Jumat, 16 Juli 2021

Selembar Daun

A. Muttaqin
Koran Tempo, 4 Agu 2013
 
DAUN ini, entah daun apa—bentuknya bergerigi dan gerigi itu masih seperti beranak-pinak lagi, seperti kombinasi daun sakun, pepaya dan daun ganja—yang entah jatuh dari ranting mana, memintaku jadi pohon. Suatu sore, di jalan pulang, tepat di sisi kelokan yang menghubungkkan langgar, pasar krempyeng, pos ronda dan klinik bersalin, daun itu tiba-tiba bangkit dari tanah dan menghadang langkahku.
 
“Aku mohon, jadilah kau pohon, agar aku bisa menggantungkan tubuhku. Aku daun yang terkutuk. Angin telah menerbangkan aku ke tujuh penjuru, tapi tanah dan air tetap menolak. Aku mohon, jadilah pohon….”
 
Daun terkutuk? Kenapa selembar daun terkutuk? Apa dosa yang telah diperbuat daun ini, sehingga air dan tanah tak menerima jasadnya?
 
Kembali kuamati daun itu. Geriginya lima. Warnanya merah. Merah tua agak kehitaman, seperti ada dendam diredamnya. Ia berdiri dengan dua gerigi bawah yang bentuknya mirip kaki. Sedang gerigi kanan dan kiri di bawah satu gerigi lain, seperti tangan yang kadang membuat gerakan-gerakan kecil ketika daun itu bicara. Sementara satu gerigi lagi di atas tangannya yang sebelah kanan tak henti-henti bergerak ke atas dan ke bawah.
 
Anehnya, setelah kuamati dengan teliti, daun ini ternyata tidak punya mata. Ia hanya punya mulut yang bergelambir dan hampir-hampir selebar mulut manusia. Dari selingkar mulut itu urat-urat menjalar ke sekujur badan daun, seolah mulut itulah pusat rahasia dan uratnya. Melihat posisi mulutnya, aku curiga mulut itu juga pusat tenaga yang menghembuskan angin sehingga si daun sanggup bergentayangan kemana-mana.
 
Tiga semut keranggang merambat ke badannya, namun daun itu bergeming dan terus memintaku jadi pohon.
 
“Aku mohon, jadilah pohon…”
 
Tubuhku mulai gemetar. Aku teringat cerita tentang kakekku yang menjelma jadi ulat setelah didatangi maut yang berwujud selembar daun. Semula, aku menganggap cerita itu isapan jempol belaka. Aku menduga, karena kakek seorang petani militan, ia mengenali beragam hal ihwal (termasuk sang maut) dengan perangkat tanaman. Bukan hanya itu. Kakek bahkan menyebut padi sebagai Dewi. Pohon jati ia panggil Kiai. Dan segerumbul bambu suwung di ujung ladang kami ia sebut Ki Blungki.
 
Begitulah. Dan pada sepertiga malam, ketika bulan bundar dan dingin melebar, selembar daun datang mengetuk pintu. Kakek yang tersohor punya semacam linuwih segera mengenali siapa gerangan daun itu. Dan ternyata, taksiran kakek tidak meleset. Daun itu bilang, bahwa jatah umur kakek telah habis, bahwa rohnya telah ditunggu Sang Pohon, di mana segerumbul roh telah menggantung menunggu dan menunggu sampai datang kiamat.
 
Untungnya kakek berhasil mengecoh daun itu. Kakek yang sudah tahu bahwa si daun sesungguhnya utusan maut yang menyamar, segera menjelma jadi seekor ulat. Dengan santun ia berkata pada daun itu: “Wahai daun, karena jiwaku lember dan anakku jelek, aku perlu menempuh laku sebagai ulat bulu. Beri aku waktu menebus dosaku, meringankan siksa yang kelak di hari pembalasan akan memberati punggungku…”
 
Konon, setelah menjadi ulat, bulu-bulu di tubuh kakek berkilat-kilat sehingga daun itu terjingkat lalu terjungkal ke gerumbul kembang di pojok halaman. Kemudian daun itu lenyap. Bersama lenyapnya daun itu, lenyap pula kakekku.
 
“Aku mohon, jadilah pohon, agar aku bisa menggantungkan tubuhku.”
 
Tubuhku gemetar. Daun itu tiba-tiba melebar dan kini berdiri sama tinggi dengan tubuhku. Kulihat mulut daun itu terus komat-kamit seolah ingin menguntal tubuhku. Aku ingin menjadi ulat seperti kakek. Kurapal doa dan mantra. Tapi entah mengapa mantra yang kubaca tidak manjur. Tubuhku kian gemetar. Dan di tengah geletar itu kusaksikan tanganku bercabang dan jemariku memanjang. Kakiku kemudian menelusup ke haribaan tanah dan jemarinya memanjang seperti akar yang menyusup celah-celah tanah. Sementara tubuhku mengeras dan kulitku terkelupas. Seperti yang diminta daun itu, aku pun pelan-pelan jadi pohon.
 
“Jadilah pohon.”
 
Itulah suara terakhir yang kudengar dari daun itu, sebelum kupingku saling dempet menempel dan menjelma menjadi selembar daun yang bentuknya mirip daun waru. Angin bertiup. Tubuhku gemetar. Daun yang memintaku jadi pohon juga gemetar. Dan di tengah gemuruh getar itu, kusaksikan daun yang memintaku jadi pohon itu kembali mengisut dan menempel di rerantingku. Rantingku pun kini punya dua daun. Kau tahu, daun itu—seperti halnya daun jelmaan kupingku—membuat aku bisa mendengar suara-suara lembut dari jauh hingga segala suara seperti terbuka untukku.
 
Kini tubuhku seperti pohon gundul di musim kemarau. Ada dua daun menggigil di rantingku. Sementara sepasang mataku menjadi kuncup. Anak-anak yang pulang mengaji sore itu takjub melihat kuncup yang terjelma dari mataku. Seorang dari mereka bahkan memetik satu di antara kuncup mataku dan menciumnya bergantian.
 
Dengan dua daun dan satu kuncup yang bertengger di ranting, aku melihat tubuhku seperti satu-satunya pohon nekad yang selamat dari penebangan. Dengan dua daun dan satu kuncup itu, aku seperti pohon yang bersikeras tumbuh di ruas jalan ini, di mana langgar, pasar krempyeng, pos ronda dan klinik bersalin dulu dijaga pohon-pohon asam yang berjajar seperti barisan Kompeni berbaju hijau.
 
Seekor kupu-kupu datang dan hinggap di salah satu batangku. Kepada sepasang daunku kupu-kupu itu mengaku sebagai kakekku. Si kupu-kupu bilang, setelah menjadi ulat dan menempuh puasa di sebujur kepompong, kesabaran memberinya sungut dan sayap sehingga jadilah ia kupu-kupu. Kupu-kupu itu kemudian mengibaskan sebelah sayapnya di satu kuncup yang tertinggal di rerantingku. Kuncup terakhir yang terjelma dari mataku itu pun jatuh. Bersamaan dengan itu, kusaksikan daun-daun di langit juga jatuh. Seperti hujan turun dari pohon raksasa yang tampak sudah sangat tua dan teduh, tapi tak selembar pun daun itu menempel di tubuhku.
 
Aku ingin tersedu. Tapi tak bisa. Sebab aku sudah tidak punya mata. Dengan susah payah kukumpulkan tenaga. Dan akhirnya aku terbangun. Entah bagaimana mulanya tadi aku bisa tertidur. Ternyata kompor belum kumatikan. Panciku gosong. Dan bayam yang kumasak telah hangus.
 
Surabaya, 2013

*) A. Muttaqin dilahirkan di Gresik dan tinggal di Surabaya. http://sastra-indonesia.com/2021/07/selembar-daun/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar