Indonesia – Prae-Indonesia *)
Sutan Takdir Alisjahbana
Berbicara tentang masyarakat dan kebudayaan baru, yang dimaksud tentu adalah masyarakat dan kebudayaan Indonesia Raya, yakni masyarakat dan kebudayaan yang tergambar dalam hati semua penduduk kepulauan ini, terutama yang mengharapkan tempat yang layak bagi negeri dan bangsanya, berdampingan dengan bangsa lain di muka bumi ini. Untuk membicarakan masyarakat dan kebudayaan Indonesia Raya, pertama sekali kita harus memahami arti Indonesia sejelas-jelasnya, terlepas dari segala bungkusan dan tambahan yang mengaburkannya.
Sesungguhnya, arti kata “Indonesia” sekarang ini sudah sangat kacau. Menurut para ahli bangsa, kata “Indonesia” dipakai untuk melingkupi seluruh penduduk di daerah yang membentang dari Pulau Formosa sampai ke Pantai Samudra Hindia, dari Madagaskar sampai ke Nieuw Guinea. Dalam pergaulan sehari-hari di negeri kita kata itu telah sangat populer.
Bagaimanapun menggembirakannya kepopuleran –menjadi lazimnya-kata “Indonesia” itu, tetapi satu hal tidak boleh kita lupakan : lantaran kepopuleran atau kelaziman itu artinya menjadi amat meluas sehingga menjadi kabur.
Segala yang ada dan yang terjadi, segala yang pernah ada dan pernah terjadi di lingkungan kepulauan kita ini, diberi nama “Indonesia”
Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Umar, dan lain-lain telah dijadikan pahlawan Indonesia. Borobudur telah menjadi bukti keluhuran Indonesia di masa silam, musik gamelan sudah menjadi musik Indonesia, buku Hang Tuah sudah menjadi buku hasil kesusastraan Indonesia.
Padahal ketika Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Umar, dan lain-lain itu berjuang, dahulu belum ada dan belum tercium perasaan keindonesiaan. Diponegoro berjuang untuk Tanah Jawa, itu pun sepertinya tidak dapat kita katakan untuk seluruh Tanah Jawa. Tuanku Imam Bonjol berjuang untuk Minangkabau, Teungku Umar untuk Aceh. Siapa yang dapat menjamin sekarang ini bahwa baik Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, ataupun Teungku Umar tidak akan menyerang bagian kepulauan yang lain sekiranya mereka dulu mendapat kesempatan?
Jiwa yang melahirkan Borobudur yang luhur itu tidak ada sangkut pautnya dengan semangat yang bernyala-nyala dalam dada para penganjur cita-cita keindonesiaan dalam abad kedua puluh ini.
Ada pula hubungannya musik gamelan dengan perasaan keindonesiaan. Bahkan buku Hang Tuah menurut ukuran sekarang jelas dapat dikatakan anti-Indonesia, sebab di dalamnya terdapat bagian-bagian yang menghina suku bangsa dalam wilayah kepulauan ini 2).
Sesungguhnya orang telah mengacaukan, mencampur-adukkan segala eksistensi dan peristiwa dalam lingkungan kepulauan ini dengan segala eksistensi dan peristiwa yang dipengaruhi oleh munculnya – atau setidaknya yang erat kaitannya dengan- semangat baru di lingkungan kepulauan ini, yaitu semangat keindonesiaan.
Ke dalam pengertian “Indonesia” itu, diam-diam orang memasukkan beberapa hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan perasaan keindonesiaan. Hal itu lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Bahkan sesungguhnya mengaburkan tali persatuan yang terasa oleh seluruh penduduk kepulauan ini. Ia memberi hak memakai kata Indonesia kepada mereka yang tidak berhak memakainya.
Tumbuhnya masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang sejati, yang sesungguhnya digerakkan oleh semangat keindonesiaan, dihambatnya. Hal ini dikarenakan pengertian Indonesia yang sejati telah kabur, menjadi cerai berai. Untuk mempercepat dan mengukuhkan tumbuhnya masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang sejati, perlu sekali pengertian keindonesiaan itu dibersihkan sehingga menjadi jelas juga hakikatnya.
Kita mesti membuat kata “Indonesia” ini menjadi jelas. Jika perlu kita tidak boleh takut memakai pisau untuk membuang benalu dan parasit pada pohon keindonesiaan itu.
“Indonesia” yang timbul di kalangan bangsa kita, tidak dapat kita lepaskan dari perasaan dan semangat keindonesiaan. Semangat keindonesiaan itu merupakan ciptaan generasi abad kedua puluh, sebagai penjelmaan kebangkitan jiwa dan tenaga.
Semangat Indonesia itu sesuatu yang baru, menurut isi dan menurut bangunnya. Ia tidak bertopang dada pada masa silam. Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang kebesarannya dulu menguasai sebagian besar dari kepulauan ini, bukan pelopor keindonesiaan. Sebab waktu itu, suatu wilayah sama sekali tidak suka dikuasai oleh wilayah lain. Baik di dalam bangunan Sriwijaya maupun dalam bangunan Majapahit tidak ada sedikit pun hakikat semangat Indonesia, yaitu kemauan untuk bersatu yang didesak oleh kesadaran akan kepentingan dan cita-cita bersama.
Semangat Indonesia juga bukan berdasarkan asal bangsa atau ras yang satu, sebagaimana menurut hasil penelitian para ahli Barat. Meskipun penelitian dikemudian hari membuktikan bahwa yang mendiami kepulauan ini bukan hanya satu jenis bangsa 3), semangat Indonesia akan tetap hidup. Sebab ia lahir dari dasar semangat membaja suatu generasi muda yang lebih kukuh dari segala teori keturunan. Setinggi-tingginya teori keturunan yang mati itu hanya dapat memberi kekuatan dan kepercayaan kepada mereka yang lemah, yang perlu dorongan dari belakang. Namun bagi mereka yang kuat tulang belakangnya, adalah mengatasi segala dorongan kemauan, cita-cita, dan keyakinan yang bernyala-nyala, yang berkobar-kobar di dalam hatinya.
Sangat perlu dinyatakan dengan tegas, bahwa sejarah Indonesia dimulai pada abad kedua puluh, ketika lahir generasi baru di wilayah Nusantara ini, yang dengan sadar ingin menempuh jalan baru untuk bangsa dan negerinya.
Zaman sebelum itu, zaman hingga akhir abad kesembilan belas, ialah zaman pra-Indonesia, zaman jahiliyah keindonesiaan, yang hanya mengenal sejarah Hindia Belanda atau Oost Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin, dan lain-lain.
Zaman pra-Indonesia, zaman jahiliyah Indonesia, itu setinggi-tinggi hanya dapat menegaskan pandangan dan pengertian tentang lahirnya zaman Indonesia. Namun, zaman Indonesia sama sekali bukan kelanjutan atau terusan dari zaman sebelumnya. Sebab dalam isi dan bentuknya, keduanya berbeda: Indonesia yang dicita-citakan oleh generasi baru bukan kelanjutan Mataram, bukan kelanjutan kerajaan Banten, bukan kerajaan Minangkabau, atau Banjarmasin.
Menurut susunan pikiran ini, kebudayaan Indonesia pun tidak mungkin merupakan kelanjutan kebudayaan Jawa, kelanjutan kebudayaan Melayu, kelanjutan kebudayaan Sunda, atau kebudayaan yang lain. Pekerjaan Indonesia Muda bukanlah merestorasi Borobudur dan Prambanan 4), bukan pula mendirikan bangunan lain yang serupa dengan itu. Pekerjaan yang pertama dapat kita serahkan pada ahli purbakala, yang akan mencari batu yang telah dimakan zaman, yang akan membalik buku-buku tua untuk mengetahui bagaimana bentuk asli bangunan-bangunan itu. Sementara pekerjaan yang kedua (mendirikan bangunan lain yang serupa dengan yang sebelumnya, cat.peny.) ialah pekerjaan mereka yang kepandaiannya hanya mengulang dan meniru. Indonesia muda yang kuat degup jantungnya, yang darah mudanya deras mengalir, hanya akan membuka mata, membuka telinga, membuka pikiran untuk segala hal yang diterimanya. Dengan jalan demikian , informasi dari seluruh dunia kemudian dicerna di dalam jiwanya.
Dan ia akan menciptakan sesuatu yang dimilikinya sendiri, cap Indonesia. Sebab dalam hati kecilnya ia yakin seyakin-yakinnya bahwa tinggi rendahnya vonis sejarah atas dirinya bukan bergantung pada berapa banyak puja-puji, menghormati dan meniru yang lama. Namun, pada apa yang dapat dibangunnya, yang lahir dari dasar jiwanya sendiri, yang setara bahkan melebihi zaman lampau.
Jadi, bagaimanakah hubungan kebudayaan Indonesia yang sedang dan akan timbul, dengan kebudayaan zaman pra-Indonesia?
Tentang hal ini pun ada baiknya kita perjelas. Sebab dalam ketidakjelasan ia dapat menyimpan dan melindungi bibit kedaerahan yang sama sekali belum lenyap dari masyarakat kita.
Pada pikiran saya, pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas benar dari warisan kebudayaan zaman pra-Indonesia. Bebas bukan berarti tidak tahu seluk-beluknya. Bebas hanya berarti tidak terikat. Sebab siapa pun yang belum dapat melepaskan dirinya dari kebudayaan Jawa akan berusaha memasukkan semangat kejawaan ke dalam kebudayaan Indonesia. Yang belum terlepas dari kebudayaan Melayu akan berupaya memasukkan semangat kemelayuan ke dalam kebudayaan Indonesia dan demikian seterusnya. Bagi mereka yang berpikir demikian, kebudayaan Indonesia ialah kebudayaan Jawa atau kebudayaan Melayu yang sedikit baru.
Hal itu berarti menimbulkan perselisihan dalam lingkungan Indonesia Muda sendiri. Suku Jawa tak akan senang jika yang disebut kebudayaan Indonesia ialah kebudayaan Melayu yang diubah sedikit. Sebaliknya, suku yang lain pun tidak akan senang jika kebudayaan Indonesia merupakan kebudayaan Jawa yang diubah sedikit.
Sesungguhnya, mengaitkan ke masa yang sudah lampau berarti membangkitkan perselisihan. Sebab pada zaman pra-Indonesia bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara ini tak pernah mempunyai kemauan, cita-cita, dan pikiran bersatu dan berhubungan sehingga tak pernah melahirkan kebudayaan dengan semangat demikian.
Berarti kemauan bersatu yang mengandung semangat Indonesia tidak sedikit pun berurat akar ke masa yang silam, tetapi sebaliknya bertumpu ke masa yang akan datang dengan harapan agar mampu berdampingan sejajar bersama bangsa-bangsa lain di kemudian hari. Dengan meyakini bahwa yang diharapkan dan dicita-citakan itu hanya mungkin tercapai dengan bersatu melakukan pekerjaan bersama-sama.
Maka sudah selayaknya mewujudkan cita-cita persatuan yang tidak berurat akar pada masa yang silam, tetapi pada harapan kemuliaan di kemudian hari, tidak terpaku mencari ramuan di masa yang silam.
Ramuan untuk masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang harus kita cari sesuai dengan kebutuhan kemajuan masyarakat Indonesia yang sempurna. Tali persatuan bangsa kita terutama sekali berdasarkan atas kepentingan bersama. Hakikat kepentingan bersama ialah bersama-sama mencari alat dan berupaya keras agar masyarakat Kepulauan Nusantara yang berabad-abad mandek, mati, menjadi dinamis yang dapat berlomba di lautan dunia yang luas.
Sudah sewajarnya pula alat untuk menumbuhkan masyarakat yang dinamis terutama sekali kita cari di negeri yang dinamis pula susunan masyarakatnya. Bangsa kita perlu alat-alat yang telah menjadikan negeri-negeri yang berkuasa di dunia dewasa ini mencapai kebudayaan yang tinggi seperti sekarang : Eropa, Amerika dan Jepang.
Demikian saya meyakini bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh sekarang ini akan terdapat sebagian besar unsur Barat, unsur yang dinamis. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi sebuah bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil unsur-unsur dari luar : kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab.
Dan sekarang tiba waktunya mengarahkan pandangan kita ke Barat. Jika dulu begitu banyak pengaruh kebudayaan Hindu dan Arab atas negeri kita ini, pastilah sekurang-kurangnya pengaruh Barat akan sama dengan pengaruh kedua kebudayaan itu. Namun, tidak mustahil bahwa pengaruh itu dapat lebih besar lagi.
Bayangkanlah jarak antara Hindustan dengan negeri kita sepuluh abad yang lalu, sekurang-kurangnya harus ditempuh dengan waktu sebulan pelayaran. Sedang jarak antara negeri kita dengan Eropa sekarang ini (tahun 1935, cat.peny) hanya butuh waktu tiga hari penerbangan. Hubungan dan pergaulan antara bangsa kita dengan bangsa Barat sekarang ini jauh lebih erat ketimbang dengan guru-guru bangsa saat membangun Borobudur seribu tahun silam.
Ucapan yang secara gamblang mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan bangsa kita harus tumbuh mengarah ke Barat, boleh jadi akan membangkitkan amarah beberapa golongan di negeri kita sekarang ini. Sebab ada di antaranya yang dengan tidak sengaja dan tidak sadar meninabobokan rakyat banyak dengan ucapan-ucapan kosong dan tidak berarti: Timur halus budinya, sedang Barat egoistis, materialistis, dan intelektualistis. Mereka yang mempunyai anggapan seolah-olah semua orang kita, Timur wali yang suci dan semua orang Barat penjahat yang tidak berhati demikian pasti akan kaget mendengar ucapan yang mengatakan bahwa orang Timur harus berguru kepada orang Barat.
Sekalipun tidak enak didengar, semboyan bahwa kita harus belajar pada Barat, meskipun menyedihkan, dalam hal ini rasanya kita tidak dapat memilih.
Sebab semangat keindonesiaan yang menghidupkan kembali masyarakat bangsa kita, yang berabad-abad seolah mati ini, pada hakikatnya kita peroleh dari Barat: Budi Utomo lahir seperempat abad silam di kalangan rakyat yang mendapat didikan Barat dan bergaul dengan Barat. Cara berorganisasi yang dipakainya sebagai pengganti persatuan menurut keturunan dan tempat tinggal yang terdapat dalam zaman pra-Indonesia ialah dengan cara Barat. Bahkan dalam segala pergerakan kebangkitan bangsa kita menggunakan organisasi cara modern, yang tampil memimpin adalah mereka yang mendapat didikan cara Barat atau sekurang-kurangnya yang mendapat pengaruh Barat. Malah “Indonesia” yang kita banggakan sekarang ini kita peroleh dari bangsa Barat.
Apabila nyata kepada kita bahwa semangat kesadaran, semangat kebangkitan, semangat kebangsaan yang kita namakan semangat keindonesiaan itu sebagian besar berasal dari Barat atau sekurang-kurangnya dengan perantaraan Barat, wajarlah bila masyarakat dan kebudayaan yang dilahirkan banyak mengandung unsur kebaratan. Jika demikian, tidaklah sesuai jiwa dengan bentuk, semangat dengan kerangkanya. Dalam keadaan demikian pastilah kedua-duanya, baik semangat maupun bentuk tidak sehat tumbuhnya. Semangat kurang kuat getarnya sehingga tidak melahirkan bentuk yang sesuai dengan dirinya. Sebaliknya, bentuk yang membaluti semangat itu adalah bentuk yang mati, yang di dalamnya tidak menyala-nyala jiwa yang hidup, yang sesuai dengan dirinya.
Jelas bagi kita bahwa semangat keindonesiaan semestinya tidak bisa tidak, akan melahirkan masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang berbeda dari masyarakat dan kebudayaan pra-Indonesia.
Hal itu sama sekali bukan berarti bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh itu tidak terdapat unsur pra-Indonesia sedikit pun. Pertentangan semangat Indonesia dengan semangat pra-indonesia bukanlah pertentangan seratus persen, bukan pertentangan dalam segala hal. Dalam membangun bentuk yang sesuai dengan hakikatnya itu, semangat Indonesia pasti akan menyerap beberapa unsur dari nilai-nilai masyarakat yang silam yang sesuai dengan dirinya. Dalam masyarakat Indonesia akan terdapat bagian-bagian yang yang berasal dari masa pra-Indonesia, meskipun bagian-bagian itu akan mendapat arti yang berbeda, yang modern, dan sesuai dengan semangat baru.
Lagi pula kita harus ingat bahwa di samping kebudayaan pra-Indonesia yang banyak mengandung semangat Barat atau universal dewasa ini, untu sementara masih tetap akan hidup kebudayaan pra-Indonesia berupa kebudayaan daerah. Kebudayaan Jawa, kebudayaan Sunda, kebudayaan Melayu, dan lain-lain untuk sementara belum mati, malah boleh jadi beberapa di antaranya akan mencapai kemajuan pula.
Meskipun demikian ada kemungkinan sekali waktu dari kebudayaan daerah-daerah itu naik ke permukaan dan ikut mewarnai kebudayaan Indonesia. Sebelum itu terjadi dan umum berlaku, kita harus jelas dan tegas membedakan Indonesia dengan kebudayaan pra-Indonesia. Kebudayaan mereka yang telah terlepas dari pikiran kedaerahan dari kebudayaan mereka yang masih terikat dengan tempat dan suasana sekitarnya. Bagi generasi muda yang merasa dirinya sebagai pembangun kebudayaan Indonesia, yang menghadapi kemegahan kebudayaan silam dan kebudayaan yang hidup di daerah-daerah, perbedaan itu bukanlah sekadar memiliki nilai teoretis. Baginya perbedaan itu mengandung arti yang sangat dalam. Sebab untuk melepaskan yang lama, yang kecil merana itu, dengan penuh kesadaran ia menunjukkan kegembiraan mudanya, rasa percaya diri yang besar atas tenaga dan kecakapan diri untuk melahirkan sesuatu yang lebih besar dan luhur dari segala yang pernah timbul dan tumbuh di negerinya.
Lihat mata yang gemerlap bercahaya, muka yang merah berseri-seri, dan gigi yang putih yang belum membenam menggigit bibir!
Tidak terdengarkah Tuan napas berat turun naik, jantung memukul berdegup sampai ke leher?
Lihat, lihatlah panji-panji bergelung-gelung ditiup angin!
Lihat, lihatlah tali yang kuat penuh irama mengayun ke hadapan untuk maju ke muka!
Dengar, dengarlah tanah bergegar dientak sepatu menderap!
Dengar, dengarlah tempik kegirangan memenuhi udara!
Itulah generasi baru yang tiada tertahan menuju ke puncak kemenangan tempat mata lepas jauh memandang, tempat jiwa bebas mengisap udara yang segar, tempat matahari tak terhalang menjatuhkan sinar emasnya.
Pujangga Baru tahun III nomor 2, Agustus 1935
Catatan :
1). Mula-mula maksud saya akan menulis sebuah karangan yang lengkap dan panjang lebar tentang soal ini. Namun, dalam mengatur pikiran dan mencari ramuan untuk susunan pikiran itu ternyata bagi saya, soal itu sangat luas. Karangan yang demikian pasti menjadi buku yang tebal, yang memerlukan waktu berbulan-bulan untuk mengarangnya, bahkan mungkin bertahun-tahun. Demikian saya ambil keputusan untuk sementara menulis karangan-karangan kecil saja yang lengkap membicarakan sebagian dari soal ini. Sekarang ini telah terpikir oleh saya akan menulis sesudah karangan pertama ini : Synthese Timur dan Barat, Individualisme, dan Maatschappelijk Gevoel, Mystiek Baru, dan lain-lain.
2). Bagi mereka yang tidak sempat membaca buku Hang Tuah, bacalah karangan H. Overbeek “Java in de Maleische”, Jawa 1927.
3). Menurut ilmu pengetahuan sekarang, sesungguhnya penduduk kepulauan ini tidak hanya satu jenis. Sebab bangsa Papua tidak termasuk rumpun bangsa Indonesia.
4). Belakangan ini ramai dibicarakan tentang restorasi candi Prambanan, sehubungan dengan pembicaraan subsidi Kolonial Instituut. Uang subsidi itu lebih baik dia pakai di Indonesia ini daripada diberikan kepada Kolonial Instituut. Boleh jadi dengan jalan memperbaiki Prambanan itu beberapa puluh orang akan mendapat pekerjaan, dan bila Prambanan sudah diperbaiki kelak akan banyak pelancong datang kemari membawa uang. Namun, pertama sekali harus diingatkan bahwa memperbaiki Prambanan itu tidak lebih dan tidak kurang mempertahankan mumi, mempertahankan mayat yang tidak berjiwa lagi.
Mumi, mayat pun kadang-kadang interessant, menarik hati. Namun, bagi manusia yang hidup, yang masih merasakan hidup yang lebih penting dan utama ialah getaran jiwanya yang gelisah mencari, berjuang dan berbuat.
Pekerjaan restorasi ialah pekerjaan mereka yang berkepala botak dan kabur matanya oleh penyelidikan dan mempelajari masa silam dari batu-batu yang telah merana dirusak zaman. Namun, pekerjaan Indonesia Muda ialah membangun kebudayaan baru yang sesuai dengan gelora jiwa dan zamannya. Untuk itu perlu semangat yang besar, mata yang terang, dan hati yang gembira dan berani, serta terbuka untuk menerima wahyu.
Indonesia Muda harus mengingatkan, bahwa Indonesia yang siang malam melahirkan yang barulah yang akan dapat sejajar dengan negeri-negeri yang terkemuka di dunia, bukan Indonesia sebagai museum barang kuno.
Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2018/08/catatan-kurator-jejak-kritik-sastra/
Sepilihan Esai & Kritik Sastra
Copyright © Pusat Pembinaan
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Cetakan Pertama, Juli 2017
ISBN: 978-602-6447-29-6
KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA
Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar