: Kepada Saut Situmorang
Muhammad Yasir
TAK ADA suatu hal menarik dari Jakarta selain kenangan sejarah pusat
kolonialisme dan kebangkitan nasional senantiasa terbayang dalam benak pejalan
kaki kebanyakan yang berjalan menunduk semacam menanggung beban masa lalu dan
hari ini atau bahwa itu telah terbawa arus Kali Ciliwung yang kotor dan berbau
busuk. Akan tetapi, ini bukan menyoal Jakarta, melainkan perjalanan dua orang
penyair; seorang akan segera dihukum dan seorang lagi muridnya, di dalam sebuah
kereta Jakarta-Yogya lima tahun lalu.
“Indonesia adalah mimpi dimana aku tak perlu lagi bermimpi seperti ini!”
kata si penyair kepada muridnya. Kemudian dia melanjutkan, “Bagaimana mungkin
seorang polisi dan seorang hakim bisa memercayai pembodohan sejarah ini hanya
dengan membaca pengaduan belaka? Dunia yang satu ini milik kita, bukan mereka.
Mereka cuma bandit yang telah melecehkan dunia kita. Maka, seorang demi seorang
dari mereka mesti dicatat dan diingat sebaik-baiknya!”
Demikianlah kemarahan keduanya membuncah kemudian habis dilumat deru kereta
dan derit roda besinya yang menjadi semacam hymne perjalanan pulang para
penumpang, orang-orang orient, yang sejak kereta meluncur Meninggalkan Jakarta
duduk bermenung semacam begitu banyak beban persoalan dunia di pundak mereka,
sedangkan Gambir telah tertinggal jauh.
Ada seorang perempuan dan seorang anak perempuan, cucunya, duduk persis di
hadapan penyair dan muridnya. Si perempuan sepertinya seorang terpelajar dan
memiliki wibawa. Bagaimana pun, cara sepasang matanya mengamati setiap objek
yang ada menunjukkan bahwa dia seorang teliti. Juga cara dia bicara kepada
cucunya, ketika cucunya bertanya tentang bagaimana jalur kereta api dibuat:
“Mandor sekaligus Gubernur Jendral Hindia-Belanda itu bernama Baron Sloet
van de Beele merupakan orang pertama yang mengancam orang-orang Semanarang dan
Vorstenlanden (Yogyakarta) untuk melakukan pencangkulan jalur kereta api
pertama di Desa Kemijen pada tanggal 18 Juni 1864. Aku membayangkan bagaimana
mereka yang bekerja di bawah ancaman, mengerjakan rel kereta dengan lebar 1435
milimeter itu dengan kuku-kuku pada jemari mereka yang terluka dan mulai
membusuk.”
“Bukan main,” si perempun melanjutkan. “Satu… empat… enam… sepuluh… setiap
pekerja berhitung sebagai tanda jumlah rekan mereka yang gugur di ujung moncong
senjata dan kengerian kelaparan. Oh… apakah guru-gurumu di sekolah pernah
menceritakan tentang kekelaman ini?”
Si cucu menggeleng.
“Memang demikian, karena kalian dididik hanya untuk menjadi domba-domba
yang belajar mengaum seperti anjing dan serigala. Itu sangat mungkin terjadi.”
Murid si penyair itu turut serta mendengarkan percakapan si perempuan dan
cucunya, tetapi dia tak memiliki suatu apa untuk dipertanyakan. Dia merasakan
pengetahuan si perempuan seperti setiap anak yang melambaikan tangan ketika per
sekian detik kereta melintasi kampung mereka; harap-harap suatu saat kelak
mereka akan duduk mengisi setiap kursi sembari mengenakan dasi dan menebalkan
gincu.
***
Pada stasiun kesekian, kereta api berhenti. Beberapa orang penumpang turun,
berganti. Beberapa orang penumpang baru duduk sebagaimana mestinya; tak ada
perbedaan dari airmuka mereka, kemurungan tampak menguasai dan mengontrol
setiap gerak-gerik anggota tubuh mereka. Pun, tak ada sekata pun keluar dari
mulut mereka sebagai sapaan dan keramah-tamahan bangsa terjajah, seakan-akan
kebahagiaan di tanah-air ini telah lama hilang.
Setengah jam setelah kereta api kembali meluncur, terjadi percakapan antara
si penyair dan si perempuan untuk kali pertama.
“Negeri ini telah kehilangan harkat-martabatnya sebagai sebuah negeri yang
memiliki sejarah perbudakan dan perlawanan yang panjang. Bukankah demikian?”
kata si penyair, memancing.
“Tidak, kurasa,” kata si perempuan.
“Negeri ini tetap memiliki harkat-martabat sebagai sebuah negeri yang
memiliki sejarah perbudakan dan perlawanan yang panjang,” dia melanjutkan.
“Kita, tentu saja dapat melihat dan meraba itu melalui teks demi teks yang
ditulis dari berbagai versi.”
“Justru teks demi teks itu dilahirkan untuk mengaburkan sejarah. Para
penguasa dan bandit di tatanan pemerintah memiliki misi lain selain melakukan
penindasan dan perampasan hak setiap orang di tanah ini. Di antaranya, kupikir,
ialah membuat seseorang merasa risih dengan ilmu pengetahuan, dengan begitu
sendirinya orang tersebut akan menjadi bungkam. Dan ya… aku belum menyebut
jumlah orang yang dibunuh dan mati dalam penjara, ya!” kata si penyair.
“Kita bisa memakan makanan enak, karena kita memiliki uang yang cukup.
Demikian pula, kita mengetahui sejarah dengan melakukan pembacaan teks
sejarah,” kata si perempuan.
“Aku seorang sinis,” lanjut si perempuan. “Namun sikap sinis ini tak
kudapat dari sejarah atau teks demi teks tentang itu, melainkan pengalaman
empirik yang telah kulalui, mungkin juga kau. Ada satu hal yang menjadi
penekanan penting bagi kita, yaitu sikap politik yang jelas serta komitmen
terhadap perlawanan yang kuat dan berdasar. Bukankah selama ini kita lebih suka
mendengarkan kotbah dari seorang terididik Barat ketimbang orang-orang sendiri?
Apa standarisasi untuk itu? Serta mengapa orang-orang sendiri yang
digadang-gadang mampu menjadi semangat zaman malah dicap sebagai angkatan gagal
dan pongah? Heh! Kurasa justru kita kita ini yang gagal, ‘kan?”
“Seekor domba tak mungkin bisa melolong seperti seekor srigala dan anjing,
karena dia seekor domba! Dan seorang manusia, apalagi dari bangsa terjajah,
sudah semestinya mampu membuat rumusan atau konsepsi untuk melawan penjajahnya.
Bagiku, argumenmu seperti argumen negara. Banyak narasi yang coba kau kaburkan.
Soal Barat, mungkin maksudmu Max Havelaar dan Kartini yang mengaduh-aduh kepada
kolega Belanda-nya tentang kegelisahannya melalui surat demi surat ironi yang
dianggap luhur dan dipuja-puja oleh orang-orang masa kini. Soal orang-orang
sendiri, bukankah mereka memiliki cita-cita yang sama, yaitu menjadi
kolaboratoris atau native orientalis?! Jika “kita kita” yang kau sebut termasuk
aku di dalamnya, aku menolak itu. Aku menolak menjadi bagian dari “habis gelap,
terbitlah terang” yang justru dikomodifikasi menjadi “habislah gelap,
sehabis-habisnya!””.
Tak ada percakapan lagi setelahnya. Semua yang tampak dan terlewati menjadi
dingin dan getir.
Si perempuan dan cucunya turun dari Gerbong A, ketika kereta tiba di Solo.
“Senang berbicara dengan kau. Kuharap kita akan jumpa di gerbong kereta
yang sama!” kata si perempuan kepada si penyair.
Si penyair semringah, kemudian berkata, “Berhati-hatilah!”
***
Hanya ada beberapa penumpang bertampang jelek yang naik, selebihnya hanya
kekosongan belaka. Dalam keadaan demikian murid si penyair tak ingin dilumat
kebosanan perjalanan. Dia pun berkata, “Suhu, ketika mendengarkan percakapan
tadi, aku teringat perkataanmu tentang “Memancinglah tanpa mata kail. Bagaimana
itu?”
“Semua, ada ceritanya. Begini bila kuceritakan, dengarkan baik-baik:
“...LELAKI TUA nyaris menghabiskan sepanjang hari duduk di atas batu di
tepi sungai yang membelah bebukitan, besertanya joran kayu dan buku. Orang
kebanyakan memanggilnya si penyabar ulung, karena tabiatnya sabar menunggu..
Namun, Lelaki Tua tak menggubris orang kebanyakan. Baginya, orang kebanyakan
semacam belatung di dalam daging bangkai seekor babi. Dari atas batu itu nampak
ikan-ikan mondar-mandir semacam ada ketakutan melanda. “Ikan-ikan yang menyedihkan!
Haha,” gumam Lelaki Tua.
Sebelum matahari meninggalkan senja, Lelaki Tua duduk di beranda rumahnya.
Dia membuka kiriman dari seorang kawan lama yang jauh. Kiriman itu berisi
sebuah novel The Old Man And The Sea karya Ernest Hemingway. Lembar demi lembar
dibacanya dengan teliti seakan ia tak ingin melewati sekata pun, hingga malam
yang basah tiba.
Suara jangkrik mengerik terhembus angin dingin. Bagi para katak betina,
inilah saatnya bertelur. Lelaki Tua menutup novel itu kemudian masuk ke dalam
rumah. Sebelum tidur, dia pandangi foto istrinya yang tergantung di dinding.
Dia teringat ucapan istrinya. Begini:
“Bukan umurmu yang membuatku mencintaimu, tetapi keberanianmu menghadapi
musuh-musuh ideologismu dan kejujuranmu menjalani kehidupan yang balau. Jika
bagi perempuan kebanyakan menikah adalah penahbisan diri ini kepada kuasa
lelaki, maka aku beranggapan lain. Bagiku, bersepakat bahwa kita menikah dan
menjalani hidup bersama adalah sikap politis yang revolusioner. Mengapa? Karena
kita akan dihadapkan pada sebuah jalan lain; jalan paling sunyi dari jalan
sunyi. Di sana kita akan diuji apakah kau dan aku berhasil atau tidak melawan
segala rintang. Jika berhasil, jadilah kita sebagai revolusioner bagi diri
sendiri. Jika tidak, lebih baik mati!”
Pukul 07.00 pagi, setelah menyiram bunga makam istrinya di laman belakang
rumah, Lelaki Tua pergi ke sungai sembari menenteng sebuah joran kayu dan novel
The Old Man And The Sea. Tak lama kemudian, dia duduk di atas batu. Sembari
menunggu ikan terpancing, dia melanjutkan bacaannya. Begitu saja selama
berjam-jam.
“Dapat, Pak?” tanya seorang pemancing; pemuda, kurus, dekil.
“Apakah joranku mengganggu joranmu, bedebah kecil?”
Pemuda itu diam.
Lima menit kemudian, si pemuda bertanya lagi, “Dapat, Pak?”
“Apakah ikan-ikan dipaksa memakan umpan?”
“Ndak. Ada masalah apa, Pak?”
“Ada. Masalahku adalah ketika kau bertanya!”
Kali kedua pemuda itu diam.
Karena sudah kepalang sore, Lelaki Tua pulang—pemuda itu telah pulang
sebelum sore—dan meninggalkan joran kayunya di atas batu.
Keesokan hari, pukul 07.00 pagi Lelaki Tua pergi ke tepi sungai dan duduk
di atas batu, kemudian membaca sembari menunggu ikan-ikan terpancing. Rupanya,
pemuda yang kemarin mati kutu mengikuti Lelaki Tua. Dia duduk di sebelah Lelaki
Tua di sebuah batu yang sama berat dengan badannya. Berbeda dengan Lelaki Tua,
si pemuda dalam sebatang rokok lima sampai enam ekor ikan didapatnya. Berbeda
dengan Lelaki Tua.
“Buku apa itu, Pak?”
Lelaki Tua itu menatapnya sesaat kemudian berkata, “Yang jelas bukan buku
biografimu dan presiden negeri ini, bedebah kecil!”
“Lalu?”
“Sebuah novel. Lelaki Tua yang memancing di laut.”
Pemuda itu diam sembari membayangkan jika Lelaki Tua itu menyinggung
dirinya sendiri.
“Kenapa kau semringah? Apa yang salah denganku atau buku ini?”
“Tidak ada, Pak. Aku, e, aku juga pernah membaca sebuah novel.”
Si pemuda kemudian panjang-lebar menceritakan isi novel yang bertajuk Rumah
Kaca karya Pramoedya Ananta Toer yang telah dibacanya. Kemudian berkata, “Ya,
Pak. Akhirnya semua orang berkhianat!”
Lelaki Tua tersenyum.
“Mengapa kau tersenyum, Pak?”
“Anak Muda, tak ada soal bagiku tentang sebuah pengkhianatan, karena
pengkhianatan menunjukkan kepada kita siapa sebenarnya yang berkhianat itu.
Lantas, apa pula yang kau kecewakan? Bukankah kau sendiri juga pengkhianat? Ya!
Kau datang ke sini untuk menangkap banyak ikan, bukan?!
“Maksudnya?”
“Bodoh! Masih muda saja kau tak mampu memaknai itu, apalagi tua kelak?”
Lelaki Tua beranjak pergi.
Tinggallah pemuda itu seorang diri. dia terdiam; mati kutu. Ia kemudian
menatap air sungai, tampak dirinya kalah. Kemudian dia beranjak ke batu tempat
Lelaki Tua duduk. Dan betapa terkejutnya dia, ketika mengangkat joran kayu
milik Lelaki Tua. Ternyata joran kayu itu tanpa mata kail!…”
Kedua penyair itu tertawa terbahak seakan-akan dengan “ha-” yang keluar
dari mulut mereka merupakan kebebasan yang terakhir.
Sampit, 21 Januari 2021 http://sastra-indonesia.com/2021/02/pemilik-kebebasan-bicara-terakhir/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar