Akhudiat (5 Mei 1946 – 07 Agustus 2021)
Zainuri
Akhudiat lahir di Rogojampi, Banyuwangi, 6 Mei 1946. Sering memenangkan
sayembara penulisan naskah drama versi Dewan Kesenian Jakarta. Diantaranya,
Grafito (1972), Jaka Tarub (1974), Rumah Tak Beratap (1974), Bui (1975) dan RE
(1977). Pernah mengikuti International Writing Program di University of Iowa,
Amirika Serikat. Naskah-naskah terjemahannya: Raja Ubu (Alfred Jarry), Jalan
Tembakau dan Anak yang Dikubur dipentaskan oleh teater SAE, Jakarta.
BELAJAR DARI BERAS
Menurut Akhudiat, dia belajar melek (membuka mata) huruf dari mengaji dan
itu berkat pengarahan emaknya (Ibu) dan ustad yag mengajar ngaji. Baginya
emaknya dan ustad yang mengajar ngaji adalah guru yang sesungguhnya dan di luar
ke dua orang ini, gurunya adalah perpustakaan. Kata guru nyajinya,”Beras itu
kalau jumlahnya satu lalu di tumbuk akan pecah, tapi kalau jumlahnya banyak
akan lembut karena tumbukannya membawa gesekan percampuran dari beras yang satu
dengan yang lainnya”.
Itulah yang menurut Diat, bahwa guru ngajinya itu luar biasa dalam
menafsirkan kehidupan. Karena semua itu baru bisa dirasakan ketika waktu sudah
jauh meninggalkan pesan tersebut, dari saat sekarang melihat perjalanan
karya-karyanya. Dari sinilah awalnya beras ketika di tarik kembali pada masa
sekarang oleh Diat. Baginya komunitas seperti Bengkel Muda sangat penting
sekali menurut dirinya. Dimana tempat berkumpul berbagai orang dengan
macam-macam latar belakang. Lalu antara satu dengan yang lainnya; pengalamannya
saling bergesek, pengetahuannya saling bergesek, sehingga memunculkan berbagai
macam penafsiran yang komplek.
Di Bengkel Muda, berkumpul dengan berbagai macam manusia dengan berbagai
macam latar belakang pikirannya masing-masing. Disana kita saling bergeser,
berdebat, sehingga pengetahuan kebenaran bisa menjadi luas. Cuma disana ketawa
harus dibatasi, jangan terlalu banyak tertawa nanti kita larut. Perlu diketahui
‘ Mulutmu Harimaumu’. Begitu terlalu banyak mengumbar tawa akan sia-sia dengan
yang selama ini kita lakukan. Itulah pentingnya kalimat sastra tersebut, jadi
harus bisa mengambil jarak. Jangan sampai komunitas hanya jadi gardu tempat
keluar masuknya orang saja. Di Indonesia seni ini adalah tempat perjuangan yang
luar biasa. Jangan berharap pada pemerintah, pemerintah mengurusi kesehatan
saja tidak mampu. Itulah pentingnya komunitas dan pentingnya mengambil jarak,
seni adalah perjuangan yang paling berat.
“Saya mengambil jarak, dan waktu saya habiskan di perpustakaan. Ini sudah menjadi
kebiasaan saya sejak kecil. Kelas 1 Sekolah Dasar, saya sudah gemar membaca.
Disebrang sekolah saya ada toko buku setiap istirahat waktu saya habiskan untuk
membaca disana. Dirumah bapak saya langganan Koran tiap hari saya membaca.
Belum di rumah pak De dan pak Lik yang rumahnya masih berdekatan, beberapa
lemarinya penuh dengan buku” terangnya dengan sungguh-sungguh.
Mulai kecil Akhudiat memang suka baca buku yang aneh-aneh yaitu dunia di
luar sana. Diat, memang tidak suka bacaan-bacaan yang biasa-biasa yang segala
sesuatunya sudah bisa diketahui dan di tebak. Jadi juga tidak heran kalau
cerpennya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Dede Utomo,
diterbitkan di tiga penerbitan: dua antologi dan satu majalah. KIAS (Komite
Eksukutif Festival Indonesia di Amerika Serikat) dalam antologi sebelas cerpen
Indonesia bertajuk ‘New York After Midnight’ (1991), disunting Styagraha
Hoerip. Cerpen Akhudiat yang sekaligus jadi judul antologi ini menurut
redakturnya sangat kontemporer sekali.Redakturnya berpendapat,” saya belum
pernah membaca cerpen semacam ini”.
Cerpen Akhudiat, ceritanya maju-mundur.
“Surabaya nostalgis suasananya, ketika saya menonton ‘kuintet (lima pemain)
jazz warga AS kulit hitam dihalaman terbuka bawah pohon jambu biji dan mangga di
Lembaga Indonesia Amirika (LIA) Jalan dr Sutomo tahun 1983. Drummer, menggebuk
semua perlengkapannya dengan dinamais, ritmis dan liris, serta sering
memejamkan mata bagai meditasi. Mengingatkan pada kuartet (empat pemain) jazz
di panggung Of-Broadway, Village Theatre, di Greenwich Village, New York City,
tahun 1975. Mereka bersama Black Theatre Ensamble mementaskan teater musik-tari
drama bertajuk Hi, I Can Cope.Meditasinya pada pembukaan dan penutupan
“non-stop reviue” dengan tari ritual penari tunggal lelaki kulit hitam,
berminyak oleh keringat, kepala gundul, hanya pakai secarik cawat, melambangkan
kelahiran manusia di zaman purba dikehadirannya kini. Setelah nonton teater
Afro, saya masuk rongga bawah trotoar 8 th Evanue di 14 th Street, masuk kereta
bawah tanah (subway), menuju utara dan muncul di Harlem, Lenox avenue di 135 th
Street. Tentu saja, saya teringat masuk terowongan Mrawan dan Gerahan dengan
kereta api Banyuwangi-Jember. Subway di Manhattan itu telah saya lihat
gambar-gambarnya di majalah Life ketika SLTP di Jember, 1960…”, paparnya dengan
semangat.
Demikian juga naskah-naskah Diat bisa dijuluki ‘Power of Art’. Bisa
ditafsirkan diluar cerita demikian bentuknya juga bisa ditafsirkan yang lain.
‘Brain Drain’, berpindahnya otak. Naskah Joko Tarub misalnya, ketika
ditafsirkan kembali pada saat kekinian, Joko Tarub melihat Indonesia cuek,
tidak menganggap apa-apa.Tapi ketika Joko Tarub di Jepang, dia bisa Jadi
seorang Profesor yang ahli elektromagnit yang baru.Ini namanya melanjutkan misi
sebagai spesies kehidupan manusia yang servive. Kalau dulu cara manusia
mempertahankan kehidupan musuhnya yang dihadapi ‘riil’ binatang.
Kalau sekarang beda lagi, sesama manusia yang anti manusia (predator).
Menurut penelitian yang paling baru bahwa pikiran manusia itu belum aktif,
beda dengan nabi pikirannya aktif semua. Menurut dia, ilmu pengetahuan di luar
sana masih banyak yang belum dijamak, belum ditemukan. Mimpi misalnya; Mimpi
itu di dalam otak atau di luar otak? Hal itu masih belum terjawab. Dan masih
banyak yang lain. Masih ada 10 masalah yang belum diselesaikan dalam ilmu
kedokteran modern.
Sementara dengan perjalanan umurnya yang semakin bertambah, Diat merasa di
suruh istirahat lewat sakit, agar tidak terus blusukan. Semua keinginannya
selalu tersampaikan. Ingin pentas di gedung Mitra, ingin pentas di Taman Ismail
Marzuki, ingin mengikuti penulisan IOWA, semua sudah dilewatinya. Menurut Diat,
seniman hidupnya harus seimbang, tidak boleh rumah tangganya berantakan. Jangan
sampai seperti orang-orang sekarang, bisa sukses tapi dari hutang. Hutang boleh
tapi jangan selalu berhutang.
Lalu Diat juga melihat gejala teater yang akan datang hendaknya harus juga
pandai membaca gelagat perubahan. Oleh karena itu karya-karya yang sudah
disiapkan Diat untuk akan datang, semacam diilhami drama-drama pendek.
Drama-drama pendek, semacam Stan Up Komedi, Ten Minute Play. Karena yang dia
rasakan orang sekarang sudah tidak bisa lagi menonton pertunjukan secara full.
Sebab percepatan hidupnya 24 jam tidak cukup. Dan bentuk pertunjukannya belajar
dari tukang sulap atau jual obat jalanan atau ledhek.
Mencari kerangka jalan teaternya Akhudiat terdengar aneh apabila kita
menempatkan garis besar teater kontenporer yang ada karena Akhudiat mempunya
misi realisme magisnya sendiri. Naskah-naskahnya secara material mempunyai
tantangan tersendiri bagi para penggarap sehingga secara tehnik harus membentuk
pencarian untuk menguak struktur dramaturgi yang belum dialami. Darisinilah
sejarah gagasan menuntut ketotalan untuk mencapai sifat yang bisa dicerna dari
unsur-unsur proses pencarian. Teater Akhudiat adalah teater titik balik dari
tradisi lama bahkan yang purba sekali. Akhudiat membutuhkan ledakan-ledakan
gagasan yang di anggap inovasi purba yang sulit dipahami.
Hal ini tak lebih dari sebuah perluasan proses, pemberian nilai kembali
yang harus diterima sebagai konteks yang berbeda. Teater ini benar-benar penuh
dengan kombinasi bervarian dan berwujud gagasan-gagasan yang terus berkembang.
Bisa dikatakan teater senantiasa lebih dari sekedar bahasa. Bahasa itu sendiri
bisa di baca, namun teater sejati hanya bisa diwujudkan dalam pementasan. Hadir
sebagai variety show dimana perwujudannya mengandung unsur-unsur efek
teaterikal abstrak murni yang kuat.
Semua peristiwa itu seringkali memiliki makna metafisis mendalam dan
mengekspresikan lebih dari yang dapat diungkapkan oleh bahasa. Penonton
diantarkan untuk menyaksikan kekuatan ajaib, atau melebihi keajaiban? Inilah
usaha terjauh Akhudiat untuk mengungkap kedalaman hidup dengan kecerdikan
manusia. Semua ini merupakan pembelokan kemampuan manusia dengan komoditas
tubuh dan fikirannya bahkan menancap pada masa lalu dengan segala kepurbaannya.
Manusia adalah binatang ajaib dan jalan menuju masa lalu akan ditemukannya
dengan berbagai pendekatannya. Manusia bisa melakukan hal yang aneh tapi mereka
ubah menjadi sesuatu yang biasa-biasa. Ini merupakan kekuatan metafisis aneh
dari sifat kongkrit dan keterampilan dalam pertunjukan teater.
Hal ini sama juga dengan yang dilakukan oleh para Saman (dukun masa lalu)
menciptakan atmosfis tradisi sekunder yang kuat dan sama dengan akar dalam
teater dimana mendapat kekuatan vitalitas yang baru.
Naskah-naskah Akhudiat muncul bersama-sama proses penggarapan dengan
membawa tehnik realitas yang masih mentah, tidak terikat dengan segala aturan
dramaturgi yang ada. Semua serba tidak ada batasan sehingga aturan ruang dan
waktu tidak ada perhatian. Semua struktur alur yang ada di acak sedemikian
rupa, demikian juga ungkapan yang disampaikan dijungkir balikan.
Dalam drama-drama Diat, realismenya adalah mimpi-mimpi,
halusinasi-halusinasi yang menimbulkan rasa penasaran dan itu bisa dihadirkan
sebagai paradox. Sehingga sesuatu yang bermuatan fantastis bersifat paradox.
Ungkapan tersebut merujuk pada drama-dramanya bahwa hal-hal yang serius bahkan
mengerikan sekalipun menakjubkan, bercampur baur dengan sindiran dan kelucuan.
Yaitu realisme datar bercampur dengan unsur-unsur yang sangat fantastis dan
magis.
Garapan Teaternya:
Syair Bunga Koran (1977)
Di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Hare
Rumemper, Bawong SN, Sian Dyhs).
Naskah yang mencoba keluar dari kemungkinan panggung yang permanen. Bisa
pentas dimana saja, di taman misalnya, karena disana banyak peristiwa sosial
yang bermacam-macam. Dan tiba-tiba muncul seniman gelandangan yang membacakan
puisinya ditengah-tengah orang banyak. Romantisme sekali tapi juga ada segi
humornya. Diat tidak tergantung pada panggung yang prosenium. Munculnya Diat
membuat panggung non prosenium ketika Motinggo Busye mementaskan ‘Malam
Jahanam’. Naskah ini luar biasa, settingnya rumah nelayan sehingga memungkinkan
para pemainnya bisa keluar masuk yang tidak berbatas dengan penonton. Gagasan
inilah yang akhirnya dikembangkan Diat ke drama ‘Syair Bunga Koran’ dalam
bentuk non prosenium.
Joko Tarub (1974)
Dimainkan di gedung Mitra, Surabaya dan Taman Ismail Marzuki (TIM),
Jakarta.
(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Bawong
SN, Hermin Munif, Hare Rumemper, Lydia, Rini Sherdil, Yudhit Sariyowan, Rini
Paling-paling, Inggrid, Patty, M. Djupri, Darsono, Amir Kiah, Rochim, Chusnul,
DS Yono, Tudjuddin Nur, Iim Santoso dll).
Dongeng atau cerita legenda yang dihadirkan pada masa kini. Dimana Joko
Tarub ingin lepas dari kaidah-kaidah lama atau masa lalu. Dengan sendirinya
peran dalang yang dihadirkan dalam cerita ini selalu menjadi ajang penolakan
bahkan perlawanan ketika pakem dan aturan lama ditrapkan pada Joko Tarub.
Demikian juga Nawang Wulan pinginnya jadi artis. Baru keluar panggung sudah
tidak mau diatur dalang, dia tidak ingin jadi anak wayang.
Diat melihat semua teater selalu diatur dengan aturan tehnik dan pakem.
Diat ingin melepaskan semua itu agar pertunjukan jadi dinamis. Apa saja harus
bisa terjadi di atas panggung atau tempat lain diluar panggung seperti yang
dilakukan oleh teater jalanan. Pertunjukan kesenian di Surabaya yang
menggunakan panggung prosenium yang terakhir, menurut Diat, hanya Srimulat.
Surabaya memang kota industri tidak ada seni yang Adi Luhung. Jadi hampir semua
pertunjukannya lebih mengarah ke humor dan hiburan.
BUI (1976)
Dimainkan di gedung Mitra, Surabaya.
(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Bawong
SN, Hare Rumemper, Sian Dyhs, Wally Sherdil).
Garapan ini menjelang Akhudiat berangkat ke IOWA untuk mengikuti
International Writing Program di University of Iowa, Amirika Serikat. Sesudah
pementasan drama Bui, paginya berangkat ke Amirika.
Saat itu masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru.Masa Sukarno dan
Suharto.Banyak orang yang di penjara tanpa diadili, dari mulai itulah
seakan-akan tidak ada batasan sel. Para penghuni tahanan lalu bermain-main
dengan kayalannya, ruang tahanan benar-benar tidak ada batasan dan meluas
seperti lapangan. Namun ketika mereka sadar lagi dari kayalannya kembalilah
mereka ke Bui lagi. Demikian juga para sipir ketika mereka pulang dari tahanan
mereka ingin kembali ke tahanan lagi karena mereka melihat dunia di luar
tahanan lebih kejam. Mirip kondisi saat ini, misinya hanya bermain-main; saling
menjegal, berkelahi. Mereka semua sedang memainkan angan-angannya.
Rumah Tak Beratap (1975)
Dimainkan di gedung Mitra, Surabaya.
(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Roni Tripoli,
Wally Sherdil, Vincentius Djauhari, Tadjudin Nur, Hermin, Rini, Rini Sherdil).
Setiap Diat pulang latihan teater dari Bengkel Muda selalu pulang malam dan
naik bemo dan turun di terminal Wonokromo (Joyoboyo) karena kos-kosannya dekat
terminal.Yang Diat rasakan terminal ini kalau malam sepi sekali dan kalau siang
ramai sekali dengan bermacam-macam keriuhan yang dilakukan banyak orang.Ada
pengamen, ada ledhek, ada orang jualan, ada orang bertengkar dan lain
sebagainya.
Begitu peristiwa tersebut diangkat Akhudiat ke panggung. Ada ledhek, yang
biasanya menari dan menyanyi, di suruh berbicara. Darisinilah ada anak muda
yang mencoba menyenangi perubahan komunikasi pertunjukan ledhek ini. Dari situ
ide ceritanya mulai berkembang dan jadi menarik. Perlu diketahui saat itu masih
belum ada seni pop art sedang tarian Serampang 12 di Surabaya juga jadi
tontonan yang menarik. Saat itu di Surabaya kesenian jadi dinamis dan semua
masyarakat terlibat secara langsung.
Lalu muncullah Mall, seniplek, seni pop culture, pilihan menjadi banyak dan
meluas. Akhirnya pusat-pusat kebudayaan menjadi menyempit dan jadi
kantong-kantong budaya. Apapun yang terjadi akhirnya seni masih tetap ada dan
harus diperjuangkan. Meskipun pada saat ini pahamnya lain, kekuatan seni lebih
di pakai untuk mendukung partai politik, untuk mendukung ormas atau untuk
sebuah kegiatan kerja. Seni sudah jadi hiburan belum bisa dipahami yang lebih
dari hiburan seperti layaknya dulu.Untuk mengembalikan ke pemahaman semula
seniman teater harus tahu kekuatan itu.
Sampai saat ini yang baru bisa mempertahankan kekuatan tersebut baru seni
sastra karena sastra sudah punya misi yang jelas. Sebelum huruf ditemukan,
sastra sudah punya misi melalui dongeng dan penuturan.
Graffito (1974)
Dimainkan di gedung Mitra, Surabaya.
(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Roni
Tripoli, Amy Kuntjoro, Tadjudin Nur, DS Yono, M. Djupri, Amir Kiah, Hermin
Munif, Rini Sherdil, Yudhit Sariyowan, Rini Paling-paling, Petty, Lydia, Ance
Suyono, Rita Suyono, Ingrid dll).
Berangkat dari corat-coret (mural) kegelisahan anak-anak muda. Lalu ada
anak muda yang beraktivitas diluar kebiasaan yang ada, biasanya ada peristiwa.
Kegelisahan semacam ini dilakukan seumur remaja dan belum kawin. Hadirlah para
pemeran yang muncul di panggung anak muda yaitu Limbo dan Eyesha. Kedua remaja
ini adalah pasangan anak muda yang sedang jatuh cinta dimana meneruskan niatnya
dalam jenjang perkawinan. Namun diluar rencana semua itu jadi gagal karena
kedua dari mereka ini berbeda agama. Akhirnya mereka lari dan membuat
keputusannya sendiri yaitu nikah main-main.
Dari peristiwa yang berani mengambil resiko ini, Akhudiat sebagai penulis
mencoba menurunkan Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih sebagai saksi. Dalam naskah ini
Akhudiat nampak sekali kalau membela kaum perempuan. Baginya perempuan sama
dengan derajat kesejatian, orang yang melahirkan anak oleh karena itu jangan
sampai berbicara “Ah…”, pada orang tua perempuan. Bahkan bicara, ”Tidak…”,
apalagi membentak dan menghina. “Makanya saya tidak setuju kalau ada penafsiran
bahwa, perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam. Semua mahluk
diciptakan sama dari tanah, cuma yang membedakan hanya satu. Nilai
ketaqwaannya”, menurut Akhudiat.
Melihat perkawinan yang dibatalkan Akhudiat sangat tidak setuju. “Ternyata
orang-orang kota tidak religius beda dengan orang-orang desa”, ungkapnya.
Sebelum tahun 70-an kota Surabaya sangat religius sekali. Saat itu semua toko
yang ada di Surabaya waktu siang jam 12.00 tutup dan sorenya jam 16.00 baru
buka, ini menunjukan jam-jam tersebut jam beribadah. Demikian juga bioskop main
dimulai malam hari sesudah Mahrib. Saat itu produsen sangat menghormati sekali
pada konsumen. Produsen mengikuti konsumen tapi akhirnya terbalik. Lebih banyak
opsennya dan muncullah menjadi sekuler.
Monserat (1975)
Pentas bersamaan “Monserat” dan “Jangan Nangis Ayo Menyanyi”, di gedung
pertemuan UNAIR, Tegalsari, Surabaya.
(Monserat. Naskah: Immanuel Ruble.Diterjemahkan: Asrul Sani. Disadur:
Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Hare Rumemper, Nasar Battati,
Cahyo Sudarso, Sian Dyhs, Rochim Dakkas, Solikin Jabbar, BusroYusuf, Hermin
Munif, Sandra Rumemper).
Naskah terjemahan ini dramatiknya menguatkan. Ini contoh drama yang kuat,
tegas tidak ada keraguan. Tiap-tiap pikiran punya sudut pandang masing-masing
sehingga setiap peran melihat sudut pandang dirinya sendiri jadi kuat.
Pandangan-pandangan para peran yang kuat inilah bisa jadi benar semua dan bisa
jadi salah semua. Ini semua karena kepentingan politik yang bermain-main
(politiking).
“Jangan Nangis Ayo Nyanyi” (1975) adalah drama anak-anak. Naskah: Akhudiat.
Pemain: Rini, Dewanto, dan koor.
“Scapin Bangsat”, naskah Moliere dan diterjemahkan oleh Tajudin Nur (1976)…
“Suminten” (1983)…
‘RE’
(Naskah RE hanya berlangsung dalam proses latihan. Karena Akhudiat keburu
memenuhi undangan ke Iowa, Amerika Serikat).
’RE’ adalah pengalaman masa kecil Akhudiat, ketika bermain layang-layang di
kuburan. Selalu melihat upacara penguburan mayat yang dipimpin pak Modin baca
Talkhin. Bagi Akhudiat pak Modin ini luar biasa sekali. Dia bisa mempertemukan
dunia orang yang meninggal, dunia orang hidup yang sedang mengantar ke
pemakaman dan dunia pak Modin yang berhubugan denga Tuhan dalam peristiwa yang
bersamaan. Pak Modin ini bisa membawa pesan kebenaran pada orang yang meninggal
lewat bacaan-bacaan Talkhinnya.
Sedangkan yang masih hidup menyimak dengan renungan lewat kesadaran
spiritualnya. Dalam peristiwa ini ada ruang yang berbeda antara yang mati, para
pelayat, dan pak Modin. Semua ini dipertemukan oleh pak Modin dalam bacaan
Talkhin yang isinya, agar yang mati bisa menjawab semua pertanyaan Malaikat
tentang perbuatannya di dunia lewat penuturan pak Modin.
Peristiwa inilah yang mengagumkan bagi Diat. Tiga alam yang berlainan
sedang menembus ruang dan waktu bisa dipertemukan di peristiwa penguburan, hal
yang luar biasa sekali. Diat baru menemukan kalau karya Talkhin ini ternyata
dibuat oleh seorang Sufi. Dan sebelum ada agama cara semacam ini dikerjakan
oleh seorang Shaman. Biasanya digunakan untuk pengobatan orang sakit.Caranya
Shaman mengobati orang sakit dengan melakukan ritual puasa 40 hari – 40 malam,
sampai dirinya jadi sekarat bahkan hampir mati. Inilah cara mereka mendekat
pada Tuhan. Darisinilah akhirnya menjadi trans dan kata-kata yang keluar dari
mulut si Shaman dianggap kebenaran. Kata-kata inilah asal-usul Talkhin. Mencari
sendiri dalam pencarian Tuhan hingga trans lalu apa yang diucapkan Shaman
dianggap ‘wahyu’.
Di Banyuwangi juga ada namanya Seblang, di Cirebon juga ada. Semua negara
yang dikelilingi lautan Teduh selalu dipengaruhi Shaman. Di India, Jepang,
Meksiko, Cina masih ada. Dari sinilah naskah ini berawal, dialog mbah Modin
yang luar biasa untuk dipentaskan dengan adegan penguburan mayat. Pentas
sebagai upacara.
***
*) Tulisan ini bagian dari buku biografi pertunjukan Bengkel Muda Surabaya
oleh Zainuri, yang akan segera terbit, sebelumnya pernah dimuat Majalah Seni
Budaya Kidung Dewan Kesenian Jawa Timur. http://sastra-indonesia.com/2021/08/perjalanan-syaman-akhudiat/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar