Selasa, 20 Juli 2021

Identitas Kultural (Melayu) Itu, Tak Akan Pernah Selesai…(2)

Marhalim Zaini *
riaupos.co
 
Putra Daerah dan Politik Identitas
 
Selepas berbicara tentang kacukan, dan memberi kesimpulan di akhir paragraf dengan kalimat, “Melayu, dengan demikian tak lagi soal tubuh, tapi lebih mengarah pada variabel dalaman,” Syaukani membahas pula tentang “identitas jasadi makhluk Riau.” Ia menyebut, “ketika provinsi Riau berdiri pada tahun 1957, juga telah dibuat rumusan tentang siapa putra daerah, yang memuat tiga ukuran, yaitu: yang beribu-bapak Melayu, atau salah satu dari orang tuanya Melayu, atau yang lahir di Riau meski kedua orangtuanya bukan Melayu.” Artinya, bukankah dengan begitu Syaukani, sekali lagi, sedang membantah pernyataannya sendiri?
 
Sebetulnya, tema “putra daerah” bisa saja menjadi tema/isu diskusi yang lebih menarik dan lebih luas, ketika misalnya dikaitkan dengan kajian tentang “politik identitas,” yang secara teoritis tergolong dalam pemikiran post-strukturalis, yang awalnya masuk dalam domain politic of discourse-nya Michel Foucoult. Meskipun kemudian wacana “politik identitas” dalam studi post-kolonial juga sudah lama digeluti oleh pemikir semacam Gayatri C Spoivak, Ania Lomba, dan Homi K Bhabha. Sebab apa yang sedang diperbincangkan di ruang ini, sekarang, lebih mengurai dan menggali terus-menerus, kemungkinan-kemungkinan potensi kekuatan internal (lokal) dunia Melayu itu sendiri. Artinya kita sedang berbincang tentang sesuatu yang bersifat “ke dalam”, tentang infrastruktur yang membangun pondasi konstruksi identitas itu.
 
Sementara, isu putra daerah, bagi saya, setakat ini adalah satu upaya penegasan identitas secara politik. Artinya, kalau kita merujuk pada literatur ilmu politik, misalnya, maka istilah political of identity itu lebih mengacu kepada mekanisme politik pengorganisasian identitas sebagai sumber dan sarana politik. Berbeda dengan istilah “identitas politik” (political identity), yang merupakan konstruksi untuk menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik (Haboddin; 2009).
 
Benar, bahwa bukan berarti keduanya tidak saling terkait. Namun, hemat saya, kita belum lagi “selesai” (bahkan jangan-jangan belum lagi memulai) memperbincangkan sekaligus merumuskan dengan amat serius, dari bebagai aspek, berbagai perspektif, tentang “identitas politik” kita hari ini (sekali lagi; hari ini, bukan masa lalu), oleh berbagai elemen masyarakat pendukungnya. Ketergesa-gesaan kita menetapkan rumusan tentang siapa yang berhak disebut sebagai “putera daerah” untuk kemudian masuk ke wilayah politik praktis, akan berdampak pada rentannya identitas itu di tingkat realitas kehidupan sosial. Konflik-konflik sektarian justru bisa muncul dari sini, sebab antara kehendak sosial dan kepentingan politik saling tarik-menarik, bahkan berbenturan.
 
Meskipun saya percaya, jalan yang kita ambil ini, adalah juga jalan yang diambil oleh banyak daerah untuk menunjukkan menguatnya politik identitas di ranah lokal. Setidaknya momentum otonomi daerah yang diberlakukan melalui UU 22/1999 itu, membuat politisasi identitas dalam berbagai bentuk ekspresinya menjadi niscaya. Dan inilah basis dari perjuangan para elit lokal kita untuk kemudian menjalankan berbagai agenda semisal pemekaran wilayah (sebagai pemerataan ekonomi, juga pemerataan kekuasaan), dan menduduki pimpinan puncak pemerintahan daerah (terutama melalui isu putra daerah itu). Dan yang cukup juga menyita perhatian kita akhir-akhir ini adalah “politik etnisitas” atau “politik identitas etnis” yang tampaknya lebih cenderung membangun dikotomi yang oposisional, yang dengan ekstrim mencuatkan pertanyaan, siapakah “aku” siapakah “kamu”.
 
Politik Identitas Etnis
 
Ketika saya memilih judul orasi saya dengan kalimat, “Akulah Melayu yang Berlari” maka sesungguhnya saya hendak menyeretnya pada wacana tentang “identitas kultural”. Kata “akulah” di sana, tidak serta merta menunjuk pada diri saya sebagai si penulis orasi ini, akan tetapi lebih menghala pada bagaimana dikotomi oposisional itu sedang bekerja dalam wilayah batasan-batasan kultural yang ekstrim. Pernyataan “akulah” jika ditinjau secara psikologis, adalah juga representasi dari identitas karakteristik individu sejak lahir, yang kemudian membentuk “keakuan” sebagai pembeda dengan yang lain (kamu, mereka, kalian, dia). Maka, teori Foucoult tentang politik identitas seolah kemudian menemukan kebenarannya di sini; bahwa tubuh sebagai cermin dari hakikat individu itulah yang akan menjadi objek sekaligus subjek politik.
 
Dan, “akulah” adalah juga perwujudan dari “ego”, yang menurut Sigmund Freud, merupakan salah satu instansi identitas selain, “super ego” dan “id”. Meskipun, perbincangan tentang konsepsi identitas memang diakui sebagai sesuatu yang tidak mudah, karena identitas menurut Stuart Hall (1996:160) sebagai “sesuatu yang tidak pernah sempurna, selalu dalam proses dan selalu dibangun dari dalam.” Maka, keakuan dalam kata “akulah” itu bukanlah sebuah pengakuan yang final, tapi lebih kepada penegasan yang bersifat “sementara”. Sebab, meskipun Foucoult menyandarkan basis pemahaman awal “politik idenitas pada “politik tubuh” individu, namun banyak ahli ilmu sosial lainnya yang percaya bahwa identitas adalah hasil sebuah konstruksi sosial. Artinya, dengan begitu, di sana ada proses pembentukan makna dan pengalaman yang bersifat subjektif dan inter-subjektif (Kambo; 2009).
 
Apalagi ketika kita mulai masuk secara lebih khusus pembahasan tentang kata “Melayu” sebagai sebuah entitas “etnik”, maka segera akan kita temukan berbagai versi dan perkembangannya dari zaman ke zaman. Kata “etnik” atau “ethnos” dalam bahasa Yunani memang lebih merujuk pada pengertian dasar-dasar geografis dalam suatu batas-batas wilayah dengan sistem tertentu (Rudolfh, 1986). Namun, tidak pula bijak kiranya jika kita berhenti sampai di situ, tanpa misalnya melihat pendekatan-pendekatan teoritis lainnya, semisal primordialisme, konstruktivisme, instrumentalisme (Abdillah, 2002;76).
 
Primordialisme memandang etnik itu sesuatu yang given, memang sudah dari sananya, tidak bisa dibantah. Namun, secara metodologis, pendekatan ini tidak bisa dipertahankan karena memberi status ontologis dan esensial terhadap etnis, sementara ilmu-ilmu sosial butuh tafsiran dan perubahannya dari waktu ke waktu. Pandangan konstruktivisme, yang dikembangkan oleh Frederik Barth ini, memandang identitas etnis itu sebagai hasil dari proses sosial yang kompleks, di mana batasan-batasan simbolik terus-menerus dibangun. Sementara pendekatan ketiga, instrumentalisme lebih menfokuskan perhatian pada proses manipulasi dan mobilisasi politik.
 
Jika saya kemudian memakai pendekatan konstruktivisme, maka kata “Berlari” dari judul orasi saya itu, lebih bermakna bahwa identitas etnis (Melayu) itu tidak akan pernah berhenti. Tapi kenapa saya pilih “berlari” bukan “bergerak” atau “berjalan”, padahal ketiganya sama-sama menunjukkan “tidak berhenti”. Karena “berlari” bagi saya merupakan aktivitas yang lebih cepat dari berjalan apalagi sekedar bergerak. Jika konteks praksisnya bermuara pada mimpi akan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu, dan tahun 2020 tenggatnya, maka “berlari” adalah kata kerja yang paling tepat, bukan? Selain itu, konteks lain “berlari” dapat dimaknai begini; bagaimanakah semestinya Riau dan Melayu hari ini ‘memosisikan’ diri dalam ruang sosial global yang serba cepat? Apakah cukup dengan berdiam, dan melihat lalu-lalang? Atau, bergerak dan berjalan dengan malas, menikmati saja apa yang tersedia? Atau, berlari, dan menunjukkan bahwa kejayaan Melayu masa lampau itu, adalah juga kejayaan Melayu kita hari ini. Atau, mari kita berlari, mengejar “ketertinggalan”.
 
Dan bagi Alvi Puspita, saya tak tahu entah mana yang sebenar, dan entah mana yang mesti. Tapi boleh jadi memang tak ada yang sebenar, dan tak ada yang mesti, untuk sesuatu yang tak pernah selesai. Tapi mari berlari, sambil terus-menerus kita cari dalam diskusi.
***

*) Marhalim Zaini, Adalah Seniman Pilihan Sagang 2011. Sedang menyelesaikan S-2 di Program Pascasarjana Jurusan Antropologi UGM. /8 Januari 2012 http://sastra-indonesia.com/2012/01/identitas-kultural-melayu-itu-tak-akan-pernah-selesai-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar