A.H.J Khuzaini
Kiriman teman di grup Whatsapp yang kubenci.
“Bahkan manusia penghuni dusun yang gampang dituding sebagai anggota masyarakat tertinggal, serta perlu rutin mendapat penyuluhan pemanfaatan teknologi tepat guna itu. Sangat fasih memuji kota yang berbinar-binar dan penuh suka cita ini. Apalagi kita!”
Dengan kalimat yang dimanis-maniskan, koran digenggaman tanganku juga mengabarkan. kota ini miliki segala yang dibutuhkan siapa saja yang hendak menjangkau keindahan, menguak misteri pengetahuan, ramah bagi tembang dari beberapa abad silam. Budayawan atau orang kaya yang penderma dilahirkan secara berkala. Aku tak percaya, lalu meninjaunya keluar rumah.
Tidak bisa dipercaya, tiap perempatan, tempat kelimun berkumpul, tak terdengar sepatahpun keluhan mereka berbagi senyum dan tawa seolah sebentar lagi hari raya. Aku menjumpai banyak agen rokok, kurir dan seorang tukang pos melaju riang tanpa perlu menyiapkan jas hujan, tukang ojek online tak memasang wajah was-was pada begal dan kemarahan orang-orang lapar yang makanannya agak telat diantar. Seorang tukang pos berhenti di depanku, dia kawanku. Seketika menawarkan kopi dan waktu padaku, aku setuju. Kami berbincang di cafe, kuberikan alasan mengapa aku terlihat linglung, dan realita baru yang tidak kumengerti pada kota ini.
“ Alun-alun kota kita sudah jauh berbeda, kau bisa dengan bersiul girang menembang lagu india kesukaanmu di sana. Pesanku, kalau kau ingin merayakan hari baik, jangan minum anggur di sana” dia tertawa, nampaknya ia teringat sikap terbaikku di tempat keramaian manaka telah lengang, “kalau minum ajak aku..” sudah kuduga buntut kalimat itu bakal terlontar. Jika hatiku sedikit longgar, akan kupilih pot bunga termahal yang bisa ku temui di sana,memperindahnya dengan air seniku.
Kawanku mengatakan tanpa ada maksud lain di balik itu, aku percaya sepenuhnya, setakar penuh kupercaya bahwa ia sangat mencintai pekerjaannya jauh sebelum antrian panjang kurir terjadi dan grup whatsaap berkembang pesat. Diperjalanan Aku menghitung-hitung lagu india yang ku kenal dan kuhapal barang dua tiga penggal liriknya. Aku juga akan berusaha lagu berbahasa spanyol yang mengiringi goyang pinggul berisi milik ibu-ibu muda tiap sabtu sore di depan rumahku. Despacito.
Quiero desnudarte a besos despacito
Firmo en las paredes de tu laberinto
Y hacer de tu cuerpo todo un manuscrito (sube, sube, sube).
Malam harinya, kawanku mengirim pesan lain.
“Bila tayangan televisi masih buruk, atau klub kita kemungkinan kalah telak. langsung berangkat ke alun-alun” tak kujawab, hasrat bergejolak. Dia masih ingat, aku tak begitu suka televisi, Cuma klub sepakbola dan tayangan bocah petualang yang mampu sedikit mengurangi, tapi klub sepakbola sering kalah dan aku terlalu percaya pada pada omongan orang lain bila aku sudah tidak bocah.
Akhir tahun lalu, aku ke sana, menurut petunjuk Google maps, jarak alun-alun dari rumahku 26 kilometer, jarak tempuh normal 43 menit. Bila berjalan kaki hanya 3 jam 54 menit. selepas adzan subuh berangkat, dan menjalaninya seriang bocah petualang.
Kusiapkan tas ransel kesayangan yang ketika remaja pernah kupenuhi kenangan pada pohon perdu dan beba-batu di bahu gunung arjuna, serta sepotong nyali penjual kerupuk dan penambang belerang disepanjang makadam menuju puncak pundak Gunung Welirang. Kenangan itu kuikat dengan kemampuan berpuisiku yang ala kadarnya. Meski tak begitu besar, ruang tasku kurasa masih cukup lebar guna menampung senyum, sapa, orang bertanya arah, yang telah dan yang bakal singgah. Aku percaya akan banyak senyum yang kutangkap sepanjang lampah.
Kutengok jam gawai, ternyata perjalanan ke alun-alun lebih lambat 4 jam lewat 55 puluh enam menit, aku tak peduli, kupikir tiba teralu cepat. Benar kata si tukang pos, alun-alun kota yang gambarnya terpasang serentak di dekat gapura tiap dusun dihijaukan oleh sala-satu pohon kesukaanku, pohon mangga!
“Pohon itu membuatku terobsesi kan!, kayanya tuan kebun tahu itu. tengoklah” dorongnya.
Pohon mangga, kupikir dia pohon paling tabah dan paling murah hati dari seluruh pohon yang sanggup kucatat namanya. Ia paling tahan benalu sembari merawat burung bayi burung peking.
“Kuakui dosaku terlampau banyak, bila Tuhan berbelas kasih, aku berharap dilahirkan kembali jadi pohon mangga” jawabku.
Alun-alun yang besar biaya perbaikannya lebih banyak ketimbang pembangunan dua puluh sekolah hanya sedikit ditumbuhi kembang rawan layu, mudah mati dan meminta pot tertentu. Aku tahu dimana kubuang air seniku. Mengejutkan, di ujung rimbun lidah mertua, tegak berdiri pohon kaktus tua. Menjalarlah rencana, kalau sepi akan menulis namaku beserta nama gadis cinta pertamaku, dia sudah lama menjanda, aku masih sungguh mencintainya, sayang, dia kukuh menolak kunikahi. Tidak mengapa. nanti ku toreh namaku, di bawahnya kugambar lambang hati tertusuk panah Kamajaya, lalu nama cinta pertamaku, ingin kutoreh juga ketiga nama anaknya dari tiga Bapak berbeda. Urung, dendamku pada Bapak mereka masih belum padam.
Di bawah pohon nangka paling rindang dan murah hati nampak keluarga aneh. Seorang lelaki tua penyemir sepatu yang enggan bekerja sungguh dia menghabiskan waktu dengan membagi dongeng lucu. Tepat di depannya berdiri gadis yang mahir benar menggesek senar biola, tapi payah mengikat tali sepatu.
Aku duduk di atas kursi batu yang meingkari pohon mangga, hendak menulis bebaris sajak, namun jemari malah menuntun mengarsir bentuk ombak, ombak terburuk barangkali, sebab setelah cukup lama kuamati terlihat lebih mirip delapan ular kurus kelaparan yang selalu gagal mencatuk barang seekor kodok atau tikus pun. Sudah tahu tak becus menggambar, dadaku bergejolak melukis wajah dan dada cinta pertamaku semasa usia empat belas tahun. Jelas kuigat kala dia berusaha menjadi yang tercepat di lomba balap karung. Keningnya yang basah itu serta bebutir keringat melelh dipelipis wajahnya yang tak ayu-ayu amat, tapi punya buah dada ranum menantang. Aih, sungguh terang di lintasan kenangan buah dadanya yang besar bergoyang naik turun itu. Aku tak ragu pun tak malu mengaku, aku jatuh cinta setengah mati padanya, lantaran dia satu-satuya wanita yang memberiku mimpi basah, tak pernah ada mungkin hingga seluruh usiaku habis terbakar. Bahkan sejelas purnama bangkit dari alam bawah sadar, aku bakal gagal. Segera aku mencari cara bersyukur yang tepat. aku berbagi tempat dengan pengunjung lain lalu lirih menyayikan lelagu india, yang ku bisa kunyanyikan. Kurasa itu lebih mudah.
Lekas buku kumasukkan kembali ke dalam tas, sembari mendengar Tumhe De Kona versi Sonu Nigam & Alka Yagnik, seraya kusaksikan apa saja yang datang dan bakal tiba, menerka ada berapa banyak lelaki setia datang di kota ini, menduga ada banyak anak-anak yang patuh pada ibu mereka. Aku yakin keserasian alun-alun, bunga pohon kayu warna-warni, tong sampah yang berjejer dan tuan tukang kebun yang penyanyang bisa megantar pelajaran moral yang baik. Tapi, sejujurnya di dunia yang ternoda dan teramat serakah ini, aku tak begitu tertarik pada gagasan lelaki setia atau anak-anak begitu patuh pada orang tua mereka, Bagiku utopis layaknya upaya pengentasan kemiskinan atau usaha mencegah agar orang bodoh tidak bebas berkembang biak. Namun, mungkin karena kehadiran mereka mampu kaki kiamat datang lebih cepat.
Aku bersandar di pohon manggaku, tak terasa senja pun perlahan jatuh, langit merembang, dedaun mulai layu. kupejamkan mata hingga matahari sempurna terbenam. Sudah lama sekali aku melakukannya, persis sejak masuk akil baligh, sebagian kawanku mengerti, meski tak pernah kuberi sebarispun argumentasi, dulu mataku terpejam begitu saja, sungguh sulit dipahami . Seorang kawan membantuku menyediakan jawaban buat orang di luar sana yang banyak bertanya.
“Bilang saja untuk mengormati surya berganti arah.”
Jawaban lumayan sopan, terdengar jujur dan baik tapi aku sama sekali tak tertarik.
Dihitungan keseribu lima ratus kubuka mata, gemintang telah berpendar. Aku tak percaya pada apa yang kusaksikan . Alun-alun mengubah diri sekering gurun pasir. Dingin, tersiksa dan menyimpan bahaya.
Lelaki tua penyemir sepatu keras memeluk tiang lampu. Seorang di sebelahku berkata.
"Ia mantan pegawai perusahaan ternama, lama gagal membawa istrinya dari pelukan lelaki lain, kudengar dia menghabiskan seluruh uang yang berhasil ia curi dari brankas Bank untuk membeli bensin, kembang api, dan orang yang membunuhnya bila malam ini tidak mati. Tengah malam nanti ia akan membakar diri bersama gadis muda, ia kekasihnya, hamil tua. Aku tertarik rencananya, kau juga kan?" dia tertawa keras lalu bangkit mendekat lelaki penyemir sepatu yang wajahnya telah nampak sepucat mayat. Kupikir lelaki itu mendapat bayaran cukup besar malam ini.
Hujan pikun, merinai salah musim, di bawah atap toko emas, samar kulihat kawanku si tukang pos duduk di samping tukang ojek online yang menenteng kardus pembungkus makanan cepat saji, keduanya basah kuyup. Anak-anak miskin dari kota jauh serupa anjing liar menghiburnya. Lagu tak laku mengudara, gahar guntur di langit utara.
“Aku pasti bermimpi, ini mimpi.”
Aku bangkit, berjalan menuju seorang yang parassnya kembar seiras dengan kawan yang membawa kakiku ke alun-alun. Memastikan kalau bukan dia. Sial, itu kawanku. Kala kutertegun. Seorang gadis kecil menarik keras tas ranelku, kubantu dia mendapatkannya. Mendapat tujuannya, dia segera lari embunyi di kelimun manusia sejenisnya.
Aku mematung hingga tengah malam, tak lama kemudian tragedi itu tiba. Ledakan susul menyusul semeriah kembang api tahun baru. Jilatan api bergerak dari selatan. Segala hal yang tumbuh di atas kota terbakar nyaris demi nyaris dalam kobaran.
Di antara bunyi ledakan yang kian meningkat, terdengar tangis bayi berbagi nyaring dengan sirine mobil pemadam kebakaran dan ambulan. Orang-orang bersorak girang, terlihat dungu namun garang. Mataku gelap, sebelum rubuh. Samar kulihat dari balik asap setipis kabut, segrombolan lelaki dan perempuan muda menari polka, mereka saling memagut, berebut leher dan lidah di atas kap mobil pemadam kebakaran yang berhasil direngut.
Lamongan 30 Agustus 2019.
http://sastra-indonesia.com/2019/08/cara-mengikat-tali-sepatu/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar