Nissa Rengganis *
Radar Cirebon, 16 Juli 2017
SAYA percaya, sastra tidak lahir dari ruang hampa. Ia adalah rekaman dari kepincangan-kepincangan sosial. Ia adalah nukilan tragedi yang tersisa dari carut marutnya perang. Ia adalah keterasingan, keterpinggiran sekaligus semangat perlawanan pada diri dan zamannya. Sastra tidak pernah tercipta dari kekosongan budaya. Ia bercampur aduk dengan apa-apa yang hidup di dalamnya.
Situasi macam ini yang disebut Nadine Godimer sebagai state of being, yakni tak ada keadaan ‘ada” yang murni, tak ada teks yang tidak bersinggungan dengan yang lain. Ia tidak bisa lepas dari konteks. Barangkali, ini pula yang memberi ruh pada sastra hari ini, periode sastra yang saya sebut sebagai era ‘ketelanjangan sastra’.
Sejauh ini, sastra tentu saja telah mengalami sejarah metamorfosis yang panjang. Tidak ajek. Tidak berada dalam sebuah never ending process of becoming. Ia akan terus berkejaran dengan kondisi sosial yang mengikutinya.
Dari periodisasi yang panjang itu, ada yang tak bisa luput dari pengamatan kita, yakni kegairahan sastra (konteks ini: para pengarang perempuan) di era 2000-an. Ada semacam babak baru, terutama dalam kegairahan sastra di era pasca-reformasi. Sebuah zaman yang melahirkan fase perubahan sosial, politik, dan kultural yang menjadi tanda munculnya isu demokratisasi serta keterbukaan ruang sosial, politik, serta kebudayaan. Tak ayal situasi ini turut berpengaruh pada perkembangan sastra di Indonesia.
Jika sebelumnya, sastra berada pada situasi yang represif dan segala gagasan yang bersebrangan akan dianggap subversif. Kini, kita disuguhkan pada fenomena sastra yang lebih vulgar, terus terang, tidak basa-basi, lebih berani, bahkan blak-blakan mendobrak hal yang sebelumnya dianggap ‘tabu’ di masyarakat.
Hal menarik lainnya, pada periode ini beramai-ramai muncul pengarang perempuan yang secara terbuka menggagas persoalan seksualitas. Kita dikejutkan kehadiran penulis-penulis perempuan seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, Dewi Lestari, Fira Basuki, dll yang jare mengusung gagasan feminisme dalam karya-karya mereka.
Para penulis perempuan yang dilabeli sebagai generasi ‘sastrawangi’, ‘sastra feminis’ hingga ‘generasi sastra biru’ mengadopsi pemikiran kaum feminis mulai dari Irigarai, Cixous, hingga Julia Kristeva. “Write Yourself, Your Body Must be Heard” seakan memberi semangat bagi perempuan untuk melepaskan diri dari kebisuan dan menulis menjadi salah satu cara untuk mengakhiri penindasan—yang mereka tuduhkan sebagai akibat budaya patriarki.
Pada wilayah ini kemudian perempuan mengambil peran di tengah ingar bingar ruang sastra kita. Setelah jauh sebelumnya teks-teks sastra yang diproduksi selama ini sangat maskulin. Setelah lama sekali pemosisian tubuh perempuan ditulis para pengarang laki-laki. Dari kemampatan itu melahirkan gairah para pengarang perempuan untuk menulis ‘tubuhnya’ sendiri.
REVOLUSI SEKSUALITAS MULAI DARI SOAL VIRGINITAS HINGGA LESBIANISME
Dari beberapa silang sengkarut periodisasai sastra di atas, saya menilai kemunculan sastra angkatan 2000-an tidak terlepas dari situasi represif dan pemasungan kreativitas pada rezim Orde Baru—di mana segala yang bersebrangan saat itu dicap pembangkang, subversif. Sastra angkatan 2000-an adalah ide dan tematik yang cenderung lebih vulgar, terus terang, tidak basa-basi, lebih berani, tidak konvensional, bahkan mendobrak hal yang sebelumnya dianggap tabu di masyarakat.
Selain itu, dalam sastra angkatan 2000-an pun muncul genre baru yang disadari pengarang perempuan, dengan label sastra feminis. Jika sebelumnya, ada hantu sastra yang menghadirkan tokoh-tokoh perempuan berada pada ‘pakem’, terjebak di kondisi yang patriarki, yang kini dibunuh pengarang perempuan itu sendiri. Pada babak baru ini, perempuan mulai mengambil alih dengan melakukan sebuah perlawanan atau pemberontakan secara terbuka dengan memunculkan persoalan seksualitas, kekerasan, tubuh, bahkan isu lesbianisme.
Mengadopsi pemikiran Irigarai “When Our Lips Speak Together” di mana terjadi penolakan terhadap pemosisian tubuh perempuan dalam kerangka tubuh serta seksualitas laki-laki yang satu, tunggal, dan terpusat pada penisnya. Irigarai sama halnya dengan Cixous menekankan bahwa perempuan harus melepaskan diri dari kebisuan, dan menulis menjadi salah satu cara untuk memberikan suara bagi seksualitas perempuan dalam obyek seksualitas laki-laki.
Kalimat pendek Cixous yang dikenal “Write Yourself. Your Body Must be Heard” telah memberikan pengaruh terhadap beberapa teks sastra yang diproduksi pengarang perempuan.
Sama halnya dengan Irigarai, Cixous pun menilai bahwa selama ini, terutama pada era strukturalis, bahasa yang digunakan adalah bahasa maskulin. Entah itu Irigarai, Julia Kristeva ataupun Cixous-mereka seakan menunjukkan fenomena sastra Indonesia hari ini. Semacam ada kegelisahan perempuan Indonesia yang tertindas dan terpinggirkan budaya patriarki mendorong mereka untuk ikut serta mengambil peran.
Novel-novel yang hadir dalam angkatan 2000-an dalam sastra Indonesia mempunyai eksplorasi tentang seks yang setara dengan laki-laki. Semisal, eksplorasi Oka Rusmini dalam novel Tarian Bumi menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang memiliki imajinasi liar soal seksualitas.
Tokoh Sadri dalam novel Tarian Bumi mempunyai imajinasi yang liar tentang seks dan menggambarkan lelaki sebagai bagian dari sebuah permainan seksualitas. Dalam novel Tarian Bumi, tokoh-tokoh perempuan mulai mengkontruksi penempatan diri dalam seksualitas.
Nayla, tokoh rekaan Djenar Maesa Ayu pun sangat vulgar membicarakan persolaan seks. Ia tengah asyik bermain-main dengan kelaminnya. Nayla, si bisexual seolah menunjukkan adanya perlawanan perempuan dalam seksualitas, yang menempatkan seks sebagai kebutuhan yang sederajat antara perempuan dan laki-laki.
Isu tentang keperawanan pun banyak diangkat dalam novel-novel sastra angkatan 2000-an. Dalam novel Wajah Sebuah Vagina, Nayla, Jendela-Jendela, dan Swastika digambarkan tokoh-tokoh yang melakukan perlawanan tentang mitos keperawanan. Soal virginitas atau keperawanan dianggap sangat identik dengan budaya patriarki. Persoalan vagina semakin marak dimunculkan secara terbuka sebagai bentuk kritik terhadap phallosentrisme atau prinsip dalam masyarakat patriarki yang meyakini bahwa phallus atau penis sebagai atribut maskulinitas yang merupakan simbol kekuatan dan menjadi ukuran dalam norma kultural. Tentu ini masih menjadi kontroversi dan perdebatan yang masih menuai kritik.
Jika kita sepakat sastra adalah anak sebuah zaman, maka berbagai persoalan perempuan yang dirunut dari cultural-historis menjadi dasar gagasan tematik yang diusung pengarang perempuan. Maka di sini kita tidak sedang bicara soal moralitas, kepungan baik dan buruk. Jika teks yang diproduksi pengarang perempuan memiliki tren pada seksualitas, ini semacam respons atau upaya memerdekakan diri dari eksploitasi laki-laki terhadap perempuan melalui seks, penindasan laki-laki terhadap perempuan melalui kekerasan, dan penguasaan laki-laki atas perempuan melalui tubuh perempuan. Seksualitas perempuan, yang sebelumnya dianggap tabu dan menjadi ancaman pelecehan, kini dirayakan lewat berbagai cara seperti media film, seni pertunjukan, dan karya sastra.
Lebih jauh dari itu, sastra menjadi ruang yang cukup kondusif untuk mengampanyekan keberagaman gender dan seksualitas. Fenomena seks dan isu lesbianisme menjadi sebuah ruang ekspresi feminis yang menonjol dalam periode Reformasi. Hal ini ditunjukkan dengan lahirnya beberapa novel yang spesifik mengangkat isu lesbian, yaitu: Novel Garis Tepi Seorang Lesbian karya Herlianatiens (2003), Tarian Bumi karya Oka Rusmini (2000), dan novel Gerhana Kembar karya Clara Ng (2007). Dalam ketiga novel yang disebutkan, pengarang (perempuan) dengan berani memunculkan kehidupan kaum lesbian yang ditampilkan dalam novel-novel tersebut.
Novel Garis Tepi Seorang Lesbian terbilang cukup ‘berani’ dan ‘vulgar’ untuk menggugat kultur masyarakatnya. Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam novel ini memperjuangkan identitasnya sebagai lesbian. Alur yang dibangun dalam novel GTSL pun memunculkan beberapa persoalan yang dialami tokoh lesbian yaitu Paria dan Rie.
Novel Tarian Bumi juga memunculkan persoalan perempuan yang mengalami ketidakadilan akibat perbedaan kasta yang masih menjadi tradisi masyarakat Bali. Tokoh perempuan Luh Kenten telah berhasil menampilkan rasa cinta dan hasrat seksual yang kuat terhadap sesama perempuan. Bahkan ia mempunyai keinginan kuat untuk memiliki Sekar sebagai kekasihnya.
Gagasan lesbianisme yang dimunculkan dalam novel Gerhana Kembar masih terlihat malu-malu dan belum secara ‘vulgar’ menunjukkan identitasnya sebagai lesbian. Hal itu karena setting yang terdapat dalam novel Gerhana Kembar berada pada tahun 1960-an. Di mana kultur masyarakat saat itu masih sangat tabu untuk menerima keberadaan kaum lesbian. Fola sebagai tokoh lesbian dalam novel tersebut ditunjukkan sebagai tokoh yang pasif karena sebagai lesbian pada akhirnya menyerah dengan kondisi masyarakat tempat ia tinggal.
Isu lesbianisme bagi Clara Ng adalah tema yang sensitif dan malas disentuh para penulis Indonesia, mengingat masih sedikit yang cukup berani menuliskan tema tersebut. Novel Gerhana Kembar telah mengeksplorasi tema seks dengan narasi yang vulgar, binal, dan sarkastik dengan tokoh utamanya sebagai pasangan lesbian.
Saya melihat ketiga novel tersebut memiliki kecenderungan dalam mengusung gagasan lesbianisme dengan menunjukkan kehidupan kaum lesbian. Eksistensi kaum lesbian yang ditunjukkan dalam beberapa novel tersebut memberi pandangan kepada masyarakat atas keberadaan kaum lesbian sebagai identitas dan eksistensi baru. Artinya, eksistensi kaum lesbian yang direpresentasikan dalam novel-novel tersebut telah menunjukkan adanya keterbukaan kaum lesbian dengan pilihan coming out, dan lahirnya beberapa komunitas lesbian.
Representasi yang ditampilkan dalam tiga novel tersebut menunjukkan bahwa kaum lesbian mulai menyadari bahwa pilihan sikap in the closet bukanlah sebuah pilihan yang terbaik. Sikap diam dan ketertutupan kaum lesbian tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Kondisi tersebut mendorong kaum lesbian, baik secara individu maupun kelompok, untuk membuka diri dan mengampanyekan identitasnya pada masyarakat. Pilihan coming out bagi kaum lesbian merupakan tahapan atas perjuangan identitas mereka untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat.
Di Indonesia, perjuangan kaum lesbian untuk memperoleh pengakuan mengalami sejarah yang panjang. Kelompok lesbian di era sebelum Reformasi sudah melakukan berbagai cara untuk mengonsolidasikan beberapa kelompok lesbian. Beberapa organisasi yang lahir saat itu seperti Lambda Indonesia, Perselin, dan Chandra Kirana, cukup aktif mengorganisasikan kaum lesbian. Beberapa organisasi tersebut berhasil menjadi wadah tukar informasi kelompok lesbian di Indonesia. Mereka mulai menyadari bahwa kepentingan mereka harus diperjuangkan dan menjadi bagian dari gerakan perempuan.
Iklim demokrasi di Indonesia memberikan sebuah referensi keberagaman dalam masyarakatnya, salah satunya kehadiran karya sastra yang lebih vulgar. Karya sastra sebagai produk budaya tak hanya memberikan suguhan untuk menghibur, melainkan sebagai media dalam pembentukan pola pikir terhadap wacana yang terdapat di dalamnya serta berfungsi dalam mencitrakan suatu realitas dalam masyarakat. Ini menjadi penting, bagaimana kedewasaan kita untuk merespon isu-isu yang diwacanakan dalam kultur masyarakat yang demokrastis. Maka diperlukan proses dialog dan saling menghargai. Salah satunya dengan tidak tergesa-gesa menghakimi keberadaan kaum lesbian di Indonesia.
*) Nissa Rengganis, menulis esai sastra juga politik. Bersama teman-temannya mendirikan dan mengelola Rumah Kertas—rumah sastra yang dihuni anak-anak muda di Cirebon. Saat ini menjadi dosen politik di Universitas Muhammadiyah Cirebon.
http://www.radarcirebon.com/perayaan-keberagaman-gender-dan-seksualitas-dalam-sastra-perempuan-kita.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar