Anjrah Lelono Broto
Untuk lebih intim dengan sastrawan perempuan, besar kemungkinan hasrat mengingat kita akan menanduk nama Ayu Utami, Hanna Fransisca, Djenar Mahesa Ayu. Apa yang menarik dan dari diri seorang sastrawan perempuan? Hal itu tentu saja dapat kita telanjangi dari karya-karyanya maupun latar belakang pribadinya. Akan tetapi, agar lebih intim alangkah bijaknya andaikata kita meraba-raba posisinya dalam realitas kehidupan sehari-hari?
Eksistensi sastrawan perempuan Indonesia secara kuantitas tentu saja tidak sebanding dengan sastrawan berjender lelaki. Meski para perempuan ini dihadapkan pada tantangan yang sama dengan sastrawan lelaki dimana harus bersaing di medan juang kesusastraan Indonesia, berbagai prestasi telah diukir sastrawan-sastrawan perempuan. Mengingat posisinya yang cenderung sub-ordinat dalam lingkung kultural patriakhi dengan sendirinya sastrawan perempuan harus berjuang lebih keras dibandingkan lawan-lawan jenisnya jikalau berkehendak eksistensinya lebih dan lebih.
Keperempuanan sastrawan perempuan melahirkan kondisi yang kurang menguntungkan dengan sederet peran-beban tanggung jawab sosio-kultural. Peran-beban tanggung jawab sosio-kultural tersebut menempatkannya sastrawan perempuan pada wilayah penjara klasik; dapur, sumur, dan kasur. Dus, selain menghadapi tuntutan avant garde, originalitas, kebaruan, dll sastrawan perempuan juga dituntut untuk menjalankan peran-beban tanggung jawab sosio-kulturalnya, dimana mereka dituntut mampu meyakinkan publik bahwa kebrilianan karya dan proses kreatifnya berbanding lurus dengan kehidupan rumah tangganya. Realitanya, sastrawan tidak bisa menafikkan kajian interteks antara karyanya dengan kehidupan pribadinya.
Posisi yang riskan seperti ini tidak jarang menjadikan sastrawan perempuan sebagai dinding melekatnya stigma negatif, terutama ketika ia berani mempertanyakan norma dan nilai-nilai yang tak berpihak padanya (ingat marjinalisasi ‘sastra kelamin’). Memang ada yang setia dengan spirit kreatifnya dan sanggup menjalankan peran-beban tanggung jawab sosio-kulturalnya. Tapi pilihan ini bukan berarti ‘pengorbanan nir resiko’, besar kemungkinan dirinya akan disudutkan dengan berbagai stigma negatif yang berpengaruh besar pada kehidupan nyata pribadinya.
Begitulah, posisi marjinal sastrawan-sastrawan perempuan di dalam sistem patriarkhi. Apabila sastrawan perempuan bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan sastrawan lelaki untuk bisa menikmati pendidikan, karir, dan keluasan samudra proses kreatif, maka spirit Kartini yang menjadi wajah feminis Indonesia akan menemukan resultannya. Keniscayaan ketercapaian perjuangan kaum perempuan, secara umum, akan menjadi implementasi.
Adalah sebuah potensi besar bahwa arah perubahan posisi perempuan tidak selalu mengarah ke depan namun bisa jadi malah mundur teratur. Pengesahan Undang-Undang Pornografi yang cenderung mengkriminalisasi proses kreatif perempuan, jelas merupakan langkah mundur teratur peradaban manusia. Tentu saja, fenomena ini akan mempengaruhi posisi sosial dan daya tawar perempuan dalam dinamika relasi jender dan relasi kekuasaan, secara garis besar.
Acap kali mencuat persepsi bahwa perjalanan kreatif dan karir perempuan, termasuk dalam dunia sastra, sangat bergantung pada lelaki. Bahkan, ada persepsi yang lebih kejam lagi bahwa eksistensi perempuan secara menyeluruh sangat bergantung pada lelaki (ingat tafsir iga bengkok Bapak Adam untuk Ibu Hawa), dan tidak pernah independen (baca, berdikari).
Fenomena ini tentu bukan barang baru dalam blantika relasi jender, dimana dominasi maskulin seperti tembok kokoh yang tidak mudah roboh. Akan tetapi, apabila perempuan mengambil ‘jalan pintas’ dengan memanfaatkan lelaki di dekatnya maka konsekuensinya selain akan berdampak serius pada kelanjutan kariernya maka eksistensinya sendiri bisa dikatakan tidak pernah ada, sebagaimana eksistensi Mbak Tutut, Meutia Hatta, dll dalam dunia politik nasional yang tidak bisa lepas dari figur Soeharto dan Mohammad Hatta.
Dalam dunia sastra, ketika sastrawan perempuan memilih jalan pintas ini maka kualitas karyanya akan menjadi penghuni kamar tanda tanya besar, serta dengan mudah lenyap ditiup angin ketika jendela atau pintu kamar dibuka. Ketika tuntutan atas kualitas karya menurun dan hanya terfokus pada sensasi visual semata (baca, trend), praktek ‘jalan pintas’ akan menjadi menggoda. Namun, sekali lagi, ketika jendela maupun pintu kamar tanda tanya besar tersebut dibuka, eksistensi kesastrawananya akan segera lenyap ditiup angin. Lalu apa jawaban problematika ini?
Pendidikan bagi kaum perempuan bisa jadi adalah satu jawaban yang melintas ringan. Namun, tentu saja kita semua menyadari bahwa pendidikan merupakan kunci balon udara yang bernama independensi. Pendidikan yang memadai bagi perempuan (termasuk di dalamnya sastrawan perempuan) akan menempatkannnya sebagai pribadi yang mampu membaca dan menulis dinding realitas sosial, berikut sederet tantangannya dengan cara yang genial. Gambaran ini akan menaikkan daya tawar keperempuanan yang melekat pada pribadi sastrawan perempuan.
Sastrawan perempuan juga harus berhadapan dengan realitas miskinnya infrastruktur seni sastra Indonesia. Dunia sastra Indonesia sebagaimana dunia seni Indonesia, pada umumnya, masih terikat dengan sendat nafas geliat seni kampus, dan sekolah. Pemerintah masih menempatkan dunia seni sebagai wilayah yang tidak menjanjikan guna membantu keberlanjutan kekuasaan. Kurangnya infrastruktur seni ini memaksa seniman (termasuk sastrawan perempuan) untuk pandai-pandai mengatur strategi pembangunan eksistensi melalui karya.
Miskinnya kritik seni sastra juga memberikan dampak signifikan pada posisi sastrawan perempuan. Sebab wacana yang bisa menjelaskan dan membela ‘keaduhaian’ sastrawan perempuan berikut karyanya menjadi tidak mudah untuk dikomunikasikan. Dengan kata lain, potensi atau ke’seksi’an sastrawan perempuan (yang khas) kurang mendapat tempat untuk diapresiasi secara optimal.
Inilah sedikit yang kita rasakan usai lebih intim dengan sastrawan perempuan Indonesia. Mereka ternyata masih harus repot mengelola entitas keperempuanannya berikut segala pernik tantangan dunia sastra Indonesia yang terjangkiti globalisasi. Perebutan pasar eksistensi tidak hanya terbatas di wilayah lokal, nasional, bahkan ke tataran internasional. Maka jangan heran jika sastrawan perempuan lagi-lagi kerap disudutkan sebagai pribadi yang ambisius, sebuah entitas yang negatif yang sangat berbeda dengan ambisiusnya kaum lelaki. Realitas ketidakadilan jender ini ternyata masih terus menjangkiti ranah sosio-kultural dan tidak mudah untuk dieliminasi.
Mungkin kita akan merasai lebih dari sastrawan perempuan andaikata waktu dan ranjang yang tersedia juga lebih.
***
https://goresananjrahlelonobroto.wordpress.com/2014/12/13/esai-lebih-intim-dengan-sastrawan-perempuan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar