Minggu, 27 Juni 2021

Potret Buram Pendidikan Dalam Cerpen

I Nyoman Tingkat
balipost.co.id
 
HIDUP adalah perjuangan. Karena itu, setiap manusia yang lahir ke dunia senantiasa berjuang mempertahankan eksistensinya sesuai dengan swadarma-nya masing-masing. Dalam berjuang, mereka berharap memperoleh kemenangan. Sasaran itu secara logika sah dan secara naluriah pun tidak salah.
 
Karena itu, bakat bawaan dan aksi profesi setiap orang berbeda-beda, maka cara berjuang pun bersifat interpersonal. Seorang tentara berjuang dengan mengangkat senjata, penari berjuang mengolah tubuh untuk mempertontonkan diri hingga menusuk hati memuaskan penonton, dan sastrawan berjuang melalui karya sastra yang dihasilkan. Cerpenis sebagai kelompok sastrawan pun tidak pernah surut perjuangannya melalui kritik-kritik yang dilancarkan. Kritik itu pada hakikatnya adalah protes terhadap keadaan yang timpang sekaligus protes terhadap (orang) yang melahirkan ketimpangan. Tegasnya, gugatan itu bersumber dari realitas sosial karena sastra (termasuk cerpen) tidak lahir dari kekosongan sosial sehingga protes sastrawan lewat karyanya mencerminkan wajah masyarakatnya.
 
Danarto dalam cerpennya “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat” misalnya, melancarkan protesnya terhadap dunia pendidikan formal (sekolah) yang cenderung verbalistik, jauh dari keseharian anak-anak dan masyarakat lingkungannya. Anak-anak dipenjara dalam tembok kelas. “Mengapa mesti belajar di dalam kelas saja? Apakah padang rumput yang luas itu bukan kelas?”
 
Begitu pula cerpen Putu Wijaya dalam judul “Merdeka”. Dalam cerpen ini Putu mengisahkan Merdeka yang lahir bersamaan dengan ulang tahun Kemerdekaan dinilai sangat jenius, melebihi kemampuan teman sebayanya.
 
Kejeniusannya inilah membuat Merdeka sangat disegani teman-temannya. Tapi gurunya dibuat kesal. Karena itulah Merdeka tidak lulus lantas mengumpat teman-temannya yang berkemampuan pas-pasan. Dari sini pula Merdeka melancarkan protes terhadap dunia pendidikan. “Teman-teman Merdeka yang goblok semuanya mendapat pekerjaan dan jabatan. Bahkan yang dulu lulus karena membeli ijazah dan nodong kepala sekolah mendapat posisi penting. Merdeka melihat kejanggalan itu dengan jijik. Ia merasa diperlakukan tak adil. Kontan saja ia mencak-mencak, berkoar menggelar aksi protes”.
 
Ditautkan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia saat ini, kedua cerpen tersebut terasa pas dan kontekstual sehingga tidak salah panitia “Siswa Bertanya Sastrawan Bicara” akhir Agustus 2002 lalu memilihnya sebagai materi pelecut mencegah kelumpuhan siswa dalam mengapresiasi sastra. Lebih-lebih dengan cerpen Putu Wijaya itu, tingkat aktualitas dan kontekstualitasnya saat ini begitu menyengat ditautkan dengan pemberitaan media massa tentang program sarjana 3,5 bulan dan 1,5 tahun yang dibenarkan karena menggunakan pasal rupiah.
 
Protes terhadap dunia pendidikan yang buram itu juga dilakukan Seno Gumira Ajidarma melalui cerpen “Pelajaran Mengarang”. Cerpen terbaik pilihan Kompas 1993 ini mengisahkan seorang siswa kelas V, Sandra, yang gagal menyelesaikan tugas mengarang yang diberikan oleh Ibu Guru Tati. Dalam waktu 60 menit Sandra hanya menghasilkan suatu potongan kalimat dalam karangannya: “Ibuku seorang pelacur….”
 
Kebingungan yang dialami murid ketika mendapat tugas mengarang, dalam cerpen itu, ditampilkan melalui sosok Sandra. Melalui tokoh ini pula pengarang sesungguhnya sedang melancarkan protes terhadap rendahnya budaya menulis di kalangan siswa. Selain itu, melalui cerpen ini, pengarang juga memprotes bias pendidikan: aturan norma yang ditanamkan dan disuburkan di sekolah ternyata amat tandus dan kering di lingkungan masyarakat. Ada kesenjangan antara sekolah dan masyarakat dalam penyelarasan nilai-nilai etika moral berbangsa dan bernegara.
 
Potret buram pendidikan seperti itu juga menjadi bahan kontemplasi AA Navis dalam salah satu cerpennya, “Sang Guru Juki” (2001). Dalam cerpen ini AA Navis, melalui tokoh Si Dali, melancarkan protes terhadap Juki yang meninggalkan tugas mengajar agar tidak disangka mengkhianati teman-teman yang berjuang menegakkan kebenaran. Alih profesi dari guru ke pejuang yang dilakukan Juki menodai dunia pendidikan. Betapa tidak, Juki yang berangkat dari guru menjadi pejuang tega-teganya meninggalkan anak-istrinya dengan dalih berjuang, lalu kawin lagi di setiap tempat pengungsian. Juki kawin lebih dari tiga kali. Itu artinya ia laki-laki tukang kawin sekaligus tukang cerai.
 
Dengan watak guru Juki seperti itu, dapat dibayangkan bagaimana nasib anak-istri pertamanya yang ditinggal dengan drama sandiwara yang dibungkus lewat profesi pejuang perang. Dari sini terlukis betapa pendidikan anak dalam keluarga terabaikan dan pendidikan formal di sekolah tak terurus sepenuh hati.
 
Setting cerita masa revolusi fisik yang digambarkan AA Navis dalam cerpen ini memberikan petunjuk bahwa sejak awal kemerdekaan perhatian terhadap dunia pendidikan begitu memprihatinkan. Suatu hal yang amat kontroversial bagi negeri yang mencantumkan tujuan pendidikan dalam UUD-nya dengan kalimat indah: mencerdaskan kehidupan bangsa.
 
Justru Mundur
 
Potret buram pendidikan juga tersirat dalam cerpen “Festival Matajen” karya Made Wianta. Cerpen yang dinobatkan sebagai salah satu cerpen terbaik Bali Post 2001 — dalam buku “Obituari Bagi yang Tak Mati” (OBYTM) ini menyoroti betapa kroposnya nilai-nilai pendidikan sehingga tajen (judi) disahkan sebagai sarana menggali dana untuk pembangunan pura. Melalui tokoh Pan Suci yang guru, pengarang memprotes cara-cara penggalian dana lewat judi apalagi untuk membangun pura. Tapi protes Pan Suci berbuah kecewa. Suaranya nyaris tak terdengar di tengah-tengah suryak siu warga Banjar Delod Pangkung.
 
Masih dalam buku OBYTM, dalam cerpen “Omong Kosong” pun Imtihan Taufan menyoroti telah terjadinya keganjilan dalam dunia pendidikan kita. “Para kurawa bernyanyi dalam seragam Pandawa dan berteriak-teriak menjadi pemilik kebenaran”. Selanjutnya disebutkan, “Kami muak angka-angka biru. Semua adalah omong kosong. Biarlah angka-angka merah menjadi penghias, sebab jalanan adalah sekolah yang paling indah dan mendebarkan hati”.
 
Begitu banyaknya cerpen bertebaran menyuarakan protes terhadap dunia pendidikan di negeri ini, tetapi dunia pendidikan kita tidak mengalami kemajuan, justru mengalami kemunduran. Ini diakui Taufiq Ismail saat penutupan SBSB akhir Agustus 2002 lalu. Katanya, jagat pendidikan Indonesia 78 tahun silam sama dengan Amerika sekarang. Bukankah ini sebuah kemunduran bagi pendidikan Indonesia hari ini?
 
Kemunduran itu makin kentara ketika jual beli ijazah dan gelar diobral dengan rupiah. Gila gelar mewarnai jagat pendidikan kita bersamaan dengan kemerosotan moral dan mental bangsa yang kian menjadi-jadi. Parameternya terlihat dari semakin seringnya negeri ini mendapat predikat terkorup dalam berbagai survai tingkat regional maupun internasional.
 
Sadar akan keadaan bangsa yang kian memprihatinkan itu, rupanya cerpenis berusaha menepuk bahu para pengambil kebijaksanaan melalui cerpen-cerpennya. Mengingatkan penguasa dengan cara berbudaya dan manusiawi. Masalahnya, masih tersisakah waktu untuk baca sastra termasuk cerpen? Jika tidak, marilah kita belajar malu mengatakan diri sebagai bangsa berbudaya luhur. Orang berbudaya itu senantiasa baca sastra. Dengan demikian, protes yang dilakukan oleh orang berbudaya terhadap dunia pendidikan, pada hakikatnya merupakan potret buram pendidikan yang perlu segera mendapat perhatian dan perbaikan demi kelangsungan hidup berbangsa yang berperadaban. Bangsa seperti yang dicita-citakan itu mustahil terwujud tanpa perhatian serius terhadap dunia pendidikan. Cerpenis telah memberikan atensinya, kini tinggal aplikasinya di jajaran elite bangsa.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/02/potret-buram-pendidikan-dalam-cerpen/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar