Senin, 19 Agustus 2019

KITONG SAYANG TANAH PAPUA, TRA TERBILANG BAHASA DAN SASTRANYA :

MENGUSAHAKAN PEMAJUAN BAHASA DAN SASTRA TANAH PAPUA
Djoko Saryono *

di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung (Pepatah Melayu)
di mana bumi Papua sa pijak, di situ langit Papua sa junjung

Apuni inyamukut werek halok yugunat tosu 
Berbuatlah sesuatu yang terbaik terhadap sesama (Pepatah Lembah Baliem, Wamena)
Berbuatlah sesuatu yang terbaik terhadap bahasa dan sastra Tanah Papua

RINGKASAN

Selain kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang luar biasa, Tanah Papua memiliki kekayaan kebudayaan yang beraneka ragam luar biasa termasuk kedalamnya kekayaan akan bahasa dan sastra. Tanah Papua kaya raya akan bahasa dan sastra dengan keanekaragaman yang mengesankan. Kekayaan bahasa dan sastra yang sangat beraneka ragam itu membentuk sebuah panorama, lanskap atau taman kebahasaan dan kesastraan di Tanah Papua.

Dalam perspektif Ong (2012) dan Saryono (2019), panorama atau lanskap kebahasaan dan kesastraan di Tanah Papua dapat dikategorikan ke dalam empat kuadran, yaitu (a) sastra lisan yang hidup di dalam kebudayaan kelisanan primer, (b) sastra naskah yang hidup di dalam kebudayaan manuskrip, (c) sastra tulis-cetak yang hidup di dalam kebudayaan tulis-cetak, dan (d) sastra lisan kedua dan sastra lain yang hidup di dalam kebudayaan kelisanan sekunder atau digital. Sastra lisan Tanah Papua yang indentik dengan sastra daerah jelaslah kaya dan beraneka ragam luar biasa.

Kekayaan utama Tanah Papua yang paling luar biasa memang tradisi lisan dan sastra lisan, yang identik dengan sastra daerah. Meskipun tidak sekaya dan seberaneka ragam sastra lisan, sastra naskah Tanah Papua sedang tumbuh dan berkembang. Demikian juga sastra tulis di Tanah Papua terus tumbuh dan berkembang. Demikian juga sastra lisan sekunder dan sastra di dunia digital Tanah Papua mulai tumbuh dan berkembang. Kekayaan dan keanekaragaman bahasa dan sastra Tanah Papua yang luar biasa tersebut dimajukan agar keberadaan dan keadaannya stabil sehingga dapat menjadi aset atau kapital kebudayaan Tanah Papua.

Pemajuan bahasa dans sastra Tanah Papua bukan hanya terbatas pada penyelamatan, pelestarian, pelindungan, dan pemeliharaan bahasa dan sastra Tanah Papua, tetapi juga pembugaran (revitalisasi), peremajaan/pemudaan (rejuvinasi), pengembangan, pembinaan, dan penguatan bahasa dan sastra Tanah Papua. Hal tersebut perlu dilaksanakan dalam tiga ranah kebudayaan secara sinergis, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat (komunitas).

/1/
Selain sumber daya alam, kekayaan apakah yang dimiliki oleh Tanah Papua? Selain keanekaragaman hayati yang luar biasa [seperti dapat dilihat di dalam buku Ekologi Papua suntingan Sri Nurani Kartikasari dan kawan-kawan atau buku Atlas Sumber Daya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan yang diterbitkan oleh Badan Informasi Geopasial], keanekaragaman apakah yang luar biasa di Tanah Papua? Tak syak lagi, kekayaan kebudayaan – termasuk di dalamnya kekayaan bahasa dan sastra. Dapat dikatakan bahwa Tanah Papua kaya raya akan bahasa dan sastra. Tidak mungkin dipungkiri lagi, keanekaragaman kebudayaan – termasuk keanekaragamaan bahasa dan sastra sangat mengesankan.

Memang tidak mudah mengetahuinya secara utuh dan lengkap. Namun, secara impresif sketsa umum kekayaan dan keanekaragaman bahasa dan sastra (di) Tanah Papua dapat kita ketahui dengan membaca pelbagai kajian dan wacana yang diproduksi oleh berbagai pihak; membaca hasil pemetaan kebudayaan khususnya bahasa dan sastra yang dikerjakan oleh pelbagai pihak – tegasnya bisa dilihat dalam peta bahasa dan sastra Tanah Papua; dan bahkan bilamana memungkinkan bisa kita ketahui dengan menjelajahi ruang dan tempat (space dan place) di seluruh Tanah Papua baik dalam rangka penelitian maupun dalam rangka pemberdayaan. Misalkan, bilamana dibaca secara cermat hasil pemetaan bahasa di Tanah Papua yang dikerjakan oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan niscaya kita akan terkesan betapa kaya dan beraneka ragamnya bahasa – termasuk tentu sastranya – di Tanah Papua yang kita cintai bersama. Kemudian bilamana dibaca secara detail Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang ada di Tanah Papua tentulah kita akan terkesan betapa kaya dan beraneka ragamnya kebudayaan daerah Tanah Papua –di dalamnya termasuk kekayaan dan keanekaragamaan bahasa dan sastra. Sebab itu, dapat dikatakan bahwa aset atau kapital kebudayaan khususnya bahasa dan sastra Tanah Papua sungguh kaya dan beraneka ragam.

/2/
Sudah tentu kekayaan dan keanekaragaman bahasa dan sastra (di) Tanah Papua – sebagai unsur himpunan terpadu kebudayaan (di) Tanah Papua, bahkan unsur himpunan kebudayaan nasional – dapat membentuk panorama kebahasaan dan kesastraan yang indah; membentuk lanskap kebahasaan dan kesastraan (linguistic and literary landscape) yang mengesankan; atau membentuk taman bahasa dan sastra (di) Tanah Papua yang berkesan. Panorama, lanskap atau taman kebahasaan dan kesastraan yang kaya dan beranekaragam di Tanah Papua dapat diketahui berdasarkan berbagai kategori atau perspektif. Sebagai contoh, berdasarkan perspektif kecenderungan historisitas kebudayaan, sastra (di) Tanah Papua dapat dikategorikan menjadi (a) sastra tradisi[onal] dan (b) sastra modern. Atas dasar perspektif keruangan (spasialitas) sastra (di) Tanah Papua dapat dikategorikan menjadi (a) sastra lokal dan (b) sastra nasional. Kemudian berdasarkan bahasa yang melekat di dalam sastra dapat dikategorikan (a) sastra daerah yang menggunakan bahasa-bahasa daerah dan (b) sastra Indonesia yang memakai bahasa Indonesia. Kategori sastra lokal bersilangan, bahkan indentik dengan sastra daerah pada satu sisi dan pada sisi lain kategori sastra nasional identik atau bersilangan dengan sastra Indonesia. Baik sastra lokal atau sastra daerah maupun sastra nasional atau sastra Indonesia dapat meliputi sastra tradisi(onal) dan sastra modern. Pelbagai kategori sastra (di) Tanah Papua tersebut bisa terdiri atas puisi dan prosa. Sastra dramatik dalam pengertian mutakhir boleh jadi tidak berkembang di dalam kebudayaan Papua.

Selain itu, dalam perspektif [Walter] Ong (2012) dan [Djoko] Saryono (2019) yang didasarkan pada tingkat teknologisasi bahasa dan orientasi kebudayaan, sastra (di) Tanah Papua dapat dikategorikan menjadi (a) sastra lisan primer yang beralas pada kelisanan primer atau kebudayaan lisan, (b) sastra naskah yang beralas pada tradisi manuskrip atau kebudayaan membaca secara kolektif, (c) sastra tulis-cetak yang beralaskan tradisi tulis-cetak atau kebudayaan literasi, dan (d) sastra lisan sekunder, sastra terdigitalisasi atau sastra digital yang beralaskan kelisanan sekunder/kedua atau kebudayaan digital. Dapat dikatakan, kekayaan dan keanekaragaman sastra lisan primer Tanah Papua sangat mengesankan meskipun harus diakui bahwa kekayaan dan keanekaragaman sastra naskah Tanah Papua tidaklah seberapa. Kekuatan utama yang menjadi aset paling berharga Tanah Papua memang tradisi lisan dan kebudayaan lisan, bukan tradisi dan kebudayaan manuskrip. Selanjutnya, sastra tulis-cetak dan sastra lisan terdigitalisasi atau sastra digital (di) Tanah Papua pastilah semakin tumbuh dan berkembang – meskipun belum tentu pesat dan sesuai harapan – karena tradisi baca-tulis dan kebudayaan literasi terus digalakkan dan dikembangkan pada satu sisi dan pada lain tradisi lisan sekunder dan kebudayaan digital semakin tumbuh-berkembang di Tanah Papua. Seiring dengan semakin menguatnya kebudayaan literasi sekaligus kebudayaan digital, sastra tulis-cetak dan sastra terdigitalisasi atau sastra digital (di) Tanah Papua memiliki prakondisi dan atmosfer untuk tumbuh-berkembang dengan baik dan mengesankan pada masa depan. Di sini malah bisa dikatakan bahwa masa depan sastra (di) Tanah Papua – apakah akan semakin kaya dan beraneka ragam atau tidak – sangat bergantung pada usaha-usaha memajukan kebudayaan literasi sekaligus kebudayaan lisan kedua (digital) di Tanah Papua.

/3/
Hal tersebut sudah memperlihatkan betapa kekayaan dan keanekaragaman sastra (dan tentu bahasa dan seni lain) Tanah Papua sangat mengesankan dan menjanjikan. Kekayaan dan keanekaragaman sastra (dan bahasa) Tanah Papua merupakan aset atau kapital kebudayaan yang sangat berharga dan penting bagi Tanah Papua khususnya bagi warga Papua. Dikatakan demikian karena, pertama, sastra (di) Tanah Papua dapat menentukan atau setidak-tidaknya menopang keberadaan dan martabat Tanah Papua di mata pihak lain. Khusus sastra lisan yang identik dengan sastra daerah Tanah Papua – yang sesungguhnya sangat plural dan multikultural – malah dapat menjadi landasan pembentukan atau penguatan identitas kepapuaan yang berakar pluralisme dan multikulturalisme. Kedua, sastra (di) Tanah Papua khususnya sastra lisan yang mutatis mutandis sastra daerah – yang meliputi bermacam-macam genre sastra – merupakan aset atau kapital kebudayaan yang dimiliki oleh Tanah Papua yang dapat menjadi bekal atau modal untuk memasuki zaman baru yang kini sedang datang menjelang, di antaranya yang disebut era ekonomi kreatif, era ekonomi berbagi (sharing economy), era disrupsi teknologi digital, dan era mahadata (big data). Bahkan bolehlah dikatakan di sini bahwa sastra daerah Papua – yang beraneka ragam dari sisi etnisitas dan genre sastra – dapat menjadi aset utama Tanah Papua untuk memasuki industri kreatif dan kewirausahaan kreatif. Lebih lanjut, ketiga, sastra daerah atau sastra lisan Tanah Papua sebagai rumah eksistensi (house of being, kata Heidegger) atau dunia kehidupan (lebenswelt, kata para pemikir Jerman) orang-orang Tanah Papua dapat menjadi dasar orientasi, proyeksi, dan kultivasi (perawatan) peri kehidupan warga Tanah Papua karena di dalam sastra yang dimaksud niscaya terkandung kosmologi dan mitologi orang-orang Tanah Papua. Kepunahan sebuah genre sastra lisan Tanah Papua dapat berarti hancur atau hilangnya kosmologi dan mitologi warga Tanah Papua, yang kemudian akan membuat warga Tanah Papua kehilangan orientasi dan proyeksi hidup. Misalnya, hilang atau rusaknya mitos-mitos Amungme bisa mengguncangkan orientasi orang-orang Amungme; pudarnya tradisi munaba di Yapen Waropen dapat mengganggu orientasi dan perilaku hidup orang-orang Yapen Waropen.

Sejalan dengan itu, diperlukan usaha-usaha memajukan sastra (sekaligus bahasa dan tradisi seni ) Tanah Papua. Usaha-usaha memajukan sastra Tanah Papua di sini berarti usah meningkatkan ketahanan, kedaulatan, dan keberlanjutan sastra Tanah Papua agar dapat memberikan kontribusi bagi peri kehidupan orang-orang Papua dan peri kehidupan bangsa, bahkan peri kehidupan bangsa-bangsa di dunia – dengan kata lain, sastra Tanah Papua bisa memberikan kontribusi bagi kebudayaan dan peradaban lain. Usaha-usaha pemajuan sastra (di) Tanah Papua itu dapat ditempuh dengan empat cara utama, yaitu (1) pelindungan sastra (di) Tanah Papua, (2) pembinaan sastra (di) Tanah Papua, (3) pengambangan sastra (di) Tanah Papua, dan (4) pemanfaatan sastra (di) Tanah Papua. Pelindungan sastra Tanah Papua (beserta hal-hal yang melekat padanya) diarahkan pada tetap hidup dan berkembangnya sastra Tanah Papua dengan daya adaptabilitas dan keberlanjutan yang baik di tengah laju perubahan zaman yang cepat dan berlari lintang pukang. Pembinaan sastra Tanah Papua diarahkan pada tetap dikuasai dan digunakannya sastra Tanah Papua dengan baik oleh para masyarakat sastra Tanah Papua – dan masyarakat lain yang memerlukannya sehingga pemilik dan atau pemangku sastra Tanah Papua tetap mengenal dan menguasai sastra Tanah Papua. Kemudian pengembangan sastra Tanah Papua diarahkan usaha-usaha menghidupkan dan memperkuat ekologi atau ekosistem sastra Tanah Papua pada satu sisi dan pada sisi lain usaha meningkatkan, memperkaya, dan menyebarluaskan nilai-guna dan fungsi sastra di Tanah Papua – dan juga di tempat-tempat lain di luar Tanah Papua. Selanjutnya pemanfaatan sastra Tanah Papua diarahkan pada usaha-usaha mendayagunakan dan melipatgandakan nilai-guna sastra Tanah Papua untuk berbagai kepentingan kehidupan, kemanusiaan, dan kebudayaan, antara lain kepentingan ekonomis, sosiokultural, religiokultural, dan ideologis.

/4/
Berbagai usaha pemajuan sastra Tanah Papua tersebut dilaksanakan di dalam ruang-ruang dan tempat-tempat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan dan peradaban Tanah Papua – yang sesungguhnya majemuk dan beraneka ragam. Tiga ruang dan tempat utama tumbuh-kembangnya kebudayaan dan peradaban Tanah Papua adalah keluarga, masyarakat (khususnya komunitas), dan sekolah. Dapat dikatakan, keluarga, sekolah, dan komunitas sekarang menjadi ruang utama kebudayaan dan peradaban. Mengingat sekolah sekarang samakin padat dan penuh dengan agenda, peran dan fungsi keluarga dan komunitas di Tanah Papua perlu diperbesar dan diperluas untuk arena pemajuan sastra Tanah Papua – sehingga keluarga dan komunitas di Tanah Papua dapat menjadi habitat utama kehidupan sastra Tanah Papua.

***

*) Guru Besar Universitas Negeri Malang.
http://sastra-indonesia.com/2019/08/kitong-sayang-tanah-papua-tra-terbilang-bahasa-dan-sastranya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar