Rabu, 04 April 2018

MEREFLEKSIKAN HIDUP MELALUI PUISI (Herry Lamongan)

Tengsoe Tjahjono
tengsoe.blogspot.co.id

/1/
Puisi. Kata ini seakan memiliki magnet yang amat besar daya sedotnya. Tumbuh beribu-ribu penyair di Indonesia ini buah dari kuasa magnet tersebut. Namun, Herry Lamongan bukanlah penyair yang menulis karena pesona magnet itu. Herry menulis karena ingin mencatat lintasan-lintasan peristiwa yang dijumpainya. Puisi adalah media yang paling pas baginya untuk mengungkapkan komentarnya atas peristiwa-peristiwa itu.

Begini katanya: ”siapa menyisir serabut syarafku, bersila dalam/ nadi kemudian larik temali menghela peristiwa/ ke dalam sajak.” Dengan gaya retorik ia bertanya. Walau sejatinya ia tahu bahwa ketimpangan sosial, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kemiskinan, dan sebagainya yang merebak dalam lingkaran hidupnya yang mengetuk kesadaran kritisnya hingga lahir puisi. Peristiwa tersebut menyentuh relung sanubarinya, mengetuk nuraninya, untuk berkata-kata.

Katanya lagi: ”entah syair apa, mengguncang benak memanjat/ tubuh antena hingga hembus angin di langit-langit/ melambungkan fantasimu ke katulistiwa/ tropika. Sajak meratap!” Lalu apa yang akan dilakukan penyair menatap fakta sosial semacam itu? Yang jelas nuraninya tergugah, terdorong untuk menuliskan komentar kritisnya atas kejadian atau fenomena-fenomena itu. Bagi Herry tampaknya puisi diharapkan memiliki daya gugah. Syukur-syukur bila bisa menjadi sarana penyadaran bagi siapa pun. Suara penyair mampu menembus antena kesadaran, dan berharap lahirnya aksi, bukan sekadar reaksi.

Dalam antologi puisi terbarunya yang berjudul ”Surat Hening” Herry menghadirkan 88 puisi yang ditulis dalam kurun waktu 1988-2007. Tema yang diangkat Herry digerakkan oleh kesadarannya dalam menangkap fenomena alam dan peristiwa-peristiwa sosial. Hanya saja dalam merasakan dampak dari fenomena dan peristiwa itu, Herry berusaha mengangkatnya kepada kesadaran religius: hanya kepada Tuhan segala hal itu dikembalikan dan dipersembahkan.

/2/
Sebagai warga bangsa Herry melihat bahwa negeri ini jauh dari kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, murah sandhang, murah pangan. Orang miskin lahir setiap hari oleh keterpurukan ekonomi. Bukan hanya itu. Akibat kemiskinan lingkungan alam menjadi rusak oleh manusia: entah karena kebutuhan, entah karena keserakahan. Yang jelas dampaknya akan sama yaitu rusaknya ekosistem.

Sampai-sampai menurut Herry ”pulau kelapa tidak lagi fasih merayu/ ia melepuh kini dalam hutan, maka/ kupanggil pulang/ bahasa manis gemah ripah loh jinawi/ yang hangus di sana.” Berikutnya ia pun bertutur ”gempa atau gerhana terus melenggang/ semacam sinyal semacam canda murung/ bagi segala sesuatu yang berulang kali dilacurkan.”

Puisi-puisi Herry memang terkesan lugas. Metafora-metafora yang dipilihnya pun gampang ditafsirkan. Hal tersebut menunjukkan betapa kuat niatan Herry untuk menyampaikan gagasan dan pesan kepada pembacanya. Boleh jadi, niatan tersebut dibangun oleh kesadaran bahwa puisi pun lahir demi maksud-maksud komunikasi. Kutipan di atas misalnya. Dalam larik-larik tersebut terbaca dengan tegas bagaimana lingkungan alam itu telah rusak dan bagaimana manusia tak tergugah rasa sadarnya dengan sinyal-sinyal alam melalui bencana (gempa, banjir, tanah longsor) yang muncul karena manusia mengeksploitasi sehabis-habisnya.

Dalam puisinya yang lain Herry menulis ”burung-burung pesiar/ melepas bulu-bulu atas musim/ dalam tatapan duka atau suka/ menimbuni bumi di sisa kicaunya.” Dalam larik ini terbaca betapa manusia jatuh ke dalam sikap tanpa harapan. Musim yang tidak bisa diduga membuat manusia tak mampu lagi menyusun langkah-langkah kerja dalam hidupnya. Burung-burung telah melepas bulu-bulunya. Ada dua hal yang bakal terjadi: tak dapat terbang dan dengan pasti kedinginan. Dua hal itu sangat mungkin akan menggiring burung-burung ke lorong kematian. Maka ”Tanah semakin gelap. Burung dan capung semakin/ limbung.” Ucap Herry dalam larik puisinya yang lain.

Lalu: ”misteri dan drama/ seperti sebuah minggu pagi/ sesaat anak-anak pergi bermain/ lantas dipanggil pulang menjelang siang”. Benarkah peristiwa atau fenomena-fenomena sumbang itu merupakan rahasia dan hanya sandiwara yang berlalu begitu cepat dan tiba-tiba harus usai? Hal itu sangat bergantung dari cara manusia menyikapi hal-hal tersebut. Pribadi-pribadi yang selalu optimistis menghadapi masa depan akan memposisikan hal-hal sumbang dalam hidup sehari sebagai kerikil atau bahkan badai yang dengan caranya akan mampu mendewasakan. Dalam konteks ini tampaknya Herry mengajak pembaca untuk selalu optimistis.

Karena: “Sebuah pinggir. Setiap pesisir menjadi pinggir/ bagi jiwa sungai dan sayap ombak airmatamu”. Di mata Herry setiap masalah tentu ada ujungnya. Tak ada masalah tak bertepi. Bagaimana wujud pinggir itu? Menurut Herry: “Kembali ke pinggir. Selalu pinggir/ Menanggalkan peristiwa dengan semacam sesal/ esok hari”. Penyesalan atau pertobatan. Itulah kunci. Kita diajak menyadari bahwa hal yang terjadi selama ini merupakan sebuah kesalahan dan diajak untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku. Bagus sekali jika ada tobat bersama, perubahan bersama.

/3/
Pertobatan sungguh diperlukan demi membangun habitus baru. Namun hal tersebut akan lebih berbuah bila Tuhan juga dihadirkan dalam membangun niat dan aksi itu. “Hanya Engkau/ selat antara hidup ke mati/... Mengapa saya mengungsi dari ancaman sesama/ Mengapa harus takut kepada selain Engkau”. Dalam kesadaran Herry, Tuhan adalah selat antara hidup ke mati. Untuk mencapai mati yang membahagiakan manusia harus melalui Tuhan. Melalui Tuhan berarti menjalankan kehendak Tuhan, menjauhi larangan-larangan-Nya. Jika hidup dimulai, dijalankan, dan ditujukan kepada Tuhan, orang seharusnya berada dalam posisi damai, tanpa harus takut terhadap datangnya ancaman. Maka, takut kepada Tuhan hendaknya menjadi sentral hidup manusia, bukan takut kepada sesama manusia.

Hanya saja sebagai makhluk dunia, manusia susah melepaskan diri dari jeratan dunia atau amuk materi. Menurut Herry: “kalau dalam hening musyahadah/ masih juga sekawan sampah dan bau cuaca menimbun/ ibukota tubuhku, bagaimana mungkin menyapaMU/ sambil berjingkrak lewat tolong bunyi-bunyian”. Acap kali komunikasi dan relasi manusia terganggu oleh aspek jasmaniah manusia. Bagaimana bisa relasi mesra manusia-Tuhan terbina manakala manusia masih mengikatkan diri dengan kodrat duniawinya. Hal ini yang acap kali memperburuk relasi manusia dengan Tuhan. Dalam konteks ini bisa terjadi manusia meragukan Kasih Tuhan, lebih parah lagi meninggalkan Tuhan.

Maka: “segala bunyi marilah berdansa dalam dadaku/ agar hening sujudku kian sempurna”. Nah, tampaknya Herry lebih berusaha memahami segala fakta sosial apa adanya. Kesedihan, duka, ketidakadilan, dan sebagainya dinikmatinya sebagai sebuah tarian hidup dengan aneka macam irama dan dinamika. Hanya dengan cara itu manusia mampu untuk selalu bersyukur dalam hidupnya: suka maupun duka. Tidak salah bila Herry pun berucap: “betapa kuingin senyap bersamamu di ketinggian ...” Ketika segala warna-warni kehidupan diterimanya dengan penuh syukur, manusia seakan senyap bersama Tuhan dalam suatu ruang tertentu. Ruang doa, ruang hati nurani.

/4/
Dalam puisinya “Surat Hening” Herry menulis: “kau paham, bagaimana di itu tempat/ gelap dan terang bersekutu dengan/ lentik kabut/ mengantar dingin, sentuhan teramat halus/ merambat ke sekujur perasaan.” Bagian ini terlihat sebagai tema sentral yang memayungi seluruh subtema puisi-puisi. Herry mengingatkan kita bahwa gelap dan terang, orang jahat dan orang baik, penipu dan penolong, dan sebagainya selalu ada dalam hidup kita. Persoalannya ialah bagaimana sikap kita. Bagaimana sikap kita menghadapi sikap baik dan sikap buruk yang semakin tidak tegas dan jelas batas-batasnya.

“Surat Hening” pada akhirnya bisa dihadirkan sebagai media refleksi. Kita diajak melihat siapa diri kita melalui puisi-puisi yang ditulis penyair Herry Lamongan. Dan dengan bahasa yang sederhana namun tetap menggelitik untuk terus dibaca, Herry mampu membangun kesadaran pembaca , misalnya tentang keluarga, lingkungan hidup, cinta, keluarga, dan sebagainya. Herry telah berhasil menyederhanakan puisi tanpa harus mengurangi kekuatan magis puisi itu sendiri.
***

http://tengsoe.blogspot.co.id/2008/05/merefleksikan-hidup-melalui-puisi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar