Senin, 25 Mei 2020

Kisah-kisah Sastra Tanjungpinang

Dermaga sastra Indonesia: kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali Haji sampai Suryatati A. Manan
Penulis: Jamal D. Rahman, Al-Azhar, Abdul Malik, Agus R. Sarjono, dan Raja Malik Hafrizal
Penerbit: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang dan Komodo Books
Tahun: 2011
Peresensi: Budi Darma
tempointeraktif.com

JUDUL buku baru ini panjang, penulisnya banyak-yaitu Jamal D. Rahman, Al-Azhar, Abdul Malik, Agus R. Sarjono, dan Raja Malik Hafrizal. Penerbitnya pun menarik, yaitu badan resmi pemerintah.

Lazimnya, buku terbitan badan resmi pemerintah ditulis dengan bahasa resmi, kaku, apa adanya, dan isinya data resmi, sifatnya kering, karena misinya hanyalah rekaman keberhasilan. Buku terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang ini berbeda. Isinya bukan data resmi, melainkan serangkaian kisah mengenai Kota Tanjungpinang dan sekitarnya. Penyajiannya pun dengan gaya esai, bukan gaya resmi dan kaku. Sementara sasaran pembaca buku-buku terbitan badan resmi pemerintah pada umumnya terbatas pada kalangan birokrasi, buku ini membidik khalayak ramai, dan segmennya adalah pembaca sastra.

Dari judulnya, dapat dipastikan isinya mengenai sastra sebagai harta karun khas milik Tanjungpinang dengan tokoh sentralnya Raja Ali Haji. Sastra, khususnya sastra tradisional, sementara itu, pasti menyangkut tiga unsur yang berkaitan, yaitu bangsa, bahasa, dan kebudayaan. Tiga unsur ini mengerucut menjadi tiga tokoh: Raja Ali Haji di Tanjungpinang, Hamzah Fansuri di Aceh, dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi di Singapura.

Dari segi genetik, orang dari kawasan-kawasan itu pada hakikatnya satu, tapi dari segi politik, mereka akhirnya menjadi bangsa yang berbeda-beda. Kekuatan politik telah memilah-milah satu bangsa ini menjadi bangsa Indonesia, bangsa Melayu Singapura, dan bangsa Malaysia. Karena itulah, sebagaimana tercantum dalam buku pelajaran sastra beberapa dasawarsa ke belakang, tiga bangsa dari tiga negara ini menganggap tiga tokoh tersebut milik mereka.

Kawasan Tanjungpinang memang pernah mengalami kejayaan, khususnya ketika Kerajaan Riau-Lingga masih berdiri pada awal abad ke-19. Ibu kotanya Pulau Penyengat, sebuah pulau yang sekarang menjadi kelurahan Kota Tanjungpinang.

Kalau ditinjau ke belakang, dari manakah gerangan asal-usul kebudayaan Melayu, jawabnya tidak lain adalah Pulau Penyengat. Dari pulau inilah lahir karya-karya besar sastra Melayu, dengan tokoh sentralnya Raja Ali Haji, kelahiran 1873. Dialah pencipta Gurindam Dua Belas, sebuah puisi berisi tonggak-tonggak kebudayaan Melayu, yaitu Islam, bahasa Melayu, dan adat resam Melayu. Dengan wawasannya yang luas, antara lain dengan jalan menyerap kebudayaan Parsi, Raja Ali Haji menciptakan adagium mengenai peran "kalam" (pena). Kendati kalau tidak ada pilihan lain perang pun perlu dilaksanakan, sebetulnya kalam lebih penting daripada perang.

Masih banyak sastrawan terkemuka di Pulau Penyengat pada abad ke-19, antara lain ayah Raja Ali Haji, yaitu Raja Ahmad, penulis buku sejarah Tuhfat al-Nafis bagian awal-yang kemudian diteruskan penulisannya oleh Raja Ali Haji. Dari Raja Ahmad pulalah Raja Ali Haji memahami benar bahwa ilmu, bahasa, dan sastra pada hakikatnya merupakan satu kesatuan, tidak mungkin dipisah-pisahkan. Untuk menghasilkan karya sastra yang baik, sastrawan dituntut mengetahui ilmu dengan baik, dan seni bahasa yang baik pula.

Selain Raja Ahmad dan Raja Ali Haji, ada Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda, intelektual Melayu yang pada masanya sangat terkenal; Raja Daud, dokter yang amat mahir pula menulis karya sastra; Raja Hasan, pencinta seni dan ilmu pengetahuan yang tak lain adalah anak Raja Ali Haji; Khalid Hitam, Abu Muhammad Adnan, Raja Ali Kelana, dan Aisyah Sulaiman, yang tidak lain adalah cucu Raja Ali Haji. Semuanya mencintai ilmu pengetahuan dan mampu menghasilkan karya sastra yang bagus.

Intelektualisme memang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Melayu. Karena itulah dalam Kerajaan Riau-Lingga ada Rasyidah Klab, forum untuk memperbincangkan masalah-masalah intelektual. Namun makin lama kekuatan Kerajaan Riau-Lingga makin terkikis oleh kekuatan Belanda, sehingga akhirnya Rasyidah Klab terpaksa dipindahkan ke Singapura. Agar Belanda tidak mengacak-acak harta karun kehidupan intelektual Melayu, khazanah kebudayaan di Pulau Penyengat pun dibakar.

Setelah beberapa kali Pulau Penyengat digempur Belanda, pada September 1784, Kerajaan Riau-Lingga direbut Belanda. Penguasanya, Raja Adi Kelana, pindah ke Johor. Lalu, dalam Perjanjian Utrecht, 10 November 1784, ditentukan bahwa seluruh kawasan Kerajaan Riau-Lingga menjadi hak milik Belanda.

Sementara itu, Inggris, Belanda, dan Prancis terus berupaya menguasai berbagai kawasan. Sebagai klimaksnya, ditandatanganilah Treaty of London pada 17 Mei 1824. Dalam treaty ini, kawasan yang terkenal sebagai Tanah Melayu dibagi menjadi dua, yaitu Kerajaan Riau-Lingga menjadi hak Belanda yang sekarang menjadi wilayah Republik Indonesia, serta Johor, Pahang, Terengganu, dan Singapura menjadi hak milik Inggris. Johor, Pahang, Terengganu kemudian menjadi Negara Malaysia, dan setelah Singapura berpisah dengan Malaysia pada Agustus 1965, berdirilah Singapura sebagai negara sendiri. Demikianlah, orang Melayu yang awalnya satu dipisah menjadi tiga: Melayu Riau/Indonesia, Melayu Singapura, dan Melayu Malaysia.

Pada waktu perang kemerdekaan berkecamuk, ada tiga pihak di bekas Kerajaan Riau-Lingga yang pendiriannya berlawanan. Sebagian bangsawan ingin mendirikan kembali Kerajaan Melayu, sebagian pihak ingin ikut Belanda. Pihak terkuat, yaitu kaum nasionalis, ingin bergabung dengan Republik Indonesia.

Seusai perang kemerdekaan, Kota Tanjungpinang pun menjadi ibu kota provinsi. Tapi, karena letaknya terlalu dekat dengan Singapura dan pengaruh Singapura pada waktu itu sangat kuat, ibu kota provinsi pun pada 1959 dipindahkan ke Pekanbaru di daratan Sumatera dan relatif dekat dengan Jakarta. Setelah ada pemekaran, Tanjungpinang menjadi ibu kota Provinsi Kepulauan Riau dan, dengan kedudukannya sebagai ibu kota, gairah intelektual serta sastranya, yang dulu pernah tenggelam, tumbuh kembali dengan cepat.

Kebetulan pula Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A. Manan, pemenang mutlak pemilihan kepala daerah dan karena itu mendapat penghargaan Museum Rekor-Dunia Indonesia, adalah satu di antara sekian penyair andal Tanjungpinang masa kini. Penyair-penyair itu, kecuali Suryatati A. Manan, menyuarakan "kekosongan sastra Melayu" dan "kekalahan orang Melayu dahulu" untuk menghadapi masa depan yang lebih baik.

Karena Tanjungpinang adalah ibu kota kepulauan, imaji-imaji kelautan pun menjadi salah satu ciri khas puisi-puisi mereka. Kekalahan dan harapan akan kemenangan, dengan imaji laut, tampak antara lain dalam puisi Hoesniah Hood: "laut, berikan aku ikan Melayu yang kering/berikan aku garam/aku Melayu yang payau/berikan aku ombak/aku Melayu yang hanyut/aku minta puaka aku minta jembalang/aku Melayu yang meradang".

/18 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar