A.S. Laksana *
Cerpen “Hills Like White Elephants” terbit pertama kali tahun 1927 dan
membingungkan orang-orang pada saat itu. Ia seperti ditulis tanpa plot, dengan
narator yang fungsinya sangat minimum, tanpa berupaya memberi sedikit pun
penjelasan tentang latar belakang si lelaki dan si gadis, atau seperti apa
pakaian mereka, atau bagaimana intonasi mereka saat bicara, atau dengan bahasa
tubuh seperti apa mereka menyampaikan kata-kata, dan sebagainya. Si lelaki
hanya diperkenalkan sebagai “seorang lelaki Amerika” dan si gadis disebut
begitu saja sebagai “seorang gadis”. Namun dari koper-koper mereka, yang masih
dilekati label hotel-hotel tempat mereka pernah menginap, kita tahu bahwa
mereka dua orang pendatang. Dan, tanpa penjelasan narator, kita juga tahu bahwa
si gadis tidak memahami bahasa setempat.
Dengan fungsi narator yang kecil sekali, bahkan nyaris tidak ada kecuali
untuk memperkenalkan seting secara ringkas, cerita digerakkan hanya dengan
menampilkan dialog antartokoh, yang berlangsung di sebuah stasiun persimpangan
antara Barcelona dan Madrid, yang tidak secara gamblang kita ketahui mereka
sedang membicarakan apa. Si gadis menyebut “bukit-bukit” dan “gajah putih” dan
pelan-pelan kita merasakan situasi yang menegang di antara mereka. Si pemuda
menyebut-nyebut “operasi”, yang menurutnya bahkan “bukan operasi sama sekali”
karena terlalu sepele.
Lalu kita tahu bahwa mereka berbeda cara pandang: si lelaki meyakinkan
tentang cinta dan kebahagiaan dan semuanya akan baik-baik saja setelah itu; si
gadis gelisah tentang sesuatu yang “mereka renggut dari kita” dan tak akan
pernah mereka dapatkan kembali. Namun, segalanya tetap samar-samar di
permukaan, dan terasa kian menekan di lapis bawah permukaan.
Versi terjemahan “Hills Like White Elephants” pernah dimuat dalam buku
Antologi Cerpen Nobel, yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka, Mei 2004, dengan
penyair Wendoko sebagai penyunting. Saya tidak ingat siapa penerjemahnya.
Website Fiksi Lotus memuat juga terjemahan cerpen ini. Saya tidak tahu siapa
yang menerjemahkan, hanya rasa-rasanya penerjemahan tersebut dilakukan dengan
menyusupkan hasrat si penerjemah untuk membuat tulisan Hemingway itu menjadi
“lebih jelas”.
Saya menerjemahkan cerpen ini dan mencoba mempertahankan gaya Hemingway dan
situasi samar-samar cerpen tersebut agar bisa sedekat mungkin dengan tulisan
aslinya (meskipun, kita tahu, tidak mungkin seorang penerjemah bisa benar-benar
setia kepada naskah asli saat memindahkan sebuah karya dari satu bahasa ke
bahasa lain).
Selanjutnya, saya juga mau ringkas saja: Silakan menikmati.
Bukit-Bukit Seperti Gajah Putih
Cerpen karya: Ernest Hemingway
Diterjemahkan: A.S. Laksana
PERBUKITAN di seberang lembah Sungai Ebro panjang dan putih. Tak ada tempat
teduh dan pohon-pohon di sisi sebelah sini dan stasiun diapit oleh dua jalur
rel di bawah matahari. Di dekat stasiun ada sebuah bangunan dan ambang pintunya
yang terbuka lebar ditutup dengan tirai, yang dibuat dari sulur-sulur senar
dengan rangkaian manik-manik bambu, untuk mencegah lalat masuk. Seorang lelaki
Amerika dan seorang gadis duduk di meja yang terlindung dari matahari, di luar
bangunan tersebut. Hari sangat panas dan kereta ekspres dari Barcelona akan
tiba empat puluh menit lagi. Ia akan berhenti dua menit di stasiun persimpangan
ini dan melanjutkan perjalanan ke Madrid.
“Minum apa kita?” tanya si gadis. Ia melepaskan topinya dan menaruhnya di
atas meja.
“Panas sekali udaranya,” kata si lelaki.
“Kita pesan bir kalau begitu.”
“Dos cervezas,” si lelaki berkata ke arah tirai.
“Gelas besar?” seorang wanita bertanya dari ambang pintu.
“Ya. Gelas besar dua.”
Wanita itu membawa dua gelas besar bir dan dua tatakan gelas. Ia meletakkan
tatakan dan menaruh gelas-gelas bir di atas tatakan tersebut dan melihat si
lelaki dan si gadis. Si gadis memandangi lekuk-lekuk perbukitan. Bukit-bukit
memutih di bawah matahari dan pedesaan ini coklat gersang.
“Mereka seperti kawanan gajah putih,” kata si gadis.
“Aku belum pernah melihat gajah putih,” si lelaki meneguk birnya.
“Memang, kau takkan melihatnya.”
“Mungkin aku pernah melihatnya,” kata si lelaki. “Kata-katamu tadi tidak
membuktikan apa-apa.”
Si gadis menoleh ke arah manik-manik tirai. “Mereka menuliskan sesuatu di
manik-manik itu,” katanya. “Apa bunyinya?”
“Anis del Toro. Jenis minuman.”
“Boleh coba?”
Si lelaki menyerukan “Kaudengar” ke arah tirai. Si wanita keluar dari bar.
“Empat real.”
“Kami mau dua Anis del Toro.”
“Dengan air?”
“Kau mau dengan air?”
“Entahlah,” kata si gadis. “Enakkah kalau ditambah air?”
“Oke juga.”
“Dengan air atau tidak?” tanya si wanita.
“Ya, dengan air.”
“Rasanya seperti licorice,” si gadis berkata dan meletakkan gelasnya di
meja.
“Semuanya seperti itu.”
“Ya,” kata si gadis. “Semua rasanya seperti licorice. Terutama semua hal
yang sudah kaunantikan sekian lama, seperti absinthe.”
“Jangan bicara itu, deh.”
“Kau yang memulainya,” kata si gadis. “Aku sedang merasa senang. Aku sedang
nyaman.”
“Nah, kalau begitu mari kita menikmati perasaan nyaman.”
“Oke. Aku berupaya begitu tadi. Kubilang bukit-bukit itu seperti gajah
putih. Bukankah itu keren?”
“Keren.”
“Aku ingin mencicipi minuman baru ini: Cuma itu yang kita lakukan, bukan?
Memandangi segala sesuatu dan mencoba minuman-minuman baru.“
“Kurasa begitu.”
Si gadis memandangi bukit-bukit di seberang.
“Bukit-bukit itu indah sekali,” katanya. “Mereka tidak benar-benar seperti
gajah putih. Aku cuma mau bilang bahwa warnanya sama dengan kulit binatang
itu.”
“Mau coba minuman lain?”
“Boleh.”
Angin yang hangat mendorong tirai manik-manik ke arah meja.
“Bir ini enak dan menenteramkan.”
“Membawa kegembiraan,” kata si gadis.
“Itu hanya operasi yang ringan sekali, Jig,” kata si lelaki. “Bahkan tak
bisa dibilang operasi.”
Si gadis memandangi tanah di bawah kaki meja.
“Aku tahu kau takkan keberatan, Jig. Itu benar-benar sepele. Hanya
meniupkan udara ke dalamnya.”
Si gadis tidak bicara.
“Aku akan menemanimu dan selalu di sampingmu sampai kapan pun. Mereka hanya
akan meniupkan udara dan kemudian semuanya akan terjadi secara alami.”
“Terus apa yang akan kita lakukan setelah itu?”
“Kita akan baik-baik saja setelah itu. Seperti sebelum-sebelumnya.”
“Apa yang membuatmu seyakin itu?”
“Itu satu-satunya hal yang mengganggu kita. Hanya satu hal itu yang membuat
kita tidak bahagia.”
Si gadis mengamati manik-manik tirai, menjulurkan tangan dan meraih dua
sulur senar.
“Dan kau berpikir setelah itu kita akan baik-baik saja dan bahagia?”
“Aku yakin begitu. Kau tak perlu takut. Aku tahu sudah banyak orang yang
melakukannya.”
“Aku tahu juga,” kata si gadis. “Dan setelah itu mereka semua bahagia
sekali.”
“Oke,” kata si lelaki, “kalau kau berkeberatan, kau tidak perlu
melakukannya. Aku tidak akan memaksamu jika kau tak mau. Namun aku tahu itu
urusan sepele.”
“Dan kau sangat menginginkannya?”
“Kupikir itu yang terbaik. Tapi aku tidak akan memaksamu melakukannya kalau
kau benar-benar tidak mau.”
“Dan jika aku melakukannya kau akan bahagia dan segalanya akan seperti
semula dan kau akan mencintaiku?”
“Sekarang pun aku mencintaimu. Kau tahu itu.”
“Aku tahu. Tapi kalau aku melakukannya, apakah kita akan baik-baik saja
seandainya suatu saat nanti aku mengatakan sesuatu mirip gajah putih, dan kau
akan senang mendengarnya?”
“Aku akan senang sekali. Sekarang pun aku senang, hanya saja belum sanggup
memikirkan itu. Kau tahu bagaimana perangaiku jika sedang kalut.”
“Kalau aku melakukannya, kau tidak merasa kalut sama sekali?”
“Aku tidak akan kalut oleh hal itu, sebab itu urusan sepele.”
“Baiklah, akan kulakukan. Sebab, persetan dengan diriku sendiri.”
“Apa maksudmu?”
“Aku tidak peduli pada diriku sendiri.”
“Aku menyayangimu.”
“O, ya. Tapi aku tak peduli pada diriku sendiri. Dan aku akan melakukannya
dan kemudian semuanya akan baik-baik saja.”
“Aku tak mau kalau kau merasa terpaksa melakukannya.”
Si gadis bangkit dan berjalan ke ujung stasiun. Di seberang sana, di sisi
yang lain, ladang-ladang gandum dan pepohonan berderet di sepanjang tepian
sungai Ebro. Lebih ke sana lagi, jauh dari sungai, tegak gunung-gunung.
Bayang-bayang awan menyapu ladang gandum dan ia memandangi sungai melalui
sela-sela jajaran pepohonan.
“Dan kita bisa memiliki semua ini,” katanya. “Dan kita bisa memiliki apa
saja dan setiap hari kita kita menjadikan itu semua kian mustahil.”
“Apa kaubilang?”
“Kubilang kita bisa memiliki segalanya.”
“Ya, kita bisa memiliki segalanya.”
“Tidak, kita tak akan bisa.”
“Kita bisa memiliki seluruh isi dunia ini.”
“Tidak akan bisa.”
“Kita bisa pergi ke mana pun.”
“Tidak akan bisa. Ia bukan milik kita lagi.”
“Ia milik kita.”
“Bukan. Dan sekali mereka merenggutnya, tak mungkin kita bisa merebutnya
lagi.”
“Tapi mereka tidak merenggutnya dari kita.”
“Lihat saja nanti.”
“Kemarilah, di sini teduh,” kata si lelaki. “Janganlah merasa seperti itu.”
“Aku tidak merasa,” kata si gadis. “Aku tahu.”
“Aku tidak ingin kau melakukan apa pun yang kau enggan melakukannya—“
“Atau yang tidak bagus akibatnya buatku,” kata si gadis. “Aku tahu. Boleh
minta bir lagi?”
“Oke. Tapi kau harus mengerti—“
“Aku mengerti,” kata si gadis. “Bisa kita berhenti bicara?”
Mereka duduk di meja dan si gadis memandang bukit-bukit di seberang sana di
sisi gersang lembah dan si lelaki memandanginya dan memandangi meja.
“Kau harus mengerti,” kata si lelaki, “bahwa aku tidak ingin kau
melakukannya jika kau tidak mau. Aku akan berusaha menerimanya jika ia
benar-benar sangat berarti buatmu.”
“Apa ia tidak ada artinya sama sekali buatmu?”
“Tentu saja ia punya arti. Tapi aku tidak menginginkan orang lain kecuali
engkau. Aku tidak menginkan siapa-siapa lagi. Dan aku tahu urusannya sangat
sepele.”
“Ya, kau memang tahu itu sepele sekali.”
“Silakan mencibir sesukamu, tapi aku tahu betul soal itu.”
“Boleh aku minta tolong sesuatu?”
“Dengan senang hati.”
“Aku minta tolong please please please please please please berhentilah
bicara.”
Si lelaki tidak bicara lagi selain memandangi tumpukan koper di dinding
stasiun. Ada label di koper-koper itu dari setiap hotel tempat mereka pernah
menginap.
“Tapi aku tak mau memaksamu,” kata si lelaki. “Aku tidak akan
menyinggung-nyinggung sedikit pun soal itu.”
“Kau bicara lagi dan aku akan teriak,” kata si gadis.
Si wanita pelayan muncul dari balik tirai dengan dua gelas bir dan
meletakkannya pada tatakan yang lembap. “Kereta akan datang lima menit lagi,”
katanya.
“Apa katanya?” tanya si gadis.
“Kereta akan datang lima menit lagi.”
Gadis itu tersenyum cerah kepada si wanita, untuk menyampaikan terima
kasih.
“Sebaiknya kupindahkan dulu koper-koper ini ke sebelah sana,” kata si
lelaki. Si gadis tersenyum kepadanya.
“Oke. Lalu segeralah kembali untuk menghabiskan birmu.”
Si lelaki mengangkut dua koper besar dan memindahkannya ke jalur rel di
sisi lain stasiun. Ia melempar pandangan jauh-jauh ke rel itu tetapi tidak
melihat kereta datang dari arah sana. Kembali ke mejanya, ia berjalan melewati
ruang bar, tempat orang-orang tentunya sedang menunggu kereta. Ia keluar
melalui tirai manik-manik. Si gadis duduk di meja dan tersenyum kepadanya.
“Sudah lebih enak sekarang?” tanyanya.
“Tak ada masalah kurasa,” kata si gadis. “Aku baik-baik saja dari tadi.”
***
*) A.S. LAKSANA, cerpenis kelahiran Semarang, 25 Desember 1968. Ia
merupakan lulusan Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Buku
kumpulan cerpennya Bidadari yang Mengembara (KataKita, 2004) terpilih sebagai
buku sastra terbaik 2004 pilihan Majalah Tempo. Sementara itu, novelnya Cinta
Silver (Gagas Media, 2005) difilmkan dengan judul yang sama. Buku-buku kumpulan
cerpennya yang lain adalah Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu (Gagas
Media, 2013) dan Si Janggut Mengencingi Herucakra (Marjin Kiri, 2015).
Sedangkan buku-buku non-fiksinya yang telah terbit, antara lain Creative
Writing: Tips dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel (Mediakita, 2007), Podium
DeTik (Sipress, 1995), Skandal Bank Bali (Detak, 1999), dan Creative Writing
(Banana, 2020). A.S. Laksana pernah menjadi wartawan Detik, Detak, dan Tabloid
Investigasi. Selanjutnya, ia mendirikan dan mengajar di sekolah penulisan
kreatif Jakarta School. http://sastra-indonesia.com/2017/12/membaca-ulang-hemingway-hills-like-white-elephants/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar