Jumat, 07 Februari 2020

DAMPAK PELAJARAN MENGHAFAL TERHADAP KEGAGAPAN BUDAYA

Dian Sukarno *
forumsastrajombang.blogspot.com

Suatu hari salah satu murid sanggar tari Lung Ayu bernama Ita, lulusan sebuah SMA favorit di Jombang, mengaku bahwa dirinya sengaja tidak memilih program study IPS sewaktu duduk di bangku SMA, karena ketakutan menghadapi mata pelajaran hafalan. Apalagi jika bertemu dengan mata pelajaran IPS yang di dalamnya meliputi geografi dan sejarah, bisa-bisa remaja seperti Ita yang maunya serba praktis, tidak menginginkan hal-hal yang ribet, termasuk dalam pelajaran, harus suntuk habis-habisan menghadapi menu harian di kelas yang penuh dengan deret hafalan.

Pada kasus berbeda saya secara iseng bertanya pada sekelompok mahasiswi matematika sebuah perguruan tinggi swasta di Jombang, apakah mereka mengetahui sejarah angka nol (0)? Jawabnya sungguh di luar dugaan. Ketika itu saya sangat berharap sekelompok mahasiswi itu akan menerangkan, bahwa penemu angka nol adalah seorang ilmuwan muslim. Berkat penemuan itu akhirnya seluruh umat manusia bisa menulis angka dengan kesangkilan dan kemangkusan (efektif dan efisien) yang mengagumkan dibandingkan jika menulis dengan menggunakan angka romawi. Tapi saya tidak mendapatkan jawaban ilmiah khas mahasiswa yang menjadi tameng di garis depan dunia pendidikan. Saya justeru mendapat jawaban ala wong ndeso, "Itu bukan urusan kami mas. Kami kan mahasiswi jurusan matematika," jawab mereka dengan entengnya. Waduh! Pikir saya, kalau seluruh mahasiswa kita seperti mereka pantas saja indeks prestasi pendidikan bangsa ini sangat jauh tertinggal dengan negara-negara lain, khususnya di Asia Tenggara.

Tapi kemudian pikiran saya mengkilasbalik jauh ke belakang ketika saya masih pelajar sekolah dasar di daerah Gudo, Jombang. Waktu itu saya mempunyai tetangga seorang tukang bangunan bernama Lik To. Tetangga saya itu pernah mbedeki/ berteka-teki tentang keunikan angka 11/ sebelas. Menurut Lik To angka puluhan berapapun jika dikalikan dengan angka 11, maka tinggal menjumlahkan dua angka bersangkutan dan hasilnya ditaruh di tengah-tengah angka tersebut. Contoh 17 x 11, maka angka 1 ditambah 7 = 8. Kemudian angka 8 ditaruh di antara angka 17, akhirnya diperoleh hasil 17 x 11 = 187. Batin saya bersorak kegirangan mendapatkan rumus yang tidak saya dapatkan di sekolah itu. Yang saya herankan kenapa seorang tukang bangunan seperti Lik To bisa mendapatkan rumus tersebut dengan mudah. Padahal saya tahu persis pendidikannya tidak terlalu tinggi.

Problematika pendidikan kita memang cukup unik. Hampir setiap ganti pimpinan, setingkat menteri misalnya, selalu diikuti dengan perubahan besar-besaran pada kurikulum dan materi ajar. Termasuk memasukkan materi Bahasa Inggeris sebagai muatan lokal di lembaga pendidikan/ sekolah. Namanya saja muatan lokal, saya yang cukup awam dengan dunia pendidikan ini menjadi semakin bingung, apa bahasa Inggeris itu sudah menjadi konsumsi kelokalan kita? Sementara bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu dan bahasa kebudayaan harus merana tergerus zaman.

Kita memang cenderung gagap budaya di segala lini kehidupan. Fakta di depan mata, bahwa apakah kita sudah memiliki budaya baca yang lumayan bagus sebagaimana diingatkan dalam kitab suci agar umat manusia membaca? Membaca tidak hanya tekstual melainkan juga kontekstual. Bahkan untuk budaya membaca ini orang Mesir setingkat satpam saja ketika bertugas ditemani setumpuk tinggi majalah dan buku-buku ilmu pengetahuan. Kalau di lingkungan kita, apa coba? Yang pasti kita banyak melihat di pos jaga satpam lebih memilih main karambol maupun catur untuk perintang waktu. Dan itu pun belum tentu memiliki prestasi.

Tiga kasus berbeda di awal tulisan ini sudah memberikan ilustrasi kepada kita bahwa konsep hafalan masih sangat mewarnai proses belajar di lembaga-lembaga pendidikan bangsa ini. Ironinya manusia-manusia berpredikat pelajar itu terus-menerus dijejali deret hafalan dan dipaksa untuk menjadi kamus berjalan. Guru sebagai tukang-tukang pencetak ensiklopedi hidup itu akan bangga ketika melihat murid-muridnya menyebut dengan tepat tanggal kejadian sebuah peristiwa. Tetapi sebaliknya para murid itu dibiarkan kebingungan masal karena tidak mampu mencerna isi pelajaran yang mereka dapatkan.

Pujangga besar Rabindranath Tagore melukiskan pendidikan semacam itu sebagai : pendidikan burung nuri atau sekolah beo. Murid menjadi nuri sejarah, beo ilmu bumi, kakatua hitung dan sebagainya atau menjadi robot yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu. Robot, beo, nuri, kakatua, gramopon, tape recorder bukan manusia dalam arti sebenarnya. Manusia tidak hanya meniru, manusia tidak hanya melisankan saja. Manusia berpikir, merasakan sesuatu dan sebagainya. Ia bukan benda ataupun alat tetapi makhluk utama. Hafalan berarti menurunkan derajat manusia menjadi benda atau menjadi alat. (R.Moh.Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, 2005 : 1)

Nah kalau begitu apakah cukup kita hanya menertawakan kecerobohan berjamaah di dunia pendidikan kita? Sebuah persoalan baru yang mengemuka, dapatkah ilmu-ilmu itu (sejarah) dipelajari tanpa hafalan? Memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tetapi paling tidak pertanyaan tersebut marilah kita tarik pada cita-cita yang lebih manusiawi, misalnya ;pertama apakah tujuan mata pelajaran sejarah? Kedua apakah arti sejarah dalam kehidupan kita sehari-hari? Ketiga adakah hubungan timbal balik antara cita-cita kemanusiaan kita dengan sejarah? Dalam tulisan ini sengaja saya mengambil mata pelajaran sejarah sebagai contoh kasus, karena mata pelajaran ini erat kaitannya dengan perjalanan peradaban sebuah bangsa beserta budayanya.

Sebenarnya nenek moyang kita sangat arif menciptakan maha kreasi budaya yang adiluhung/ penuh keluhuran, misalnya dengan diciptakannya bahasa lambang angka tahun dalam tradisi tulis sengkalan di tanah Jawa. Sehingga dengan membaca sengkalan, maka orang tidak lagi dipaksa menjadi kamus hidup. Karena ia langsung mengetahui dari kalimat sastera yang diabadikan melalui sengkalan. Misalnya keruntuhan kerajaan Majapahit ditandai dengan sengkalan Sirna Ilang Kertaning Bumi atau tahun 1400 M. Dan sayangnya jangankan si murid, para guru sudah sangat asing mendengar istilah sengkalan ini. Lagi-lagi pelajaran sejarah untuk dihafalkan dan murid sebagai generasi penerus biarlah tergagap dengan budayanya sendiri.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/09/dampak-pelajaran-menghafal-terhadap-kegagapan-budaya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar