Malkan Junaidi
Saat kuliah di Al-Azhar, Gus Mus ikutan-ikutan Gus Dur belajar bahasa Prancis. Namun meski sudah berlatih dengan bantuan kaset, beliau tetap merasa tak seberhasil Gus Dur, dan ini membuat beliau agak frustrasi. Gus Dur, di luar faktor kecerdasan yang tak hendak saya perbandingkan di sini atau di mana pun, dibanding Gus Mus memang memiliki lingkungan yang relatif lebih kondusif. Kiai Wachid Hasyim, sang ayah, adalah seorang menteri, dan sudah barang tentu sering menerima kunjungan tokoh terkemuka, termasuk tokoh asing. Artinya Gus Dur terbilang kerap terpapar bahasa asing. Di samping itu, di rumah kiai Wachid buku bacaan melimpah, sebagiannya berbahasa Eropa, dan konon kiai Wachid sering mengajak keluarganya mendiskusikan apa yang mereka baca.
Ini ringkasan dari fragmen cerita di buku biografi Gus Dur susunan Greg Barton. Meski saya menulis berdasarkan ingatan yang bobrok, semoga tak meleset terlalu jauh dan tetap mencukupi untuk batu loncatan menuju sebuah asumsi: mempelajari bahasa selain butuh motivasi dan tekad butuh juga lingkungan yang mendukung.
Sewaktu duduk di bangku Aliyah, 4 bahasa diajarkan pada saya: bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Jerman. Yang terakhir ini membuat saya frustrasi. Bukan karena sulitnya, tetapi karena, menurut penilaian saya, guru saya gagal menghadirkan kondisi yang mendukung, sebuah suasana yang dengan paksaan menyenangkan membuat seseorang belajar suatu bahasa. Parahnya, saya juga tak mengerti kenapa bahasa ini harus diajarkan dan dipelajari; di mana signifikansinya, tak pernah siapa pun, termasuk kepala sekolah, menyampaikannya; mungkin guru bahasa Jerman saya, seorang perempuan muda yang irit bicara, pernah sebagai kewajaran profesional satu dua kali berusaha meyakinkan kami, tapi itu bagian yang tak saya ingat. Lucunya, pada akhirnya nilai ujian saya pada pelajaran ini terbilang bagus, sampai saya menyatakan secara langsung keheranan saya pada sang guru, yang menyambutnya dengan jawaban, “Loh, kamu tidak senang nilaimu bagus?”
Saat kuliah, pengetahuan tentang salah satu bahasa Indo-Eropa terkemuka ini masih saya pakai untuk menerjemahkan beberapa puisi penyair Jerman. Hampir 20 tahun kemudian, hari ini, hampir tidak ada yang tersisa. Bahkan saat mengerjakan tulisan pendek ini, saya tak ingat satu pun kata ganti selain Ich. Ini menyedihkan, terlebih sebab saya tak merasa sedih. Tapi begitulah saya kira, bahasa dirawat oleh keajekan penggunaan. Ketika berhenti keajekan itu, perlahan namun pasti kemampuan akannya lesap.
Tapi kenapa orang berhenti menggunakan sebuah bahasa yang pernah ia pelajari? Tentu karena kepentingan dengannya sudah tak ada. Di antara yang menimbulkan dan menghilangkan kepentingan demikian adalah lingkungan. Sebagai contoh, tak satu orang di sekeliling saya dalam 19 tahun terakhir menggunakan bahasa Jerman; Buku-buku di rumah tak ada yang berbahasa Jerman; Ketika saya kemudian mulai bergaul dengan para penikmat sastra, pengguna bahasa pada golongan ini mungkin cuma 2 atau 3 orang; Film-film Barat yang membanjiri media hiburan di negeri ini pun nyaris berbahasa Inggris semua. Singkatnya, lingkungan memaksa bahasa ini sekarat dalam benak saya.
Dua atau tiga tahun belakangan ini, belajar bahasa Prancis terasa saya butuhkan. Bermula dari keinginan menerjemahkan sebuah buku berbahasa Prancis. Versi terjemahan dalam bahasa Inggris buku tersebut sebetulnya tak sulit ditemukan, namun karena jenis yang saya terjemahkan adalah karya sastra, agar tidak kehilangan terlalu banyak hal saya bertekad menerjemahkan dari bahasa asli, tentu dengan tetap menggunakan versi bahasa lain, termasuk misalnya terjemahan dalam bahasa Italia dan terjemahan dari mesin penerjemah, sebagai bandingan.
Saya tidak belajar layaknya seorang yang hendak menetap 500 hari 500 meter dari menara Eiffel. Saya mempelajari hanya yang sekiranya saya butuhkan dalam sebuah kerja alih-bahasa. Mungkin terdengar janggal: mana boleh kemampuan untuk menerjemahkan di bawah kemampuan untuk komunikasi sehari-hari; menerjemahkan bukanlah hal main-main, meniscayakan tak saja pengetahuan gramatika dan kosakata, tetapi juga idiom dan lingkup sejarah tertentu? Benar demikian. Saya juga tak bilang tak mempelajari hal-hal itu. Maksud saya, saya tak merasa perlu, misalnya, untuk sementara ini mempelajari bagaimana sebuah kata dilafalkan dalam bahasa Prancis. Saya anggap kemampuan pengucapan kurang relevan dengan tujuan yang sedang ingin saya capai.
Melalui perjuangan yang melelahkan (bayangkan saja, untuk mencari padan yang pas untuk sebuah kata, pernah saya harus membaca cerita pertunjukan balet ditambah menonton beberapa versi video pertunjukan cerita tadi!) dan melalui dua kali menonaktifkan akun facebook, buku tersebut akhirnya selesai saya terjemahkan. Sekarang tinggal menyempurnakan; mengoreksi dan menyelaraskan. Saya tak tahu akan ada penerbit yang bersedia menerbitkan atau tidak. Bukan masalah besar buat saya. Yang terpenting saya bisa menyelesaikan secara maksimal, memuaskan buat saya pribadi, dan menyuguhkan---jika bisa---nol eror. Setelah mencapai tahap inilah baru saya, dalam suasana santai, kelayapan di Youtube, mempelajari pelafalan bahasa Prancis dan membuat telinga saya terpapar dengannya.
Sebuah informasi yang tetap menarik buat saya, dan saya kira bukan merupakan rahasia lagi, bahwa Prancis termasuk bangsa yang bangga dengan dirinya sendiri, serupa Jepang barangkali. Orang Prancis bangga dengan bahasa, sejarah, dan warisan budaya mereka, yang mana cukup untuk membuat mereka (setidaknya hingga generasi yang lahir di akhir abad ke-20) enggan mempelajari bahasa lain, termasuk bahasa Inggris, terutama dengan kesungguhan, katakanlah, seorang Agnez Mo. Buat orang Prancis, bahasa Inggris sulit dilafalkan, namun melalui latihan yang cukup tentu sebenarnya masalah ini bisa diatasi. Masalah sesungguhnya jelas: tanpa motivasi yang cukup, mereka tetap akan melakukannya dengan ogah-ogahan, serupa ketika saya dulu dipaksa belajar bahasa Jerman.
Bagaimana anggapan para pengguna bahasa Inggris terhadap bahasa Prancis? Secara umum, mereka merasa pelafalan bahasa Prancis sangat sulit. Sedikit atau banyak mereka seperti pengguna bahasa Indonesia yang dibikin mengeryitkan kening mengetahui bahwa kebanyakan huruf konsonan di akhir kata dalam bahasa Prancis tidak dibunyikan. Mereka mungkin seperti saya, mbatin, tertawa dengan nada guyon: Kenapa kalian mempertahankan huruf yang pada praktiknya tak kalian lafalkan?
(17-12-19)
http://sastra-indonesia.com/2019/12/bahasa-dan-sekelumit-cerita-tentang-penerjemahan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar