Dalam karangan “Menuju
Masyarakat dan Kebudayaan Baru dalam
Pujangga Baru”, yang dikutip juga dalam Suara
Umum ini, Tuan Sutan Takdir Alisjahbana membagi sejarah kita dalam dua
bagian, zaman pra-Indonesia, sampai akhir abad ke-19, dan zaman Indonesia,
yakni setelah masa itu. Zaman Indonesia tidak dapat dianggap kelanjutan atau
terusan zaman pra-Indonesia.
Tuan Sutan Takdir
Alisjahbana rupanya tidak cukup menunjukkan kenyataan bahwa sejarah adalah
rangkaian waktu yang timbul dari waktu sebelumnya. Zaman sekarang ialah
kelanjutan dari zaman sebelumnya. Manusia tidak mampu menciptakan kekinian yang
baru sama sekali. Hal yang demikian itu sama dengan mengadakan barang dari yang
tidak ada.
Dalil di atas itu
berlaku dalam semua bidang kehidupan, dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam bidang ekonomi
kita tidak usah pergi kepada Karl Marx untuk mengetahui bahwa susunan ekonomi
senantiasa merupakan kelanjutan atau terusan yang sebelumnya. Kelanjutan itu
tampak dalam banyak hal, bahkan dalam lawan yang menggantikannya. Namun kita
tidak usah menganut Hegel, supaya tahu bahwa antara antitesis dengan tesis ada
hubungan sejarah sehingga boleh dipakai kata kelanjutan.
Demikian pula
halnya dalam ranah sosial.
Dalam ranah
budaya, ambil saja Pujangga Baru
sebagai contoh. Kalau tidak ada Pujangga Lama, tidak mungkin timbul Pujangga Baru. Memang Pujangga Baru bertentangan dalam banyak
hal, tetapi pertentangan itu membuahkan kelanjutan.
Antara anak pedati
yang berpantun di dalam hati dengan Sutan Takdir Alisjahbana ada pertalian
sejarah.
Bentuk jiwa kita
sekarang bukan baru dalam segala-galanya. Kita tidak perlu pergi kepada Jung
untuk mengetahui bahwa kita mewarisi pengalaman nenek moyang kita.
Tuan Sutan Takdir
Alisjahbana menyebut bahwa dalam zaman Majapahit, Diponegoro, dan Teungku Umar,
belum ada keindonesiaan.
Pikiran ini kurang
benar menurut pendapat kami. Keindonesiaan pada waktu itu pun sudah ada,
keindonesiaan dalam adat, dalam seni. Hanya bangsa Indonesia belum muncul,
orang Indonesia belum sadar bahwa mereka sebangsa. Sungguh boleh disebut ada
imperialisme Sriwijaya, Majapahit, Mataram, tetapi hal itu tidak bertentangan
dengan keindonesiaan. Di Belanda pun ada pertentangan, ada hegemoni daerah
(lebih) dulu, tetapi siapa dapat menyangkal bahwa kebangsaan Belanda yang
sekarang pada waktu itu sudah ada dan hanya menanti pengakuan yang wujud?
Kebangsaan
Indonesia sudah ada semenjak dahulu kala. Sekarang dirasakan dan diwujudkan.
Dengan demikian,
nyata kesalahan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana dalam caranya mengemukakan
masalah.
Sebaliknya, ia
seharusnya berkata: Bagaimanakah kita harus memperbarui kebudayaan kita
sehingga sesuai dengan perasaan kebangsaan sekarang?
Tentu kita harus
mengakui bahwa setiap daerah berbeda kemajuannya dalam lembaga, adat, seni, dan
sebagainya. Walaupun pada dasarnya sama, kita tidak pernah mengatakan bahwa
kita sanggup membangun kebudayaan yang baru sama sekali, yang tidak berhubungan
dengan masa silam. Kebudayaan yang ”baru” itu bersendikan kebudayaan ”lama”.
Tentang bentuk
kebudayaan baru dan cara membangunnya itulah yang dapat menimbulkan
perselisihan paham. Dan di sinilah letak soal
yang harus diperbincangkan.
Kita harus berdiri
pada sendi ini, supaya pembicaraan tidak kisruh, supaya kita saling mengerti.
Singkatnya, kita
menolak visi sejarah Tuan Sutan Takdir Alisjahbana, pandangannya tentang
sejarah. Sekarang kita membicarakan kebudayaan baru.
Dasar pendapat
Tuan Sutan Takdir Alisjahbana ialah kita harus belajar pada Barat.
Di benua Barat,
orang terpaksa berjuang menaklukkan kekuatan alam untuk mempertahankan diri. Di
sana agaknya harus demikian sehingga orang harus menggunakan dan menambah
kekuatannya.
Dengan demikian,
timbul materialisme, yakni orang mengutamakan jasmani, dan lahir
intelektualisme dan pengetahuan praktis karena orang terpaksa menyempurnakan
akal.
Dalam susunan yang
mementingkan keselamatan tubuh jasmani itu tumbuh dengan sendirinya
individualisme: orang mementingkan diri sendiri.
Kebudayaan Barat
berkembang atas dasar materialisme, intelektualisme, dan individualisme itu.
Ekonominya berkembang, melahirkan industri, perdagangan, dan imperialisme dalam
bentuk modern. Pengetahuannya kian hari kian maju. Individualisme menimbulkan
persaingan yang tidak terbatas dalam sektor ekonomi dan sosial. Dalam seni
berwujud l’art pour l’art, seni untuk
seni.
Setelah benua
Barat menyempurnakan ketiga senjata itu, kenyataan menuntut perlu diwujudkan
asas yang baru, organisasi yang menjaga agar dalam lingkup kebudayaan berlaku
keadilan dalam segala lapangan kehidupan. Barat telah sanggup mempertahankan
diri, menyelamatkan tubuh jasmani. Ia hanya belum berusaha, agar tiap orang
selamat sejahtera.
Ibarat orang yang
mencari makanan. Makanan sudah cukup tapi membagikannya belum adil sehingga ada
orang yang berlebihan dan ada yang kelaparan.
Begitulah keadaan
benua Barat pada masa sekarang. Bagaimana di Timur?
Di Timur, lebih
baik: India Raya, orang tidak usah berusaha keras mempertahankan diri, mencari
jalan menaklukkan alam, sebab alam tidak begitu ganas seperti di Barat.
Materialisme,
intelektualisme, dan individualisme boleh dibilang tidak terlalu penting. Orang
tidak terpaksa benar menceraikan dirinya dari alam yang harus dilawan.
Manusia justru
merasa dirinya menyatu dengan alam sekelilingnya.
Pengetahuan
praktis tidak muncul. Teknik tak seberapa maju. Begitu pula ekonomi.
Di atas kita
mengatakan: tidak terlalu penting, tidak terlalu terpaksa benar, dan
sebagainya.
Keperluan dan
paksaan mempertahankan diri serta menentang alam memang ada. Karena itulah
mungkin kemajuan dalam budaya di Timur perbedaannya bertingkat-tingkat. Namun,
meskipun ada tingkatan itu, semua bangsa di Timur mampu mencapai tingkat yang
setinggi-tingginya, kalau seandainya mengikuti jalannya sendiri. Tingkat
tertinggi itu ada di lapisan teratas dalam kebudayaan di India dan di
Indonesia, yaitu lapisan yang berpusatkan kesunyatan, mistik, manusia bersatu
dengan alam harus meniadakan keinginan jasmaninya dan membersihkan jiwanya.
Sampai di sini kita membicarakan sejarah yang diikuti oleh Barat
dan Timur secara sendiri-sendiri dan kini muncul pertanyaan: adakah garis yang
harus dan dapat diikuti oleh seluruh dunia?
Manusia mempunyai
tubuh dan jiwa. Karena itu keperluannya pun dua macam, yaitu lahir dan batin.
Kewajibannya dua pula, yaitu memelihara dan menyempurnakan kehidupan tubuh
jiwanya. Agar mampu melakukan kewajiban itu, ia harus memakai dan
menyempurnakan akal.
Barat, sebagaimana
kita lihat, mengutamakan jasmani, akibatnya lupa pada jiwa. Akalnya dipakai
untuk menaklukkan kekuatan alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe),
yang mengorbankan jiwa asalkan menguasai jasmani.
Timur lebih
mementingkan rohani sehingga lupa pada jasmani. Akal dipakainya untuk mencari
jalan menyatukan diri dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di
Indrakila.
Haluan yang
sempurna ialah menyatukan Faust dengan Arjuna. Memadukan materialisme,
intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan, dan
kolektivisme.
Asas dan persatuan
itu harus kelihatan dalam segala sendi kehidupan, dalam bidang ekonomi, sosial,
seni, dan pengetahuan.
Maka tidak boleh
tidak perbedaan bentuk antara semua bangsa tentu tetap ada karena pengaruh
masalah hawa nafsu dan tempat, meskipun pada dasarnya sama.
Ke arah itulah
kita di Indonesia ini harus menuju, jadi memperkaya (bukan mengubah) dasar
kebudayaan kita.
Hal itu perlu,
bukan saja karena hendak mengikuti ukuran yang lepas dari perbedaan daerah dan
zaman, yang absolut, tetapi karena paksaan kekinian juga.
Dengan demikian
sudah jelas arti kebudayaan Barat bagi kita. Sekarang perlu dijelaskan landasan
Indonesia yang harus diperluas itu.
Tuan Sutan Takdir
Alisjahbana terus melihat perbedaan daerah dan isme kesukuan.
Di atas telah
diuraikan bahwa asas kebudayaan di sini satu. Atas asas yang satu itu
daerah-daerah di Indonesia memiliki sejarahnya masing-masing. Adakalanya
terjadi pertukaran unsur, karena ada kerajaan yang meluaskan kekuasaannya atau
karena hal lain.
Ada negeri yang
erat dengan negeri lain, ada daerah yang tidak seberapa hubungannya dengan
daerah asing.
Ringkasnya: pada
asas yang satu itu tidak sama kemajuannya dan pesatnya (tempo) kebudayaan
berkembang di masing-masing daerah sehingga sekarang ada perbedaan daerah.
Kewajiban kita
ialah memetik manfaat yang sebaik-baiknya yang sesuai dengan zaman sekarang dan
masa yang akan datang, dari semua hasil kemajuan yang tersebut itu dan membuatnya
jadi dasar Indonesia Raya (yang harus diperluas dengan asas Barat).
Dasar dalam
kalimat itu tidak bertentangan dengan asas yang disebut sebelumnya, karena
unsur yang dimaksud itu ialah hasil kemajuan asas yang terdahulu sehingga tidak
bisa dikatakan dasarnya berubah.
Dalam mengambil
unsur itu perlu pengetahuan yang luas tentang Indonesia keseluruhan dan
perasaan yang terdalam tentang kebudayaan. Harus jauh dari semua rasa
kedaerahan, yaitu perasaan yang timbul dari kepicikan pengetahuan tentang kebudayaan
yang ada di sini dahulu dan sekarang, serta harus bisa memahami tuntutan zaman.
Maka tidak dapat
disangkal tidak banyak orang yang sanggup melakukan pekerjaan itu sebagaimana
mestinya. Masih banyak yang bersemangat kedaerahan dalam menjalankan kewajiban
itu.
Oleh karena itu,
karangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana itu besar nilainya, karena menyuluhinya
dengan terang. Makna karangan itu berjasa sebagai penentang semangat
kedaerahan.
Suara Umum nomor 276, 4 September 1935
Tulisan sebelumnya:
http://sastra-indonesia.com/2018/09/menuju-masyarakat-dan-kebudayaan-baru/
http://sastra-indonesia.com/2018/09/menuju-masyarakat-dan-kebudayaan-baru/
Sepilihan Esai & Kritik Sastra,
Copyright © Pusat Pembinaan,
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6,
KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA,
Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar