Agus Sulton *
Sastra merupakan cerminan
fiktif kehidupan sosial yang banyak mengangkat permasalahan yang ada dalam
masyarakat. Unsur-unsur yang terdapat dalam masyarakat itu diantaranya adalah
politik, ekonomi, norma-norma sosial, agama, adat istiadat dan unsur-unsur
lainnya. Unsur politik bukanlah hal baru dalam kehidupan masyarakat—politik
selalu hidup dalam masyarakat serta tetap berkembang seiring dengan
perkembangan zaman kehidupan masyarakat. Unsur politik yang ada dalam
masyarakat dikemas dalam sebuah tulisan fiktif berupa karya sastra. Karya
sastra hadir di tengah-tengah masyarakat setelah mengalami proses pengolahan
daya kreasi imajiner pengarang dengan realitas masyarakat.
Sastra, sebagai sebuah
intuisi—mempergunakan bahasa tulis sebagai media komunikasinya. Dengan memakai
bahasa tulis, pengarang bebas untuk lebih jeli dalam mengolah realitas politik
yang berkembang dalam masyarakat sehari-hari dan memadukan dengan daya
imajinasi, kemudian dikemas menjadi karya sastra. Karya sastra hadir dalam
masyarakat dikarenakan faktor-faktor sejarah dan lingkungan tempat karya
dilahirkan. Pembentukan karya sastra tidak bisa dilepaskan begitu saja dari
peran lingkungan, latar, dan hal-hal yang bersifat eksternal lainnya. Begitu
juga pembahasan mengenai politik yang berkembang dalam masyarakat—tidak bisa
terlepas dari masyarakat sebagai unsur utama. Masyarakat merupakan faktor utama
yang menentukan apa yang akan ditulis pengarang, bagaimana menulisnya, untuk
siapa karya ditulis dan apa tujuannya. Dalam hal ini, sastra bukanlah suatu
yang otonom, melainkan suatu yang terkait dengan situasi dan kondisi lingkungan
tempat karya sastra itu dilahirkan (Jabrohim, 2000: 167).
Dalam dunia kesusastraan
diketahui—bahwa pengarang telah menciptakan sebuah dunia baru yang ideal.
Pengarang dengan daya imajinasinya mengelola realitas objektif secara subjektif
dan menginterpretasikan realitas objektif dengan kreasi imajinasi yang ada ke
dalam bentuk karya sastra (Esten, 1988: 2). Dengan demikian, pembicaraan
mengenai sastra tidak hanya terfokus mengenai struktur saja, tetapi harus
memperhatikan hubungannya dengan unsur-unsur lain yang berada di luar sturktur.
”Mempelajari sastra secara sistematis, penelaah sastra tidak hanya dituntut
untuk menguasai teori sastra, melainkan juga disiplin ilmu-ilmu lain seperti
filsafat, sosiologi, psikologi, politik, dan sebagainya (Fanani, 2002: 3).
Salah satu genre sastra
yang banyak membahas dan mengungkapkan realitas politik yang ada dalam
masyarakat adalah novel. Novel mempunyai ruang yang cukup banyak untuk membahas
permasalahan utama serta mengungkap secara keseluruhan fenomena-fenomena yang
terdapat dalam masyarakat, tidak hanya sastra saja, unsur politik pun sudah
dikandung oleh novel jauh sebelum sejarah kesusastraan Indonesia ditetapkan.
***
Novel-novelnya pada saat
itu diterbitkan oleh Komisi Bacaan Rakyat—yang dikenal dengan nama Balai
Pustaka (Volkslectuur) pada tahun 1920 banyak memuat kepentingan politik
pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Yaitu novel-novel yang diterbitkan oleh
Balai Pustaka—sastrawan dan karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka, kemudian
digolongkan ke dalam angkatan Balai Pustaka. Karya-karya yang akan diterbitkan
haruslah sesuai dengan aturan-aturan Balai Pustaka yang tertera dalam Nota Over
De Volkslektuur tahun 1911 (sesuai dengan Nota Rinkes) telah ditetapkan oleh
Pemerintah Belanda.
Jika naskah yang akan
diterbitkan oleh Balai Pustaka, ternyata isinya tidak sesuai dengan keinginan
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda atau menjatuhkan wibawa Pemerintah Kolonial,
maka karya tersebut tidak diterbitkan (Pradopo, 2002: 101-104). Sedangkan novel
yang isinya memuat nilai-nilai perlawanan kepada Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda banyak diterbitkan oleh media-media yang dikelola oleh
perkumpulan-perkumpulan yang bersifat oposisi.
Tahun 1863, Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda menetapkan sebuah peraturan pemerintah ”Regering
Reglemen” yang mengatur tata tertib proses produksi, distribusi, dan konsumsi
koran—penerbitan dan juga buku-buku yang di dalamnya; termasuk juga karya
sastra. Mengacu pada peraturan pemerintah tersebut, Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda kemudian mendirikan sebuah badan Komisi Bacaan Rakyat yang bertugas
menyeleksi dan mengawasi isi dari setiap penerbitan karya-karya yang
dihasilkan, baik itu berupa karya sastra maupun bukan (Sunanda, 2000: 127-128).
Sebelum hadirnya undang-undang pers itu, Indonesia sudah dibanjiri oleh
novel-novel bercorak realis sosialis yang dikarang oleh pengarang-pengarang
yang berideologi sosialis ataupun komunis. Novel-novel itu oleh Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda disebut ”bacaan liar”. Pengarang-pengarang yang
menciptakan novel tersebut merupakan para aktivis pergerakan politik, baik
golongan komunis ataupun dari golongan gerakan nasionalis yang sudah menjamur
pada masa itu (Sumardjo, 1982:1992 dalam Adyana Sunanda, 2000: 128).
Novel-novel yang dianggap
sebagai bacaan liar tersebut dilarang terbit dan beredar oleh Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda karena dianggap akan menyebarkan ideologi dan
idealismenya kepada masyarakat luas yang nantinya akan membahayakan kedudukan
pemerintah jajahan Kolonial Hindia Belanda. Antisipasi terhadap bacaan liar
yang banyak beredar di tanah jajahan—Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
mendirikan dan mengelola sebuah penerbitan bernama Volkslectuur (Balai Pustaka)
yang berdiri pada tahun 1920 (Sunanda, 2000: 129). Pendirian Balai Pustaka ini
pada awalnya adalah berupa pengadaan buku bacaan untuk memenuhi kegemaran
membaca dan memajukan pengetahuan rakyat sesuai dengan kemajuan zaman. Juga
bertujuan untuk menghindarkan kritikan terhadap kewibawaan Pemerintah Kolonial
Belanda serta ketentraman negara (Pradopo, 2002: 101). Tujuan tersembunyi lain
dari pendirian Balai Pustaka adalah untuk melakukan pencekalan terhadap
novel-novel serta buku-buku yang dicap sebagai bacaan liar.
Bacaan liar yang dimaksud
adalah buku-buku bacaan yang mempunyai corak realisme-sosialis—yang diterbitkan
bukan oleh Balai Pustaka. Karena Balai Pustaka sebagai penerbit yang dikelola
oleh Pemerintah—menetapkan aturan-aturan yang telah disetujui Pemerintah
Kolonial. Peraturan itu dikenal dengan Nota Rinkes (1911). Salah satu dari
karya sastra yang dicap sebagai bacaan liar pada masa itu adalah novel Hikayat
Kadiroen karya Semaoen.
Novel Hikayat Kadiroen
adalah karya sastra berbentuk novel yang ditulis pada tahun 1919 sewaktu ia
berada dalam penjara selama 4 bulan karena persdelict. Novel ini sebelumnya
sudah dipublikasikan dalam koran Sinar Hindia sebagai cerita bersambung
(Kadiroen, 2002: ix). Pada tahun itu juga novel ini diterbitkan dalam bentuk
buku oleh Partai Komunis Indonesia (Budianata, Kompas 2002). Novel ini sempat
mendapat teguran keras dari pihak Kolonial Belanda karena dianggap bisa
membangkitkan kesadaran masyarakat jajahan untuk berorganisasi atau membentuk
kelompok politik yang memang sedang marak, dan karena itu pulalah Semaoen kemudian
dibuang ke Belanda pada tahun 1923 (Sunanda, 2000: 128). Disamping itu, novel
ini juga banyak didasarkan pada ajaran-ajaran Marx, persoalan kelas jelas
menjadi sorotan. Pada pokoknya kelas menurut masyarakat Marxisme ada dua macam,
yaitu kelas yang memiliki tanah atau alat produksi dan kelas yang tidak
memiliki tanah dan hanya memiliki tenaga untuk disumbangkan dalam proses
produksi (Soekanto, 1974). Kelas Marxisme senantiasa berada dalam pertentangan
untuk perebutan kekuasaan, teori itu meramalkan akan terbentuknya suatu
masyarakat dimana semua kelas dalam arti Marxistis akan lenyap dengan
sendirinya, sehingga yang terjadi adalah masyarakat tanpa kelas.
Dari sedikit deskripsi
tentang novel Hikayat Kadiroen tersebut, jelas di mata Balai Pustaka akan mencap-nya
sebagai bacaan liar, karena akan membahayakan pada pihak Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda. Disamping itu, pihak Balai Pustaka juga mempunyai penilaian
terhadap novel yang akan diterbitkan, yaitu (1) harus mempunyai sikap netral
terhadap persoalan agama, (2) novel tidak boleh mengandung pandangan politik
yang bertentangan dengan pemerintah, (3) sastra yang bersifat cabul tidak akan
diterima dalam rangka penerbitan Balai Pustaka, (4) harus ditulis dalam bahasa
Melayu Tinggi, karena buku-buku Balai Pustaka akan disebarkan di
sekolah-sekolah.
Kriteria itulah yang
diharapkan dari Balai Pustaka, jelas novel Hikayat Kadiroen tidak termasuk
dalam kriteria Balai Pustaka, karena dalam novel Hikayat Kadiroen tidak begitu
mempersoalkan bahasa, dan bahasa pasar adalah bahasa yang digunakan (Damono,
1999). Hal ini disebabkan—novel dari golongan komunis (sosialis) banyak
dipengaruhi oleh bahasa pers, disisi lain pers merupakan penerjemah bahasa
lisan secara langsung ke dalam wujud huruf, angka, dan tanda. Karena itu
kebiasaan menerjemahkan bahasa lisan memberikan pengaruh pada masing-masing
pengarang penulisan novelnya.
Bagian penting lain,
sebuah novel dikatakan bacaan liar pada saat itu apabila memuat gagasan politik
tertentu yang bertentangan dengan pandangan politik pemerintah yang berkuasan.
Walaupun istilah bacaan liar datangnya dari pihak penerbit pemerintah, atau
sebagai panjang tangan pemerintah (dalam hal ini Balai Pustaka), maka dari
kriteria itu bisa dijadikan dasar untuk menelaah novel tersebut (menunjukkan
cap bacaan liar). Disamping itu juga, novel tersebut lebih banyak
merepresentasikan kritikan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda dan ideologi
komunis (marxsisme).
Lebih jauh lagi, novel
Hikayat Kadiroen hanyalah sebuah cerita fiksi, tetapi isinya merupakan
kristalisasi dari kehidupan sosial pada saat karya itu diciptakan, dan tidak
selayaknya dipinggirkan (dipandang sebelah mata) yang sampai-sampai saat ini
tidak pernah diajarkan dalam pembelajaran sastra di sekolah-sekolah. Dengan
demikian terdapat suatu usaha untuk meluruskan sejarah perkembangan sastra
Indonesia yang sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Setidaknya novel-novel
sebelum Balai Pustaka—yang selayaknya bisa dijadikan sebagai alternatif
pembelajaran ”sastra pencerahan”. Sebab mengakui atau tidak, karya-karya
semacam Hikayat Kadiroen itulah yang memberikan pencerahan (kesadaran) kepada
masyarakat terjajah, seperti Indonesia pada tahun 1920-an serta memperlihatkan
pesan kuat adanya perlawanan terhadap imperialisme. Dan ini merupakan persoalan
penting, yang seharusnya tidak dianggap sebagai bacaan anak tiri—sampai-sampai
dari pihak Indosianis dari luar negeri yang memiliki orientasi tunggal dalam
pengakuan, telaah, dan bisa juga pada gilirannya menentukan arah masa depan
sastra Indonesia. Dari sini, seharusnya kita mulai mendogkrak dan bangkit dalam
melihat keberadaan arah karya-karya sebelum Balai Pustaka, yang hampir para
ahli sastra Indonesia sudah mulai terbius dan mengambil mentah-mentah dari
kesimpulan peneliti sejarawan Indonesia dari luar negeri, Keith Foulcher
sebagai referensi dasar yang seolah-olah paling benar. Padahal persoalan
sejarah sastra Indonesia dan kebudayaan Indonesia semacam itu yang lebih layak
menentukan adalah orang Indonesia sendiri, bukan pihak dari Australia atau
Belanda.
***
*) Agus Sulton lahir di
Jombang, 1986. Status sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI
Jombang. Penggiat di Lingkar Study Warung Sastra (LISWAS, komunitas tulis dan
apresiasi sastra) Ngoro-Jombang. Kumpulan puisi pribadinya ”Tetesan Tinta Air
Mata” (ditulis dari tahun 2002-2005), ”Sketsa Tak Bermantra 1” (ditulis dari
tahun 2004-2006), ”Berhias Mata Kaca” (ditulis dari tahun 2006-2008), dan
“Kantin Pelatuk Naga” 2010. Karya lainnya berupa cerpen, esai, dan 1 novel
pribadi ”Rembulan Bernyanyi”. Saat ini tinggal dan berkarya, di Desa Rejoagung,
Kec Ngoro, Kab Jombang JATIM.
http://sastra-indonesia.com/2010/08/bacaan-liar-sebagai-sastra-perlawanan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar