Jumat, 16 Juli 2021

Setelah 40 Tahun Soe Hok Gie

M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. *
jawapos.com
 
APA yang masih mungkin dihikmahkan dari sebuah buku tentang Soe Hok-gie selang 40 tahun setelah kematiannya? Pada posisi kita yang memang sudah sedemikian meneladani Hok-gie sebagai sosok yang idealis, humanis, dan moralis; tentulah tidak cukup memeriksa buku ini sebagai ikhtiar untuk semata mengingat nama Hok-gie. Tidak cukup bila diniatkan sebagai resepsi mengekalkan memori belaka. Lebih dari itu, kehendak macam apa sejatinya yang kini mendorong kita untuk menampilkan figur Hok-gie sekali lagi? Ya, tidakkah buku Catatan Seorang Demonstran (1983) tersiar masyhur buat meneladani Hok-gie sebagai ”intelektual muda yang berani, lantang, dan sekaligus romantis”?
 
Nah, lewat penerbitan buku yang penggarapannya dikerubut sejumlah kawan dekat dan pengagum Hok-gie ini memang tebersit suatu kehendak membikin sekaligus menegaskan sekian definisi atas Hok-gie. Setidaknya setelah sejarawan Australia John Maxwell melalui disertasi Soe Hok-gie: A Biography of Young Indonesian Intellectual (1997) mendefinisikan Hok-gie sebagai intelektual. Satu karakter yang begitu kuat dan mengakar dengan didukung pemeriksaan atas pemikiran akademik dan artikel-artikel Hok-gie. Ada skripsi sarjana muda Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920 (1964), ada skripsi Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948 (1969), termasuk kumpulan artikel Hok-gie yang tersusun dalam buku Zaman Peralihan (1995).
 
Satu lagi, buku Catatan Seorang Demonstran terbitan LP3ES -kali pertama dipublikasikan Yayasan Mandalawangi dengan judul Catatan Seorang Pemuda Indonesia (1972)- yang tampak menonjolkan kesan progresif Hok-gie yang aktivis. Maka, kalau mau berceletuk sebentar, kira-kira seperti apa ungkapan Hok-gie melihat energi masyarakat dan mahasiswa yang belakangan hari kerap diwarnai aksi protes? Sebagaimana dituliskan Rudy Badil (hlm. 266), mungkin sekali beginilah pernyataan pesan Hok-gie yang tertuju kepada pemangku kekuasaan, ”Jangan memancing perasaan anak-anak muda itu. Mereka anak-anak zaman sekarang yang pemarah. Mereka itu angkatan the angry young men, bukan crossboys lagi, bukan hippies juga.”
 
***Hok-gie -dalam konteks pembahasan aktivisme gerakan mahasiswa- memang merupakan ”tipe langka” di tengah periode kontestasi politik ideologi masa itu, persisnya pada senjakala pemerintahan Soekarno dan awal menyingsingnya kekuasaan rezim Orde Baru. Tipe langka, demikian Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (2006:84) mencermati aktivisme Hok-gie. Tipe langka dari eksponen gerakan mahasiswa ”Angkatan ’66” -yang sepanjang kurun sejarah pascaproklamasi sohor diidentikkan sebagai tonggak pertama ”gerakan mahasiswa sebagai gerakan (moral) politik”.
 
Tipikal Hok-gie itu merujuk pada rekam jejaknya yang tak menjadi bagian organisasi politik dan partai ideologis apa pun, bahkan sampai batas akhir hidupnya. Padahal, menurut Rum, masa itu ”mahasiswa Jakarta pada umumnya jauh lebih lebur sebagai bagian atau bahkan perpanjangan tangan dari kelompok-kelompok politik ideologis yang ada dalam struktur Nasakom”. Yang perlu dicatat di sini, aktivitas gerakan di era kontestasi politik ideologi tak mungkin dilepaskan dari aspek pergaulan dan kesesuaian pemikirannya. Untuk kasus Hok-gie, dia dekat dengan aktivis Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) dan sempat menaruh simpati ke PSI (Partai Sosialis Indonesia).
 
Meski demikian, Hok-gie yang nonpartisan tak larut tercemari. Contoh soal, ketika awal 1969, KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) mulai ditinggal ranjang organisasi-organisasi mahasiswa. Sejak itu, KAMI pun secara de facto telah bubar. Padahal, dua tahun sebelumnya (1967), Hok-gie sudah mengkritik virus pengaruh partai politik di tubuh KAMI yang tersuntikkan di bawah selubung ideologi. Maka, Hok-gie menyerukan supaya ”bagaimana mengurangi dan akhirnya menghapuskan pengaruh-pengaruh partai politik dalam tubuh organisasi-organisasi mahasiswa”. Wajar sajalah, bagaimana mungkin sikap moral organisasi mahasiswa mampu konsekuen. Sebab kalau konsekuen, ”semang” bakal menyerang ”induk”-nya.
 
Yang tak kalah krusial untuk disimak agar jadi bahan teladan pada masa gawat kini ialah pandangan Hok-gie terhadap sistem demokrasi terpimpin. Secara normatif, Hok-gie tidak menyenangi pemimpin yang justru menjadikan sistem demokrasi sebagai instrumen untuk menindas partai politik lain. Tidak juga terhadap sistem demokrasi yang direkayasa untuk memperluas ranjang kekuasaan dan otoritas politik segelintir elite. Tak ayal, Hok-gie pun lebih bersimpati kepada Sutan Sjahrir karena figurnya tulus dan jujur sehingga jarang ditemukan dalam diri pemimpin politik lain kala itu. Tidakkah ludesnya rasa tulus dan sikap jujur pemimpin begitu mencemaskan kehidupan negara-bangsa kita sekarang?
 
Buku yang digadang-gadang untuk menampilkan (sekali lagi) kesosokan Hok-gie ini paling cocok dicerna sebagaimana tuturan Jakob Oetama -yang mengenal Hok-gie antara 1965-1969 bersamaan dengan seringnya Hok-gie memasukkan artikel ke kantor Kompas. ”Di tengah krisis rasa keadilan, hilangnya rasa malu, dan gencarnya semangat menggugat hukum saat ini, sosok Soe Hok-gie pantas ditampilkan,” tulisnya (hlm. xiv).
 
Pantas dengan cara bagaimana? Jakob menganjurkan dengan jernih akal, ”Dilakukan tidak dengan maksud mengultusindividukan, …melainkan menawarkan nilai-nilai keteladanan, utamanya integritas dan kebersihan hati.” Pembaca, kita ditantang untuk itu.
 
Judul buku: Soe Hok-gie …Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya
Editor: Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, dan Nessy Luntungan R.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2009
Tebal: xl + 512 halaman

*) Aktivis pers mahasiswa, kuliah di Jogjakarta. http://sastra-indonesia.com/2010/03/setelah-40-tahun-soe-hok-gie/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar