Sabtu, 14 Agustus 2021

Sastrawan dalam Kutukan

Budi P. Hatees
lampungpost.com
 
Sewindu lalu, pada periode awal roda reformasi bergulir dan menerabas ke mana-mana, bukan cuma Presiden Soeharto yang terguling dari kursi kekuasaan, melainkan juga jutaan jiwa warga negara menjadi ragu akan banyak hal. Kepercayaan terhadap elite, tanpa pengecualian, luntur begitu drastis.
 
Orang-orang histeris, berteriak, dan melakukan apa saja untuk mendapatkan identitas baru. Pejuang-pejuang reformasi bermunculan, riuh, ribut, dan berlomba-lomba agar bisa dicatat dalam buku-buku sejarah pergerakan nasional.
 
Dalam priode yang hiruk-pikuk itu, kita mencatat banyak upaya membongkar dan mengungkap borok rezim penguasa Orde Baru. Para intelektual pun ikut gerbong kereta dan terseret arus penumpang yang kehilangan arah tujuan.
 
Reformasi meledak tanpa ada satu hal yang bisa ditandai, kecuali euforia-euforia yang menyesakkan dada. Tiap sebentar ada yang berteriak memaki rezim yang otoriter, korupsi yang merajalela, illegal logging, birokrasi yang busuk, dan moralitas yang bobrok.
 
Inilah iklim yang membuat sastrawan kita tercengang. Dinamika yang terjadi di luar perhitungan yang ada. Gerakan-gerakan sosial-politik menampakkan wajah yang paling brutal, orang menyampaikan aspirasi dengan memperbesar urat-urat lehernya, keributan pecah dan korban berjatuhan dengan luka-luka yang menganga. Kreativitas bersastra bak kehilangan tali kekangan, menerabas ke mana-mana dan menyentuh wilayah apa saja, tapi tidak satu substansi pun dapat ditandai kecuali bahwa inilah era ketika kebebasan berekspresi tidak lagi diperlakukan sebagai anak tiri.
 
Kebebasan menemukan bentuknya yang paling alami, tanpa sekat-sekat moral yang selama ini begitu kuat mencengkeram. Tetapi, kebebasan itu nyaris tidak memberi makna apa pun terhadap dunia kesusastraan, seperti ketika zaman revolusi perjuangan kemerdekaan memberi warna baru pada rasa sastra nasional.
 
Kesusastraan kita tidak mencatat, ada capaian-capaian estetika yang mengemuka pada masa ini. Penyair tetap menulis dengan metafora romatis seperti embun pagi, daun gugur, anggur pada gelas, sampan yang berlayar, kepak burung, penggali pasir, lumut, dll.
 
Cerpenis tetap gemar bicara soal buruh yang dipecat, pertengkaran keluarga, cinta tak terjawab, harapan yang pupus, meja di sebuah kafe, sinar bulan, dll.
 
Novel kita berkutat soal berahi. Karya-karya sastra dari berbagai genre itu lahir dan membuat sastrawan terangkat hingga sejajar dengan selebriti. Tetapi, kita tidak menemukan sesuatu yang begitu berarti, yang di dalam karya-karya sastra itu menyimpan dinamika reformasi itu sendiri.
 
Karya-karya sastra kita seolah mengabaikan situasi zamannya, tidak peduli pada dinamika masyarakatnya. Sastrawan-sastrawan kita sibuk membongkar-bongkar literatur lama yang dihasilkan dari dinamika kebudayaan asing.
 
Kita pun membaca Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan dengan sosok tokoh yang tidak berjejak di Indonesia. Kita membaca novel-novel Fira Basuki dengan sosok tokoh yang datang dari dunia ketika seks bukanlah masalah yang perlu dipermasalahkan. Kita membaca Cala Ibi dengan gaya bercerita yang sulit diterima logika ketimuran.
 
Para sastrawan kita seolah menegaskan pernyataan para pendahulunya, “Kami adalah ahli waris kebudayaan dunia”. Sepenggal kalimat yang kita catat sebagai peluruh bagi lahirnya Angkatan’45, menemukan euforianya kembali dalam diri para kreator sastra kita.
 
Tetapi, gemanya cepat meredup karena limpahan informasi dari berbagai literatur dan sumber-sumber data tak terbatas–hal yang tidak dimiliki para sastrawan saat melahirkan Angkatan’45–membuat para kreator sastra menjadi lebih tertarik mengurusi wilayah artifisial.
 
Mereka yang memiliki akses luas terhadap karya-karya sastra dunia, tampil ke permukaan dengan sangat bangga menyatakan diri sebagai “pembawa pembaruan”. Warisan sastra nasional makin terabaikan gerakan-gerakan untuk menancapkan tonggak sejarah sastra yang baru.
 
Ironisnya, segala sesuatu yang mereka pandang “pembaruan”, yang dibawa dengan keangkuhan seorang penemu dari tanah-tanah kelahirannya seperti Amerika Latin, ternyata sangat lapuk di daerah asalnya.
 
Dalam situasi seperti inilah Nirwan Dewanto menyimpulkan sejarah sastra cuma kumpulan kisah tentang asal-muasal dan rangkaian pembaruan dalam lingkup nasional, dari sudut pandang kiri atau kanan, hidup di alam bawah sadar para pencipta sastra di Indonesia. Pretensi nasional menjadi tempurung yang membuat sang katak tak mampu melihat cakrawala yang lebih baik.
 
Warisan sastra nasional menjadi beban, bukan berkah. Tetapi itulah beban yang seakan-akan menjadi rumus tentang titik-titik pembaruan berikutnya. Sejarah sastra yang merasuki alam bawah sadar, yang tidak lagi dibaca dekat-dekat, close reading, sehingga berubah menjadi setengah mitos.
 
Dalam tulisannya berjudul “Masih Perlukah Sejarah Sastra?” (Kompas, 4 Maret 2000), Nirwan menyerukan sastra kita tidak dibebani sejarah kebangsaan dan komitmen politik, tapi harus membuka diri terhadap pengaruh dan kontak sastra dunia. Bagai terhipnosis, sastrawan kita beralih haluan ke sastra dunia.
 
Ajaibnya, Nirwan Dewanto dengan tongkat sihirnya mengubah watak sastrawan kita menjadi tidak merasa hebat jika tidak menulis puisi seperti Dereck Walcott menulis. Asif Amini asyik bicara hal-hal lama dan usang tentang dunia sastra, mengungkit kedahsyatan sastrawan-sastrawan lama dari dunia yang jauh dalam menghasilkan karya.
 
Dari kecenderungan ini kita bisa menangkap satu hal, sebenarnya kita sedang bersusah-payah mengelap orientasi kebudayaan yang baru; bukan Barat bukan Timur. Tetapi, kebudayaan yang tumbuh dalam situasi zaman penuh kekangan oleh kolonialisme, seolah-olah mengamini tesis yang mengatakan di luar sosoknya yang kejam dan sadistis, kolonialisme mampu melahirkan dan menumbuhkan mentalitas kebudayaan dari orang-orang yang lama hidup dijajah.
 
Orientasi kebudayaan dari entitas yang lama tertindas, dan tidak memilki alternatif pintu untuk bisa lepas dan kabur dari bayang-bayang sang penindas.
 
Orde Baru bagi semua warga bangsa, tidak lebih bagus dibandingkan dengan kolonialisme. Keduanya menanam racun di urat darah kita, yang membuat kita menghabiskan energi hanya untuk melakukan perlawanan demi perlawanan, sehingga lupa untuk terus berkreativitas sebagai orang-orang profesional. Zaman reformasi, ternyata pula, tidak lebih bagus dari Orde Baru.
 
Yang kita saksikan, tumpukan manusia yang kehilangan pegangan dan kebingungan menentukan orientasi, tapi tidak pernah bisa mengelak dari tusukan dan tujahan globalisasi yang begitu tajam.
 
Memang, perkembangan sastra nasional menunjukkan kemampuan luar biasa dalam memproduksi karya-karya sastra. Tetapi, karya-karya sastra tersebut sejak kelahiran sampai peredarannya ke tangan masyarakat, sudah menolak segala bentuk teori-teori dalam berkesenian. Banyak intelektual membicarakan novel Saman bukan semata sebagai seni, tapi juga karya politik yang tidak berbeda dengan tesis-tesis para doktor sosiologi politik di negeri ini.
 
Niels Mulder dalam Southeast Asian Images: Toward Civil Society? (2003), menulis sebuah simpul, “Hal yang sangat menarik dari Saman adalah hubungannya yang meyakinkan antara dua tema yang sepintas lalu tak bertalian: Kekejaman Orde Baru dan keasyikan seks empat orang wanita yang bersahabat….”
 
Semua fakta ini menunjukkan sastrawan di Indonesia adalah sebuah posisi yang penuh kutukan. Mereka terus berkarya, tapi tidak bisa bebas dari persoalan yang dihadapi para pendahulunya. Persoalan yang mereka hadapi selalu berkisar antara sastra sebagai karya seni dan sastra sebagai risalah politik.
 
Pada aspek sosialisasi, mereka pun tidak bisa bebas dari kecenderungan “ikut berkelompok dan karenanya berpolitik dalam sastra” atau tidak mendapat tempat sama-sekali.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/02/sastrawan-dalam-kutukan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar