Selasa, 27 Juli 2021

Kampung Fiksi, Saat Perempuan Angkat Bicara Lewat Sastra

Zulfikar Akbar
 
“Pekerjaan yang terlihat kecil, satu waktu kelak boleh jadi akan menjadi sejarah besar”
 
Kalimat tersebut terloncat keluar dari pikiran saya, saat seorang rekan, Deasy Maria, mengabarkan, ia dan rekan-rekan di komunitas bernama Kampung Fiksi mengadakan Workshop Perempuan: Menulis dan Blogging—di Bekasi Cyber Park (26/11). Seketika, rasa kagum menyeruak. Betapa, perempuan tidak pernah kehabisan cara dalam berkreasi.
 
Kemunculan komunitas Kampung Fiksi, sudah saya amati dari sejak beberapa bulan lalu. Komunitas dimaksud muncul dari kesamaan hobi kalangan penulis perempuan yang mengawali kepenulisannya dari blogging. Terdapat sederet nama di sana, seperti Winda Krisnadefa yang notabene sebagai penulis yang sudah akrab dengan beberapa penghargaan kepenulisan, Meliana-Indie, G. Siahaya, Deasy Maria, Ria Tumimomor, Sari Novita, Endah Raharjo, Indah Wd dan beberapa nama lainnya (cat: semua nama tersebut awalnya adalah penulis Kompasiana).
 
Dari yang saya perhatikan—terkait dengan fenomena keberadaan komunitas itu—mereka berangkat dari berbagai latar belakang agama, suku, latar belakang pendidikan, profesi dan usia. Beberapa dari mereka adalah ibu rumah tangga. Sebagian lainnya menjalankan peran ganda, sebagai ibu rumah tangga sekaligus karyawan di berbagai perusahaan. Selain, beberapa memang masih sebagai pelajar/mahasiswi.
 
Merenung-renung keberadaan komunitas dimaksud. Pertama, saya terkagum-kagum dengan keberhasilan mereka dalam meng-transformasi dari ‘sekadar’ perempuan, mewujud dalam pengabdian. Iya, apa yang mereka tunjukkan terlihat sekali sebagai sebentuk pengabdian.
 
Kedua, mereka sudah berhasil mengambil satu posisi gerak, dari sekadar hal-hal yang lazimnya identik dengan keperempuanan. Berpindah ke gerak dari sudut yang demikian bergengsi: kepenulisan. Bukan sekadar kepenulisan biasa, namun merambah ke satu titik yang lebih “serius”, dan itu sastra. Siapa yang akan mengatakan sastra sebagai sesuatu yang sederhana di tengah arus perkembangan peradaban dunia?
 
Ketiga, mereka membangun suatu budaya yang tergolong baru di Indonesia (dan mungkin juga di negara-negara Dunia Ketiga lainnya). Budaya dimaksud adalah dalam membangun pola pikir yang progressif, maju dan punya daya ledak. Artinya, kesibukan mereka sebagai perempuan, berbagai aktifitas yang melingkupi tanggung jawab mereka sebagai perempuan, tidak dijadikan sebagai alasan untuk berhenti berkreasi.
 
Berkaitan dengan transformasi yang saya maksud sebelumnya. Coba saya lihat dari kultur yang masih melekat di Indonesia, yang cenderung masih mendudukkan perempuan sebagai “pemain kelas dua” dalam berbagai aktifitas. Artinya, dalam berkegiatan, kendati bisa disebut leluasa, namun dalam berbagai hal masih kerap menempatkan perempuan: mereka hanya bisa melakukan hal-hal sederhana. Tidak lebih dari kegiatan yang tidak jauh-jauh dari keperempuanan mereka. Sampai menggiring pada kesimpulan bahwa aktifitas pun memiliki kelamin. Terjadi pendiferensiasi, pembedaan peran yang terkadang tidak masuk akal. Di luar munculnya pembagian peran yang berangkat dari logika, bahwa yang “ter”—terbaik, terpantas, dlsb— itu hanya bisa dimainkan lelaki.
 
Kemunculan komunitas ini menggebrak kultur dimaksud. Selain, mereka juga melakukan transformasi dengan melabrak sekat-sekat. Saya sebut begitu, karena memang Indonesia masih lazim tersekat-sekat dengan soal ideologi, agama, suku, dlsb.
 
Dengan keberadaan komunitas yang mengakomodir kegiatan tanpa tersekat persoalan-persoalan ideologi/agama dan sejenisnya itu. Sedikitnya, mereka menjadi ‘penyumbang’ beberapa nilai yang memang masih dibutuhkan di negeri ini.
 
Nilai dimaksud: bahwa dalam perbedaan latar belakang, sejatinya yang dibutuhkan adalah mencari titik kesamaan yang bisa memunculkan sesuatu yang positif, alih-alih berkutat pada pertikaian ideologis yang tidak jelas konsekuensi negatif-positifnya. Apalagi toh, persoalan ideologis dan agama—sebagai misal—lebih sebagai sesuatu yang tertanam dari keberagaman pengalaman, kesempatan pendidikan, lingkungan yang kadangkala tidak bisa dipilih.
 
Selanjutnya, dalam membidik ‘titik tembak’ kegiatan kepenulisan yang dikembangkan. Mereka memilih lahan sastra sebagai titik perhatian mereka. Di sini, saya salah seorang pecinta dunia kepenulisan yang tidak berani untuk mengatakan sastra sebagai sesuatu yang sederhana. Betapa tidak, berbicara perkembangan peradaban, sastra menjadi bagian yang berperan besar di tengah arus perkembangan itu.
 
Untuk jaman seperti sekarang. Sastra bisa menjadi lahan acuan yang tidak hanya sekadar untuk bisa dinikmati karena keindahan bahasa yang dipergunakan di dalamnya. Tetapi juga, sastra kerap dijadikan sumber inspirasi. Kitab-kitab suci berbagai agama nyaris bisa dipastikan memiliki bahasa yang ‘nyastra’, karena memang—mencoba membuat permisalan: bahasa yang indah lebih bisa dinikmati. Ketika bahasa tersebut bisa dinikmati maka ia bisa lebih mudah merasuk ke dalam ruang-ruang rasa, akal dan jiwa. Nah, jika sudah merasuk ke dalam ruang-ruang itu, maka kemungkinan yang mungkin muncul adalah pikiran pembaca sastra akan terpengaruh oleh tulisan-tulisan sastra yang pernah dibaca.
 
Dalam kaitan dengan itu, saya meyakini, semua yang terlihat hari ini adalah cerminan semua yang awalnya hanya ada dalam pikiran!
 
Menarik merujuk beberapa buku biografi tokoh-tokoh nasional dan bahkan tokoh internasional. Membaca biografi mereka, sering kali yang saya lakukan, selain mencari-cari “cara berpikir” mereka, juga mencari “buku apa saja yang mereka baca.” Yang membuat saya terpukau adalah, jika ada 10 dari tokoh itu, maka 9 dari 10 tokoh-tokoh besar itu adalah para penikmat sastra. Diakui mereka bahwa buku-buku sastra yang pernah mereka baca kerap memberi mereka ilham dalm berpikir dan bahkan dalam mengambil keputusan. Tentu, bukan sekadar keputusan yang berhubungan dengan sikap pribadi saja dalam keseharian, tetapi juga bahkan dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan negara sekalipun.
 
Dari sana, maka saya menyebut bahwa sulit untuk bisa memaksa-maksa diri melihat sastra sebagai sesuatu yang terlalu sederhana. Isyarat bahwa, yang dilakukan oleh perempuan Indonesia yang berada di payung Komunitas Kampung Sastra tersebut bukanlah sesuatu yang sederhana. Siapa bisa meramal jika kelak, bukan tidak mungkin mereka bisa menjadi perempuan-perempuan penyebar inspirasi dalam ranah sastra di Indonesia.
 
Keluar dari soal itu. Tidak kalah menarik juga menelusuri pola pikir yang sedang mereka bangun lewat kegiatan komunitasnya. Acap kali, disebut dalam beberapa buku sosiologi dan psikologi, masyarakat di negara dunia-dunia ketiga (dunia berkembang) memiliki pola pikir dan mentalitas yang buruk, mentalitas dan pola pikir yang terlalu sempit, tidak jelas,dlsb.
 
Sedang di titik yang sama. Membangun sesuatu yang lama terjatuh, meningkatkan sesuatu yang kurang, membangkitkan sesuatu yang lemah. Jika hal-hal demikian menjadi keniscayaan—mengaitkan dengan usaha yang sudah dan sedang dijalankan komunitas Kampung Fiksi—maka mereka sedang membuka keran-keran pemikiran. Mereka membuka sungai-sungai kreatifitas. Dan, siapa bisa menolak kemungkinan jika suatu hari nanti mereka menjadi “air” yang tidak hanya mengisi keran dan sungai, tetapi kuasa merangsek ke lautan. Titik sastra memiliki kekuatan untuk melakukan itu.
 
Terakhir. Memang masih butuh proses lebih lama untuk mereka tiba ke titik-titik lebih tinggi, lebih besar dan “lebih” lainnya. Entah untuk bertumbuh menjadi sebuah komunitas yang bisa menggurita dan terkenal seperti Forum Lingkar Pena yang digerakkan Helvy Tiasa Rosa, Cs atau Rumah Dunia-nya Gola Gong. Atau bahkan, menginginkan bentuk tersendiri ke depan.
 
Setidaknya, karena yang menggerakkan komunitas bernama Kampung Fiksi dimaksud adalah kalangan perempuan. Saya meyakini, bahwa mereka adalah makhluk Tuhan yang tidak hanya ‘seksi’—karena terobosan yang dilakukan—melainkan juga manusia-manusia yang dari intuisinya pun ditakdirkan Tuhan lebih paham dalam melahirkan, merawat, menumbuhkan dan mendewasakan. Toh, jika orang-orang besar pun juga lahir juga dari rahim perempuan. Soal melahirkan terobosan dan karya besar, saya kira tinggal bagaimana rekan-rekan perempuan di Kampung Fiksi mengtransformasikan intuisinya sebagai ibu ke dalam kegiatan mereka di ranah besar bernama sastra.
 
Artinya, saya salah satu yang percaya bahwasanya, intuisi mereka sebagai ibu-ibu (atau calon ibu), bisa saja menjadi landasan filosofis dan “kerangka pikiran.” Dari mereka melahirkan komunitas dimaksud, merawatnya sampai dengan “mendewasakan” komunitas.
***

http://sastra-indonesia.com/2012/05/kampung-fiksi-saat-perempuan-angkat-bicara-lewat-sastra/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar