Jordaidan Rizsyah
Itu adalah perkampungan kecil jauh dari teknologi zaman. Berada di lereng gunung, di tengah hutan belantara. Penduduknya kurang dari 50 orang yang masing-masing terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak buta huruf.
Di tengah kampung itu dialiri sungai kecil menjorok ke barat. Di hilir sana, aliran jatuh membentuk air terjun. Di tebing air terjun terselip satu rumah kecil. Rumah itu milik seorang dukun dengan istri yang telah melahirkan dua anak. Di depan rumah itu ada dua pohon besar yang jadi penyangga rumah. Di pohon itulah si sulung laki-laki anak si dukun tidur, di dalam kain yang dililitkan ke pohon. Hebat sekali caranya tidur bergelantungan seperti kepompong.
Kampung ini bernama Deusta. Pemimpinnya, atau sebutlah kepala suku, bernama Jeuk Ismeut Jaleulah yang diangkat secara nasib. Yaitu, kebetulan dua tahun lalu Jeuk Ismeut Jalaleu pernah jatuh ke dalam sumur. Maka, atas kepercayaan turun-temurun; barangsiapa jatuh ke dalam sumur secara tidak sengaja dan ditemukan masih hidup, dia harus diangkat jadi pemimpin. Dewa telah memilihnya.
Di tengah kampung ada satu pendopo besar tempat warga mengadakan pertemuan, sebenarnya tidak pernah ada pertemuan penting. Pendopo fungsinya lebih ke tempat tidur warga.
Di sebelah barat pendopo ada sebuah ruangan panjang terbuat dari kayu. Itu tempat musyawarah sakral. Biasanya, kalau hendak memberi hukum, kepala suku atau orang terpilih akan menjalankan ritual di sana selama 2 hari 2 malam. Namun hebat, setelah kedatangan seorang mahasiswi dari Jakarta ruangan itu jadi seperti sekolah. Dipakai belajar anak-anak kampung yang sama sekali tidak ingin belajar. Rata-rata anak-anak itu datang-- atau sebutlah sekolah, hanya karena guru mereka, si mahasiswi itu sering mengiming-iming permen. Tentu anak-anak kampung tertarik. Selama hidup mereka belum pernah memakan batu yang rasanya manis, yang si mahasiswi mengenalkannya dengan sebutan permen dengan tambahan cinta. Permen cinta, katanya.
Di sebelah kiri pendopo ada saung kecil milik seorang pendatang. Kiayi Ali namanya. Sebenarnya itu bukan nama sesungguhnya. Warga kadung sering dengar orang itu cerita tentang sesosok guru di Jombang sana yang bernama kiayi Ali, warga pun menamainya kiayi Ali. Hebatnya, orang itu tidak keberatan namanya diganti tanpa peresmian masak bubur merah. Bahkan bisa dibilang kiayi Ali bangga bisa memiliki nama gurunya.
Nah, di samping saung kiayi Ali inilah si mahasiswi Jakarta itu tinggal. Dulu, pertama kali kedatangannya ke kampung ini, kiayi Ali-lah yang menyambutnya. Kiayi Ali juga yang membantu membuatkan saung untuknya. Alhamdulillah kiayi Ali diberi upah 10 permen tanda terima kasih.
Sedangkan kiayi Ali sendiri bisa tinggal di kampung ini-- dengan saung di sebelah pendopo itu, karena warga kampung kadung baiknya. Alias karena kiayi Ali sering ikutan tidur bersama di pendopo, warga merasa risih kepadanga. Kemudian terbesit di pikiran warga untuk menyingkirkan kiayi Ali dengan cara membikin tempat khusus untuknya. Maka, dibuatkanlah saung kecil seukuran mimbar masjid di samping pendopo itu. Jujur saja, warga kampung Deusta sebenarnya jijik kepada orang asing. Namun, mereka punya tradisi jangan menolak tamu.
Di ujung kampung, sekitar 500 meter dari tempat kepala suku, ada sebuah lapangan besar yang setiap sisinya dipagari kayu. Di sepanjang pagar itu tumbuh pohon ganja. Di kampung Deusta ganja tidaklah ada apa-apanya. Tidak pula bikin eufhoria. Dia cuma tanaman biasa, sama seperti pohon ubi kalau di tempat lain. Setiap hari ganja itu dijadikan teman makan. Tak ada masalah.
Lapangan itu, konon, bekas markas tentara gerilya. Kiayi Ali menyimpulkannya sendiri. Kemudian kesimpulannya diwartakan kepada si mahasiswi. Dan si mahasiswi percaya begitu saja tanpa investigasi lebih lanjut. Lagian, si mahasiswi malas debat soal benar atau tidak.
Di pojok lapangan terdapat saung besar yang bisa disebut rumah. Rumah ini tidak ada fungsinya. Tidak ada satu orang pun yang mau memasukinya. Konon, kata kepala suku, itu rumah para dewa. Barangsiapa masuk ke sana maka dia takkan pernah kembali. Kiayi Ali orangnya tidak mudah percaya. Maka demi membuktikan omongan si kepala suku, tengah malam ia mengendap masuk ke dalam. Tidak ada apa-apa. Tidak ada para dewa berbaris laiknya tentara gerilya. Tahu kenapa tidak ada? Karena, kiayi Ali lupa bawa obor. Dia tidak bisa melihat apa-apa, di dalam sana gelap. Tapi, lagi-lagi kiayi Ali bisa menyimpulkan sendiri, "Takhayuuul!" Katanya.
Kiayi Ali punya pembenaran kalau omongan si kepala suku benar-benar takhayul. Toh, dia bisa keluar tanpa kurang apa pun.
Tetapi, ketika Kiayi Ali tidur, kuntilanak berhasil menyambangi alam mimpinya.
Di tengah lapangan itu ada sumur besar. Di sumur inilah Jeuk Ismeut Jaleulah jatuh. Sejak dulu warga Deusta memang menjadikan sumur itu kramat. Ada yang bilang sumur itu tempat kencing para dewa. Sudah pasti! Kiayi Ali yang bilang begitu dengan maksud ingin meledek.
Di lapangan itu biasanya upacara dilaksanakan.
Kampung Deusta sering mengadakan upacara. Entah itu upacara penyambutan--yang sayang sekali kiayi Ali dan si mahasiswi tidak mendapatkannya. Upacara panen tosta. Dan upacara musim wanita. Dua upacara ini yang menarik, panen tosta dan musim wanita. Sebab, dua upacara ini mengilhami saya menceritakan kampung ini.
Sebelum saya ceritakan apa itu upacara panen tosta, ada baiknya diketahui dulu apa itu tosta. Di kampung ini ada satu tumbuhan langka yang tidak bisa tumbuh di tempat lain. Ya, tosta itu namanya! Tumbuhan ini sama persis seperti ganja. Bedanya, tosta memiliki buah yang apabila dimakan anak kecil bisa bikin muntah. Namun, bila dimakan orang dewasa bisa mengenyangkan. Warga kampung Deusta percaya kalau tosta tumbuhan surga yang ditanam dengan tangan dewa. Daun tosta bisa dibikin sayur. Bisa juga dikeringkan dan dijadikan rokok. Sama seperti ganja kalau dihisap makhluk lemah di tempat lain, bisa bikin euphoria. Batang pohon tosta bisa dibakar dan dijadikan teman makan sagu, atau kentang, rasanya tidak enak, kiayi Ali pernah mencobanya. Akar tosta bisa ditumbuk dan dijadikan teh. Pembuatan teh dicampur dengan daunnya yang sudah dikeringkan. Minuman ini biasanya diminum para lelaki karena punya efek menguatkan 'keperkasaan'.
Nah, pohon tosta ini biasa dipanen 2 kali dalam setahun. Berhubung kampung Deusta tidak punya kalender, maka menentukannya memakai pergerakan gajah nun jauh di sana. Apabila ada gajah bergerak dari hulu ke hilir, maka waktu panen sudah bisa dimulai. Setelah panen selesai, dengan maksud ingin bersukur, diadakanlah oleh warga satu upacara.
Upacaranya simple saja. Mereka berkumpul di lapangan bekas tentara gerilya sambil mengkonsumsi hasil panen tosta sepanjang 7 hari 7 malam. Mereka makan batang tosta yang rasanya tidak enak itu. Minum teh tosta. Dan mengisap rokok tosta yang kadar euphoria-nya lebih hebat dari ganja. Itu saja. Ya, begitu saja cara mereka bersukur.
Warga akan meninggalkan pendopo dan mulai bergeletakan di lapangan. Mereka menikmati hasil panen bersama-sama. Anak-anak bisa muntah-muntah, orangtua bisa [maaf: nge-sex sepanjang malam], sisanya makan batang tosta yang rasanya tidak enak, ini jadi bagian kiayi Ali dan si mahasiswi.
Warga kampung begitu mengagungkan tanaman ini. Tanaman para dewa. Tosta tumbuh nun jauh di sana, di tempat gajah lewat. Tak seorang pun ada yang boleh ke sana sebelum waktunya. Kalau ada yang nekat pergi ke sana, maka pelaku akan dihukum mati. Hebatnya, mayat korban tidak dikubur melainkan dimasukkan ke dalam sumur atau dijadikan makanan babi. Tergantung mandah hati yang diterima warga.
Upacara musim wanita adalah yang paling mengerikan, sekaligus seru. Karena didalamnya terdapat kekejian namun juga nikmat. Kiayi Ali akan geleng-geleng kepala bila upacara musim wanita sedang terjadi. Upacara ini berlangsung tidak menentukan hari atau bulan. Apabila kepala suku sudah berunding, maka upacara bisa dilangsungkan waktu itu juga. Di luar kampung Deusta mungkin upacara ini disebut perjodohan.
Laki-laki dan perempuan berkumpul di lapangan. Mula-mulanya si laki-laki akan memilih wanita, jika si wanita mau kepada si laki-laki, maka mereka sah jadi pasangan. Tak ada ikrar apa-apa, semuanya berjalan sesuai naluri. Aku suka kamu, kamu suka aku, maka mari kita hidup sama-sama. Hanya itu.
Kabar baiknya, di acara tak bermoral ini wanita diberi hak menolak. Dan laki-laki tidak boleh memaksa keputusan si wanita. Kabar buruknya, di upacara ini laki-laki bisa menukar wanitanya seperti barang. Si dukun pernah melakukannya. Orang lain pun!
Si dukun datang ke upacara bersama istrinya. Lalu istrinya diambil orang lain. Lalu, si dukun memilih anaknya untuk dijadikan istrinya. Hebatnya, si anak tidak menolak. Mengetahui ini, kiayi Ali kesal sendiri. Dia ingin melawan tradisi gila itu tapi tidak bisa.
Perkawinan ayah dan anak biasa terjadi di sini. Di kampung Deusta tak ada aturan soal perkawinan.
Kiayi Ali selalu merasa bersalah kepada dirinya sendiri karena belum menuntaskan misi yang diembannya. Ya, kiayi Ali palsu ini utusan kiayi Ali asli dari Jombang sana. Dia diberi tugas supaya mengajarkan nilai-nilai islam di kampung Deusta. Tetapi, dia belum berhasil. Sudah mau 3 tahun dia tinggal di kampung Deusta belum juga ada kemajuan. Barangkali hanya lafal 'bismillah' yang berhasil dia ajarkan kepada warga. Itu pun karena kiayi Ali mengiming-iming surga. Dia bilang ke warga kalau bismillah adalah kunci surga. Semua orang bisa masuk kalau sering mengucap bismillah, katanya. Warga tahu soal surga. Maka, ketika kiayi Ali menawarkan kuncinya, mereka tidak menolak. Mulailah warga rajin mengucap bismillah dalam setiap tindakan dan kesempatan. Malah, bismillah sering juga dijadikan kata celaan.
Pernah ada seorang istri kesal kepada suaminya. Dia berteriak kepada suaminya dengan makian, "Bismillaaaaah! Jangan kau sentuh-sentuh aku lagi. Dasar bismillah!"
Dari situ kiayi Ali geleng-geleng kepala. Dia merasa bersalah kepada dirinya sendiri, terutama kepada gurunya, kiayi Ali asli di Jombang sana.
Di lain kesempatan argumen warga Deusta soal bismillah itu lebih bijaksana. Katanya, "bismillah sajeu buat sayeu. Sisanyeu buat kiayi alieu sajeu." Dan kata-kata itu berhasil bikin kening kiayi Ali berkerut.
Kabar lainnya yang tidak kalah baik--mungkin bagi wanita saja, di kampung Deusta ini tak ada poligami atau perselingkuhan. Kalaupun ada, itu benar-benar tak terlihat.
***
Si mahasiswi itu setelah dua tahun hidup di kampung Deusta mengalami banyak hal. Namun, yang paling mencengangkan adalah peristiwa ketika dia jatuh ke sumur kramat. Entah apa yang terjadi kepadanya bisa sampai di sana malam-malam buta. Yang pasti, setelah peristiwa itu dia hamil. Orang kampung percaya kalau yang menghamilinya adalah dewa. Maka, warga kampung--sesuai tradisi mereka, harus mengangkat si mahasiswi menjadi kepala suku. Karena si mahasiswi adalah seorang perempuan, maka hak itu diberikan kepada anaknya, nanti. Kalau anaknya perempuan, maka warga Deusta akan membuat tatanan baru, yaitu kampung mereka bisa dipimpin oleh seorang perempuan.
Lagi-lagi kiayi Ali geleng-geleng kepala, bingung entah harus berbuat apa. Namun, dia tidak mau menyerah, kiayi ali tidak mau mengecewakan gurunya. Maka, di suatu malam kiayi Ali mendatangi si mahasiswi. Dia menanyai kebenaran soal kehamilan yang digadang-gadangkan benih dewa itu. Pertanyaan kiayi Ali dijawab si mahasiswi dengan jujur sejujur-jujurnya, "maafkan saya kiayi. Sebenarnya anak ini adalah anak Jeuk Ismeut Jalaleu."
Seketika kiayi Ali tersenyum. Dia mendapat pencerahan. Dia punya alasan untuk mengutuk warga kampung tentang dewa yang mereka maksud tidak benar-benar ada. Itu bohong. Itu takhayul. Itu tidak benar. Dewa itu tidak ada!
"Yang benar dan ada adalah islam. Islam rahmatan lil 'alamin, islam yang akan memperbaiki tatanan kampung menjadi lebih baik." Kiayi Ali dalam hati sambil tersenyum simpul membayangkan kemenangannya.
Kiayi Ali ingin memberitahu kehebatan islam kepada warga. Setelah cukup lama ia tidak diberi kesempatan, maka kehamilan si mahasiswi bisa dijadikan senjata. Maksud kiayi Ali, dia akan mengutuk kepala suku. Di lain hal, dia akan menjelaskan kejadian tak senonoh itu akibat tatanan yang tidak benar. Tentu tindak pemerkosaan tidak akan dibenarkan, bagi kampung tak bermoral sekalipun. Maka di sinilah kiayi Ali punya kesempatan mengenalkan tatanan islam. Pastinya, dengan harapan warga akan mengerti dan mau menerima islam.
"Bahwa islam bisa mencegah hal serupa takkan terjadi lagi." Argumen kiayi Ali waktu itu siap dilontarkan ke hadapan warga Deusta.
"Warga akan berpihak kepadaku" kata kiayi Ali. Namun, sebelum kiayi Ali bergerak, si mahasiswi menahannya, "jangan kiayi. Saya takut!" Si mahasiswi memelas. Dan kiayi Ali merasa kasihan.
"Lalu, bagaimana?" Tanya kiayi Ali.
"Kiayi sendiri yang tahu."
Sejenak kiayi Ali diam. Dia merenung. Anjing menggonggong.
"Harusnya saya pulang. Ini semua takkan terjadi." Si mahasiswi menangis. Kiayi Ali merasa iba.
"Jangan begitu. Kamu sudah berusaha kok. Saya juga merasakan apa yang kamu rasakan. Kegagalan itu." Kiayi Ali menghibur.
"Berusaha melahirkan anak haram? Haha." Si mahasiswi getir.
"Tidak! Dia bukan anak haram. Saya akan menikahimu. Dia akan lahir dan tumbuh jadi manusia normal. Bukan haram."
***
Begitulah akhirnya kiayi Ali menikah dengan si mahasiswi, tanpa wali dan tanpa saksi. Kecuali, anjing yang menggonggong di bawah saung.
Setelah anak itu lahir, kepala suku Jeuk Ismeut Jalaleu merasa tergugah. Ada kontak batin antara dirinya dengan anaknya. Dia melihat anaknya mirip dengan dirinya. Kemudian secara sadar si kepala suku memberikan info kepada warga kalau anak si mahasiswi adalah anaknya, dia yang telah menghamilinya. Salah satu dari warga pergi ke ruangan panjang di samping pendopo. Dia melakukan ritual minta petunjuk akan suatu kebenaran. Didapatlah mandah hati itu, si kepala suku telah melakukan pelanggaran. Dia harus dihukum mati dan jasadnya dikasih ke babi.
***
Anak si mahasiswi dijadikan kepala suku. Tapi tunggu ia besar. Sambil menunggu, tampuk kekuasaan kampung Deusta diserahkan kepada kiayi Ali--suami si mahasiswi. Tatanan baru kampung Deusta berada digenggamannya. Kiayi Ali tersenyum.
Bogor, 24 April 2020
http://sastra-indonesia.com/2020/06/kampung-deusta/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 27 Juni 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar