Jumat, 20 November 2020

Utopia

Mario F. Lawi
Pos Kupang, 24 Jan 2010
 
Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah beberapa pengandaian, Sahabatku. Engkau bahkan tak perlu memedulikannya. Apa pun permintaanmu, segalanya tergantung padamu. Tapi, sebelum engkau memutuskan, dengarkanlah dulu kisahku ini.
 
Angan-angan itu seperti matahari; tak dapat kita jangkau ketika kita merasakan panasnya, tapi dialah yang membuat kita tetap mampu membedakan gelap dari terang. Ketika dia terbit dari sisi timur, kita tahu bahwa terang akan segera bersinar. Saat dia hendak terlelap di sisi barat, kita pun tahu, senja akan melahirkan malam. Itulah angan-anganmu, yang membuatmu tetap mampu berjuang di tengah kegelapan yang menaungimu, sebab engkau pun tahu, sinar terangnya hanyalah masalah waktu.
 
Angan-angan adalah sinar harapan. Dialah matahari masa depan yang harus engkau kejar selama duniamu yang sekarang masih terlelap dalam gelap. Dialah setitik cahaya yang membuat engkau selalu memiliki semangat menapaki hidup. Bahkan ketika angan-angan itu hanya bagaikan secercah kerlip, engkau dapat tetap melangkah. Selangkah demi selangkah. Setapak demi setapak. Lagi dan lagi. Atau, masihkah hidup ini menarik dan menggairahkan ketika apa yang kelak terjadi di masa depan telah kita ketahui dari sekarang?
 
Kisah ini berkaitan dengan angan-angan seekor laron yang ingin memberikan seluruh hidupnya bagi kekasih hati yang begitu dicintainya seperti ia mencintai cahaya. Namakanlah dia Bhisma, sebab dia pun ditakdirkan untuk menentukan kematiannya sendiri, seperti Bhisma Dewabharata yang menunggu matahari berada di belahan utara khatulistiwa sebelum memutuskan untuk melepaskan jiwa dari raganya yang telah terpasung ditancapi anakpanah-anakpanah Srikhandi dalam mahaperang Bharatayudha.
Takdir memang telah ditentukan, tapi bukankah tak satu makhluk pun dapat mengetahui seperti apa wujud takdirnya sebelum ia sendiri mengalaminya, Sahabatku?
 
Baiklah kuceritakan kisahnya padamu. Sebelum menetas, Bhisma telah ditakdirkan untuk menjadi seekor rayap pekerja, bahkan jauh sebelum protozoa-protozoa dalam saluran pencernaannya belajar mencerna kayu-kayu yang dimakannya. Bersama rayap-rayap yang lain, dia begitu setia melayani sang ratu yang memang hanya ditugaskan untuk makan dan bertelur sepanjang hidupnya.
 
Begitu setia mereka berada dalam dekap lindap gelap. Membanting tulang untuk menjaga hidup sang ratu dan telur-telur yang kelak menetas, entah yang ditakdirkan untuk menggantikan sang ratu atau hanya ditakdirkan sekadar menjadi tentara atau pekerja seperti dirinya dan teman-temannya yang lain.
 
Setiap perjalanan pekerja seperti mereka ditentukan untuk mengeroposkan sedikit demi sedikit kayu yang mereka hinggapi demi menciptakan rumah-rumah labirin dengan campuran kotoran dengan zat yang mereka keluarkan. Mereka harus giat bekerja sebelum hujan datang menyongsong kering bumi. Sebelum sayap-sayap mereka membawa mereka terbang mencari cahaya.
 
Dalam giat bekerja itulah, ketika Bhisma dan teman-temannya sedang giat mengumpulkan bakal-bakal jamur sebagai cadangan makanan, ia melihat seekor laron pekerja yang membuatnya tak mampu beranjak dari tempatnya berpijak. Pujaan hatinya yang bernama Rina. Bhisma pun merasakan jatuh cinta; sebuah cinta yang lengkap dengan segenap daya sengat dan cahaya yang menyala-nyala.
 
Maka tak ada alasan bagi Bhisma untuk bersedih ketika musim hujan hampir menjelang. Seiring dengan tumbuhnya dua pasang sayap di pundaknya, ia tahu inilah saat bagi dirinya, Rina dan teman-temannya yang lain untuk terbang mencari cahaya yang menuntun mereka membentuk kerajaan baru. Dengan sayap-sayapnya, Bhisma seakan berkata pada pujaan hatinya, "Terbanglah kekasihku, dan lepaskanlah sayap-sayapmu saat aku terjatuh, sebab kaulah yang akan menuntun perjalanan kita menuju kerajaan baru."
 
Tepat semalam sebelum hujan pertama membelai bumi, kawanan laron itu terbang mencari cahaya, seperti migrasi kawanan burung dari barat mencari kehangatan di arah timur. Dari kejauhan, setitik cahaya terlihat di sebuah gubuk tua. Maka terbanglah kawanan itu mendekat. Mengitari cahaya lilin itu seperti menikmati pesta pora cahaya temaram yang keemasan. Bhisma pun bernyanyi dan bersenandung, sambil membayangkan wujud kerajaan barunya nanti. Dalam kegirangan itulah, Bhisma kehilangan jejak-jejak sang permaisuri hati. Tak jauh dari meja yang menyimpan cahaya lilin, ia lihat Rina telah melepaskan sayap-sayapnya. Dengan kepolosan itu, pujaan hatinya seolah berkata padanya, "Marilah".
 
Bhisma pun tahu bahwa dirinya harus melepaskan kedua pasang sayapnya sebelum mereka menciptakan koloni baru. Namun, dalam temaram cahaya lilin, dia kembali kehilangan jejak pujaan hatinya. Betapa ia merindukan ujung abdomen sang kekasih untuk menuntunnya mencari tempat yang aman bagi anak-anak mereka nanti. Bhisma pun terbang mencari bagaikan menari di antara cahaya-cahaya lilin yang keemasan. Ketika samar-samar ia lihat Rina sedang melintas pelan menuju cahaya sebatang lilin, seekor cicak jatuh dari dinding dan berdiam diri tepat di dekat lilin, menunggu makan malamnya berjalan mendekat.
 
Bhisma pun terbang rendah, melintas beberapa ekor laron yang terlihat berjalan mendekati lilin. Nalurinya mengatakan, inilah saat yang tepat baginya untuk mati, meski ia tak tahu dengan cara apa kelak ia mati. Ia sempat berpikir untuk menubrukkan dirinya pada sumbu lilin agar cahaya di sekitarnya semakin benderang dan mereka dapat melihat malaikat kematian itu menunggu mereka di dekat lilin. Namun, tepat ketika ia berteriak meminta teman-temannya untuk menjauhi lilin, cicak itu melompat dan mendekapnya dengan rahangnya yang lapar. Laron-laron pun  kemudian melihat sang maut yang sejak tadi mengintai. Karena itu, mereka pun berpencar menjauhi lilin, berusaha menghindari bahaya yang mengintai di antara reremang cahaya lilin dan kegelapan.
 
Sebelum tubuh Bhisma remuk dalam saluran cerna sang cicak, ia lihat sang pujaan hatinya berlari, diiringi seekor laron jantan lain yang menggigit ujung abdomen sang kekasih hatinya sambil mencari tempat bagi kerajaan rayap yang baru. Saat itulah ia dipaksa mengerti arti cinta yang tak harus memiliki. Tapi Bhisma bahagia telah menjadi sebentuk arti bagi Rina. Sebentuk arti yang menyelamatkan. Sebentuk arti kehidupan. Kebahagiaan yang bahkan melampaui kebahagiaan Bhisma Dewabharata setelah bebas dari supata Dewi Amba.
 
Demikianlah sepenggal kisah yang ingin kubagikan kepadamu. Pilihan sepenuhnya ada padamu, meski tak ada seseorang yang tahu seperti apa wujud takdirnya sebelum ia mengalaminya sendiri, Sahabatku.
 
Kupang, Akhir 2009-Awal 2010
 
Untuk Protus Hyansintus Asalang (Kehilangan bukanlah akhir segalanya).
https://kupang.tribunnews.com/2010/01/24/utopia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar