Minggu, 25 April 2021

MEMBACA ULANG HEMINGWAY: HILLS LIKE WHITE ELEPHANTS

A.S. Laksana *
 
Cerpen “Hills Like White Elephants” terbit pertama kali tahun 1927 dan membingungkan orang-orang pada saat itu. Ia seperti ditulis tanpa plot, dengan narator yang fungsinya sangat minimum, tanpa berupaya memberi sedikit pun penjelasan tentang latar belakang si lelaki dan si gadis, atau seperti apa pakaian mereka, atau bagaimana intonasi mereka saat bicara, atau dengan bahasa tubuh seperti apa mereka menyampaikan kata-kata, dan sebagainya. Si lelaki hanya diperkenalkan sebagai “seorang lelaki Amerika” dan si gadis disebut begitu saja sebagai “seorang gadis”. Namun dari koper-koper mereka, yang masih dilekati label hotel-hotel tempat mereka pernah menginap, kita tahu bahwa mereka dua orang pendatang. Dan, tanpa penjelasan narator, kita juga tahu bahwa si gadis tidak memahami bahasa setempat.
 
Dengan fungsi narator yang kecil sekali, bahkan nyaris tidak ada kecuali untuk memperkenalkan seting secara ringkas, cerita digerakkan hanya dengan menampilkan dialog antartokoh, yang berlangsung di sebuah stasiun persimpangan antara Barcelona dan Madrid, yang tidak secara gamblang kita ketahui mereka sedang membicarakan apa. Si gadis menyebut “bukit-bukit” dan “gajah putih” dan pelan-pelan kita merasakan situasi yang menegang di antara mereka. Si pemuda menyebut-nyebut “operasi”, yang menurutnya bahkan “bukan operasi sama sekali” karena terlalu sepele.
 
Lalu kita tahu bahwa mereka berbeda cara pandang: si lelaki meyakinkan tentang cinta dan kebahagiaan dan semuanya akan baik-baik saja setelah itu; si gadis gelisah tentang sesuatu yang “mereka renggut dari kita” dan tak akan pernah mereka dapatkan kembali. Namun, segalanya tetap samar-samar di permukaan, dan terasa kian menekan di lapis bawah permukaan.
 
Versi terjemahan “Hills Like White Elephants” pernah dimuat dalam buku Antologi Cerpen Nobel, yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka, Mei 2004, dengan penyair Wendoko sebagai penyunting. Saya tidak ingat siapa penerjemahnya. Website Fiksi Lotus memuat juga terjemahan cerpen ini. Saya tidak tahu siapa yang menerjemahkan, hanya rasa-rasanya penerjemahan tersebut dilakukan dengan menyusupkan hasrat si penerjemah untuk membuat tulisan Hemingway itu menjadi “lebih jelas”.
 
Saya menerjemahkan cerpen ini dan mencoba mempertahankan gaya Hemingway dan situasi samar-samar cerpen tersebut agar bisa sedekat mungkin dengan tulisan aslinya (meskipun, kita tahu, tidak mungkin seorang penerjemah bisa benar-benar setia kepada naskah asli saat memindahkan sebuah karya dari satu bahasa ke bahasa lain).
Selanjutnya, saya juga mau ringkas saja: Silakan menikmati.
 
Bukit-Bukit Seperti Gajah Putih
Cerpen karya: Ernest Hemingway
Diterjemahkan: A.S. Laksana
 
PERBUKITAN di seberang lembah Sungai Ebro panjang dan putih. Tak ada tempat teduh dan pohon-pohon di sisi sebelah sini dan stasiun diapit oleh dua jalur rel di bawah matahari. Di dekat stasiun ada sebuah bangunan dan ambang pintunya yang terbuka lebar ditutup dengan tirai, yang dibuat dari sulur-sulur senar dengan rangkaian manik-manik bambu, untuk mencegah lalat masuk. Seorang lelaki Amerika dan seorang gadis duduk di meja yang terlindung dari matahari, di luar bangunan tersebut. Hari sangat panas dan kereta ekspres dari Barcelona akan tiba empat puluh menit lagi. Ia akan berhenti dua menit di stasiun persimpangan ini dan melanjutkan perjalanan ke Madrid.
 
“Minum apa kita?” tanya si gadis. Ia melepaskan topinya dan menaruhnya di atas meja.
 
“Panas sekali udaranya,” kata si lelaki.
 
“Kita pesan bir kalau begitu.”
 
“Dos cervezas,” si lelaki berkata ke arah tirai.
 
“Gelas besar?” seorang wanita bertanya dari ambang pintu.
 
“Ya. Gelas besar dua.”
 
Wanita itu membawa dua gelas besar bir dan dua tatakan gelas. Ia meletakkan tatakan dan menaruh gelas-gelas bir di atas tatakan tersebut dan melihat si lelaki dan si gadis. Si gadis memandangi lekuk-lekuk perbukitan. Bukit-bukit memutih di bawah matahari dan pedesaan ini coklat gersang.
 
“Mereka seperti kawanan gajah putih,” kata si gadis.
 
“Aku belum pernah melihat gajah putih,” si lelaki meneguk birnya.
 
“Memang, kau takkan melihatnya.”
 
“Mungkin aku pernah melihatnya,” kata si lelaki. “Kata-katamu tadi tidak membuktikan apa-apa.”
 
Si gadis menoleh ke arah manik-manik tirai. “Mereka menuliskan sesuatu di manik-manik itu,” katanya. “Apa bunyinya?”
 
“Anis del Toro. Jenis minuman.”
 
“Boleh coba?”
 
Si lelaki menyerukan “Kaudengar” ke arah tirai. Si wanita keluar dari bar.
 
“Empat real.”
 
“Kami mau dua Anis del Toro.”
 
“Dengan air?”
 
“Kau mau dengan air?”
 
“Entahlah,” kata si gadis. “Enakkah kalau ditambah air?”
 
“Oke juga.”
 
“Dengan air atau tidak?” tanya si wanita.
 
“Ya, dengan air.”
 
“Rasanya seperti licorice,” si gadis berkata dan meletakkan gelasnya di meja.
 
“Semuanya seperti itu.”
 
“Ya,” kata si gadis. “Semua rasanya seperti licorice. Terutama semua hal yang sudah kaunantikan sekian lama, seperti absinthe.”
 
“Jangan bicara itu, deh.”
 
“Kau yang memulainya,” kata si gadis. “Aku sedang merasa senang. Aku sedang nyaman.”
 
“Nah, kalau begitu mari kita menikmati perasaan nyaman.”
 
“Oke. Aku berupaya begitu tadi. Kubilang bukit-bukit itu seperti gajah putih. Bukankah itu keren?”
 
“Keren.”
 
“Aku ingin mencicipi minuman baru ini: Cuma itu yang kita lakukan, bukan? Memandangi segala sesuatu dan mencoba minuman-minuman baru.“
 
“Kurasa begitu.”
 
Si gadis memandangi bukit-bukit di seberang.
 
“Bukit-bukit itu indah sekali,” katanya. “Mereka tidak benar-benar seperti gajah putih. Aku cuma mau bilang bahwa warnanya sama dengan kulit binatang itu.”
 
“Mau coba minuman lain?”
 
“Boleh.”
 
Angin yang hangat mendorong tirai manik-manik ke arah meja.
 
“Bir ini enak dan menenteramkan.”
 
“Membawa kegembiraan,” kata si gadis.
 
“Itu hanya operasi yang ringan sekali, Jig,” kata si lelaki. “Bahkan tak bisa dibilang operasi.”
 
Si gadis memandangi tanah di bawah kaki meja.
 
“Aku tahu kau takkan keberatan, Jig. Itu benar-benar sepele. Hanya meniupkan udara ke dalamnya.”
 
Si gadis tidak bicara.
 
“Aku akan menemanimu dan selalu di sampingmu sampai kapan pun. Mereka hanya akan meniupkan udara dan kemudian semuanya akan terjadi secara alami.”
 
“Terus apa yang akan kita lakukan setelah itu?”
 
“Kita akan baik-baik saja setelah itu. Seperti sebelum-sebelumnya.”
 
“Apa yang membuatmu seyakin itu?”
 
“Itu satu-satunya hal yang mengganggu kita. Hanya satu hal itu yang membuat kita tidak bahagia.”
 
Si gadis mengamati manik-manik tirai, menjulurkan tangan dan meraih dua sulur senar.
 
“Dan kau berpikir setelah itu kita akan baik-baik saja dan bahagia?”
 
“Aku yakin begitu. Kau tak perlu takut. Aku tahu sudah banyak orang yang melakukannya.”
 
“Aku tahu juga,” kata si gadis. “Dan setelah itu mereka semua bahagia sekali.”
 
“Oke,” kata si lelaki, “kalau kau berkeberatan, kau tidak perlu melakukannya. Aku tidak akan memaksamu jika kau tak mau. Namun aku tahu itu urusan sepele.”
 
“Dan kau sangat menginginkannya?”
 
“Kupikir itu yang terbaik. Tapi aku tidak akan memaksamu melakukannya kalau kau benar-benar tidak mau.”
 
“Dan jika aku melakukannya kau akan bahagia dan segalanya akan seperti semula dan kau akan mencintaiku?”
 
“Sekarang pun aku mencintaimu. Kau tahu itu.”
 
“Aku tahu. Tapi kalau aku melakukannya, apakah kita akan baik-baik saja seandainya suatu saat nanti aku mengatakan sesuatu mirip gajah putih, dan kau akan senang mendengarnya?”
 
“Aku akan senang sekali. Sekarang pun aku senang, hanya saja belum sanggup memikirkan itu. Kau tahu bagaimana perangaiku jika sedang kalut.”
 
“Kalau aku melakukannya, kau tidak merasa kalut sama sekali?”
 
“Aku tidak akan kalut oleh hal itu, sebab itu urusan sepele.”
 
“Baiklah, akan kulakukan. Sebab, persetan dengan diriku sendiri.”
 
“Apa maksudmu?”
 
“Aku tidak peduli pada diriku sendiri.”
 
“Aku menyayangimu.”
 
“O, ya. Tapi aku tak peduli pada diriku sendiri. Dan aku akan melakukannya dan kemudian semuanya akan baik-baik saja.”
 
“Aku tak mau kalau kau merasa terpaksa melakukannya.”
 
Si gadis bangkit dan berjalan ke ujung stasiun. Di seberang sana, di sisi yang lain, ladang-ladang gandum dan pepohonan berderet di sepanjang tepian sungai Ebro. Lebih ke sana lagi, jauh dari sungai, tegak gunung-gunung. Bayang-bayang awan menyapu ladang gandum dan ia memandangi sungai melalui sela-sela jajaran pepohonan.
 
“Dan kita bisa memiliki semua ini,” katanya. “Dan kita bisa memiliki apa saja dan setiap hari kita kita menjadikan itu semua kian mustahil.”
 
“Apa kaubilang?”
 
“Kubilang kita bisa memiliki segalanya.”
 
“Ya, kita bisa memiliki segalanya.”
 
“Tidak, kita tak akan bisa.”
 
“Kita bisa memiliki seluruh isi dunia ini.”
 
“Tidak akan bisa.”
 
“Kita bisa pergi ke mana pun.”
 
“Tidak akan bisa. Ia bukan milik kita lagi.”
 
“Ia milik kita.”
 
“Bukan. Dan sekali mereka merenggutnya, tak mungkin kita bisa merebutnya lagi.”
 
“Tapi mereka tidak merenggutnya dari kita.”
 
“Lihat saja nanti.”
 
“Kemarilah, di sini teduh,” kata si lelaki. “Janganlah merasa seperti itu.”
 
“Aku tidak merasa,” kata si gadis. “Aku tahu.”
 
“Aku tidak ingin kau melakukan apa pun yang kau enggan melakukannya—“
 
“Atau yang tidak bagus akibatnya buatku,” kata si gadis. “Aku tahu. Boleh minta bir lagi?”
 
“Oke. Tapi kau harus mengerti—“
 
“Aku mengerti,” kata si gadis. “Bisa kita berhenti bicara?”
 
Mereka duduk di meja dan si gadis memandang bukit-bukit di seberang sana di sisi gersang lembah dan si lelaki memandanginya dan memandangi meja.
 
“Kau harus mengerti,” kata si lelaki, “bahwa aku tidak ingin kau melakukannya jika kau tidak mau. Aku akan berusaha menerimanya jika ia benar-benar sangat berarti buatmu.”
 
“Apa ia tidak ada artinya sama sekali buatmu?”
 
“Tentu saja ia punya arti. Tapi aku tidak menginginkan orang lain kecuali engkau. Aku tidak menginkan siapa-siapa lagi. Dan aku tahu urusannya sangat sepele.”
 
“Ya, kau memang tahu itu sepele sekali.”
 
“Silakan mencibir sesukamu, tapi aku tahu betul soal itu.”
 
“Boleh aku minta tolong sesuatu?”
 
“Dengan senang hati.”
 
“Aku minta tolong please please please please please please berhentilah bicara.”
 
Si lelaki tidak bicara lagi selain memandangi tumpukan koper di dinding stasiun. Ada label di koper-koper itu dari setiap hotel tempat mereka pernah menginap.
 
“Tapi aku tak mau memaksamu,” kata si lelaki. “Aku tidak akan menyinggung-nyinggung sedikit pun soal itu.”
 
“Kau bicara lagi dan aku akan teriak,” kata si gadis.
 
Si wanita pelayan muncul dari balik tirai dengan dua gelas bir dan meletakkannya pada tatakan yang lembap. “Kereta akan datang lima menit lagi,” katanya.
 
“Apa katanya?” tanya si gadis.
 
“Kereta akan datang lima menit lagi.”
 
Gadis itu tersenyum cerah kepada si wanita, untuk menyampaikan terima kasih.
 
“Sebaiknya kupindahkan dulu koper-koper ini ke sebelah sana,” kata si lelaki. Si gadis tersenyum kepadanya.
 
“Oke. Lalu segeralah kembali untuk menghabiskan birmu.”
 
Si lelaki mengangkut dua koper besar dan memindahkannya ke jalur rel di sisi lain stasiun. Ia melempar pandangan jauh-jauh ke rel itu tetapi tidak melihat kereta datang dari arah sana. Kembali ke mejanya, ia berjalan melewati ruang bar, tempat orang-orang tentunya sedang menunggu kereta. Ia keluar melalui tirai manik-manik. Si gadis duduk di meja dan tersenyum kepadanya.
 
“Sudah lebih enak sekarang?” tanyanya.
 
“Tak ada masalah kurasa,” kata si gadis. “Aku baik-baik saja dari tadi.”
***
 
*) A.S. LAKSANA, cerpenis kelahiran Semarang, 25 Desember 1968. Ia merupakan lulusan Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Buku kumpulan cerpennya Bidadari yang Mengembara (KataKita, 2004) terpilih sebagai buku sastra terbaik 2004 pilihan Majalah Tempo. Sementara itu, novelnya Cinta Silver (Gagas Media, 2005) difilmkan dengan judul yang sama. Buku-buku kumpulan cerpennya yang lain adalah Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu (Gagas Media, 2013) dan Si Janggut Mengencingi Herucakra (Marjin Kiri, 2015). Sedangkan buku-buku non-fiksinya yang telah terbit, antara lain Creative Writing: Tips dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel (Mediakita, 2007), Podium DeTik (Sipress, 1995), Skandal Bank Bali (Detak, 1999), dan Creative Writing (Banana, 2020). A.S. Laksana pernah menjadi wartawan Detik, Detak, dan Tabloid Investigasi. Selanjutnya, ia mendirikan dan mengajar di sekolah penulisan kreatif Jakarta School. http://sastra-indonesia.com/2017/12/membaca-ulang-hemingway-hills-like-white-elephants/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar