Minggu, 08 September 2019

Lebih Intim dengan Sastrawan Perempuan

Anjrah Lelono Broto

Untuk lebih intim dengan sastrawan perempuan, besar kemungkinan hasrat mengingat kita akan menanduk nama Ayu Utami, Hanna Fransisca, Djenar Mahesa Ayu. Apa yang menarik dan dari diri seorang sastrawan perempuan? Hal itu tentu saja dapat kita telanjangi dari karya-karyanya maupun latar belakang pribadinya. Akan tetapi, agar lebih intim alangkah bijaknya andaikata kita meraba-raba posisinya dalam realitas kehidupan sehari-hari?

Eksistensi sastrawan perempuan Indonesia secara kuantitas tentu saja tidak sebanding dengan sastrawan berjender lelaki. Meski para perempuan ini dihadapkan pada tantangan yang sama dengan sastrawan lelaki dimana harus bersaing di medan juang kesusastraan Indonesia, berbagai prestasi telah diukir sastrawan-sastrawan perempuan. Mengingat posisinya yang cenderung sub-ordinat dalam lingkung kultural patriakhi dengan sendirinya sastrawan perempuan harus berjuang lebih keras dibandingkan lawan-lawan jenisnya jikalau berkehendak eksistensinya lebih dan lebih.

Keperempuanan sastrawan perempuan melahirkan kondisi yang kurang menguntungkan dengan sederet peran-beban tanggung jawab sosio-kultural. Peran-beban tanggung jawab sosio-kultural tersebut menempatkannya sastrawan perempuan pada wilayah penjara klasik; dapur, sumur, dan kasur. Dus, selain menghadapi tuntutan avant garde, originalitas, kebaruan, dll sastrawan perempuan juga dituntut untuk menjalankan peran-beban tanggung jawab sosio-kulturalnya, dimana mereka dituntut mampu meyakinkan publik bahwa kebrilianan karya dan proses kreatifnya berbanding lurus dengan kehidupan rumah tangganya. Realitanya, sastrawan tidak bisa menafikkan kajian interteks antara karyanya dengan kehidupan pribadinya.

Posisi yang riskan seperti ini tidak jarang menjadikan sastrawan perempuan sebagai dinding melekatnya stigma negatif, terutama ketika ia berani mempertanyakan norma dan nilai-nilai yang tak berpihak padanya (ingat marjinalisasi ‘sastra kelamin’). Memang ada yang setia dengan spirit kreatifnya dan sanggup menjalankan peran-beban tanggung jawab sosio-kulturalnya. Tapi pilihan ini bukan berarti ‘pengorbanan nir resiko’, besar kemungkinan dirinya akan disudutkan dengan berbagai stigma negatif yang berpengaruh besar pada kehidupan nyata pribadinya.

Begitulah, posisi marjinal sastrawan-sastrawan perempuan di dalam sistem patriarkhi. Apabila sastrawan perempuan bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan sastrawan lelaki untuk bisa menikmati pendidikan, karir, dan keluasan samudra proses kreatif, maka spirit Kartini yang menjadi wajah feminis Indonesia akan menemukan resultannya. Keniscayaan ketercapaian perjuangan kaum perempuan, secara umum, akan menjadi implementasi.

Adalah sebuah potensi besar bahwa arah perubahan posisi perempuan tidak selalu mengarah ke depan namun bisa jadi malah mundur teratur. Pengesahan Undang-Undang Pornografi yang cenderung mengkriminalisasi proses kreatif perempuan, jelas merupakan langkah mundur teratur peradaban manusia. Tentu saja, fenomena ini akan mempengaruhi posisi sosial dan daya tawar perempuan dalam dinamika relasi jender dan relasi kekuasaan, secara garis besar.

Acap kali mencuat persepsi bahwa perjalanan kreatif dan karir perempuan, termasuk dalam dunia sastra, sangat bergantung pada lelaki. Bahkan, ada persepsi yang lebih kejam lagi bahwa eksistensi perempuan secara menyeluruh sangat bergantung pada lelaki (ingat tafsir iga bengkok Bapak Adam untuk Ibu Hawa), dan tidak pernah independen (baca, berdikari).

Fenomena ini tentu bukan barang baru dalam blantika relasi jender, dimana dominasi maskulin seperti tembok kokoh yang tidak mudah roboh. Akan tetapi, apabila perempuan mengambil ‘jalan pintas’ dengan memanfaatkan lelaki di dekatnya maka konsekuensinya selain akan berdampak serius pada kelanjutan kariernya maka eksistensinya sendiri bisa dikatakan tidak pernah ada, sebagaimana eksistensi Mbak Tutut, Meutia Hatta, dll dalam dunia politik nasional yang tidak bisa lepas dari figur Soeharto dan Mohammad Hatta.

Dalam dunia sastra, ketika sastrawan perempuan memilih jalan pintas ini maka kualitas karyanya akan menjadi penghuni kamar tanda tanya besar, serta dengan mudah lenyap ditiup angin ketika jendela atau pintu kamar dibuka. Ketika tuntutan atas kualitas karya menurun dan hanya terfokus pada sensasi visual semata (baca, trend), praktek ‘jalan pintas’ akan menjadi menggoda. Namun, sekali lagi, ketika jendela maupun pintu kamar tanda tanya besar tersebut dibuka, eksistensi kesastrawananya akan segera lenyap ditiup angin. Lalu apa jawaban problematika ini?

Pendidikan bagi kaum perempuan bisa jadi adalah satu jawaban yang melintas ringan. Namun, tentu saja kita semua menyadari bahwa pendidikan merupakan kunci balon udara yang bernama independensi. Pendidikan yang memadai bagi perempuan (termasuk di dalamnya sastrawan perempuan) akan menempatkannnya sebagai pribadi yang mampu membaca dan menulis dinding realitas sosial, berikut sederet tantangannya dengan cara yang genial. Gambaran ini akan menaikkan daya tawar keperempuanan yang melekat pada pribadi sastrawan perempuan.

Sastrawan perempuan juga harus berhadapan dengan realitas miskinnya infrastruktur seni sastra Indonesia. Dunia sastra Indonesia sebagaimana dunia seni Indonesia, pada umumnya, masih terikat dengan sendat nafas geliat seni kampus, dan sekolah. Pemerintah masih menempatkan dunia seni sebagai wilayah yang tidak menjanjikan guna membantu keberlanjutan kekuasaan. Kurangnya infrastruktur seni ini memaksa seniman (termasuk sastrawan perempuan) untuk pandai-pandai mengatur strategi pembangunan eksistensi melalui karya.

Miskinnya kritik seni sastra juga memberikan dampak signifikan pada posisi sastrawan perempuan. Sebab wacana yang bisa menjelaskan dan membela ‘keaduhaian’ sastrawan perempuan berikut karyanya menjadi tidak mudah untuk dikomunikasikan. Dengan kata lain, potensi atau ke’seksi’an sastrawan perempuan (yang khas) kurang mendapat tempat untuk diapresiasi secara optimal.

Inilah sedikit yang kita rasakan usai lebih intim dengan sastrawan perempuan Indonesia. Mereka ternyata masih harus repot mengelola entitas keperempuanannya berikut segala pernik tantangan dunia sastra Indonesia yang terjangkiti globalisasi. Perebutan pasar eksistensi tidak hanya terbatas di wilayah lokal, nasional, bahkan ke tataran internasional. Maka jangan heran jika sastrawan perempuan lagi-lagi kerap disudutkan sebagai pribadi yang ambisius, sebuah entitas yang negatif yang sangat berbeda dengan ambisiusnya kaum lelaki. Realitas ketidakadilan jender ini ternyata masih terus menjangkiti ranah sosio-kultural dan tidak mudah untuk dieliminasi.

Mungkin kita akan merasai lebih dari sastrawan perempuan andaikata waktu dan ranjang yang tersedia juga lebih.
***

https://goresananjrahlelonobroto.wordpress.com/2014/12/13/esai-lebih-intim-dengan-sastrawan-perempuan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar