Jumat, 16 Juli 2021

Anakku Lahir dari Rahim Televisi

Rakhmat Giryadi *
Jawa Pos, 29 Mei 2011
 
Anak-anak hilang.
Aku takut mendengar jeritan anak-anak yang berlari di pematang sawah. Bermain-main layang-layang mengusir mendung dan halilintar yang menyambar-nyambar ujung rambutnya.
 
Mereka berteriak-teriak: ‘cempe-cempe undangna barat gedhe, tak opahi duduh tape, lek entek njupuka dhewe’.
 
Anak-anak berlari menyambut puting beliung. Sembari mengibas-ibaskan kaosnya, laksana cowboy yang menghalau sapi-sapi. Cakrawala memapaknya. Anak-anak hilang. Hilang ditelan senja.
 
Cangkul dan tampah, dipukul bertalu-talu. Malampun kian melaju.
 
“Kemana anak-anak?! Ditelan grahono!” Suara tetabuhan cangkul, tampah, dan rinjing, terus bertalu-talu. Bertala Kala berjoget kegirangan. Anak-anak lolos dari cengkeraman mautnya.
 
Anak-anakpun tertidur pulas dalam rahim istriku. Aku mengusap peluh.
 
“Apa dia anakku?” aku bertanya dalam paruh malam, tanpa bulan yang hilang ditelan raksasa.
 
“Bukan?”
 
Anak-anak menggeliat. Istriku menglenguh!
 
Paranoid kelahiran
Aku gemetar, tiba-tiba anak-anak menendang-nendang dinding rahim istriku. Istriku meraung-raung, menggelinjang, membanting tubuhnya di kasur butut. Anak-anak tertawa-tawa. Mereka membawa poster bertuliskan: ‘lahirkan aku!’
 
Aku tambah gemetar, melihat anak-anak, meneriakan yel-yel. Mereka membawa mikropon. Seluruh dinding rahim istriku mereka tendang-tendang. Istriku mengejang.
 
Aku berusaha tenang. Tanganku gemetaran. Hatiku berdegup keras, mendengar suara-suara dari rahim istriku.
 
Sementara, di luar sana, -sepuluh tindah dari kamarku- orang-orang bercengkerama tentang sebuah tragedi. Seorang anak terjatuh dari kereta api, kepalanya pecah seperti buah melon. Tak jauh dari ceceran tubuh itu, anak-anak sebayanya memandangi tubuh hancur, sembari mengunyah permen yang telah menggerogoti giginya. Anak-anak bertanya, ‘Apakah ia Spongebob?’
 
Di koran kuning, terpampang judul besar tentang seorang bapak yang membakar hidup-hidup anak istrinya karena kelaparan. Di sudut lain, dengan huruf berwana merah koran itu menulis, seorang anak diperkosa ayah tirinya, seorang anak dibuang di tempat sampah, seorang anak terkena ledakan tabung LPG. Anak tewas tersiram air panas.
 
Sementara di televisi disiarkan, seorang anak kepalanya membesar, seorang anak lahir dempet, seorang anak lahir tanpa bapak, seorang anak lahir di tengah dentuman meriam, seorang anak yang tak bisa membeli es krim di siang hari, karena ibunya tak memberinya uang. Ibunya masih bekerja di Malaysia. Ibunya minggat dan tak pernah kembali.
 
Semuanya mendatangkan iklan besar. Iklan untuk anak-anak!
“Apakah anakku akan lahir?”
 
Anak-anak tertawa.
Lidahnya dijulur-julurkan, seperti mengejekku yang terpaku di hadapan rimbun jembut istriku. Istriku seperti ikan dalam kulkas. Beku tak berdaya. Tubuhnya bergetaran. Seperti terkena guncangan gempa.
 
Istriku menangis.
“Itulah anak-anak. Meski masa indahnya dirampas. Ia tetap saja tertawa riang,” desisku sembari memeras keringat dingin, menghibur istriku. Tertawa anakku semakin keras.
 
Aku terbelalak.
Perut istriku seperti magma. Anakku berlari-lari digigir rahim istriku. Mereka aku raih diantara semboyan: dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja! Aku memilih laki-laki.
 
“Kalian hidup diabad besi. Lahirlah dengan tubuh besi!”
 
Maka meledaklah rahim istriku. Langit senja merah darah. Suara adzan menggema, berkelindan dengan suara nyanyian anak pertamaku.
 
‘Aku anak sehat tubuhku kuat
karena ibuku rajin dan cermat
semasa aku bayi, slalu diberi asi
makanan bergizi dan imunisasi!’
 
Anakku menyanyi dengan riang. Ia aku sambut dengan perasaan hampa. Ia lahir, di tengah rimbun jaman besi. Jaman televisi.
 
“Anakku harus sekuat Gatutkaca. Masuklah ke kawah Candradimuka!”
 
Maka, dalam otaknya aku tanamkan pisau, belati, pedang, bayonet, keris, kapak, revolver, magnum, AK47, M16. Dalam hatinya aku curahkan adonan hati babi yang diseduh dengan bisa ular, kalajengking, dan kencing tikus got.
 
“Jadilah manusia. Jadilah manusia. Jadilah manusia!”
 
Sebuah kembang api besar berloncatan di langit, menyambut kelahirannya. Suaranya berdentuman seperti bom. Atau bom serupa kembang api. ‘Itu perbuatan teroris. Kita harus melawannya!’ suara gemuruh televisi mengganggu tidur anakku.
 
“Negeri ini terlalu keras untuk kita singgahi!” igaunya.
 
Iklan-iklan bersengkarut menawarkan produk instan. ‘Tulang kuat, tulang sehat!’
 
Cuci otak.
Di TV para badut memainkan perannya merebutkan kursi yang sudah lapuk. Hewan pemamah rupiah berkeliaran bagai serangga anti oksida. Mereka menghabiskan uang dalam brankas. Sementara di belakang mereka para aparat hukum sedang takjim melihat drama  Sarimin. Tawa mereka sangat keras. Sekeras hatinya yang digelitik oleh aktor bertubuh tambum dan berkacamata tebal itu.
 
Para politikus beramai-ramai beralih profesi menjadi pelawak. “Gedung Srimulat tergusur. Awaknya pada pindah ke Senayan,” komentar pengamat politik, yang gaya bicaranya tak beda dengan badut ulang tahun.
 
Anakku tersenyum –apa tertawa?- melihat adegan, seperti dalam adegan panggung OVJ (Opera Van Java). Penonton tertawa, tetapi para pelawak tak tahu apa yang sedang ditertawakan.
 
“Haaaaa....haaaa...haaaaa!” mereka saling menyakiti.
 
Drama kocak ini tidak akan berakhir. Dalangnya bingung, bagaimana mengakhiri, cerita negeri ini!
 
Orang-orang semakin pandai, bagaimana menirukan badut bermain akrobat di Senayan, atau para gurita yang mengerami dolar. Sementara para maling yang sok budiman, membagi-bagikan lembaran rupiah bergambar dirinya. Di sudut kanan atas bertuliskan: ‘Pilihlah aku!’
 
Seorang penyiar televisi dengan gayanya yang khas, mencoba menggiring opini, agar penonton percaya, apa yang diomongkan benar adanya. Iklan sabun cuci, menawarkan pembersih pakaian yang super cemerlang.
 
“Apakah secemerlang cuci otak?” napasku terengah-engah menyaksikan anak-anak dikosongkan otakknya, kemudian diganti dengan mesin remote control. Mereka ingin menjadi sahid di tengah murka jaman.
 
“Jangan takut, Nak. Ini hanya propaganda!?”
 
Jarik Sidomukti.
Air mata istriku perlahan menetes. Aku mengusapnya dengan jarik sidomukti kumal peninggalan orang tua. Hanya itu warisan  yang sangat berharga.
 
“Anakku kau jangan takut. Inilah jaman yang harus kita lalui!” bisikku pada telinga merahnya. Tubuhnya yang mungil aku bebat dengan jarik sidomukti.
 
“Semoga engkau selamat dan sejahtera di tengah jaman yang galau ini,” bisikku.
 
Ibuku membayang dalam kelam malam. Wajahnya yang tirus, manggut-manggut, seakan membenarkan bisikanku. Tetapi matanya yang membiru, mengalirkan air mata. Tak terdengar isakknya.
 
“Apakah kita bisa membesarkan?” tangis istriku meledak, seperti merajuk pada bayang-bayang ibuku yang hilang ditelan malam.
 
“Entahlah?” Aku cium sidomukti. Bau keringat ibuku masih terasa membekas. Dari keringat itulah aku lahir. Dari keringat itulah aku dibesarkan hidup. Dengan jarik inilah aku ditimang dan dibesarkan.
 
“Kamu harus hidup, Nak. Jarik sidomukti ini akan melindungimu!”
 
Pada subuh.
Aku masih mecicil di depan televisi. MU dikalahkan Barcelona pada final liga Champions. Sebuah partai besar, sedang bersilat lidah. Aku mengumpat habis-habisan. Kemelut PSSI tak segera berakhir. Banyak pecundang menjadi sok pahlawan.
 
“Atau jangan-jangan kita lupa beda pecundang dan pahlawan?”
 
Itu tidak penting. Adzan subuh telah berlalu. Aku masih termangu di depan televisi. Aku pindah cenel. Orang-orang berebut tiket ke surga. Aku pindah cenel. Sepagi ini orang sudah saling umpat di televisi.
 
Istriku berteriak, “Kang, anakmu, tolong!”
 
Aku beranjak. Aku matikan televisi.
 
Anakku menggeliat.”Jangan matikan televisi!” serunya.
 
Aku hidupkan televisi. Mata anakku terpejam. Mulutnya komat-kamit. Entah apa yang dirapalkan dalam mimpinya?
 
Hmmm, bau pipisnya menyengat hidung.
 
Pada siang.
“Kang, bangun!” lamat-lamat terdengar suara istriku. “Sudah, siang masih juga mendengkur! Apa tidak kerja?”
 
Televisi menyiarkan berita siang. Aku segera beranjak dari tempat tidur. Tubuhku basah kuyup, diguyur air.
 
“Apa tidak ingat, Sukir minta tas sekolah gambar Ipin-Upin!” teriak istriku. Kali ini sangat dekat dengan telingaku.
 
“Tas Ipin-Upin? Emang uang dari Hongkong,” ledekku.
 
“Ya dari nyopet juga gak papa. Asal anakmu tidak menangis. Ia juga minta susu Dancow atau Milo!”
 
“Apalagi?”
 
“Ia pingin seperti macan. Ia minta Biskuat.”
 
“Apalagi?”
 
“Es crem Magnum!”
 
“Kalau tidak bisa membelikan?”
 
“Bunuh saja Sukir, biar tidak bawel, minta ini-itu!”
 
Aku matikan televisi. Aku keluar rumah, menghunus sangkur. Entah untuk jambret atau membunuh Sukir? Tunggulah beritanya!
 
Surabaya, Mei 2011

*) Rakhmat Giryadi, lahir di Blitar, 10 April 1969. Lulusan Sarjana Pendidikan Seni Rupa IKIP Surabaya 1994. Pernah mengajar seni drama di almamaternya selama setahun. Tetapi kemudian dia lebih memilih ‘mengajar’ teater di Sanggar Teater Institut Unesa, sembari memberikan workshop kepada para guru pengajar seni  budaya dan pelatih teater di SMP dan SMA. Selain bergiat di teater ia menulis cerpen, esai, dan puisi. Karya-karyanya selain dibacakan diberbagai kesempatan, juga dipublikasikan di media massa seperti, Horison, Surabaya Post, Kompas, Jawa Pos, Radar Surabaya, Surya, Suara Merdeka, Suara Karya, Sinar Harapan, Media Indonesia, Suara Indonesia, Bende, Aksara, Majalah Budaya Gong, Majalah Budaya Kidung, dll. Kumpulan cerpennya : Mimpi Jakarta (2006), Dongeng Negeri Lumut (2011). Kumpulan naskah dramanya : Orde Mimpi (2009), Dewa Mabuk (2010). Puisinya terkumpul dalam antologi bersama: Luka Waktu (DKJT, 1998), Malsasa (Malam Sastra Surabaya, 2005-2010), Duka Atjeh, Duka Kita Bersama (DKJT, 2005), Malsabaru (2011), Akulah Musi (2011). http://sastra-indonesia.com/2021/07/anakku-lahir-dari-rahim-televisi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar