Mario F. Lawi
Pos Kupang, 24 Jan 2010
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut hanyalah beberapa pengandaian, Sahabatku. Engkau bahkan tak perlu
memedulikannya. Apa pun permintaanmu, segalanya tergantung padamu. Tapi,
sebelum engkau memutuskan, dengarkanlah dulu kisahku ini.
Angan-angan itu seperti
matahari; tak dapat kita jangkau ketika kita merasakan panasnya, tapi dialah
yang membuat kita tetap mampu membedakan gelap dari terang. Ketika dia terbit
dari sisi timur, kita tahu bahwa terang akan segera bersinar. Saat dia hendak
terlelap di sisi barat, kita pun tahu, senja akan melahirkan malam. Itulah
angan-anganmu, yang membuatmu tetap mampu berjuang di tengah kegelapan yang
menaungimu, sebab engkau pun tahu, sinar terangnya hanyalah masalah waktu.
Angan-angan adalah sinar
harapan. Dialah matahari masa depan yang harus engkau kejar selama duniamu yang
sekarang masih terlelap dalam gelap. Dialah setitik cahaya yang membuat engkau
selalu memiliki semangat menapaki hidup. Bahkan ketika angan-angan itu hanya
bagaikan secercah kerlip, engkau dapat tetap melangkah. Selangkah demi
selangkah. Setapak demi setapak. Lagi dan lagi. Atau, masihkah hidup ini
menarik dan menggairahkan ketika apa yang kelak terjadi di masa depan telah
kita ketahui dari sekarang?
Kisah ini berkaitan
dengan angan-angan seekor laron yang ingin memberikan seluruh hidupnya bagi
kekasih hati yang begitu dicintainya seperti ia mencintai cahaya. Namakanlah
dia Bhisma, sebab dia pun ditakdirkan untuk menentukan kematiannya sendiri,
seperti Bhisma Dewabharata yang menunggu matahari berada di belahan utara
khatulistiwa sebelum memutuskan untuk melepaskan jiwa dari raganya yang telah
terpasung ditancapi anakpanah-anakpanah Srikhandi dalam mahaperang
Bharatayudha.
Takdir memang telah
ditentukan, tapi bukankah tak satu makhluk pun dapat mengetahui seperti apa
wujud takdirnya sebelum ia sendiri mengalaminya, Sahabatku?
Baiklah kuceritakan
kisahnya padamu. Sebelum menetas, Bhisma telah ditakdirkan untuk menjadi seekor
rayap pekerja, bahkan jauh sebelum protozoa-protozoa dalam saluran
pencernaannya belajar mencerna kayu-kayu yang dimakannya. Bersama rayap-rayap
yang lain, dia begitu setia melayani sang ratu yang memang hanya ditugaskan
untuk makan dan bertelur sepanjang hidupnya.
Begitu setia mereka
berada dalam dekap lindap gelap. Membanting tulang untuk menjaga hidup sang
ratu dan telur-telur yang kelak menetas, entah yang ditakdirkan untuk
menggantikan sang ratu atau hanya ditakdirkan sekadar menjadi tentara atau
pekerja seperti dirinya dan teman-temannya yang lain.
Setiap perjalanan pekerja
seperti mereka ditentukan untuk mengeroposkan sedikit demi sedikit kayu yang
mereka hinggapi demi menciptakan rumah-rumah labirin dengan campuran kotoran
dengan zat yang mereka keluarkan. Mereka harus giat bekerja sebelum hujan
datang menyongsong kering bumi. Sebelum sayap-sayap mereka membawa mereka
terbang mencari cahaya.
Dalam giat bekerja
itulah, ketika Bhisma dan teman-temannya sedang giat mengumpulkan bakal-bakal
jamur sebagai cadangan makanan, ia melihat seekor laron pekerja yang membuatnya
tak mampu beranjak dari tempatnya berpijak. Pujaan hatinya yang bernama Rina.
Bhisma pun merasakan jatuh cinta; sebuah cinta yang lengkap dengan segenap daya
sengat dan cahaya yang menyala-nyala.
Maka tak ada alasan bagi
Bhisma untuk bersedih ketika musim hujan hampir menjelang. Seiring dengan
tumbuhnya dua pasang sayap di pundaknya, ia tahu inilah saat bagi dirinya, Rina
dan teman-temannya yang lain untuk terbang mencari cahaya yang menuntun mereka
membentuk kerajaan baru. Dengan sayap-sayapnya, Bhisma seakan berkata pada
pujaan hatinya, "Terbanglah kekasihku, dan lepaskanlah sayap-sayapmu saat
aku terjatuh, sebab kaulah yang akan menuntun perjalanan kita menuju kerajaan
baru."
Tepat semalam sebelum
hujan pertama membelai bumi, kawanan laron itu terbang mencari cahaya, seperti
migrasi kawanan burung dari barat mencari kehangatan di arah timur. Dari
kejauhan, setitik cahaya terlihat di sebuah gubuk tua. Maka terbanglah kawanan
itu mendekat. Mengitari cahaya lilin itu seperti menikmati pesta pora cahaya
temaram yang keemasan. Bhisma pun bernyanyi dan bersenandung, sambil
membayangkan wujud kerajaan barunya nanti. Dalam kegirangan itulah, Bhisma
kehilangan jejak-jejak sang permaisuri hati. Tak jauh dari meja yang menyimpan
cahaya lilin, ia lihat Rina telah melepaskan sayap-sayapnya. Dengan kepolosan
itu, pujaan hatinya seolah berkata padanya, "Marilah".
Bhisma pun tahu bahwa
dirinya harus melepaskan kedua pasang sayapnya sebelum mereka menciptakan
koloni baru. Namun, dalam temaram cahaya lilin, dia kembali kehilangan jejak
pujaan hatinya. Betapa ia merindukan ujung abdomen sang kekasih untuk
menuntunnya mencari tempat yang aman bagi anak-anak mereka nanti. Bhisma pun
terbang mencari bagaikan menari di antara cahaya-cahaya lilin yang keemasan.
Ketika samar-samar ia lihat Rina sedang melintas pelan menuju cahaya sebatang
lilin, seekor cicak jatuh dari dinding dan berdiam diri tepat di dekat lilin,
menunggu makan malamnya berjalan mendekat.
Bhisma pun terbang
rendah, melintas beberapa ekor laron yang terlihat berjalan mendekati lilin.
Nalurinya mengatakan, inilah saat yang tepat baginya untuk mati, meski ia tak
tahu dengan cara apa kelak ia mati. Ia sempat berpikir untuk menubrukkan
dirinya pada sumbu lilin agar cahaya di sekitarnya semakin benderang dan mereka
dapat melihat malaikat kematian itu menunggu mereka di dekat lilin. Namun,
tepat ketika ia berteriak meminta teman-temannya untuk menjauhi lilin, cicak
itu melompat dan mendekapnya dengan rahangnya yang lapar. Laron-laron pun kemudian melihat sang maut yang sejak tadi
mengintai. Karena itu, mereka pun berpencar menjauhi lilin, berusaha
menghindari bahaya yang mengintai di antara reremang cahaya lilin dan
kegelapan.
Sebelum tubuh Bhisma
remuk dalam saluran cerna sang cicak, ia lihat sang pujaan hatinya berlari,
diiringi seekor laron jantan lain yang menggigit ujung abdomen sang kekasih
hatinya sambil mencari tempat bagi kerajaan rayap yang baru. Saat itulah ia
dipaksa mengerti arti cinta yang tak harus memiliki. Tapi Bhisma bahagia telah
menjadi sebentuk arti bagi Rina. Sebentuk arti yang menyelamatkan. Sebentuk
arti kehidupan. Kebahagiaan yang bahkan melampaui kebahagiaan Bhisma
Dewabharata setelah bebas dari supata Dewi Amba.
Demikianlah sepenggal
kisah yang ingin kubagikan kepadamu. Pilihan sepenuhnya ada padamu, meski tak
ada seseorang yang tahu seperti apa wujud takdirnya sebelum ia mengalaminya
sendiri, Sahabatku.
Kupang, Akhir 2009-Awal
2010
Untuk Protus Hyansintus
Asalang (Kehilangan bukanlah akhir segalanya).
https://kupang.tribunnews.com/2010/01/24/utopia
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 20 November 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar