Dermaga sastra Indonesia: kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali Haji sampai Suryatati A. Manan
Penulis: Jamal D. Rahman, Al-Azhar, Abdul Malik, Agus R. Sarjono, dan Raja Malik Hafrizal
Penerbit: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang dan Komodo Books
Tahun: 2011
Peresensi: Budi Darma
tempointeraktif.com
JUDUL buku baru ini panjang, penulisnya banyak-yaitu Jamal D. Rahman, Al-Azhar, Abdul Malik, Agus R. Sarjono, dan Raja Malik Hafrizal. Penerbitnya pun menarik, yaitu badan resmi pemerintah.
Lazimnya, buku terbitan badan resmi pemerintah ditulis dengan bahasa resmi, kaku, apa adanya, dan isinya data resmi, sifatnya kering, karena misinya hanyalah rekaman keberhasilan. Buku terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang ini berbeda. Isinya bukan data resmi, melainkan serangkaian kisah mengenai Kota Tanjungpinang dan sekitarnya. Penyajiannya pun dengan gaya esai, bukan gaya resmi dan kaku. Sementara sasaran pembaca buku-buku terbitan badan resmi pemerintah pada umumnya terbatas pada kalangan birokrasi, buku ini membidik khalayak ramai, dan segmennya adalah pembaca sastra.
Dari judulnya, dapat dipastikan isinya mengenai sastra sebagai harta karun khas milik Tanjungpinang dengan tokoh sentralnya Raja Ali Haji. Sastra, khususnya sastra tradisional, sementara itu, pasti menyangkut tiga unsur yang berkaitan, yaitu bangsa, bahasa, dan kebudayaan. Tiga unsur ini mengerucut menjadi tiga tokoh: Raja Ali Haji di Tanjungpinang, Hamzah Fansuri di Aceh, dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi di Singapura.
Dari segi genetik, orang dari kawasan-kawasan itu pada hakikatnya satu, tapi dari segi politik, mereka akhirnya menjadi bangsa yang berbeda-beda. Kekuatan politik telah memilah-milah satu bangsa ini menjadi bangsa Indonesia, bangsa Melayu Singapura, dan bangsa Malaysia. Karena itulah, sebagaimana tercantum dalam buku pelajaran sastra beberapa dasawarsa ke belakang, tiga bangsa dari tiga negara ini menganggap tiga tokoh tersebut milik mereka.
Kawasan Tanjungpinang memang pernah mengalami kejayaan, khususnya ketika Kerajaan Riau-Lingga masih berdiri pada awal abad ke-19. Ibu kotanya Pulau Penyengat, sebuah pulau yang sekarang menjadi kelurahan Kota Tanjungpinang.
Kalau ditinjau ke belakang, dari manakah gerangan asal-usul kebudayaan Melayu, jawabnya tidak lain adalah Pulau Penyengat. Dari pulau inilah lahir karya-karya besar sastra Melayu, dengan tokoh sentralnya Raja Ali Haji, kelahiran 1873. Dialah pencipta Gurindam Dua Belas, sebuah puisi berisi tonggak-tonggak kebudayaan Melayu, yaitu Islam, bahasa Melayu, dan adat resam Melayu. Dengan wawasannya yang luas, antara lain dengan jalan menyerap kebudayaan Parsi, Raja Ali Haji menciptakan adagium mengenai peran "kalam" (pena). Kendati kalau tidak ada pilihan lain perang pun perlu dilaksanakan, sebetulnya kalam lebih penting daripada perang.
Masih banyak sastrawan terkemuka di Pulau Penyengat pada abad ke-19, antara lain ayah Raja Ali Haji, yaitu Raja Ahmad, penulis buku sejarah Tuhfat al-Nafis bagian awal-yang kemudian diteruskan penulisannya oleh Raja Ali Haji. Dari Raja Ahmad pulalah Raja Ali Haji memahami benar bahwa ilmu, bahasa, dan sastra pada hakikatnya merupakan satu kesatuan, tidak mungkin dipisah-pisahkan. Untuk menghasilkan karya sastra yang baik, sastrawan dituntut mengetahui ilmu dengan baik, dan seni bahasa yang baik pula.
Selain Raja Ahmad dan Raja Ali Haji, ada Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda, intelektual Melayu yang pada masanya sangat terkenal; Raja Daud, dokter yang amat mahir pula menulis karya sastra; Raja Hasan, pencinta seni dan ilmu pengetahuan yang tak lain adalah anak Raja Ali Haji; Khalid Hitam, Abu Muhammad Adnan, Raja Ali Kelana, dan Aisyah Sulaiman, yang tidak lain adalah cucu Raja Ali Haji. Semuanya mencintai ilmu pengetahuan dan mampu menghasilkan karya sastra yang bagus.
Intelektualisme memang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Melayu. Karena itulah dalam Kerajaan Riau-Lingga ada Rasyidah Klab, forum untuk memperbincangkan masalah-masalah intelektual. Namun makin lama kekuatan Kerajaan Riau-Lingga makin terkikis oleh kekuatan Belanda, sehingga akhirnya Rasyidah Klab terpaksa dipindahkan ke Singapura. Agar Belanda tidak mengacak-acak harta karun kehidupan intelektual Melayu, khazanah kebudayaan di Pulau Penyengat pun dibakar.
Setelah beberapa kali Pulau Penyengat digempur Belanda, pada September 1784, Kerajaan Riau-Lingga direbut Belanda. Penguasanya, Raja Adi Kelana, pindah ke Johor. Lalu, dalam Perjanjian Utrecht, 10 November 1784, ditentukan bahwa seluruh kawasan Kerajaan Riau-Lingga menjadi hak milik Belanda.
Sementara itu, Inggris, Belanda, dan Prancis terus berupaya menguasai berbagai kawasan. Sebagai klimaksnya, ditandatanganilah Treaty of London pada 17 Mei 1824. Dalam treaty ini, kawasan yang terkenal sebagai Tanah Melayu dibagi menjadi dua, yaitu Kerajaan Riau-Lingga menjadi hak Belanda yang sekarang menjadi wilayah Republik Indonesia, serta Johor, Pahang, Terengganu, dan Singapura menjadi hak milik Inggris. Johor, Pahang, Terengganu kemudian menjadi Negara Malaysia, dan setelah Singapura berpisah dengan Malaysia pada Agustus 1965, berdirilah Singapura sebagai negara sendiri. Demikianlah, orang Melayu yang awalnya satu dipisah menjadi tiga: Melayu Riau/Indonesia, Melayu Singapura, dan Melayu Malaysia.
Pada waktu perang kemerdekaan berkecamuk, ada tiga pihak di bekas Kerajaan Riau-Lingga yang pendiriannya berlawanan. Sebagian bangsawan ingin mendirikan kembali Kerajaan Melayu, sebagian pihak ingin ikut Belanda. Pihak terkuat, yaitu kaum nasionalis, ingin bergabung dengan Republik Indonesia.
Seusai perang kemerdekaan, Kota Tanjungpinang pun menjadi ibu kota provinsi. Tapi, karena letaknya terlalu dekat dengan Singapura dan pengaruh Singapura pada waktu itu sangat kuat, ibu kota provinsi pun pada 1959 dipindahkan ke Pekanbaru di daratan Sumatera dan relatif dekat dengan Jakarta. Setelah ada pemekaran, Tanjungpinang menjadi ibu kota Provinsi Kepulauan Riau dan, dengan kedudukannya sebagai ibu kota, gairah intelektual serta sastranya, yang dulu pernah tenggelam, tumbuh kembali dengan cepat.
Kebetulan pula Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A. Manan, pemenang mutlak pemilihan kepala daerah dan karena itu mendapat penghargaan Museum Rekor-Dunia Indonesia, adalah satu di antara sekian penyair andal Tanjungpinang masa kini. Penyair-penyair itu, kecuali Suryatati A. Manan, menyuarakan "kekosongan sastra Melayu" dan "kekalahan orang Melayu dahulu" untuk menghadapi masa depan yang lebih baik.
Karena Tanjungpinang adalah ibu kota kepulauan, imaji-imaji kelautan pun menjadi salah satu ciri khas puisi-puisi mereka. Kekalahan dan harapan akan kemenangan, dengan imaji laut, tampak antara lain dalam puisi Hoesniah Hood: "laut, berikan aku ikan Melayu yang kering/berikan aku garam/aku Melayu yang payau/berikan aku ombak/aku Melayu yang hanyut/aku minta puaka aku minta jembalang/aku Melayu yang meradang".
/18 April 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar