br /> <br />Karangan Franz MagnisSuseno, Di Senja Zaman Ideologi: Tantangan Kemanusiaan
Universal, yang juga dalam bagian filsafat, menurut saya lebih merupakan suatu
pemaparan hipotesanya tentang proses pergeseran berbagai peradigma ideologi di
dunia yang sekarang cenderung lebih menekankan pada peradigma “martabat manusia
universal”. Barangkali karangan Franz Magnis Suseno ini lebih tepat diletakkan
pada bidang “sosiologi ide” daripada filsafat. Bisa jadi, karena tak ada bagian
yang khusus membahas soal sosiologi.<br /> <br />Karangan Emha Ainun Nadjib, Aros Cinta Romo Dick, mungkin lebih pas bila
dimasukkan ke dalam bagian filsafat daripada dalam bagian kedua mengenai
budaya. Emha, pemikir dan penulis piawai dengan teknik ajaib seorang maestro
sirkus, memang bisa menjebak atau mengecoh pembacanya manakala ia tak peka dan
awas dalam membaca yang ada di balik kalimat-kalimatnya.<br /> <br />Sementara itu, karangan pendek G.J. Resink tampaknya lebih merupakan
refleksi tentang suatu momen sejarah penting pada saat Mangkubumi menetapkan
letak dan nama ibu kota yang bernama Ngayogyakarta. Dapatkah karangan yang
demikian dikategorikan dalam sejarah? Mungkin ini lebih cocok masuk bagian
budaya atau sastra.<br /> <br />Bagian sastra secara relatif memang yang paling utuh. Artinya, medan
garapan lahannya yang disebut sastra itu adalah sosok yang tampak lebih jelas.
Sastra, pernyataan imaji manusia yang kompleks dalam bahasa tulisan, dalam
bagian ini digarap oleh para pengarangnya baik sebagai penemuan penelitian maupun
bagian esensial dari kehidupan.<br /> <br />Karangan-karangan Jakob Sumardjo, Masa Awal Kesusastraan Modern Indonesia,
Ajip Rosidi, Kesusasteraan Indonesia Dimensi Rohani yang Hilang, Harus
Dikembalikan atau Wiratmo Sukito dengan Duapuluh Delapan Tahun Pemikiran Manifes
Kebudayaannya, tampil sebagai karangan yang membahas sastra sebagai suatu
“produk budaya” yang telah mapan dalam suatu masyarakat.<br /> <br />Adapun karangan-karangan yang muncul sebagai penemuan penelitian dalam
suatu ekspresi sastra bisa dilihat dalam karangan A. Teeuw, Petualangan Seorang
Sinyor Asing di Asia Tenggara — Tentang Apreseasi Syair Sinyor Kosta, dan Alex
Sudewa, Konsep Kekuasaan Raja di Dalam Transformasi, Perkembangan Ajaran
Asthabrata.<br /> <br />Dua karangan penelitian penemuan dalam format yang lebih kecil tampil dalam
tulisan Linus Suryadi A.G., Dewi Sri Dalam Dua Sajak Indonesia, dan Bakdi
Soemanto, Penokohan Tragik dalam Cerita Pendek “A Friend in Need” Karangan W.S.
Maughm. Sementara itu, mungkin dapat dikatakan di sini, bagian yang tampak
paling lemah adalah bagian ketiga tentang sejarah dan politik.<br /> <br />Dari lima karangan yang tampil, justru karangan pendek G.J. Resink yang
seakan bergumam dan jauh dari pretensius, muncul sebagai sumbangan yang
menonjol. Judul buku Tantangan Kemanusiaan Universal tampak agak angker dan
seram. Tampaknya, judul ini diilhami oleh karangan Franz MagnisSuseno, Di Senja
Zaman Ideologi: Tantangan Kemanusiaan Universal, yang memang merupakan salah
satu sumbangan yang menarik dan provokatif.<br /> <br />Tapi tak dapatkah para penyunting buku ini menemukan sendiri judul yang
lebih sederhana namun mengena? Memang, tiada gading yang tak retak. Begitu pula
dengan buku ini. Memang ada keretakan di sana-sini. Namun, ia tetap gading yang
berharga. Festschrift ini adalah hadiah yang bagus, baik buat budayawan Romo
Dick Hartoko maupun bagi para pembacanya.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2010/07/prasmanan-untuk-romo-dick/">http://sastra-indonesia.com/2010/07/prasmanan-untuk-romo-dick/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-60303264909472592772021-08-19T11:10:00.006-07:002021-08-19T11:10:48.173-07:00Mayat-mayat yang Hilang<p>Felix K. Nesi *</p>Koran Tempo, 4-5 Nov 2017<br /> <br />SANGKANYA anak-anak kampung itu baru saja meringkus pencuri mayat yang telah mereka sasar berbulan lamanya. Saat langit tak berbintang dan dingin musim hujan bersekongkol membekukan seisi kampung, saat ia baru saja akan mendaki puncak kesenangan bersama istrinya, seorang pemuda tanggung digiring ke rumahnya. Neno, demikian pemuda itu disebut, telah mendapat hajar sesudah aksi kejar-kejaran yang panjang, sebab mulutnya nyonyor berdarah-darah dan tubuhnya yang hampir telanjang itu penuh luka gores, peninggalan semak duri lantana.<a name='more'></a><br /> <br />“Inikah orang yang mencuri mayat-mayat di kampung kita?” Rafael mengusap matanya sambil bertanya, sebelum menguap dua kali, berpura-pura baru saja terbangun dari mimpi malamnya.<br /> <br />Anak-anak muda yang memegang kelewang dan lentera itu saling pandang, sebab tak sempatlah mereka merencanakan jawaban. Seorang yang janggutnya dikucir baru saja ingin membuka mulut, ketika istrinya muncul dari balik pintu kamar dan bertanya dengan suara serak, apakah perlu ia membuatkan kopi.<br /> <br />“Tidak perlu, Bu Lurah,” seorang yang lain menjawab. “Kami tidak akan lama.”<br /> <br />Tentu saja mereka akan lama, sebab mereka baru saja menggiring kemari seorang pelaku kejahatan, dan akan ada banyak hal untuk dibicarakan. Namun mereka tak ingin membuat perempuan muda itu menyalakan api jam sebelas malam, saat tungku dapur tak lagi menyisakan bara.<br /> <br />Istrinya menyibak kain pintu dan kembali lagi ke kamar. Sementara Rafael melepas tengkuk halus itu dengan tatapan ingin yang tertunda, sebab kepalanya masih berdenyut-denyut oleh sesuatu yang tidak sempat terselesaikan.<br /> <br />“Mayat siapa yang ia curi?” Rafael bertanya kembali, sesudah istrinya menghilang di balik pintu.<br /> <br />Neno tidak mencuri mayat, anak yang baru saja menolak tawaran minum itu menjawab: “Ia baru saja bersetubuh dengan pisang,” sambungnya.<br /> <br />Rafael merasa kepalanya membesar dan kulit wajahnya menebal. Tak pernah sebelumnya ia bayangkan, sebagai lurah ia akan ikut memikirkan hal sekonyol itu. Ia baru saja menyelesaikan kuliahnya di Tanah Jawa, dan kembali ke Timor dengan cita-cita mulia ingin menjadi anak yang mengabdi kepada orang tuanya. Kuliah yang lama telah membuat ayahnya miskin dan hilang kepercayaan padanya, meski lelaki tua itu tetap berusaha mencintai anak-anaknya. Setelah dua tahun lamanya ia ikut mengurusi surat kabar kecil dan memenangi kursi bupati untuk sepupu dari garis keturunan neneknya, ia ditunjuk menjadi lurah. Bukan di kampung halamannya, tapi di pedalaman selatan kabupaten itu, di suatu perkampungan yang baru saja dikukuhkan menjadi kelurahan.<br /> <br />“Tempatnya memang jauh,” demikian sepupunya itu berkata. “Tapi, jika bekerja dengan baik, kau mempunyai kesempatan untuk menjadi camat.”<br /> <br />Ia tak yakin bisa menjadi lurah, sebab sembilan tahun lamanya ia belajar ilmu komunikasi, dan selalu bercita-cita menjadi wartawan. Selain itu, ia dibesarkan di pinggiran kota/kabupaten dan tak begitu yakin akan mampu berbaur dengan orang-orang kampung. Tapi posisi camat selalu menggiurkan sejak kecil, sebab hanya pak camat yang mempunyai mobil dinas dengan seorang sopir, dan tiap hari Natal selalu membagi-bagikan beras dan kue kering bagi setiap orang yang bertandang. Jika beruntung, lepas menjadi camat ia akan menjadi bupati, membuktikan kepada ayahnya bahwa ia bisa dipercaya.<br /> <br />Maka dikuburkannya mimpi dan cita tentang surat kabar itu, dan dilantiklah ia menjadi lurah. Enam bulan kemudian, ia dinikahkan dengan seorang bidan desa lulusan sebuah sekolah tinggi di Kediri, dan hidup berbahagialah ia, setidaknya sampai masalah-masalah konyol ini menghadang.<br /> <br />Awalnya ia berpikir, menjadi lurah di pedalaman Timor hanya akan membuatnya berurusan dengan administrasi yang tidak begitu membikin pusing, selain ikut mengatur masalah-masalah remeh seperti lepasnya sapi ke ladang, serangan belalang kembar, pencurian kayu cendana, dan hal-hal kecil lain. Baru setahun sesudah dilantik, ia dikagetkan dengan kasus pencurian mayat, yaitu kasus yang tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah orang-orang Timor. Sebelum ini, orang-orang Timor selalu menghormati mayat, sebab mereka percaya bahwa jiwa orang mati berkumpul bersama leluhur, dan mempunyai hak untuk mengatur orang-orang hidup. Tapi waktu berputar sangat cepat dan dunia ikut berubah. Dalam waktu tiga bulan, sudah ada tujuh mayat perempuan yang hilang.<br /> <br />“Ada ilmu hitam dari Pulau Alor yang pengikutnya membutuhkan mayat,” demikian Naef Ataet, dukun kampung itu, berkata sesudah meludahkan sirih-pinang ke tempurung kelapa. “Siapa yang bisa memelintir kepala mayat dengan giginya, akan kebal pada senjata tajam.”<br /> <br />Ia pernah mendengar ilmu sejenis itu dalam perantauannya di Tanah Jawa, dan ia tidak begitu yakin bahwa orang-orang Alor mempunyai ilmu yang sama. Namun, bersikap lebih tahu dari dukun kampung tentang persoalan mistis hanya akan membuat ia kehilangan wibawa.<br /> <br />“Pertama, mereka membunuh perempuan-perempuan kita. Kedua, mereka mencuri mayatnya,” demikian sang dukun berkata.<br /> <br />Memanglah akhir-akhir ini banyak perempuan Timor yang mati. Baik mati saat melahirkan maupun mati sebagai tenaga kerja di negeri seberang, dikirim pulang dalam peti mayat dengan isi perut kosong melompong. Sejak kehilangan mayat yang ketiga, Rafael selalu memerintahkan penjagaan ketat, tiap ada perempuan yang mati lagi. Bukan hanya oleh satgas hansip, melainkan oleh anak-anak karang taruna, yang seharian tidak melakukan apa-apa selain menjadi ojek dan menunggu jadwal pesta dansa. Malam ini, anak-anak itu datang kepadanya, di tengah malam buta, bukan dengan pencuri mayat, tapi dengan seorang pemuda tanggung yang menyetubuhi batang pisang.<br /> <br />“Apa yang harus kami lakukan padanya?” anak yang janggutnya dikucir itu bertanya.<br /> <br />Rafael melangkah keluar dari rumah dan berjalan ke lopo 1. Anak-anak muda itu mengikutinya tanpa suara. Ia menyuruh mereka menyalakan lentera yang tergantung di empat tiang lopo, sementara ia bersila di dipan. Anjing melolong di kejauhan dan burung hantu menangis sendu setiap dua menit. Angin berembus pelan dan dingin merasuk sampai belulang.<br /> <br />“Tutupi Neno dengan bete’ 2-mu,” katanya kepada seorang anak yang sedang membetulkan bete’-nya: “Tak pantas membiarkan manusia telanjang, sejahat apa pun dia.”<br /> <br />Anak yang ia tunjuk itu melepaskan bete’ yang melingkari pinggangnya, dan bercelana pendek, ia menutupi tubuh Neno. Neno, dengan wajah bersalah dan ketakutan, tak henti menatap Rafael, meminta kasihan dan pengampunan. Rafael membuang muka, namun hatinya telah jatuh iba.<br /> <br />“Bagaimana kata kalian?” ia berkata sesudah lentera-lentera bernyala terang dan anak-anak muda itu mengerumuninya di sekitar dipan. “Ia bersetubuh dengan pisang. Baik. Ia sudah melakukan hal itu. Jika ia menyesal, mari kita biarkan ia pergi. Jangan sampailah masalah ini diketahui lebih banyak orang. Ini sangat memalukan. Bagaimana? Sanggupkah kalian menanggung malu sebesar itu?”<br /> <br />Neno menatapnya dengan terima kasih, tapi ia bisa melihat beberapa orang mencibir, di antara wajah-wajah yang terangguk-angguk.<br /> <br />“Tadinya kami ingin melakukan hal itu, Pak Lurah,” laki-laki lain lagi menjawab. Anjing masih melolong di kejauhan. “Tapi bukan pisang sembarang pisang yang ia kerjai. Itu pisang di mata air suku Ahoenulan, di dekat lembah sekitar Kali Nunhala. Ia telah menodai tempat keramat suku Ahoenulan. Taef Ahoenulan, anak Uis Ahoenulan, sang kepala suku Ahoenulan, tadinya bersama kami. Ia yang menelanjangi dan memukuli anak ini, dan sekarang sedang memanggil ayahnya. Saat kita berbicara ini, mungkin mereka sudah setengah jalan menuju tempat ini. Kita tidak bisa lagi membiarkan Neno pergi begitu saja.”<br /> <br />Rafael menarik napas panjang-panjang dan menatap langit-langit lopo sebelum mengembuskannya. Kulit jagung menyembul dari celah papan di langit-langit, yang tua dimakan serangga. Ini lopo peninggalan lurah sebelumnya dan sebelumnya lagi, dan mestinya ia tidak menaruh hasil panen di situ, sebelum memastikan bahwa langit-langitnya tidak sedang digerogoti serangga.<br /> <br />“Pak Lurah,” orang yang tadi memberi bete’-nya membuka suara. “Jika saya boleh bicara, anjing itu melolong sejak kami memergoki Neno. Kami pikir, tentulah si Neno ini sedang mencari le’u-le’u 3. Siktus anak Tua Kolo telah kami suruh memanggil Naef Ataet untuk memeriksanya.”<br /> <br />“Kono!” Neno menghardik. “Aku tidak mencari le’u-le’u. Kau mengenalku, aku tidak mungkin begitu!”<br /> <br />Rafael mengusap wajahnya. Semua tiba-tiba menjadi lebih rumit dari apa yang ia bayangkan. Saat kuliah di Tanah Jawa, buku-buku membuat ia berhenti percaya pada segala macam sihir dan le’u-le’u di kampungnya. Tapi, baru beberapa waktu menjadi lurah di kampung ini, hal-hal tidak masuk akal membuat keyakinannya pada buku dan ilmu pengetahuan meluntur perlahan. Bagaimana menjelaskan patah tulang yang tersambung kembali hanya dengan mantra dan ludah sirih-pinang? Bagaimana menjelaskan perihal hujan yang terhenti setelah dihardik Naef Ataet dengan mengacungkan aluk 4-nya? Bagaimana menjelaskan perihal belalang yang menyerang seisi kampung, tepat sesudah suku Anikaliti merobohkan rumah adatnya tanpa upacara yang benar? Dan masih panjang daftar hal-hal yang tidak bisa ia cerna, yang tidak pernah ia temukan penjelasannya di kuliah mana pun.<br /> <br />Dari tikungan dekat kapel kecil, di seberang jembatan kayu yang hampir roboh dimakan usia, dua lentera berjalan beriringan dengan lima bayang panjang manusia dalam balutan kaos partai warna-warni dan lilitan bete’ di pinggang. Uis Ahoenulan berjalan di depan, diikuti Naef Ataet, dan tiga pemuda yang gegas. Begitu memasuki lopo, tanpa berkata apa-apa, Uis Ahoenulan, sang kepala suku Ahoenulan, mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan menampar wajah Neno. Barulah sesudah pemuda malang itu tersungkur di lantai beralas debu tanah, Uis Ahoenulan membuka mulutnya.<br /> <br />“Kau mempermalukan dirimu sendiri, dan mendatangkan amarah atas nenek moyang kami. Kampung ini akan mendapat kutuk!”<br /> <br />Neno tetap menunduk, kebingungan antara harus membetulkan selimut atau menghapus darah yang kembali muncrat dari bibirnya. Satu-dua pintu rumah mulai terbuka, dan orang-orang laki-laki berdatangan oleh keributan kecil itu.<br /> <br />Setelah seorang hansip dibantu dua anak lain mengeluarkan kursi plastik dari dalam rumah Rafael, duduk melingkarlah mereka di lopo itu. Rafael, Naef Ataet, dan Uis Ahoenulan bersila di dipan, sementara Neno bersimpuh di lantai tanah yang berdebu. Orang-orang laki-laki yang lain melingkarinya; duduk di kursi atau berdiri di tirisan lopo. Perempuan dan anak-anak hanya melihat dari kejauhan tanpa ada keberanian untuk mendekat.<br /> <br />Naef Ataet mengambil sirih-pinang dari aluk-nya, mencampurkannya dengan kapur dan beberapa akar pohon sebelum mengunyahnya. Uis Ahoenulan membuka aluk-nya, menawarkan sirih-pinang dan kapur kepada Rafael. Rafael menolak dengan sopan, sebab ia telah menggosok gigi sebelum mencumbu istrinya.<br /> <br />Beberapa jurus kemudian, Naef Ataet meludahi telapak tangannya, dan dengan ludah merah darah itu, ia mengusap wajah Neno. Neno bergeming. Naef Ataet mendekatkan mulutnya ke telinga pemuda itu, yang kiri dan yang kanan, meniupnya dalam satu embus napas panjang, membaca beberapa mantra lagi, meniup lagi, lalu menarik kembali tubuhnya.<br /> <br />“Tak ada kejahatan dalam dirinya,” demikian ia bergumam dalam bahasa Dawan 5: “Anak ini tidak bersekutu dengan iblis, sekarang dan kemarin. Ia tidak bertalian dengan le’u-le’u mana pun. Hatinya bersih bagai kapas dan para leluhur mencintainya.”<br /> <br />Sesudah Naef Ataet kembali duduk, semua mata tertuju kepada Rafael. Rafael sadar, itu adalah waktu untuk ia mengambil alih, menunjukkan wibawanya sebagai lurah. Ia membersihkan tenggorokannya dengan deheman kecil, tiga atau empat kali, sebelum membetulkan duduknya. Burung hantu kembali mengirim gidik, tapi anjing telah berhenti melolong.<br /> <br />“Jika hatimu bersih dan kau dicintai leluhur, mengapa kau melakukan hal itu, Neno?”<br /> <br />Antara takut dan malu, Neno mengedarkan pandangannya. Angin dingin berembus dan mata tiap laki-laki berkilat di bawah lampu, menantangnya. Beberapa detik kemudian, apa yang keluar dari mulutnya membuat orang-orang menjadi iba sekaligus geli: “Saya hanya ingin sifon 6.”<br /> <br />“Sifon? Sama pisang?” Rafael bertanya lagi, tak percaya pada apa yang ia dengar.<br /> <br />Tak ada jawaban. Neno melihat ke lantai tanah berdebu dan menggerak-gerakkan kakinya.<br /> <br />“Di mana kau disunatkan?”<br /> <br />Tak ada suara.<br /> <br />“Di mana kau disunatkan, Neno?” Rafael mengulangi pertanyaannya.<br /> <br />“Di Naef Ataet,” Neno menjawab. Lirih dan ketakutan.<br /> <br />Orang-orang melihat Naef Ataet. Naef Ataet melihat aluk-nya dengan wajah setenang sungai, sambil terus memamah.<br /> <br />“Kenapa kau sifon ke batang pisang, Neno?”<br /> <br />Neno menatap Rafael dengan ketakutan.<br /> <br />“Neeta yang biasa menjadi tempat sifon telah mati sesudah melahirkan,” suaranya pelan dan lirih. “Tak ada perempuan untuk bisa dijadikan tempat sifon lagi, sementara waktu untuk sifon hampirlah habis. Luka saya hampir sembuh total. Jika tidak segera di-sifon, kemaluan saya akan mati membusuk,” sambungnya.<br /> <br />“Tapi, kenapa batang pisang?”<br /> <br />Beberapa laki-laki tersedak menahan tawa, tapi Rafael mulai terlihat marah.<br /> <br />“Naef Ataet menyarankan mayat, tapi saya memilih batang pisang,” Neno menjawab lagi, pelan dan ketakutan.<br /> <br />Rafael merasa puluhan kunang-kunang terbang mendatanginya, menyerangnya. Gumam orang seramai lebah. Kepalanya berdenyut ingin meledak. Sempat ia melirik ke samping, melihat Naef Ataet mengucapkan sesuatu yang tidak ia pahami, yang memuncratkan rintik-rintik ludah sirih-pinang ke wajahnya. Selebihnya ia tidak ingat apa-apa lagi.<br /> <br />Keterangan:<br />1. Lopo: Rumah tradisional penduduk Timor. Digunakan juga sebagai lumbung dan tempat pertemuan.<br />2. Bete: Selimut panjang yang biasa dipakai laki-laki Timor.<br />3. Le’u-le’u: Jimat.<br />4. Aluk: Tas kecil dari kain tenun, digunakan untuk menyimpan sirih pinang dan barang-barang keramat.<br />5. Bahasa Dawan: Bahasa daerah masyarakat Dawan, Pulau Timor.<br />6. Sifon: Ritual persetubuhan wajib pasca-sunat pada masyarakat Dawan, Pulau Timor. Dilakukan sebelum luka sunat benar-benar sembuh.<br /><p class="MsoNormal">*) Felix K. Nesi lahir di Timor, Nusa Tenggara Timur. Kumpulan ceritanya berjudul Usaha Membunuh Sepi (Penerbit Pelangi Sastra, 2016). <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/mayat-mayat-yang-hilang/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/mayat-mayat-yang-hilang/</a></p>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-63744042117141835972021-08-18T22:24:00.002-07:002021-08-18T22:24:13.090-07:00ANTARA “GODLOB” DANARTO DAN “DAJAL” MANA SIKANAMaman S. Mahayana<br /> <br />I<br />Membandingkan dua karya sastra atau lebih sedikitnya dua negara yang
berbeda, dalam studi sastra, termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan
(comparative literature). Syaratnya antara lain adalah bahwa karya sastra yang
akan diperbandingkan setidak-tidaknya mempunyai tiga perbedaan yang menyangkut
perbedaan bahasa, wilayah, dan politik. Dari perbedaan inilah paling sedikit akan
tersimpul bahwa perbedaan latar belakang sosial budaya (lokal, tradisi, dan
pengaruh) yang melingkari diri masing-masing pengarang, akan tercermin pula
dalam karyanya.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Membandingkan novel Magdalena (Di Bawah Naungan Pohon Tilia, 1964) hasil
terjemahan al-Manfaluthi daripada karya Alphonse Karr berjudul Sousles Tilleuls
atau cerpen panjang al-Manfaluthi, Al-Yatim dengan novel Tenggelamnya Kapal van
der Wijck (1939) dan Di Bawah Lindungan Kabah (1938) karya Hamka misalnya,
kendati unsur-unsurnya banyak mempunyai kesamaan, dalam hal yang menyangkut
warna lokal Mesir (al-Manfaluthi) dan warna lokal Minangkabau (Hamka), tetap
menjadi ciri khas yang membedakan karya-karya itu.<br /> <br />Hal yang sama juga akan tampak jika kita membandingkan naskah drama Kebun
Tjeri (1972) karya Anton P. Chekov dan Bila Malam Bertambah Malam (1971) karya
Putu Wijaya, atau kumpulan puisi Nyanyian Lawino dan Nyanyian Ocol (1988) karya
Otot p-Bitek, dan Pengakuan Pariyem (1931) karya Linus Suryadi. Tentulah masih
banyak karya lain yang mempunyai kesamaan tema maupun unsur-unsur instrinsik
lainnya. Karya-karya tersebut dalam beberapa hal mempunyai banyak kesamaan,
namun kekhasan lokasi, tradisi, dan pengaruh yang melatarbelakangi karya-karya
itu, sungguh merupakan ciri pembedanya yang juga khas.<br /> <br />Boleh jadi pengarang yang satu mempengaruhi pengarang yang lain, atau
mungkin hanya sebatas mengilhami. Hamka, misalnya, secara jujur pernah
menyatakan keterpengaruhannya kepada karya-karya al-Manfaluthi. Begitu juga
Achdiat Karta Mihardja, saat dia merampungkan naskah Atheis-nya dia secara
sadar mengubah susunan cerita novelnya itu manakala ia teringat pada Max
Havelaar karya Multatuli. Hasilnya adalah Atheis yang terbit pada tahun 1948
itu.<br /> <br />Kasus serupa dapat pula kita jumpai pada novel Mahbub Djunaedi, Angin Musim
(1986) yang boleh jadi diilhami oleh novel Animal Farm (1945) karya George
Orwell. Hal yang sebelumnya terjadi pada diri Hassan Ibrahim (Malaysia),
sehingga novelnya, Tikus Rahmat (1963) mempunyai kemiripan dengan novel Animal
Farm. Jauh sebelum itu, Soseki Natsume, pernah pula menulis novel Wagabi wa
Neko de Aru (1904; edisi Inggris oleh Aiko Ito dan Graeme Wilson, I’am a Cat,
Tokyo: Asahi Shimbun Publishing Co., 1972). Tokoh-tokoh dalam novel-novel
tersebut sebagian besar adalah binatang (Kucing pada Angin Musim, Para Babi
pada Animal Farm, dan tikus pada Tikus Rahmat, dan Kucing pada I?am a Cat).
Bedanya terletak pada penggambaran latar sosial dan intrik politik yang khas
terjadi di negara masing-masing. Angin Musim menggambarkan kehidupan para
pejabat yang korup, penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan, serta keadaan
sebuah penjara yang dihuni golongan oposisi dan politikus Indonesia. Animal
Farm secara simbolik menggambarkan sistem pemerintahan otoriter yang berada di
bawah kekuasaan totaliterisme dan ketakutan meluasnya pengaruh komunisme
melanda daratan Eropa, khususnya Inggris. Tikus Rahmat juga secara simbolik
menampilkan intrik politik dan suasana Pilihan Raya yang terjadi sekitar akhir
tahun 50-an di Malaysia. Lalu, I’am a Cat mengungkapkan situasi sosial yang
terjadi awal dekade Restorasi Meiji. Masuknya pengaruh Barat di Jepang masa
itu, membawa perubahan sikap dan orientasi masyarakat Jepang dalam memandang
tradisi budaya bangsanya dalam berhadapan dengan pengaruh Barat.<br /> <br />Di samping adanya pengaruh-mempengaruhi antara pengarang yang satu dan
pengarang lainnya, boleh jadi juga kesamaannya lahir justru karena situasi
sosial politik yang dihadapi masing-masing pengarang di suatu negara tertentu
mempunyai sifat-sifat yang sama. Masalah ketidakadilan, penyelewengan
kekuasaan, korupsi, dekadensi moral, dan masalah kemanusiaan lainnya merupakan
tema-tema universal yang secara menyejarah telah dan selalu dihadapi umat
manusia. Oleh karena itu, walaupun pengarang yang satu dengan yang lainnya
tidak saling mengenal, mereka mungkin saja melahirkan tema-tema yang sama. Hal
tersebut tidak hanya terjadi pada diri pengarang-pengarang yang sezaman, tetapi
juga pada pengarang dalam kurun waktu yang jauh berbeda.<br /> <br />Sekedar menyebut contoh beberapa cotoh, kita dapat melihat adanya kesamaan
pada cerita klasik Oidipus Sang Raja karya Sophokles, dengan cerita rakyat
Pasundan, Sangkuriang atau Putri Bungsu, sebuah cerita rakyat dari Sumatera.
Contoh lain dapat kita simak pada cerita-cerita binatang (fable) yang ternyata
amat populer dan digemari berbagai bangsa sejak dahulu hingga kini. Contoh lain
lagi terdapat dalam cerita-cerita kepahlawanan atau epos-epos rakyat, seperti
Si Pitung (Betawi); Bajing Ireng (Cirebon); atau Robinhood (Eropa).<br /> <br />Sementara dalam sastra modern, di samping beberapa antaranya telah
disebutkan di awal tulisan ini, beberapa penulis yang sezaman juga mempunyai
kecenderungan menampilkan tema-tema yang sama. Tampak misalnya drama-drama
Eugene Ionesco, Samuel Beckett, Albert Camus, atau Jean Paul Sartre, dengan
drama-drama Indonesia karya Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Rendra, Ikranegara
yang berbeda dengan drama-drama konvensional.<br /> <br />Beberapa novel yang secara tematis punya kesamaan, antara lain, Orang-orang
Munafik karya Sionil Jose (Filipina), Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis
(Indonesia), dan Tuan Presiden karya Miguel Angel Asturias (Guetemala); Sehari
dalam Hidup Ivan Denisovich karya Alexandre Solzenitshin (Rusia), Daratan
Tortila karya John Steinbeck (Amerika), Bukan Pasar Malam Pramudya Ananta Toer,
dan Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono (Indonesia).<br /> <br />Daftar tersebut di atas, tentulah akan menjadi deretan yang lebih panjang
lagi jika kita meneliti karya-karya lain dari mancanegara. Termasuk di dalamnya
bidang puisi dan cerpen. Dengan demikian, adanya kesamaan, baik tema maupun
unsur-unsur lainnya, tidaklah harus selalu ditafsirkan sebagai hasil
pengaruh-mempengaruhi dari karya yang satu ke karya yang lain, tetapi boleh
jadi lebih dilantarankan oleh kesamaan situasi sosial politik dan tradisi yang
dihadapi masing-masing pengarang yang secara kebetulan pula dapat melahirkan
satu gagasan yang sama. Jadi, bagaimanapun juga, pengarang sebagai bagian
daripada anggota masyarakat, sering pula memiliki persepsi yang sama dalam
memandang kehidupan sosial masyarakatnya.<br /> <br />Dengan cara ini pula, kita dapat menempatkan karya yang bersangkutan dalam
konteks sosial budaya yang melahirkannya. Lebih jauh lagi, adanya kesamaan
universal ini juga, sedikitnya tentu akan memberi sumbangan berarti bagi usaha
menemukan kritik sastra yang universal, sebagaimana pernah dilontarkan oleh
Prof. A. Teeuw dalam ceramahnya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (23
September 1989).<br /> <br />II<br />Sebagai kajian permulaan, tulisan ini akan mencoba membandingkan cerpen
“Godlob” karya Danarto (Indonesia) dengan cerpen “Dajal” karya Mana Sikana
(Malaysia) yang termuat dalam antologi cerpennya, berjudul ABZYX (Dewan Bahasa
dan Pustaka, 1986). Ada empat alasan pemilihan cerpen tersebut, yakni:<br /> <br />Pertama, bahwa “Godlob” menurut kritikus Indonesia dan Barat adalah cerpen
kontemporer Indonesia yang berhasil. Ia tidak hanya menampilkan gaya dan teknik
yang berlainan dengan cerpen-cerpen sezamannya, tetapi juga ada kecenderungan
yang kuat untuk memadukan unsur mistik Jawa dan Islam. Sementara itu, cerpen
“Dajal” sebagaimana dikatakan sendiri oleh pengarangnya, termasuk cerpen
pembaharuan. Dalam semacam kredonya, Mana Sikana juga menyatakan rasa terima
kasihnya kepada Allah yang telah mengabulkan doanya untuk terus menulis. Lewat
cara ini, Mana Sikana seolah-oleh hendak memberitahukan bahwa cerpennya
didasarkan pada hasratnya berpegang pada Quran atau dalam rangka pengabdiannya
kepada Allah. Dengan demikian, jika kita mengikuti konsep sastra Islam menurut
kriteria kritikus di Malaysia, cerpen Mana Sikana termasuk khazanah sastra
Islam.<br /> <br />Kedua, cerpen “Lempengan-lempengan Cahaya” karya Danarto yang dimuat
Horison, Juli 1988, tidak pelik lagi merupakan cerpen yang sarat bernafaskan
Islam. Cara penyampaian nafas Islam ini, berbeda dengan yang terdapat dalam
“Godlob”. Nafas Islam dalam “Godlob” baru dapat kita tangkap lebih jelas jika
kita melihatnya dari faktor ekstrinsik. Di samping itu, pemilihan cerpen
Danarto, khususnya “Godlob” dapatlah dianggap, atau setidak-tidaknya, mewakili
sastrawan “cerpenis Angkatan 70 yang punya kecenderungan menggali nafas Islam
dari tradisi sufisme.<br /> <br />Alasan yang sama melandasi pertimbangan pemilihan cerpen Mana Sikana.
Menurut sebagian besar kritikus di Malaysia, Mana Sikana adalah sastrawan yang
membawa aliran baru yang kaya dengan penggunaan simbol-simbol. Shahnon Ahmad
(1976) memandang cerpen Mana Sikana sebagai membawa lambang keislaman yang
universal. Shahnon Ahmad sendiri, dan beberapa sastrawan lain yang cerpennya
terhimpun dalam antologi Sayembara IV (1985), juga punya kecenderungan ke arah
sufisme, atau sedikitnya mengandung nafas Islam, namun nafas Islami-nya terasa
lebih kuat pada cerpen-cerpen Mana Sikana. Itulah sebabnya “Dajal” kiranya
dapat dianggap mewakili cerpen Malaysia yang bernafaskan Islam, di samping juga
sebagai cerpen pembaharuan dalam konteks sejarah kesusastraan Malaysia.<br /> <br />Atas pertimbangan dan alasan-alasan tersebut di atas, saya mencoba
membandingkan cerpen “Godlob” karya Danarto dengan cerpen “Dajal” karya Mana
Sikana. Penelaahannya sendiri mungkin baru tahap mendeskipsikan perbedaan dan
persamaan kedua cerpen itu. Sungguhpun demikian, perbandingan ini semata-mata
sebagai langkah awal dari hasrat saya untuk menyelidiki lebih lanjut
cerpen-cerpen Indonesia dan Malaysia modern yang di dalamnya mengandung
unsur-unsur Islam. Pada gilirannya diharapkan dapat menarik peneliti lain
“sungguh pun Abdul Hadi W.M. dan beberapa peneliti lain sudah mulai sering
menoleh pada perkembangan kesusastraan di Malaysia” untuk melihat bagaimana
sesungguhnya perkembangan kesusastraan di Indonesia dan Malaysia, serta
bagaimana pula perjalanan tradisi sastra Islam yang dirintis oleh Hamzah
Fansuri dan Nurruddin Ar-Raniri bergulir hingga ke kesusastraan yang
bernafaskan Islam kedua-dua negara dewasa ini.<br /> <br />III<br />Sebelum menulis cerpen “Godlob”, cerpen Danarto yang lain yang berjudul
“Adam Ma’rifat” sebenarnya sudah memperlihatkan kecenderungan sebagaimana yang
tampak dalam kumpulan cerpen Godlob, “Adam Ma’rifat” juga memenangi hadiah sastra
dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1982 sebagai cerpen terbaik yang
kemudian diterbitkan sebagai antologi bersama cerpen Danarto lainnya, dengan
judul Adam Ma’rifat. Ternyata kumpulan cerpen ini pun terpilih sebagai antologi
cerpen terbaik tahun 1982 oleh Yayasan Buku Utama. Kumpulan cerpen terbarunya,
Berhala (Pustaka Utama Grafiti, 1987) juga kembali terpilih sebagai antologi
terbaik tahun itu oleh yayasan yang sama.<br /> <br />“Godlob” pertama kali dimuat di majalah Horison (1968) yang kemudian
terpilih sebagai cerpen terbaik majalah yang sama pada tahun itu. Bersama-sama
cerpen Danarto yang lainnya, “Godlob” diterbitkan pertama kali sebagai antologi
oleh Rombongan “Dongeng dari Dirah” dengan judul Godlob (1974). Empat tahun
kemudian, Harry Aveling menerbitkannya dalam bahasa Inggris. Pada tahun 1985,
kumpulan cerpen Godlob ini terpilih sebagai kumpulan cerpen terbaik oleh
Yayasan Buku Utama. Dua tahun berikutnya, kumpulan ini diterbitkan lagi oleh
penerbit Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Pada tahun itu juga ia mengalami cetak
ulang yang kedua kalinya.<br /> <br />Berkat keberhasilannya itu, Harry Aveling menyebut Danarto sebagai “seorang
master”. Sedangkan Burton Raffel menempatkan cerpen-cerpen Danarto melebihi
cerpen-cerpen terbaik yang ada di Eropa maupun Amerika dewasa ini. sejumlah
besar pengamat sastra Indonesia sering tidak ragu-ragu untuk menyebut Danarto
sebagai pionir sastra Indonesia modern yang mengalirkan mistik Jawa yang
menyatu dengan keimanan keislaman dan sikap religiusitasnya yang mendalam. Gaya
bahasanya yang legit, kental, dan lancar itu sesungguhnya menyelusupnya
kesadarannya sebagai makhluk yang senantiasa rindu pada perjumpaan dengan Sang
Pencipta.<br /> <br />Cerpen “Godlob” yang akan diperbandingkan dengan cerpen “Dajal” karya Mana
Sikana, saya ambil dari kumpulan cerpen Danarto yang berjudul Godlob (1987). Di
dalamnya ada kata pengantar yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono yang secara
jernih dan kritis, melihat karya Danarto dalam kedudukannya sebagai “dongeng
modern”. Pada akhir kata pengantarnya, Sapardi Djoko Damono menegaskan, bahwa
Danarto sebenarnya meledek kecenderungan kita untuk mati-matian berpegang teguh
kepada nalar.<br /> <br />Adapun cerpen “Dajal” karya Mana Sikana berasal daripada antologi cerpennya
yang berjudul ABZYX (Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986). Antologi ini dibagi
sendiri oleh Mana Sikana ke dalam tiga bagian yaitu bagian “Konvensional” yang
memuat tujuh buah cerpen, bagian “Peralihan” memuat delapan buah cerpen. Dalam
setiap bagiannya, ada semacam kredo yang tampaknya dimaksudkan sebagai
pernyataan sikap kepengarangannya. Cerpen “Dajal” sendiri, ditempatkan di
bagian “Pembaharuan”. Dalam kredo bagian ini, Mana Sikana menutup pernyataannya
dengan kalimat: “jangan hanya melihat dengan mata akal”, yang terasa senada
dengan pernyataan Sapardi Djoko Damono seperti tersebut di atas.<br /> <br />Belum terlalu banyak keterangan yang dapat saya ketahui mengenai
kepengarangan Mana Sikana. Dalam buku Wajah: Biografi Seratus Penulis (Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1981) yang disusun Baharuddin Zainal, nama Mana Sikana atau
nama aslinya Abdul Rahman Hanafiah, belum termuat di dalamnya. Ini artinya,
Mana Sikana dapat dianggap sebagai pengarang Malaysia generasi 80-an. Namanya sendiri
baru muncul setelah cerpennya “Detik Pertemuan” yang dimuat di Mingguan
Malaysia, 18 Desember 1983, berhasil memenangkan Hadiah Sastra Malaysia
1982-1983. Bersama lima belas cerpen lain yang memenangkan hadiah sayembara
itu, “Detik Pertemuan” diterbitkan dalam sebuah antologi cerpen berjudul
Sahabat (Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986).<br /> <br />Dalam ABZYX, cerpen “Detik Pertemuan” muncul lagi dengan judul yang
berbeda, yaitu “Detik Penentuan”. Mana Sikana memasukkannya ke dalam bagian
“Peralihan”. Secara tematis, cerpen ini sebenarnya dapat pula dimasukkan ke
dalam bagian “Pembaharuan”. Penggambaran konflik ayah-anak, yang dapat
ditafsirkan sebagai pertentangan golongan tua dan golongan muda, atau dalam
konteks sosial budaya sebagai pertentangan golongan tradisional dengan golongan
modernis, diselesaikan Mana Sikana tanpa ada yang kalah atau menang; suatu cara
penyelesaian cerita yang hampir jarang kita jumpai dalam karya-karya sastra
Malaysia.<br /> <br />Karya-karya Mana Sikana yang lainnya adalah Ronjang yang merupakan novelnya
yang pertama. Kemudian antologi cerpen Jejak-jejak yang Hilang dan Santau. Dua
kumpulan dramanya adalah Apa-apa (1984) dan Tok Wang (1984). Sedangkan kumpulan
esainya, antara lain, Kaidah Kajian Drama, Esai, dan Kritikan Drama, serta
Aliran dalam Sastra Melayu Modern. Dari sejumlah karyanya itu, sayang sekali
saya baru dapat menemukan kumpulan cerpennya ABZYX dan cerpen “Detik Pertemuan”
itu saja.<br /> <br />IV<br />Cerpen “Godlob” diawali dengan suatu gambaran tragis sebuah medan
pertempuran. Gagak-gagak hitam beterbangan siap menyantap mayat-mayat yang
bergelimpangan. “Matahari sudah condong, bulat-bulat membara dan membakar
padang gundul yang luas itu, yang di atasnya berkaparan tubuh-tubuh yang gugur,
prajurit-prajurit yang baik, yang sudah mengorbankan satu-satunya milik yang
tidak bisa dibeli; nyawa!” (hlm. 1). Suatu pemaparan di awal cerita yang
sekaligus langsung membawa kita pada suasana tragis yang mencekam. Suasana
medan pertempuran yang seperti ini, mengingatkan kita pada suasana setelah
terjadinya perang Bharata Yudha; sebuah konflik menyejarah antara Pandawa dari
Amarta dan Kurawa dari Astina. Secara simbolik, Danarto mengajak kita untuk
merenungi sebuah hasil konflik abadi umat manusia; malapetaka akibat
peperangan, apapun dalihnya. Peperangan inilah yang menjadi inti masalah dalam
“Godlob”.<br /> <br />Sementara itu, Mana Sikana mengawali cerpen “Dajal”-nya dengan kalimat:
“Dajal sudah datang!” begitu khotbah Pak Imam kepada para jemaahnya Jumat itu.
“Dia datang di tengah-tengah kami sedang mengalami penderitaan lahir dan batin.
Dialah yang bakal memberikan kamu semua kesenangan. Lalu kamu lupa siapa diri
kamu yang sebenarnya!” (hlm. 169). Begitulah, di awal cerita kita sudah
dihadapkan pada dua tokoh yang saling berlawanan, Dajal dan Pak Imam (Khotib
Jumat). Tokoh Dajal langsung mengacu pada doktrin Islam yang menyangkut
keimanan pada hari akhir (kiamat). Bahwa suatu hari kelak, menjelang tiba hari
Kiamat, bakal datang makhluk maha setan yang bernama Dajal. Tokoh inilah yang
kelak membawa umat manusia terjerumus kepada kehancuran, kecuali mereka yang
berpegang teguh pada Quran.<br /> <br />Jelas, bahwa di awal cerita ini, Mana Sikana langsung mengajak kita
memasuki kesadaran apokaliptik “suatu kesadaran kewahyuan, meminjam istilah
Abdul Hadi” kesadaran akan datangnya hari kiamat. Peristiwa inilah yang
sebenarnya menjadi inti masalah dalam cerpen “Dajal”.<br /> <br />Dalam kedua-dua hal tersebut di atas, baik Danarto maupun Mana Sikana,
mengawali ceritanya langsung ke pokok masalahnya; Danarto mengawalinya dengan
malapetaka akibat peperangan, dan Mana Sikana mengawalinya dengan konflik
akibat datangnya Dajal “tokoh maha setan. Dengan gambaran yang menyerupai
peristiwa peperangan Bharata Yudha” konflik antara Pandawa vs Kurawa; baik vs
buruk atau keikhlasan lawan keserakahan? Danarto sekaligus hendak mengingatkan
kita, bahwa segala malapetaka, tidak lain datangnya dari manusia sendiri.
“Kalau sesuatu meleset dari pasangannya, manusialah yang salah mengerjakannya.”
(hlm. 5)<br /> <br />Sementara Mana Sikana, dengan menghadirkan tokoh Dajal, ia pun langsung
mengajak kita memasuki kesadaran apokaliptik. Jadi jika Mana Sikana hendak
mengungkapkannya secara eksplisit sedang Danarto mengungkapkannya secara
implisit. Artinya, bahwa kesadaran apokaliptik yang hendak diisyaratkan Mana
Sikana secara jelas mengacu pada doktrin Islam, sementara Danarto mengacu pada
filsafat Jawa tentang simbol-simbol dalam dunia pewayangan. Pemahamannya
tentang itu, tidak dapat lain, kecuali mesti melalui penerjemahan dan
penafsiran dalam kerangka mistik Jawa, sebagaimana gambaran yang ditampilkan
dalam peristiwa tersebut.<br /> <br />Secara keseluruhan, kedua cerpen ini dikembangkan oleh dua tokoh yang
masing-masing mewakili dua kutub; yang baik dan buruk. Dalam “Godlob” kita
berhadapan dengan konflik yang dihadapi tokoh Anak dan Ayah. Di belakang tokoh
Anak ada tokoh Ibu, sedang di belakang tokoh Ayah ada para politikus dan para
pejabat. Sementara dalam “Dajal” tokoh Pak Imam yang diikuti oleh sebilangan
kecil jemaahnya. Lambat-laun, dari hari ke hari, jumlah jemaahnya itu makin
berkurang, yang keadaannya justru bertolak belakang dengan keadaan tokoh Dajal
yang malah diikuti sebagian besar penduduk yang hanya mencari keseronokan dan
kenikmatan duniawi.<br /> <br />Kesimpulan bahwa tokoh Anak dalam “Godlob” mewakili kutub yang baik, dapat
kita simak dari sikapnya yang pasrah: “Seandainya pilihanku suatu bencana
bagiku, sang nasiblah yang mengantarkan aku ke sana, jadi seharusnya manusia
merasa senang.” (hlm. 5). Perhatikan juga perkataan si Anak sebelumnya: “Tapi
kini aku bisa berkata bahwa tentara itu baik. Semacam manusia yang percaya
kepada manusia lain, sehingga kepasrahan ini mampu mendorongnya untuk
mengorbankan segala-galanya, harta bendanya keluarganya, dan nyawanya.”<br /> <br />Kepasrahan si Anak ini juga tersimpul daripada sikapnya memandang segala
peristiwa dari hakikatnya. Hakikat peristiwa itulah yang secara tersembunyi
mengandung hikmah; mengandung pelajaran, nilai positif, dan kebenaran “yang
baik” bagi manusia. “Apakah Ayah tidak bisa melihat hikmah yang terkandung
dalam semua kejadian ini” (hlm. 6). Begitulah, maka ketika Ayahnya hendak
membunuhnya, si Anak tetap berusaha menyadarkan Ayahnya. Sebaliknya karena jiwa
si Ayah sudah dirasuk nafsu dan kepentingan duniawi, dia akhirnya tetap
membunuh anaknya sendiri walaupun si anak dalam keadaan luka parah.<br /> <br />Dalam hal tersebut, peran tokoh Ayah barangkali dapat diidentifikasikan
dengan golongan Kurawa yang sering diwakili oleh tokoh-tokoh ambisius, licik,
dan rakus. Tapi motivasi yang diperlihatkan oleh tokoh Ayah, sesungguhnya
berdasarkan kepada sikapnya untuk menuntut keadilan. Dia merasa tidak
mendapatkan apa-apa dari segala pengorbanannya.<br /> <br />Di sebalik itu, dia juga sebenarnya sejalan dengan sikap anaknya dalam hal
memandang nasib. Bahwa sumber ketidakberesan di dunia ini adalah ulah manusia
sendiri.<br /> <br />Perhatikan kata-kata tokoh Ayah berikut ini yang menuntut ketidakadilan,
tapi sekaligus juga pasrah kepada nasib.<br /> <br />“Ada setetes yang tidak beres di kalangan atas, yang mengakibatkan puluhan,
ratusan, ribuan jiwa manusia hancur. Dan yang setetes itu harus diselidiki
betul-betul” (hlm. 5). “Nasibkulah, Anakku! Nasibkulah yang menyebabkan aku
bicara, sehingga tidak cukup sekian saja. Aku sudah menyerahkan empat nyawa
anak-anakku kepada Sang Politikus dan tidak ada sesuatu pun yang kuterima.
Sekarang ini merenggut anakku yang terakhir dan nyawa yang paling kusayangi.
Kau! Kau! Sesuatu yang bagaimanakah dan bentuk keberanian macam apakah
menghalalkan itu semua? Anakku! Anakku! Tak bisa kutanggungkan lagi” (hlm. 5).<br /> <br />Dari gambaran yang diperlihatkan oleh tokoh Ayah dalam “Godlob”, konflik
Anak-Ayah sesungguhnya tidak murni mewakili golongan yang baik dan buruk. Tokoh
Anak memang dapat dikatakan wakil golongan baik (Pandawa), tetapi tokoh Ayah
(Kurawa) walaupun dalam beberapa hal sering terwakili oleh tokoh ambisius,
licik, dan rakus, beberapa tokoh lain dari pihak Kurawa termasuk juga para
ksatria. Karna dan Kumbakarna, misalnya, berpihak kepada Kurawa justru karena
jiwa kedua-duanya yang ksatria. Karna berperang dengan pihak Kurawa justru
karena dia ingin membalas budi kepada pihak Kurawa. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Kumbakarna. Dalam hal tersebut, apa yang dilakukan Karna dan
Kumbakarna sesungguhnya memang telah menjadi suratan para dewa (nasib). Jadi,
gambaran yang diperlihatkan oleh tokoh Ayah dalam “Godlob” jelas khas filsafat
(tradisi) Jawa yang sering terungkap dalam diri para dewa pewayangan. Tindakan
pembunuhan yang dilakukan tokoh Ayah mengisyaratkan bahwa itu telah kehendak
Tuhan (takdir) sebagaimana yang telah menjadi pakem dalam dunia pewayangan.<br /> <br />Dalam konteks mistik Jawa (Islam atau tasauf) kepasrahan tokoh Anak boleh
dikatakan mewakili gambaran kaum ideal kaum sufi. Bahwa kepasrahan atas
kehendak Tuhan (Allah) adalah mutlak. Oleh karena itu, dalam usaha mencapai
tingkat kesempurnaan sebagai sosok seorang sufi, yang pertama-tama harus
dilakukan adalah kepasrahan dan kesucian diri. “Ada setetes yang tidak beres
mengakibatkan puluhan, ratusan, ribuan jiwa manusia hancur .”<br /> <br />Dalam “Dajal” konflik tokoh Pak Imam dan tokoh Dajal merupakan konflik yang
secara tegas mewakili golongan baik dan buruk atau jahat. Pak Imam secara
konsisten digambarkan tetap berpegang teguh kepada Quran dan keyakinan agamanya
(Islam), sedang tokoh Dajal terus selalu berusaha menentang Pak Imam, termasuk
juga usaha mencabut pegangan pak Imam (Quran). Secara simbolik kedua-dua tokoh
itu juga menggambarkan pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta filsafat (eksistensialisme).<br /> <br />“Memang patut gelaran itu. Sebab dia ibarat sains dan teknologi yang
menganugerahkan kita apa yang ingin kita miliki. Keajaiban, kemukjizatan, dan
kekuasaannya menjadikan kita manusia yang cukup manusia.” (hlm. 172).<br /> <br />Secara teologis, pertentangan kedua-dua tokoh itu juga dapat dikatakan
mewakili golongan teisme dan ateisme. Pak Imam yang tetap berpegang teguh
kepada Quran, tidak syak lagi merupakan wakil golongan teisme (agama), sedang
tokoh Dajal yang kemudiannya mendapat julukan Ketua kita mewakili golongan
ateis. Gambaran ini tampak daripada sikap Ketua Kita dan para pengikutnya yang
sepenuhnya percaya kepada kebenaran ilmu pengetahuan (rasio), sebaliknya mereka
tidak percaya pada keimanan (iman kepada takdir baik dan buruk, dan iman kepada
hari kiamat) yang merupakan doktrin Islam yang mutlak diyakini.<br /> <br />“Sekarang tida ada lagi yang mustahil. Mustahil sudah jadi lurus, jadi
mubah! Saya selalu menasihati diri saya dan diri kamu semua bertawakallah
kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Sesungguhnya tanda-tanda kiamat
sudah ada. Ini adalah tanda yang besar” min adlal al-kubra! (hlm. 170-171).<br /> <br />Pernyataan tokoh Pak Imam yang ditujukan kepada Ketua Kita dan pengikutnya,
menjadi lebih jelas sebagai pertentangan teisme dan ateisme kepada peristiwa
yang diagambarkan pada akhir cerita. Bahwa ketika matahari terbit dari barat ke
timur, sebagian besar penduduk terutama penduduk para pengikut Ketua Kita,
dilanda ketakutan, kegelisahan, dan kepanikan. Pada saat itulah Ketua Kita
berusaha meyakinkan para pendukungnya bahwa dirinyalah yang maha agung. Lalu
tokoh Ketua Kita (Dajal) berseru:<br /> <br />“Wahai manusia, lihat dan saksikanlah dengan mata kepalamu sendiri:
keajaiban dan kekuasaanku yang tak ada tolok bandingannya lagi. Aku mampu
mengubah perjalanan matahari. Lihat, matahari terbit dari barat ke timur.
Bukankah sesungguhnya aku Tuhanmu”? (hlm. 187).<br /> <br />Jelaslah, bahwa pertentangan atau konflik tokoh Pak Imam dan Dajal secara
tegas dan eksplisit merupakan pertentangan baik “buruk; agama?ateisme; doktrin
agama” ilmu pengetahuan rasional. Yang menarik dari konflik dua ketegangan itu
adalah cara penyelesaian yang dilakukan Mana Sikana yang tidak memenangkan
salah satu pihak; suatu penyelesaian masalah yang jarang dilakukan para
pengarang Malaysia lainnya. Pada akhir cerita, tokoh Dajal tetap angkuh dengan
keyakinannya. Sementara Pak Imam tetap yakin dengan doktrin agamanya.<br /> <br />Melihat gelagat dan peristiwa itu, Pak Imam hanya berdoa: “Tetapkan imanku
ya, Allah!” Air matanya menetes. “Hamba tahu penyesalan di saat begini sudah
tidak berarti lagi!”.<br /> <br />Tidak dapat dipastikan bilakah tahunnya, bulannya, minggunya, harinya, dan
detiknya akan terjadi, tetapi Pak Imam percaya Izrafil sudah hampir meniup
sangkakalanya. (hlm. 188).<br /> <br />Sungguh pun Mana Sikana tidak menyelesaikan pertentangan itu dengan
mengalahkan salah satu pihak, sikap kepengarangannya sendiri kelihatan jelas
berpihak kepada tokoh Pak Imam. Gambaran peristiwa yang dihadapi Pak Imam pada
akhir cerita yang percaya bahwa Malaikat Izrafil sudah hampir meniup
sangkakalanya dapat kita tafsirkan sebagai peringatan terhadap kita untuk
berpegang pada Quran, atau setidaknya menyimak Quran, Surat 23; 101-105.<br /> <br />Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasib di antara
mereka pada hari itu (kiamat), dan tidak ada pula mereka saling bertanya. (Q,
23; 101).<br /> <br />Ayat-ayat berikutnya pada surat al-Muminun ini menerangkan balasan yang
akan diterima oleh umat manusia sesuai dengan amal perbuatannya di dunia.<br /> <br />Sementara itu, kalimat pertama pada alinea terakhir cerpen “Dajal” ibarat
hendak menertawakan ketidaktahuan atau ketidakpastian kapan datangnya hari
kiamat. Pertanyaan tersebut tentu dimaksudkan sebagai usaha memberi acuan
tentang keimanan pada hari akhir (kiamat) yang tertuang dalam doktrin keimanan
Islam (Rukun Islam). Dalam Quran banyak sekali ayat yang menyinggung soal
tersebut. Salah satu di antaranya adalah Surat al-Araaf, 187-188.<br /> <br />Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?”
Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi
Tuhanku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain
Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di
bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.” (Q, 7;
187).<br /> <br />Demikianlah, keseluruhan cerpen “Dajal” dikembangkan oleh konflik antara
tokoh Pak Imam dan Dajal. Ringkasnya, cerpen ini sesungguhnya hendak
menggambarkan pengaruh kuat absolutisme yang memutlakkan kekuasaan akal yang
telah merambah segala aspek peradaban umat manusia modern. Pengaruh kuat ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang dibarengi pula oleh meresapnya berbagai doktrin
ideologis “teristimewa materialisme dan ekstensialime” telah begitu kuat
merasuk pemikiran umat manusia di belahan bumi dewasa ini. Kenyataannya, di
samping mengangkat harkat manusia, juga telah menjerumuskan manusia itu sendiri
pada pemuasan kebendaan (materialisme) dan profanisme. Maka tersingkirlah
nilai-nilai spiritual dan religius.<br /> <br />Dalam “Godlob” konflik Anak-Ayah, tidak secara tegas dapat dikatakan
mewakili pertentangan baik-buruk, terutama jika melihat karakter tokoh Ayah.
Ada ukuran relatif dalam menilai tokoh Ayah. Dia ibarat tokoh dalam dunia
pewayangan yang terkadang punya karakter mendua (ambivalensi). Tokoh Bima,
misalnya, di samping jujur, juga dikenal sebagai tokohyang paling telengas,
sadis, dan bengis. Ia juga pernah melakukan tindakan tidak ksatria, manakala ia
hendak mengalahkan Suyudana, Raja Kurawa. Begitu juga dengan Kresna yang menipu
Durna dan Suyudana, walaupun Kresna sendiri sebagai penjelmaan Wisnu. Sedangkan
Arjuna yang lemah lembut dan halus, ternyata juga seorang telengas dan bersedia
membunuh siapa saja demi kepentingan Amarta.<br /> <br />Karakter tokoh Ayah dalam “Godlob” juga demikian. Dia mencintai anaknya,
tetapi ternyata juga tega pula membunuh buah hatinya itu. Dari dialog menjelang
pembunuhan itu, ada kesan bahwa pembunuhan itu terjadi semata-mata karena
kehendak sang nasib. Perhatikan di bawah ini.<br /> <br />“Anakku, maafkan ayahmu. Kau harus kubunuh!”<br /> <br />“Ayah! Dengan cara demikianlah ayah hendak menjadikanku pahlawan? Ayah menghalalkan?
Aku dan Ayah adalah dua manusia. Di mata Tuhan, kita masing-masing berdiri
sendiri-sendiri. Aku mempunyai Sang Nasib Pengasuhku sendiri! Ayah diatur oleh
yang lain!”<br /> <br />“Anakku, kali ini pengasuhmu menyerahkan kepadaku!”<br />“Tidak! Tidak mungkin! Pengasuhku bekerja konstruktif!”<br />“Tidak selalu! Sekali-sekali boleh menyeleweng!”<br />“Ayah!!!”<br />“Anakku!!!”<br />“Ayah?”<br />“Anakku?” (hlm. 7)<br /> <br />Begitulah, tindakan tokoh Ayah pada mulanya memang berhasil menempatkan
anaknya sebagai pahlawan. Dia diarak dan dielu-elukan oleh Sang Politikus, para
pejabat, dan masyarakatnya sebagai bunga bangsa. Namun, setelah tokoh Ayah
menceritakan hal yang sebenarnya kepada istrinya, serta merta wanita itu
menggali kembali kuburan anaknya dan mengatakan kepada Sang Politikus dan para pejabat,
bahwa anaknya bukan pahlawan. Dia mati di tangan ayahnya sendiri. Kemudian
dengan sekali tembakan, perempuan itu mengakhiri hidup suaminya.<br /> <br />“Oh, nasibku, nasibku. Sedang kepada setan pun tak kuharapkan nasib yang
demikian.” (hlm. 9).<br /> <br />Sebuah keluhan tentang nasib, mengakhiri cerpen “Godlob”. Tersirat, Danarto
hendak menempatkan masalah nasib sebagai sesuatu yang lahir akibat perbuatan
manusia sendiri, betapa pun dia tidak dapat dielakkan manusia. Dalam hal ini,
pengertian nasib tidaklah identik dengan takdir. Dengan demikian, pengertian
nasib di sini, juga tidak sama dengan konsep deisme model Leibniz, bahwa Tuhan
lepas tangan dan tidak ikut campur dalam urusan dunia. Daripada dialog tokoh
Anak-Ayah itu, tersimpul bahwa manusia masih diberi kemungkinan untuk mengubah
nasibnya sendiri; atau bahwa nasib manusia lebih banyak ditentukan oleh
perbuatan manusia sendiri.<br /> <br />“Kalau sesuatu yang meleset dari pasangannya, manusialah yang salah
mengerjakannya”.<br />“Ada setetes yang tidak beres di kalangan atas, yang mengakibatkan puluhan,
ratusan, ribuan jiwa manusia hancur.”<br />“Tetapi sesuatu yang sudah menjadi bubur, tidak guna disesali. Yang terang,
aku sudah bekerja sebaik-baiknya. O, nasibku.” (hlm. 5).<br /> <br />Jadi nasib yang dihadapi Ayah-Anak-Ibu, dapat kita tafsirkan sebagai nasib
dalam pengertian Islam yang berbeda dengan pengertian takdir. Dalam hal ini,
Danarto memadukannya dengan konsep pakem dalam dunia pewayangan yang khas
mencerminkan filsafat hidup masyarakat Jawa. Dengan demikian, berbeda pula dengan
konsep deisme.<br /> <br />Masalah tersebut di atas dikemas Danarto lewat persoalan yang timbul akibat
peperangan. Dalam hal ini, kembali kita akan melihat adanya perpaduan antara
budaya Jawa dan nafas Islam. Gambaran peristiwa akibat peperangan yang
dipaparkan pada awal cerita, tidak dapat lain merupakan peristiwa akibat perang
makro; perang besar; Barata Yudha! Di sebalik perang besar itu, sesungguhnya
ada perang yang lebih besar lagi dan tidak kalah hebatnya, ialah perang mikro;
perang batin; perang melawan hawa nafsu yang tidak kelihatan. Inilah perang
stabil yang sebenarnya. Hasil peperangan inilah yang akan membawa akibat
datangnya berbagai-bagai macam bencana, sebab kekalahan dalam perang ini
merupakan sumber daripada segala bencana. Sebaliknya, siapa yang mampu
mengalahkan hawa nafsu; memenangkan perang batin, dia akan diperoleh predikat
manusia adhiluhung; manusia yang sesungguhnya.<br /> <br />Dalam pandangan orang Jawa, perang makro atau Barata Yudha sesungguhnya ada
dalam perang mikro; batin. Makrokosmos tidak lain adalah bagian daripada
mikrokosmos. Oleh karena itu, keselarasan (harmoni) jagat raya ini hanya
mungkin dapat tercapai jika kehidupan mikrokosmos sudah sampai pada tingkat
sesungguhnya; menemukan jati dirinya sebagai makhluk manusia.<br /> <br />Hal tersebut di atas, tersirat, digambarkan konflik Ayah. Para
prajurit-termasuk tokoh Anak- yang dengan sadar pergi ke medan perang, secara
fisik menggambarkan diri manusia yang pasrah, manusia baik.<br /> <br />“tapi kini aku bisa berkata bahwa tentara itu baik, semacam manusia yang percaya
pada manusia lain, sehingga kepasrahan ini mampu mendorongnya untuk
mengorbankan segala-galanya, harta bendanya, keluarganya, dan nyawanya.” (hlm.
5).<br /> <br />Begitulah, Danarto dalam “Godlob” lewat malapetaka pertumpahan darah,
bermaksud menempatkan makna kepasrahan dalam kerangka perang mikro dan perang
makro. Apapun hasilnya bukanlah hal yang terlalu penting, sebab yang utama
adalah kepasrahan menerima “Sang Nasib Pengasuh yang konstruktif”. Lewat
kepasrahan itu pula manusia akan menerima segala sesuatu sebagai hikmah,
sebagai kenikmatan; suatu sikap hidup yang banyak dihayati oleh para sufi.<br /> <br />Di sisi yang lain, kepasrahan akan “kerja konstruktif Sang Pengasuh” juga
memperlihat adanya kesadaran apokaliptik; keimanan akan takdir baik dan takdir
buruk yang dalam Islam terangkum dalam doktrin keimanan. Ia mutlak diyakini
sebagai sesuatu yang tidak dapat diterjemahkan oleh akal manusia.<br /> <br />Jadi, dalam dua hal ini, ada kesamaan antara “Godlob” Danarto dan “Dajal”
Mana Sikana. Kedua-duanya mengisyaratkan adanya kesadaran kewahyuan; suatu
kesadaran akan kebenaran wahyu Tuhan. Hanya bedanya, jika Mana Sikana dalam
“Dajal” secara eksplisit hendak mengingatkan kita tentang Hari Kiamat, maka
Danarto dalam “Godlob” secara implisit mengajak kita untuk juga meyakini kebenaran
adanya takdir baik dan takdir buruk. Kedua-duanya, di samping menekankan
perlunya hubungan transedensi (vertikal); kepasrahan pada kebenaran yang hak
(Allah), juga menekankan perlunya menjalin harmoni sesama makhluk (horisontal).<br /> <br />Dalam “Dajal” pengagungan terhadap akal, eksistensialisme, dan ilmu
pengetahuan, akan berakibat lahirnya manusia materialis, dan merosotnya naluri
spiritual yang pada gilirannya akan menjauhkan diri dari Tuhan. Sedangkan dalam
“Godlob” sikap ambisius, menghalalkan segala cara, dan berbagai pelanggaran
moral, akan berakibat, tidak hanya pudarnya konsep kepahlawanan- yang
sebenarnya realtif- tetapi juga dapat berakibat hancurnya harmoni kehidupan
umat manusia itu sendiri.<br /> <br />Dalam kedua-dua cerpen itu juga, secara kebetulan kita dapat melihat adanya
kesamaan, dan kedua-duanya memerlukan acuan pada peristiwa Nabi Ibrahim
sungguhpun Mana Sikana dan Danarto mengungkapkannya dengan gaya yang berbeda.
Dalam “Godlob” konflik Ayah-Anak mengingatkan kita pada peristiwa
Ibrahim-Ismail. Perhatikan kutipan Quran, Surat 37; 102, di bawah ini.<br /> <br />Maka tatkala anak itu (Ismail) (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim. Ibrahim bekata: Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: “Hai Bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang yang sabar.”<br /> <br />Ada perbedaan mendasar dalam diri Ismail dan tokoh Anak dalam “Godlob”.
Jika Ismail pasrah karena dia yakin ayahnya (Ibrahim) semata-mata menjalankan
perintah Allah dan bukan karena ambisi pribadi yang menghalalkan segala cara,
maka tokoh Anak dalam “Godlob” menolak permintaan ayahnya karena ia sadar,
bahwa sikap ayahnya dilandasi ambisi pribadi yang menghalalkan segala cara, dan
menuntut ketidakadilan dengan cara yang tidak benar, tidak adil. Dengan
demikian, hasilnya juga berbeda. Ibrahim dan Ismail mendapat imbalan rahmat
Allah, tokoh Ayah-Anak, mati penasaran, terbunuh dan mati konyol. Si Anak gagal
jadi pahlawan, si Ayah gagal mencapai ambisinya.<br /> <br />Dalam “Dajal” Mana Sikana bukan mengangkat Ibrahim-Ismail, melainkan
peristiwa pembakaran yang dialami Ibrahim. Tersurat, Mana Sikana membandingkan
peristiwa yang dihadapi Pak Imam dengan yang dihadapi Nabi Ibrahim. Diceritakan
bahwa karena keyakinan agamanya, Pak Imam ditangkap oleh para pengikut Ketua
Kita. Mereka lalu membakar Pak Imam hidup-hidup tetapi Pak Imam malah berkata:
“Lihat api itu kelihatannya saja merah, tetapi ia dingin. Dingin sekali.
Sedingin air di lautan.” Selanjutnya, Mana Sikana menggambarkan peristiwa
tersebut sebagai berikut.<br /> <br />“Kata Syahibul Hikayat, maka tidak terbakarlah Pak Imam itu. Sesungguhnya
ini adalah satu gambaran kembali peristiwa Nabi Ibrahim yang dengan
keberaniannya memusnahkan segala di biara, kemudian dia terbakar, tetapi api
malu kepada dirinya sendiri.” (hlm. 174).<br /> <br />Bandingkanlah pula dengan Quran, Surat 29; 24: Maka tidak ada jawaban kaum
Ibrahim, selain mengatakan: “Bunuhlah atau bakarlah dia.” Lalu Allah
menyelamatkan dari api.<br /> <br />V<br />Demikianlah dari perbandingan sepintas antara “Godlob” Danarto dan “Dajal”
Mana Sikana, sedikitnya kita melihat adanya kesamaan fundamental pada diri
kedua pengarang itu, yakni adanya kesadaran apokaliptik, kesadaran pada
kebenaran wahyu Ilahi. Sesuatu kesadaran, yang ternyata sering tampak pada
sejumlah sastrawan Islam terdahulu, seperti Iqbal, Rumi, Rabiah Adawiyah.
Perbedaannya boleh jadi karena akar tradisi budaya masing-masing pengarang yang
mempengaruhinya beralinan satu dengan lainnya. Danarto yang hidup dalam
lingkungan tradisi Jawa serta tradisi keislaman yang juga menyerap tradisi
Hindu-Budha sebagaimana yang telah dirintis Sultan Agung, Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Yosodipura, Ronggowarsito, dan Mangkunegara IV, lebih banyak
mengungkapkannya secara implisit. Di dalamnya, mencuat juga sebuah
simbol-simbol dunia pewayangan.<br /> <br />Cara tersebut ternyata tidak kita lihat pada karya Mana Sikana. Dia
menyampaikannya lebih lugas dan eksplisit. Hal ini juga tentu sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial budaya dan akar tradisi keagamaan
yang melingkari diri Mana Sikana. Pengaruh Islam di Malaysia, relatif lebih
banyak langsung dari Timur Tengah, terutama Mesir. Maktab Perguruan Sultan
Idris yang berdiri tahun 1922, sampai kini banyak berperan dalam pembentukan
kebudayaan kebangsaan Malaysia; dan kelahirannya “sungguhpun mengambil Balai
Pustaka sebagai modelnya” banyak diwarnai oleh pemikiran Muhammad Abduh,
Jamaluddin al-Afgani, dan Muhammad Iqbal. Maka tidak mengherankan jika dalam
Kongres Kebudayaan Kebangsaan tahun 1971, Islam dinyatakan sebagai unsur
penting dalam pembentukan kebudayaan dan kebangsaan Malaysia.<br /> <br />Di samping itu, kebanyakan sastrawan Malaysia, secara sadar menempatkan
karyanya sebagai alat pendidikan dan pengajaran, sebagaimana dapat kita lihat
pada karya-karya sastrawan Asas 50.<br /> <br />Perbandingan lebih lanjut mengenai khazanah kesusastraan Indonesia dan
Malaysia mutakhir, teristimewa karya-karya yang bernafaskan Islam, tentu akan
dapat memperjelas persamaan dan perbedaan masing-masing. Pada gilirannya sangat
boleh jadi, tidak hanya dapat lebih merangsang sastrawan di kedua-dua negara,
tetapi juga dapat mempertemukan kembali tradisi kesusastraan (Islam) yang
pernah dirintis Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, dan Samsudin Al-Sumatrani.
Dengan itu pula karya sastrawan di kedua negara akan sampai pada tingkat yang
lebih tinggi, sehingga benar-benar dapat memperkaya batin para pembacanya.<br /> <br />BIBLIOGRAFI<br /> <br />Ciptoprawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.<br />Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.<br />Gapena, 1980. Kesusastraan Melayu dan Islam. Kuala Lumpur: Sarjana
Enterprise.<br />Hamzah, Hamdani (ed.). 1982. Novel-Novel Malaysia dalam Kritikan. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.<br />Jassin, H.B., 1963. “Prakata” dalam al-Manfaluthi. Magdalena (terj.
A.S.Alatas). Jakarta: Kirana.<br />_________. 1976. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai.
Jakarta: Gunung Agung.<br />Junus, Umar. 1974. Perkembangan Novel-Novel Indonesia. Kuala Lumpur:
University Malaya.<br />Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, dan Willem G. Wersteijn. 1984. Pengantar
Ilmu Sastra (diindonesiakan oleh Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.<br />Mahayana, Maman S., 1986. “Analisis Bandingan antara Kubah dengan Atheis.”
(Skripsi Sarjana). Jakarta: FSUI.<br />____________. 1987. “Sastera Bandingan: Telaah Sastera Mancanegara” dalam
Angkatan Bersenjata. Maret 1987.<br />Remak, Henry H. 1971. “Comparative Literature” dalam Newton P. Staltnech
and Host Frenz (ed.). Contemporary Literature: Method & Perspective.
Southern Illinois University Press.<br />Sahlan Mohd. Saman. 1986. Sastera Bandingan: Konsep, Teori, dan Amalan.
Petaling Jaya: Fajar Bakti.<br />Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.<br />Teeuw, A. 1989. “Permasalahan Teori Sastera” (Ikhtisar Makalah) Depok,
FSUI, 23 September.<br />Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terj. Melani
Budianta. Jakarta: Gramedia.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2009/05/antara-godlob-danarto-dan-dajal-mana-sikana/">http://sastra-indonesia.com/2009/05/antara-godlob-danarto-dan-dajal-mana-sikana/</a></span></p>
<p class="MsoNormal" style="tab-stops: 99.25pt 288.45pt;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-57533794376972224862021-08-18T22:21:00.001-07:002021-08-18T22:21:08.274-07:00Di Mana Persembunyian Karya Sastra Anak Lokal?Dessy Wahyuni *<br />Riau Pos, 9 Okt 2011<br /> <br />“KE mana… ke mana… ke mana kuharus mencari…. Di mana… di mana… di mana
tinggalnya sekarang….”<br /> <br />Belakangan ini kata “di mana” dan “ke mana” menjadi sangat populer, baik di
kalangan orang dewasa maupun anak-anak, di jalanan maupun di perkantoran,
bahkan di angkutan umum maupun di televisi. Ayu Ting Ting menjadi sangat
terkenal dengan “Alamat Palsu”-nya tersebut.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Tidak hanya Ayu Ting Ting saja yang ternyata melantunkan kata-kata “di
mana” dan “ke mana” tersebut. Anak-anak bangsa juga mempertanyakan di mana
keberadaan karya-karya sastra anak lokal yang sangat jarang muncul di permukaan
dan ke mana mereka harus mencarinya.<br /> <br />Buku adalah jendela dunia. Melalui buku kita bisa berkeliling dunia dengan
menggunakan paket hemat. Buku merupakan solusi pemecah suatu kebodohan dan
membaca adalah kuncinya.<br /> <br />Untuk itu budaya membaca sangat penting untuk dikenalkan sejak dini kepada
anak, sebab dengan membaca akan memperluas wawasan. Dengan gemar membaca buku
tentu akan menambah pengetahuan anak dan dapat menjadikannya manusia yang
berkualitas di masa depan.<br /> <br />Membaca merupakan kemampuan yang terpenting bagi seseorang, karena dapat
membuka wawasan terhadap banyak pengetahuan.<br /> <br />Jutaan anak yang menghabiskan waktu di depan televisi ataupun video game
sering gagal untuk meningkatkan kemampuan membaca mereka, sehingga mereka
melewati banyak hal yang berharga.<br /> <br />Mengajar anak membaca adalah tugas utama yang penting. Setelah itu upaya
untuk menjadikan membaca sebagai suatu kebutuhan merupakan langkah selanjutnya.<br /> <br />Dalam hal ini karya sastra berfungsi mengembangkan kemampuan membaca,
berpikir naratif, dan mengembangkan wawasan. Pemanfaatan sastra anak merupakan
salah satu upaya untuk dapat meningkatkan minat baca serta mengembangkan
kemampuan bahasa pada anak.<br /> <br />Membacakan cerita atau puisi anak dapat menggerakkan minat mereka dalam
membaca. Menyimak cerita dapat memperkenalkan pola-pola bahasa dan pengembangan
kosa kata dan maknanya.<br /> <br />Riris K Toha-Sarumpaet dalam bukunya Pedoman Penelitian Sastra Anak: Edisi
Revisi (Jakarta: Pusat Bahasa Kementrian Pendidikan Nasional, 2010) mengatakan
bahwa sastra anak adalah karya yang khas (dunia) anak, dibaca anak, serta —pada
dasarnya— dibimbing orang dewasa. Sastra anak dikemas dengan format yang
menarik, menggunakan elemen sastra yang lazim seperti sudut pandang, latar,
watak, alur dan konflik, tema, gaya, dan nada, serta adanya kejujuran,
penulisan yang sangat bersifat langsung, serta informasi yang memperluas
wawasan (hal. 3).<br /> <br />Dalam tulisannya “Hakikat Sastra Anak” (2009) Wahidin berpendapat bahwa
sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh
anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak.<br /> <br />Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta.
Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak
harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka
dan bukan milik orang dewasa.<br /> <br />Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan himbauan tertentu
yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan.<br /> <br />Mendorong anak untuk berimajinasi merupakan hal yang dibutuhkan untuk
mengelola pola pikir anak sejak dini dengan mengembangkan pemahaman dan
metodologi penyampaian melalui dongeng kepada anak-anak.<br /> <br />Peran buku cerita dan dongeng terhadap pengembangan imajinasi anak, menjadi
sangat perlu, karena terbukti mampu membangun serta mengembangkan kekuatan
imajinasi anak.<br /> <br />Ranah imajinasi ini menjadi begitu penting sebab seluruh penciptaan yang
dilakukan manusia bermula dari sini. Dunia imajinasi yang dihasilkan oleh pola
pikir anak menghasilkan suatu kreativitas yang ternyata perlu dikembangkan dan
digali hingga mencapai potensi yang maksimal.<br /> <br />Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai
media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun
kecerdasan emosi anak.<br /> <br />Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan
kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi
pengetahuan keterampilan praktis bagi anak.<br /> <br />Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau
senang membaca, gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau
dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga
menuntun kecerdasan emosinya (Wahidin, 2009).<br /> <br />Secara global, banyak manfaat yang bisa diperoleh dari sastra anak, antara
lain dapat membantu pembentukan pribadi dan moralitas anak, menyalurkan
kebutuhan imajinasi dan fantasi, memacu perkembangan verbal atau kemampuan
berbicara, merangsang minat menulis dan membaca, serta membuka cakrawala
pengetahuan.<br /> <br />Dengan menggunakan bahasa yang mengesankan, tema yang berbeda-beda, serta
format yang menarik, sastra anak dengan karakteristik yang beragam diharapkan
mampu menghadirkan fungsi yang tepat bagi anak-anak.<br /> <br />Namun sayangnya, perkembangan sastra anak terbitan lokal di Indonesia
relatif ketinggalan bila dibandingkan dengan negara-negara Amerika Serikat,
Eropa, maupun Jepang.<br /> <br />Lihat saja beberapa toko buku terkemuka yang ada, koleksi buku yang
tersedia sebagian besar adalah karya-karya terjemahan, seperti komik-komik
Jepang dan seri terjemahan dari Walt Disney.<br /> <br />Dalam kenyataannya, buku-buku seperti ini pula yang laris di pasaran.
Sementara karya-karya sastra anak lokal hanya mampu menghiasi perpustakaan
sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi dari pemerintah.<br /> <br />Hal ini terjadi disebabkan beberapa hal. Pertama, secara kualitas
penampilan karya-karya terjemahan ini jauh di atas karya sastra anak lokal.
Secara fisik karya-karya terjemahan memiliki tampilan gambar yang menawan,
warna-warni yang memesonakan, serta menggunakan kertas yang menarik.<br /> <br />Selain itu, karya sastra anak lokal sering terjebak pada aspek pragmatis
yang harus ditonjolkan, sehingga terciptalah karya yang kaku dengan tema yang
monoton, serta munculnya kesan menggurui yang disebabkan oleh unsur didaktik
yang kuat.<br /> <br />Tidak adanya program sastra di sekolah-sekolah yang membicarakan karya
sastra anak lokal juga menjadi salah satu penyebab buku bacaan anak karya
pengarang dalam negri nyaris tak tersentuh.<br /> <br />Sebenarnya telah banyak penerbit Indonesia yang menerbitkan karya
terjemahan dari Amerika, Jepang, dan negara-negara lainnya untuk mengisi
kekosongan karya asli Indonesia. Hal ini tentu saja baik, sebab karya-karya
terjemahan tersebut tetap bisa menumbuhkan minat baca pada anak.<br /> <br />Hanya saja dengan membaca karya-karya terjemahan itu, anak-anak Indonesia
lebih mengenal kebudayaan asing dan seolah-olah telah melupakan budaya
bangsanya sendiri.<br /> <br />Untuk mengisi kekosongan dan sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi
pengarang-pengarang asli Indonesia, tidak ada salahnya kalau karya terjemahan
digalakkan. Tapi tentu saja karya sastra anak lokal harus tetap muncul di
permukaan.<br /> <br />Abel Tasman yang lahir pada 7 Februari 1959 ini sebenarnya adalah salah
satu aset Riau yang bergelut dalam dunia sastra anak. Sastrawan kelahiran
Telukriti, Pasirpengaraian, Rokan Hulu, Riau tersebut telah banyak menghasilkan
buku cerita anak, yakni Petualangan si Kemilau (Bharawidyacitra Niagautama,
Jakarta 1995), 120 Jam di Belantara Bukit Barisan (Adicita Karya Nusa,
Yogyakarta 1995), Anak-Anak Duano (Adicita Karya Nusa, Yogyakarta 1997), Raja
Kate Dikepung Asap (Adicita Karya Nusa, Yogyakarta 1998; buku ini mendapat
penghargaan Adikarya IKAPI tahun 1999), Bintang Semakin Terang (Bumi Aksara,
Jakarta 1999), Menyelamatkan Kota Sakai (Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru 2000),
Hang Tuah 1 (Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru 2000), Hang Tuah 2 (Yayasan Pusaka
Riau, Pekanbaru 2002), Anak-Anak Batang Lubuh (Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru
2002), Oje (Kerjasama PT. Rineka Cipta dan Pusat Perbukuan Jakarta 2004),
Pencuri Semah Kenduri (Kerjasama CV.<br /> <br />Mediatama dan Pusat Perbukuan Jakarta 2004), Catur Ajaib di Negeri Terubuk
(Kerjasama CV. Mediatama dan Pusat Perbukuan Jakarta 2005), dan Dongeng-Dongeng
dari Riau 1 (dalam proses terbit, Bahana Mestika Karya).<br /> <br />Namun sejak tahun 2005 karya-karyanya sudah tidak kelihatan lagi. Anak-anak
Riau khususnya kembali kehilangan arah, sebab karya sastra anak yang
membungkam.<br /> <br />Sudah tiba saatnya bagi pengarang sastra anak lokal untuk meninggalkan
tema-tema kemiskinan. Bukan saatnya lagi anak-anak selalu disuguhkan gambaran
seorang anak yang terpaksa membantu meringankan beban finansial orangtua.<br /> <br />Karya-karya yang menjawab ketakutan anak terhadap hantu, setan, maupun
orang jahat lebih dibutuhkan.<br /> <br />Demikian pula halnya dengan karya-karya yang mengulas realitas sosial,
seperti kebencian terhadap suatu ras, golongan, agama, suku bangsa, atau bahkan
perjalanan sejarah bangsa yang dapat menjawab kebingungan anak, menjadi karya
yang sangat dinantikan.<br /> <br />Anak-anak memiliki dunia yang berbeda dengan orang dewasa. Dalam penciptaan
karya sastra anak, seorang pengarang harus menyelami dahulu dunia anak
tersebut.<br /> <br />Dunia anak sangat dekat dengan dunia imajinasi. Imajinasi bagi anak adalah
sarana untuk berselancar dalam memahami realitas keberadaan dirinya, orang
lain, maupun lingkungannya.<br /> <br />Mendorong anak untuk berimajinasi merupakan hal yang dibutuhkan untuk
mengelola pola pikir anak sejak dini. Dunia imajinasi yang dihasilkan oleh pola
pikir anak menghasilkan suatu kreativitas yang perlu dikembangkan dan digali
hingga mencapai potensi yang maksimal.<br /> <br />Dalam pengembangan imajinasi anak ini, peran karya sastra anak menjadi
sangat perlu, karena terbukti mampu membangun serta mengembangkan kekuatan
imajinasi anak.<br /> <br />Lalu, di mana keberadaan karya-karya sastra anak lokal yang mampu mendorong
mereka untuk berimajinasi? Ke mana anak-anak bangsa harus mencari karya-karya
yang menarik agar minat baca mereka tak kembali redup?<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Dessy Wahyuni, staf peniliti di Balai Bahasa Riau. Menyelesaikan S-1 di
Jurusan Sastra Inggris, Universitas Andalas (Unand, Padang), dan S-2
Kependidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Selain menulis esai, juga
menulis cerpen. Tinggal di Pekanbaru. <a href="http://sastra-indonesia.com/2011/10/di-mana-persembunyian-karya-sastra-anak-lokal/">http://sastra-indonesia.com/2011/10/di-mana-persembunyian-karya-sastra-anak-lokal/</a></span></p>
<p class="MsoNormal" style="tab-stops: 99.25pt 288.45pt;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="tab-stops: 99.25pt 288.45pt;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-17117310237181268422021-08-18T10:48:00.005-07:002021-08-18T10:48:48.919-07:00Pemantik Kesadaran Revolusioner<a href="https://1.bp.blogspot.com/-5L0nbWvQkqY/YR1Hz58aLDI/AAAAAAAABQY/7s93VxeQHOcVnUraxoTRfa8AcQBpNa0GwCLcBGAsYHQ/s448/Trilogi%2BKesadaran%252C%2BKajian%2BBudaya%2BSemi%252C%2BAnatomi%2BKesadaran%2Bdan%2BRas%2BPemberontak%252C%2BNurel%2BJavissyarqi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="288" height="320" src="https://1.bp.blogspot.com/-5L0nbWvQkqY/YR1Hz58aLDI/AAAAAAAABQY/7s93VxeQHOcVnUraxoTRfa8AcQBpNa0GwCLcBGAsYHQ/s320/Trilogi%2BKesadaran%252C%2BKajian%2BBudaya%2BSemi%252C%2BAnatomi%2BKesadaran%2Bdan%2BRas%2BPemberontak%252C%2BNurel%2BJavissyarqi.jpg" width="206" /></a><br />Judul Buku : Trilogi Kesadaran (Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran &
Ras Pemberontak)<br />Penulis : Nurel Javissyarqi<span><a name='more'></a></span><br />Penerbit : PUstaka puJAngga<br />Cetakan : I, Oktober 2006<br />Tebal : xxx + 490 hlm<br />Peresensi : A. Qorib Hidayatullah<br /> <br />Berpacu pada aforisma padat Rene Descartes, Cogito Ergo Sum (Aku Berpikir,
Maka Aku Ada), ada kemiripan ketika membaca pemikiran Nurel dalam buku ini.
Nurel bisa dikatakan sosok muda yang gila akan makna kesadaran. Ia berani
menggugat tanpa tedeng aling-aling akan kemapanan dalam dirinya. Pemberontakan
jiwanya telah mewarnai kanvas-kanvas kehidupan untuk dituangkan. Seturut
Descartes, yaitu sosok filsuf “yang
menyangsikan segalanya”, “cogito”.<br /> <br />Trilogi Kesadaran, merupakan buah refleksi anatomi kesadaran Nurel demi
mengembang-terbangkan sayap-sayap pemikirannya. Ujung pemikirannya, dibidikkan
pada ranah pembebasan orisinalitas jiwa insan dari ketertindasan atas masa
perubahan (pancaroba). Jejak jajakan intelektualnya, diberangkatkan dari asal
kesadaran akan eksistensi diri menuju kegelisahan besar atas sejarah zaman.
Lahan kesangsiannya adalah kehidupan sehari-hari dalam menggali nilai-nilai.<br /> <br />Berkiblat pada Goenawan Muhamad dipengantar bukunya, Eksotopi, berujar:
“Sejak selama hampir separuh abad terakhir; seorang Indonesia adalah seorang
yang peka oleh pengalamannya dengan kekuasaan. Pengalaman itu, sesuatu yang
traumatis, bermula dari tubuhnya, dari ruang bersama tempat ia tinggal dan
bergerak, dari saat pertemuannya dengan orang lain, dari penentuan identitas,
dari kehidupannya berbahasa dan menafsirkan, dari kepercayaannya.”<br /> <br />Adalah sosok Nurel, kelahiran tanah Lamongan, 08 Maret 1976, sebagian dari
orang Indonesia yang dimaksud Goenawan telah mempertajam pengalaman, dan
menisbatkan dirinya untuk jadi wakil suara-suara pedesaan. Lewat karya-karya
lainnya, Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga & Kulya Dalam Relung Filsafat,
dan juga buku ini, menghantarkan kepada pemahaman, bahwa ada generasi muda yang
memiliki kesadaran revolusioner saat ini.<br /> <br />Budaya Semi,<br /> <br />Dikajian ini, Nurel memosisikan kesadaran asimetris dengan segala
kebijakan-kebijakan Negara yang digulirkan. Ia tak mudah terima kenyataan
bulat-bulat, terus digugat hingga temukan kesadaran versinya. Kalau saya
maknai, ia seolah mendambakan bangsa mandiri, tanpa intervensi siapapun.
“Kenapa kita selalu belajar pada bangsa sudah ompong (yang telah kenyang
pengalaman hingga seenak udelnya berbuat onar di muka bumi). Bukankah bangsa
asing sudah cukup mengocok perut otak kita, sebagai bola bekel, adu domba
antara ideologi dalam pada bangsa kita sendiri.”<br /> <br />Ditopang “kesadaran murni”, ia sangat berharap bangsa ini percaya diri, dan
mampu ciptakan wejangan sendiri walaupun itu bobrok. Bangsa yang tak lagi
didekte oleh bangsa asing, ruh pendidikan tak lagi dikonsumsi dari negeri
seberang, yang nyata-nyata tak sesuai dengan kepribadian kita.<br /> <br />Renung kesadaran Nurel, sengaja diletupkan meraih kembalinya karakter asli
bangsa. Berpayung cinta tanah airnya, “Ingat, kita memilikinya; danau indah,
rawa-rawa menawan, lautan megawan, kepulauan, rentet sekalung putri raja. Tapi
dengan apa kita suguhkan kepada dunia, jikalau masih selalu pulas tidur
mendengkur, mabuk tak bisa berbuat atas kekuasaan anggur asing.”<br /> <br />Budaya semi, dianggap Nurel sebagai penelitian pseudo ilmiah. Ia tuangkan
kesadaran bebas ditengah pergulatan bangsa ini. Manusia yang benar-benar sempurna,
bebas secara definitif, dan sempurna puas dengan diri yang sebenarnya. Jika
penguasa malas adalah kebuntuan, maka perbudakan yang giat bekerja, sebaliknya
merupakan sumber dari seluruh kemajuan manusiawi, sosial, dan historis. Sejarah
adalah sejarah budak yang bekerja. (Alexander Kojeve, dikutip Fukuyama).<br /> <br />Anatomi Kesadaran<br /> <br />Dijelaskan Nurel, anatomi kesadaran merupakan gabungan psikologi diri dalam
meramu filsafat kalbu keimanan dengan memakai timbangan nalar (hlm 172).
Anatomi kesadaran adalah pemaknaan diri didepan cermin. Merefleksi segala yang
ada bertopangan kesadaran diri, menelisik, meneliti bahwa perubahan harus terus
dirasakan berkesadaran puncak.<br /> <br />Sebagaimana manfaat kesadaran, anatomi kesadaran merupakan esensi paling
dalam. Yaitu, pengembangan fitrah insani untuk terus diperjuangkan meski pada
ranah mengecewakan. Karakter suatu kesadaran takkan terbentuk jika tak mau
merawat (kegelisahan atas keseimbangan integralitas diri sebagai diri bangsa).
Garis inilah, yang selalu digebu agar terbentuk wacana baru, yaitu kesadaran
diri.<br /> <br />Dicontohkan Nurel: “misalnya kita terkadang terima sepucuk surat dari kawan
lama, lalu tahu-tahu dapati kegembiraan, sebab kawan itu tak berhubungan lama,
bagi tanda mengingat lewat datangnya surat. Ketiba-tibaan inilah macam rindu
tersembuhkan atas gerak luar yang nanti membentuk kesadaran baru, kiranya
sapaan kalimat lembut memanggil jiwa atau sebaliknya jika surat yang datang
berberita tragedi, kita bisa memberi motivasi agar yang terselubung
permasalahan cepat teratasi.”<br />Anatomi kesadaran dapat mewujud atas kesungguhan cita, menancapkan
kepercayaan yang dalam, agar gerak langkah menambah penciptaan atas kerja
keras, demi mencapai tujuan yang diharapkan.<br /> <br />Ras Pemberontak<br /> <br />Jiwa pemberontak tak dapat dilepaskan dari kesadaran. Ruh kesadaranlah,
menyebabkan seseorang memberontak, menggugat, dan mendekonstruksi. Apapun di sekitarnya,
perlu diselaraskan dengan pemahaman dan kesadaran. Karena, kesadaran mutlak
pemberontak hanya bersemai di dalam diri.<br /> <br />Refleksi Nurel: “Kesadaran itu kekuasaan terbangun, berlangsung bagi
naluri, berkembang dari sekumpulan pertanyaan dan ruang kosong penentu pijakan.
Perbendaharaan dari sembuhan nalar atas daya tarik kontrak sosial dan kontrol
tampak dinamai kesadaran kekuasaan.” (hlm 315).<br /> <br />Kekuasaan dan kesadaran adalah cara pandang mendasar, hadir atas penjajalan
(percobaan) persepsi hingga menghasilkan premis penentu. Yaitu, dibangun
melalui sarana mental evolusi nilai, terus dikembangkan di alam sekitar, dan
hidup kita sehari-hari.<br /> <br />Yang terpenting, cara kerja membuang kebiasaan lama, bangun berkekuatan
baru, berasal dari tiap diri kita masing-masing. Jiwa pemberontak, yang
benar-benar berharap revolusi diri-dari revolusi nilai positif- yang selama ini
kita abaikan.<br /> <br />Buku ini lewat refleksi-refleksi kristal sang pengarang, memberikan
stimulus hebat menuju manusia berkesadaran. Membacanya, kesadaran mapan kita
terkikis, digugat, hingga direstorasi. Menjadi referensi, bagi siapapun yang
ingin bergerak sosial (social movement) menuju revolusi sosial.<br /> <br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2008/12/pemantik-kesadaran-revolusioner/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2008/12/pemantik-kesadaran-revolusioner/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1100193516100358825.post-25146915536989719972021-08-18T10:45:00.006-07:002021-08-18T10:45:38.135-07:00YANG MEMENGARUHI APRESIASI SASTRA (11)Djoko Saryono<br /> <br />Sudah diungkapkan sebelumnya bahwa proses keberlangsungan apresiasi sastra
dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu karya sastra dan pengapresiasi sastra.
Bagaimanapun dalam batas-batas tertentu karakteristik karya sastra memengaruhi
proses berlangsungnya apresiasi sastra. Napas atau paham dalam karya sastra
(misalnya, eksistensialisme, pantheisme, romantisme, ekspresionisme, psikologisme,
dan pascamodernisme), penceritaan (misalnya, waktu cerita, teknik montase,
kolase, dan asosiasi), struktur dan atau tekstur karya sastra (misalnya, cerita
yang struktural dan cerita yang tekstural), sudut pandang dan fokus pengisahan<span><a name='more'></a></span>
(misalnya, sudut pandangan fisikal, mental, pribadi, dan sosial), penokohan
dalam karya sastra (misalnya, akuan dan diaan), bentuk dan jenis karya sastra
(misalnya, puisi, prosa, dan sastra-dramatik), lambang-lambang dalam karya
sastra, ikonisitas dan rima dalam karya sastra, dan lain-lain merupakan
unsur-unsur karya sastra yang ikut menentukan proses keberlangsungan apresiasi
sastra. Dengan demikian, perbedaan karakteristik karya-karya seperti Pada
Sebuah Kapal (N.H. Dini), Bumi Manusia (Pramudya Ananta Toer), Harimau! Harimau!
(Mochtar Lubis), Stasiun (Putu Wijaya), Berhala (Danarto), Rafilus (Budi
Darma), dan Grotta Azzura (St. Takdir Alisjahbana) menentukan perbedaan
kecenderungan mekanisme beserta varian-variannya proses keberlangsungan
apresiasi sastra.<br /> <br />Untuk memperjelas pernyataan tersebut di atas perhatikanlah contoh berikut
ini. Laila Kinanti dan Nabila Kinasih hendak mengapresiasi dua macam karya
sastra, yaitu Seribu Masjid Satu Jumlahnya (Emha Ainun Najib) dan Berhala
(Danarto). Katakanlah Seribu Masjid Satu Jumlahnya berbentuk puisi liris,
bernapas sufistis, kuat ikonisitas dan rimanya, lambang-lambang yang dipakai
sarat dengan idiom-idiom Islam dan islami, sedangkan Berhala berbentuk cerpen,
bernapas sufistis-pantheistis, struktural, dan lambang-lambang yang terdapat di
dalamnya khas pantheistis. Kedua karya tersebut memiliki matra sosial demikian
kuat. Dalam mengapresiasi kedua karya sastra tersebut, Laila Kinanti dan Nabila
Kinasih pasti menjalani dan mengalami proses yang berbeda. Demikian juga mereka
akan menjalani dan mengalami proses yang berbeda ketika mencoba
mengapresiasi-banding Seribu Masjid Satu Jumlahnya dan Berhala, misalnya
dibandingkan dengan O, Amuk, dan Kapak (Sutardji Calzoum Bachri) dan Sanu,
Infinita Kembar (Motinggo Busye). Hal ini terjadi sebagiannya disebabkan oleh
perbedaan-perbedaan yang inheren ada pada kedua karya sastra tersebut. Dengan
demikian, jelas bahwa karya sastra yang diapresiasi memiliki sumbangsih dalam
membedakan kecenderungan mekanisme proses keberlangsungan apresiasi sastra beserta
varian-variannya.<br /> <br />Di samping itu, kadar dan mutu kemauan, kesudian, ketotalan, kekhusukan,
kesungguhan, kepedulian, kepekaan, dan ketajaman serta keterlibatan diri (kadar
dan mutu segala aspek intuitif dan afektif) pengapresiasi juga memengaruhi kecenderungan
mekanisme dan menentukan varian-varian kecenderungan mekanisme proses
keberlangsungan apresiasi sastra. Perbedaan kadar dan mutu hal-hal tersebut
dapat dipastikan membedakan kecenderungan mekanisme proses keberlangsungan
apresiasi sastra. Sebagai contoh, dalam mengapresiasi Seribu Masjid Satu
Jumlahnya dan Berhala, antara Laila Kinanti dan Nabila Kinasih terdapat
perbedaan kadar dan mutu kemauan, kesudian, ketotalan, kekhusukan, kesungguhan,
kepedulian, kepekaan, ketajaman, dan keterlibatan diri. Katakanlah Laila
Kinanti memiliki kadar dan mutu yang lebih baik daripada Nabila Kinasih.
Perbedaan ini jelas akan memengaruhi proses berlangsungnya apresiasi Seribu
Masjid Satu Jumlahnya dan Berhala meskipun hal-hal tersebut bukan satu-satunya
yang menentukan perbedaan. Hal-hal tersebut dapat dikatakan ikut memberikan
urunan perbedaan.<br /> <br />Pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh pengapresiasi sastra juga ikut
memengaruhi proses keberlangsungan apresiasi sastra. Kekayaan, keanekaragaman,
kedalaman, dan keluasan serta kebermaknaan pengapresiasi akan membedakan
kecenderungan mekanisme dan varian kecenderungan mekanisme proses
keberlangsungan apresiasi. Pengalaman-pengalaman yang dimaksud di sini
bermacam-macam, antara lain sebagai berikut.<br /> <br />Pertama, pengalaman menggauli dan membaca karya sastra. Bagaimanakah
pengalaman pengapresiasi menggauli dan membaca karya sastra? Apakah
pengapresiasi memiliki kekayaan, keanekaragaman, kedalaman, keluasan, dan
kebermaknaan pengalaman dalam menggauli dan membaca karya sastra? Kaya
tidaknya, aneka ragam tidaknya, dalam tidaknya, luas tidaknya, dan bermakna
tidaknya pengalaman menggauli dan membaca karya sastra ini jelas membedakan
kecenderungan mekanisme proses keberlangsungan apresiasi sastra. Sebagai
contoh, Laila Kinanti dan Nabila Kinasih mencoba mengapresiasi kumpulan cerpen
Adam Ma’rifat (Danarto). Kedua orang ini memiliki pengalaman menggauli dan
membaca karya sastra yang berbeda. Laila Kinanti biasa membaca karya-karya
sufi, misalnya Musyawarah Burung (Fariduddin Attar), Rubaiyat (Omar Kayyam),
Asrari Khudi (Mohammad Iqbal), Gurindam 12 (Hamzah Fansuri), dan Serat Wirid
Hidayat Jati (Ranggawarsita) sehingga
pengalamannya menggauli dan membaca karya-karya sufistis demikian kaya,
beraneka, dalam, luas, dan bermakna. Sementara itu, Nabila Kinasih tidak biasa,
karena memang tidak menyukai, menggauli dan membaca karya-karya sufi. Dia lebih
suka menggauli dan menggumuli karya-karya filosofis, misalnya Pintu Tertutup
(Sartre), La Peste (Camus), Ziarah dan Kering (Iwan Simatupang) sehingga
pengalamannya menggauli dan membaca karya filosofis demikian kaya, beraneka,
dalam, luas, dan bermakna. Karena perbedaan pengalaman ini, kecenderungan
mekanisme proses mengapresiasi Adam Ma’rifat berbeda antara Laila Kinanti dan
Nabila Kinasih.<br /> <br />Kedua, pengalaman mengikuti kegiatan-kegiatan kesastraan. Bagaimanakah
pengalaman pengapresiasi mengikuti kegiatan-kegiatan kesastraan? Apakah
pengapresiasi intensif, sungguh-sungguh dan benar-benar serta ajek mengikuti
kegiatan-kegiatan kesastraan yang ada? Keintensifan, kesungguh-sungguhan,
kebenar-benaran, dan keajekan mengikuti diskusi sastra, sarasehan sastra,
pembacaan (pelisanan) sastra, pameran sastra, dan sejenisnya akan membedakan
kecenderungan mekanisme proses berlangsungnya apresiasi sastra di antara
pengapresiasi. Sebagai contoh, Laila Kinanti dan Nabila Kinasih mencoba
mengapresiasi Salah Asuhan (Abdul Muis). Kegiatan-kegiatan kesastraan, misalnya
diskusi sastra, sarasehan sastra, pembacaan sastra, pameran sastra, dan dialog
bersama sastrawan diikuti oleh Nabila Kinasih secara ajek, tekun, rajin,
intensif, sungguh-sungguh, dan benar-benar. Dalam pada itu, kegiatan-kegiatan
sebagai tersebut jarang diikuti oleh Laila Kinanti. Karena itu, mekanisme
proses keberlangsungan apresiasi Salah Asuhan berbeda antara Laila Kinanti dan
Nabila Kinasih; Nabila Kinasih tentulah mampu menceritakan dan memaparkan
perolehannya lebih banyak dan lebih baik dibandingkan Laila Kinanti.<br /> <br />Ketiga, pengalaman sosial budaya. Bagaimanakah pengalaman sosial budaya
pengapresiasi? Apakah dia memiliki kekayaan, keberanekaragaman, kedalaman, dan
keluasan serta kebermaknaan pengalaman sosial budaya? Kekayaan,
keberanekaragaman, kedalaman, keluasan, dan kebermaknaan pengalaman sosial
budaya seperti bergumul dengan kelompok miskin, bergaul dengan kaum tersisih
dan para remaja, hidup bersama dengan kelompok masyarakat tertentu atau budaya
tertentu, berlibat dalam kegiatan-kegiatan kelompok intelektual, dan sebagainya
akan membedakan mekanisme proses keberlangsungan apresiasi pada pengapresiasi
yang satu dan pada pengapresiasi yang lain. Sebagai contoh, Laila Kinanti dan
Nabila Kinasih mencoba mengapresiasi Godlob (Danarto). Nabila Kinasih memiliki
pengalaman pernah hidup bersama kelompok kejawen, pernah hidup di lingkungan
kaum sufi, sering berbincang dengan pengikut-pengikut tarekat, dan pernah
melakukan partisipatory action research masyarakat pengikut ajaran kejawen,
sedangkan Laila Kinanti tidak memiliki pengalaman seperti itu sama sekali.
Godlob yang diduga bernapaskan sufisme bercampur kejawen tentu akan diapresiasi
secara berbeda oleh kedua orang tersebut; kedua orang tersebut tentu melakukan
proses berbeda dalam apresiasi. Nabila Kinasih tentu akan lebih mampu menjiwai
dan menghayati secara emotif dan afektif cerita dalam Godlob dibandingkan
dengan Laila Kinanti; Laila Kinanti mungkin hanya mampu memahami secara
kognitif dan intelektual.<br /> <br />Keempat, pengalaman sosial politis. Bagaimanakah pengalaman sosial politis
pengapresiasi? Apakah pengapresiasi memiliki kekayaan, keberanekaragaman,
kedalaman, keluasan, dan kebermaknaan pengalaman sosial politis? Kekayaan,
keberanekaragaman, kedalaman, keluasan, dan kebermaknaan berhubungan dengan
orang-orang cacat politis, mengikuti demonstrasi dan protes, mewawancarai dan
bersahabat dengan koruptor atau narapidana, mengikuti si dang dan rapat
kekuatan sosial politis, dan sebagainya akan membedakan mekanisme proses
keberlangsungan apresiasi sastra pada pengapresiasi yang satu dan pada
pengapresiasi yang lain. Sebagai contoh, Laila Kinanti dan Nabila Kinasih
mencoba mengapresiasi Panembahan Reso (W.S.Rendra). Dibandingkan Laila Kinanti,
Nabila Kinasih memiliki pengalaman lebih kaya, beraneka, dalam, dan luas dalam
mengikuti kegiatan-kegiatan sosial politis seperti tersebut di atas; Nabila
Kinasih lebih dekat dan akrab dengan kegiatan sosial politis. Panembahan Reso
yang disarati oleh fenomena-fenomena sosial politis pasti diapresiasi secara
berbeda oleh Laila Kinanti dan Nabila Kinasih. Nabila Kinasih akan lebih mampu
menjiwai dan menghayati cerita daripada
Laila Kinanti.<br /> <br />Kelima, pengalaman filosofis, etis, dan moral. Bagaimanakah pengalaman
filosofis, etis, dan moral pengapresiasi? Apakah pengalaman filosofis, etis,
dan moral pengapresiasi kaya, beraneka, dalam dan luas serta bermakna?
Kekayaan, keberanekaragaman, kedalaman, keluasan, dan kebermaknaan melakukan
perenungan, katasis, kontemplasi, introversi, menyantuni kaum miskin, berbuat
baik kepada sesama, menolong orang dari kesusahan, dan sebagainya akan
membedakan mekanisme proses keberlangsungan apresiasi pada pengapresiasi yang
satu dan pada pengapresiasi yang lain. Sebagai contoh, Laila Kinanti dan Nabila
Kinasih mencoba mengapresiasi Ziarah (Iwan Simatupang). Dibandingkan dengan
Nabila Kinasih, Laila Kinanti lebih sering melakukan perenungan tentang hakikat
hidup dan kehidupan, jalan hidup yang semestinya, kematian, kesusahan, dan
sejenisnya. Mekanisme proses keberlangsungan apresiasi Panembahan Reso pastilah
berbeda antara Laila Kinanti dan Nabila Kinasih sebab Laila Kinanti jelas lebih
mampu menjiwai dan menghayati secara emotif dan afektif daripada Nabila
Kinasih.<br /> <br />Keenam, pengalaman religius-sufistis-profetis. Bagaimanakah pengalaman
religius-sufistis-profetis pengapresiasi? Perbedaan kekayaan,
keberanekaragaman, kedalaman, keluasan, dan kebermaknaan pengalaman berdoa,
mengingat Tuhan, bertafakur, mendoakan orang lain agar diberi kekuatan,
menolong orang lain dari kesusahan, dan sebagainya akan membedakan mekanisme
proses keberlangsungan apresiasi sastra pada pengapresiasi yang satu dan pada
pengapresiasi yang lain. Sebagai contoh, Laila Kinanti dan Nabila Kinasih
mencoba mengapresiasi novel Perjalanan ke Akherat (Djamil Suherman).
Dibandingkan dengan Nabila Kinasih, Laila Kinanti lebih memiliki pengalaman
membantu anak-anak kecil mendaras Al-Quran di surau, mengikuti acara-acara
pengajian dan ceramah agama, membantu kegiatan-kegiatan keagamaan, dan
bershalat jamaah di surau sehingga pengalamannya lebih kaya, dalam, dan luas
serta bermakna dibandingkan Nabila Kinasih. Karena perbedaan pengalaman ini
tentu mekanisme proses keberlangsungan apresiasi Perjalanan ke Akherat yang
dilalui, dijalani, dan ditempuh oleh Laila Kinanti dan Maulana Ikram.<br /> <br />Di samping pengalaman-pengalaman tersebut di atas, tentu saja masih ada
pengalaman-pengalaman lain, yang tidak perlu dan tidak mungkin dipaparkan di
sini. Keenam pengalaman tersebut sekadar contoh pengalaman yang ikut
memengaruhi mekanisme keberlangsungan apresiasi sastra. Dari paparan keenam
pengalaman tersebut kiranya menjadi jelas bagaimana kekayaan, keanekaragaman,
kedalaman, keluasan, dan kebermaknaan pengalaman memengaruhi kecenderungan
mekanisme keberlangsungan apresiasi sastra beserta varian-variannya. Semakin
renik dan detail perbedaan kekayaan, keanekaragaman, kedalaman, keluasan, dan
kebermaknaan pengalaman para pengapresiasi akan semakin besar menimbulkan
perbedaan kecenderungan mekanisme proses keberlangsungan apresiasi sastra
beserta varian-variannya. Perbedaan keenam pengalaman tersebut dalam diri dua
pengapresiasi saja sudah pasti menimbulkan perbedaan besar pada mekanisme
proses keberlangsungan apresiasi karya sastra tertentu.<br /> <br />Misalkan, Laila Kinanti dan Rindang Kasih mengapresiasi Adam Ma’rifat,
Godlob, dan Berhala. Kedua orang ini memiliki pengalaman berbeda. Laila Kinanti
sudah terbiasa membaca karya sastra bernapas sufisme-pantheistis, sering
mengikuti diskusi dan sarasehan sastra sufistis-pantheistis, pernah
mewawancarai orang yang menjalani hidup sufi, dan pernah hidup bersama dengan
sekelompok orang yang menjalankan hidup sufistis sehingga memiliki kekayaan,
kedalaman, keluasan, dan kebermaknaan pengalaman tentang hal-hal tersebut.
Sebaliknya, Rindang Kasih belum ter biasa membaca karya sastra terutama karya
sufistis-pantheistis, kurang berminat mengikuti diskusi dan sarasehan sastra,
tidak pernah berdialog dengan orang yang menjalani hidup sufi, dan tak pernah
hidup bersama dengan kelompok orang yang menjalankan ajaran sufi tertentu
sehingga pengalamannya tak sekaya, sedalam, seluas, dan sebermakna Laila
Kinanti. Perbedaan ini jelas membedakan cara melakukan apresiasi apresiasi Adam
Ma’rifat, Godlob, dan Berhala yang memang karya sufistis dan ini berarti
membedakan mekanisme keberlangsungan apresiasi sastra.<br /> <br />Bersambung 12<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di
Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak
menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi
pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga
Internasional. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/yang-memengaruhi-apresiasi-sastra-11/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/yang-memengaruhi-apresiasi-sastra-11/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0