Jumat, 23 Juli 2021

Membaca Gugusan Mata Ibu (Sekumpulan Sajak Raudal Tanjung Banua)

Andhika Dinata *
Harian Haluan, 15 May 2011
 
/i/
Membaca sajak-sajak Raudal Tanjung Banua (disingkat RTB) dalam antologi sajak Gugusan Mata Ibu seperti membaca di kolam yang te­nang. Itu kesan yang pertama hadir. Ber”rasa” dan bermakna. Pengandaian situasi semacam itu bukan dengan maksud melebih-lebihkan, membe­sarkan atau pula mengkerdilkan kadar penyair yang dimaksud. Tetapi lebih dari sebuah analog naratif yang muncul saat sajak itu berhasil disimak bait per bait, lembar per lembar, hingga ditutup pada sampul halaman paling akhir. Nyaris tak ada riuh, yang alir hanya riak, sesekali berpadu dengan sepoi angin yang lembut dan nyiur dalamnya.
 
Sebagian besar dari sajak RTB dalam kumpulan Gugu­san Mata Ibu adalah sajak-sajak yang tenang. Ia bukan sajak yang meletup-letup, bukan pula sajak kering dan gosong. Kesan yang muncul dalam sajaknya itu : kedamaian, kerinduan, silaturahim serta hubungan akrab antara anak manusia (aku lirik) dengan komunitas “kemanusiaan”nya. Yang pekat dari karyanya adalah tradisi rantau yang kuat tersirat dalam bait sajak yang diciptakan. Tradisi (rantau) itu yang dise­but­nya sebagai konsepsi perso­nal: rantau adalah jarak yang mendekatkan.
 
Membaca sajak-sajak RTB cukup mengesankan. Ada pertanyaan yang menyelinap, kenapa RTB memilih diksi Gugusan Mata Ibu sebagai judul antologi sajaknya itu. Kenapa bukan Gugusan mata ayah, mata anak, mata ikan, mata burung, atau mata yang lain? Agaknya sebagai penyair, RTB hendak menyampaikan pesan moral yang hendak disiratkan kepada pembacanya. Mata ibu justru memiliki kesan yang kuat. Mata ibu berbeda. Ia mata yang sempurna. Mata yang dimaksud tentu bukan “mata” secara lahiriah, mata batin, bisa jadi itu yang lebih dekat. Mata ibu menyimbolkan kasih sayang, kerinduan, kegeli­sahan, kegamangan dan harapan yang membedakannya dengan mata-mata yang lain. Mata Ibu bukan mata pedang, ia mata kasih sayang yang mudah berderai dan lunglai, tak lapuk ditelan masa sebagaimana adanya: syurga di bawah tela­pak­nya.
 
Kesan keibuan menjadi vitalitas superlatif dalam sejumlah sajaknya itu. Beberapa sajak semisal ‘Rindu kepada Ibu, Aku Mendekap Kerakap di Batu’, Bulan untuk Ibu, Gaun untuk Ibu, hingga sajak Ibu di Sepanjang Puisiku mengambil tema yang tidak jauh-jauh dari kesan keibuan itu. Sajak Ibu di Sepanjang Puisiku dianggap cukup berkadar mewakili ruh “keibuan” sebagaimana ditulis­nya. ibu adalah ruh dalam diriku. di malam/penuh ilham, malam kemilau bintang-bin­tang/ibu selalu mengajakku berbincang tentang sawah dan ladang-ladang/yang ditinggalkan.
 
Kalimat ruh dalam sajaknya lahir dari perbincangan batin, menggores dalam kata melarut dalam makna. Ruh berarti bayangan atau daya kayal (inspiring) yang mendorong aku lirik untuk menulis. Sajak yang ditulis tidak jauh-jauh dari tema alam, perjalanan, kerinduan akan ibu dan kampung hala­man yang ditinggalkan.
 
Kedekatan personal tidak akan hadir begitu saja tanpa ada pengalaman batin yang menyertainya. Kedekatan itu pula yang semakin kentara dalam bait: ….// sebab bertemu dan berpisah / apalah bedanya bagi tubuh satu ruh //. Sajaknya sekilas pintas memang haru-menghiba, tetapi tidak cengeng. Tidak melulu berpantul pada cermin estetika, tetapi juga meninggalkan materi: pesan dan nilai yang kuat, sebagai­mana tampak:
 
Memang kami sudah lama berpisah badan/entah kapan bertemu. tapi lewat suara-suara lusuh itu/ibu selalu menjenguk­ku dengan berbait-bait/kalimat rindu–tempat aku menyusu tak habis-habis kususuri hingga ke hulu/dari manakah berhulunya kalimat rindu?/dari pintu masuk ke kalbu/di mana­kah muaranya kalimat rindu?/dalam dada yang menjadikan­nya ruh/di sepanjang puisiku! (Ibu di Sepanjang Puisiku, Yogyakarta, 2001)
 
Begitulah semisal riak-riak sajak dalam larik yang diolah RTB, keteduhan dan kebersa­hajaan menjadi karakter khas dalam sajaknya itu. RTB tidak enggan menggunakan kata-kata yang sederhana di saat penyair lain merasa gagah memamer­kan idiom yang rumit-rumit. RTB tidak, ia berbaur dan bersahaja saja dengan kata-kata yang dibawanya. Baginya, (barangkali), sajak itu kontem­plasi, pijarnya estetika, kekua­tan­nya kata, materinya makna. Alur kata kait-berkait, menyu­sun dan meretas. Ia tak hadir sendiri-sendiri, melompat-lompat ataupun terpisah. Ia (kata) hadir seadanya saja, mengalir dalam riak dan ber “rasa”.
 
/ii/
Selain dari itu, pada sajak Ceritakan Padaku tentang Ikan muncul kesan yang agak ber­beda dari bahasan pertama. Saya cukup tersimak membaca sajak ini. Bagi saya, sajak RTB ini secara individu cukup berhasil. “Berhasil” bukan berarti mengaburkan kadar sajak sebelum dan sesudahnya, bukan pula untuk melebihkan kualitas sajak ini terhadap sajak-sajaknya yang lain. Tetapi kata “berhasil” di sini relatif, bukan berdasar asas suka atau tidak suka. Secara jujur, sajak ini memukau dari awal hingga akhir bait. Keberhasilan RTB itu sudah tampak pada kecer­dasan narasi yang konon meng­ambil tema ikan dalam sajaknya itu. Ceritakan padaku tentang ikan/yang tiap hari melintas menyapamu/Dari balik kaca tempatnya merentang sirip/Barangkali dirindukannya matamu/sebuah telaga sejuk berdayung nasib/
 
Lalu pada bait ke-2, ia dengan sangat jeli membuat metafora.
 
Apa yang terbayang/ketika ikan-ikan kecil dan lucu itu/akan menuju negeri yang jauh?
 
Retorika tersebut memantik perhatian pembaca untuk tidak berhenti di situ saja, ia berperan sebagai metafora untuk menghantarkan pembaca pada pesan puitik yang dimaksud.
 
Telah ditawarkan keinda­hannya/Kepada dunia yang tak dikenalnya/Dipaksa melupakan karang-ganggang/dunia seder­hana miliknya.
 
Dalam bait di atas, aku lirik sekarang bermain makna, tentu RTB tidak ingin sajak yang disampaikan luput dari materi, kosong dan berlalu begitu saja. Pengandaian ini dibuat dengan baik seolah-olah ia bercerita bahwa seekor ikan juga memi­liki intuisi rantau yang hampir sama dengan manusia, atau mungkin persis sama dengan pengalaman personal penyair­nya itu.
 
Jika pada bait sebelumnya, penyair mengetatkan estetika untuk menggiring daya imaji­natif pembaca, maka bait selanjutnya dimulai fase pende­dahan kreatif/klimaksasi dari alur yang sebenarnya ingin diceritakan.
 
Penggalan bait ….// Aku satu di antara mereka / yang merindukan matamu / jadi telaga paling setia / menadah lukaku // menunjukkan kedala­man rasa dan kepiluan aku lirik berbaur kerinduan. Barangkali, konotasi ini tidak hadir sendiri atau dipaksa hadir begitu saja, jika seandainya tidak ada pengalaman yang mendukung, mustahil akan lahir bait sema­cam ini. Karena bait yang lahir dari buah pengalaman si penya­ir justru lebih berbekas dan menyelimut. Daya olah perasaan dan kepekaan puitik kembali dihidupkan RTB.
 
Aku lirik dalam sajak seo­lah menjadi pelakon tunggal yang hendak bercerita pada dan untuk dirinya sendiri, nyasar atau tidak, ia berhasil menjadi pesan eternal yang indah dan bersahaja. Pada akhir kutipan tercantum judul sajak, tahun penulisan dan dimana sajak itu ditulis: Den­pasar, 1996. Hal itu menun­jukkan bahwa RTB menulis sajaknya itu di negeri rantau (ia sendiri lahir dan dibesarkan di Desa Lansano, Pesisir Sela­tan, Sumatera Barat). Konon sajak itu ditulis ketika ia masih muda melanglang buana dalam petualangan estetika yang dapat disebut berembun dan berom­bak itu. Memang, sajak-sajak RTB dalam antologi Gugusan Mata Ibu bisa dibilang sebagai produk (sajak) “rantau”, karena di antaranya dikarang di Den­pasar, Yogyakarta, Jakarta, Lombok, Malang dan lainnya. Hanya satu dua sajak saja yang ditulisnya di ranah Minang, kampung halamannya itu, seperti Keberangkatan ditulis di Padang, 1995, yang kemu­dian menjadi sajak pembuka dan Teluk Bayur sebagai sajak perjalanan ditulis antara Pa­dang-Yogyakarta, tahun 1997-1998.
 
Keharuan tentang perpisa­han itu jelas terlihat pada bait terakhir ….// Jangan menangis, Dik! / Sebelum kapal bersauh / di pulau-pulau jauh / sepucuk sayapku yang kelabu / akan bangkit mengepak / kepadamu //. Sepintas sajak ini dimulai dari cerita // Kapal yang sauh / bertolaknya jauh // kemudian diikuti dengan pertemuan aku lirik dengan seseorang yang istimewa baginya, entah itu kekasih atau sosok yang lebih istimewa dari itu ….// di tepian pasang masih / engkau berdiri / gamang membatik kain selendang / di dadamu / selingkar bukit membayang / memantul di teluk cerlang //. Ekspresi keharuan itu terus berlanjut ….// Masih kulihat kereta bara / gerobak pedati tua / di tiap tikungan-lipatan air / genta digalu ikan-ikan //. Alur yang ringan jadi saling melengkapi dan jalin-berjalin dalam bait ….// Ditingkahi terompet lokan / awan meren­dah kian terbaca / gabaklah mata; tuntas sudah / camar terakhir / menyerahkan sepucuk sayapnya / pada cuaca //. Demikian salah satu sajak RTB yang kental akan bait kerinduan dan kebersahajaan.
 
(iii)
Sosok penyair rantau seperti RTB saat ini memang tidak banyak. Kehadirannya telah membawa bendera baru terha­dap khazanah kepustakaan sastra kita. Sajaknya memang sederhana, instrumen puitika digotong seadanya saja, tetapi pengadaan semacam itu pula yang kemudian menorehkan goresan bait yang tidak rapuh. Ada banyak alasan sebenarnya bagi anak manusia untuk merantau. Tetapi pemberlakuan bagi RTB bisa dibilang tersen­diri, unik dan menarik. Betapa tidak, baginya merantau bukan mencari pekerjaan, bukan pula untuk studi formal, dua hal yang umum dilakukan peran­tau. Tujuannya tidak lain untuk belajar (menulis) puisi, sekadar bertemu dan berguru dengan Frans Nadjira dan Umbu Landu Paranggi, yang digadang-gadangnya berjasa dalam proses kreatifnya itu [lihat Catatan Penyair hal. vii-viii, Gugusan Mata Ibu, Raudal Tanjung Banua, 2005]. Ada-ada saja, namun mengesankan.
***
 
*) Andhika Dinata, Pemerhati sastra tinggal di Padang. http://sastra-indonesia.com/2013/04/membaca-gugusan-mata-ibu-sekumpulan-sajak-raudal-tanjung-banua/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar