Bandung Mawardi *
Kompas, 3 Feb 2013
Urbanisasi adalah
dilema tanpa akhir dalam kompleksitas perkara politik, ekonomi, sosial,
identitas, dan kultural. Urbanisasi menjadi risiko modernitas. Dilema
urbanisasi selalu memberi pesimisme tanpa solusi. Utopia-utopia dari laku
urbanisasi selalu menutupi pesimisme dan mimpi buruk. Taruhan nasib untuk hidup
mungkin janji sepele dari mitos urbanisasi.
Mitos itu
representasi kesuraman modernitas. Georg Simmel mengakui bahwa modernitas
digerakkan oleh kota dan ekonomi uang. Kota adalah tempat modernitas dipusatkan
dan diintensifkan. Ekonomi uang adalah sebab penyebaran modernitas. Kota dan
uang memberi utopia dengan peringatan kematian dan siksaan. Orang-orang pun
terus menunaikan urbanisasi seperti pengesahan atas utopia modernitas.
Afrizal Malna dalam
puisi Bis Membawa Mereka Pergi (1990) mengisahkan urbanisasi dan risiko-risiko
modernitas. Afrizal Malna menulis: Dengan bis yang asing, kami tinggalkan
rumah-rumah/tak berlistrik. Berangkat ke negeri-negeri baru, tumbuh
di/sepanjang jalan. Bis adalah metafor gerak perpindahan atau mobilitas dalam
pengertian geografi, biografi, kultur, sistem, ide, impian. Utopia urbanisasi
adalah taruhan dengan rentetan tanda koma mencari tanda titik meski tak pernah
ditemukan. Urbanisasi menunjukkan sistem dan mekanisme untuk merealisasikan
kehidupan dalam represi dan depresi.
Kisah urbanisasi
adalah kisah resmi di negara-negara berkembang. Urbanisasi menjadi dilema atas
utopia modernitas. Ignas Kleden (1988) menjelaskan bahwa pola modernitas di
negara-negara berkembang mengandung ciri urbanisasi sebagai mobilitas fisik dan
sosial-kultural dari desa ke kota. Fakta keras dari urbanisasi: ketimpangan
pekerja dan kerja. Urbanisasi pun menjadi pilihan untuk perubahan nasib dari
desa ke kota, dari tradisional ke modern, dari gelap ke terang, dari pesimisme
ke optimisme.
Dilema
Kota dalam dilema
urbanisasi adalah ruang pecah tak karuan. Hidup di kota mengandung disintegrasi
tanpa naskah. Realitas-realitas kota menjadi dalil adaptasi dan afirmasi
melalui tubuh sampai mimpi. Kota sebagai ruang kehidupan baru menjelma sebagai
kamar semrawut. Afrizal Malna mengisahkan: Kami putar impian-impian Amerika,
seperti/makhluk-makhluk setiap saat sibuk mengubah diri. Kaum urban hidup
dengan impian-impian terlalu dini atau ilusi.
Afrizal Malna pun
mengingatkan: ”Kota seperti etalase dihuni jam weker yang buas di situ.” Kota
adalah tempat memamerkan barang, uang, gairah, estetika, hedonisme: ejawantah
kapitalisme. Kota tumbuh dalam anutan waktu ketat. Hidup masuk dalam teror
waktu. Jam weker adalah pertaruhan: selamat atau sekarat. Waktu adalah uang.
Waktu menjadi iman mutakhir dengan ritual-ritual mengerikan dan mengharukan.
Kondisi itu
membuktikan realitas kota menuntut jurus-jurus ampuh dari kaum urban. Bekerja
jadi keharusan untuk memenuhi kebutuhan dari makan sampai identitas. Kaum urban
kerap mempertahankan hidup dengan pekerjaan-pekerjaan kasar dalam realitas
industrialisasi di kota. Kerja adalah janji keselamatan meski mengandung
manipulasi dan distorsi. Pekerjaan pun menentukan makna hidup. Kerja adalah ruh
urbanisasi.
Pertaruhan-pertaruhan
dilematis di kota mengantarkan kaum urban dalam pertanyaan pelik mengenai peran
dan kompensasi urbanisasi. Kehadiran kaum urban menjadi klaim untuk
operasionalisasi dan pembesaran kuasa kapitalisme. Afrizal Malna mengisahkan:
Tetapi siapakah kami, di antara tombol-tombol/ TV, menyentuh sunyi di tengah
pasar. Kaum urban mengalami marginalisasi dan alienasi dalam permainan modal
dari kuasa kapitalisme. Getir. Kaum urban rentan gagal mencapai impian-impian.
Kota
Kisah urbanisasi
itu identik dengan Jakarta sebagai metropolis tunggang langgang. Marco
Kusumawijaya (2004) mengingatkan bahwa Jakarta membuat orang-orang frustrasi
karena gagal menjadi tempat untuk hidup secara manusiawi. Kondisi itu tak
membuat orang-orang mundur atau takut. Urbanisasi terus terjadi tanpa henti.
Kota Jakarta ”hamil besar”. Marco membuat konklusi: ”Jakarta adalah kota
tunggang langgang dan orang-orang pun tunggang-langgang untuk adaptasi dan
kompensasi dalam hukum-hukum modernitas.”
Progresivitas
modernitas cenderung memberikan kemapanan dan kenikmatan untuk kelas-kelas
sosial pemilik modal. Dominic Strinati (2003) curiga bahwa kapitalisme dan
urbanisasi dalam alur modernitas memiliki fungsi menciptakan ”atomisasi”.
Kondisi itu membuat kaum urban kurang memiliki hubungan sosial secara bermakna
dan koheren. Hubungan-hubungan individu bersifat kontrak, berjarak, dan
sporadis. Hubungan atomisasi membuat individu kurang memiliki gagasan mengenai
eksistensi, otonomi, dan identitas.
Urbanisasi menjelma
rumus pembungkaman dan pemusnahan secara sistemik. Urbanisasi seperti banjir
bah: membuat kota semakin penuh dan luber. Kota pun pecah sebagai
kampung-kampung besar-sesak oleh manusia, barang, dan masalah. Kondisi itu
membuta kota jadi ruang depresi karena alasan kerja, uang, identitas,
komunikasi, interaksi, pasar, politik, dan polusi. Kota sebagai pusat
impian-impian mengalami kebangkrutan makna dan tubuh-ruang. Urbanisasi adalah
tanda seru dari kondisi represi dan depresi.
Kota-kota besar adalah
sasaran urbanisasi: mengumpul dan meluber. Beban kota semakin berat karena
kenaikan intensitas dalam tegangan-tegangan hidup dengan acuan primer uang.
Kota adalah tempat mengeruk uang demi hidup. Dalil urbanisasi untuk
mempertahankan hidup atau meninggikan martabat justru menimbulkan efek-efek
kasar dalam tuntutan kapitalisme. Hukum-hukum kapitalisme menjadi konstitusi
ajaib dan hegemonik sebagai penentu nasib dan harga hidup manusia. Begitu. []
*) Bandung Mawardi,
Pengelola Jagat Abjad Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar