Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 20 Desember 2019
Alur Alun Tanjidor : Sebuah usaha Permulaan penulisan Kesenian Tradisional Rakyat
M. Riyadhus Solihin
Radar Bangsa 10-19 Des 2019
Bisa dibayangkan bahwa kesenian (baca juga: kebudayaan) mempunyai sifat seumpama air atau bisa juga disebut seperti angin. Cair sekaligus lembut. Sebab itulah kesenian memiliki kemampuan alami untuk merasuk, menembus batas-batas wilayah negara, suku, adat istiadat sub-kultur, keyakinan bahkan agama.
Tidak hanya berhenti disitu, kesenian juga mampu memberi pandangan baru pada arti hidup, menggerakan geliat pemikiran, memberikan rasa senang dan tentram, serta lebih jauh lagi, kesenian menjadi unsur penting dalam usaha membangkitkan atau memperindah sebuah peradaban.
Lewat buku ini, kesenian yang memiliki sifat dan peran seperti di atas, kesenian Tanjidor tentu saja bisa disebut termasuk salah satunya.
Dalam anggapan banyak orang, tanjidor lebih lekat dan identik dengan kebudayaan masyarakat Betawi-Jakarta, tetapi jika dikaji lebih jauh, tanjidor ternyata telah menyebar di sepanjang wilayah pesisir utara laut Jawa hingga sampai di Desa Lembor-Brondong-Lamongan ini.
Perjalanan Tanjidor ini tentu saja memiliki kisah perjalanannya sendiri, tidak hanya soal penyesuaian dengan kultur masyarakat masing-masing yang menerimanya tapi juga bisa dibilang masih diliputi misteri dan hal-hak yang bersifat magis. Hal itu menyangkut banyak hal, baik mengensi asal muasal bangsa yang pertamakali mengalunkannya, manfaat dan kegunaan, cerita pahit dan manis, proses pertunjukan, ragam alat-alat musik serta keunikan lain di dalamnya.
Sebelum kita mengenal Tanjidor sebagai kesenian tradisi rakyat yang humanis, tanjidor ini juga mengandung petuah hidup sekaligus hiburan bahkan difungsikan sebagai media dakwah sebagaimana halnya hari ini.
Barangkali tidak banyak yang menduga bahwa, tanjidor merupakan kesenian musik yang dibawa masuk ke Nusantara oleh pemerintah Kolonial Belanda. Dimana saat itu, kesenian tanjidor ini dimainkan oleh budak-budak pribumi yang mereka latih. Yang sangat mungkin dalam prosesnya terdapat unsur pemaksaan dengan kekerasan kepada para budak pribumi itu.
Pada setiap pertunjukannya, para budak memainkan musik sedangkan para pejabat teras pemerintah kolonial mendengarkan sambil berdansa Polka, sekaligus menikmati kekayaan sumber daya alam Nusantara. Meski Tanjidor dibawa oleh Pemerintah kolonial belanda, bukan berarti merekalah penemunya, mereka menerimanya dari bangsa lain.
Mengenai asal muasal kesenian ini beberapa Antropolog tidak satu suara, ada yang mengatakan dari portugal sebab dalam kamus bahasa portugal terdapat kata tanger (senar atau dawai), pendapat lain mengatakan seniman ini dari Kekhalifahan Turki Usmani. Untum yang terakhir ini, kehadiran tanjidor diperuntukan sebagai hiburan Khalifah dan pejabat tinggi di istananya (para Pasya). Bukti arkeologisnya terdapat pada pertunjukan sejenis Tanjidor yang dimainkan oleh masyarakat di Mesir bernama Hasballah, yang termasuk satu wiayah kekuasan Turki Usmani.
Baik pemerintah kolonial maupun pemerintah Turki Usmani, barangkali juga Imperium lain, para seniman Tanjidor dalam hal ini, dihadirkan untuk memberikan hiburan dan semangat nasionalisme. Berbeda jauh manakala kita meninjau kehadiran seniman Tanjidor di Nusantara khususnya di pesisir laut Jawa.
Seniman tanjidor merepresantasikan diri sebagai seniman rakyat yang bebas-merdeka. Mereka memanfaatkan betul tanjidor sebagai kesenian rakyat yang dibedakan dengan sifat kesenian ala keraton (wayang-gamelan). Irama Tanjidor menghentak, membangkitkan semangat seperti ombak dan bisa dimainkan di mana saja baik dengan diam atau dengan berjalan. Lebih mencengangkan lagi, kesenian yang diperkenalkan bangsa Belanda (yang notebene “penjajah-Kristen”), menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan islam dan menjadi sarana pembinaan masyarakat Muslim. Sebagaimana bisa kita lihat dengan apa yang dicapai oleh seniman Tanjidor di desa Lembor-Brondong-Lamongan.
Dalam dimensi tertentu, Tanjidor baik yang di alunkan masyarakat Betawi di Jakarta maupun Warga Desa Lembor, Brondong, Lamongan atau desa-desa muslim lain, telah bertransformasi sebagai media dakwah yang mengingatkan kita dengan pilihan cara dan strategi dakwah para Walisongo. Yang berhasil menemukan-mengawinkan nyawa budaya dan inti terdalam ajaran agama islam. Ijtihad dakwah itu terbukti berhasil tanpa harus menimbulkan pertentangan serius atau bahkan mengalirkan banyak darah sebagaimana yang terjadi di wilayah timur tengah hingga dewasa ini.
Melalui kesenian dan kebudayaan sejenis, para wali membangun metode dakwah bercorak sufistik, menawarkan sudut pandang baru yang tidak hanya sebatas benar dan salah. Namun juga mengajari masyarakat menemukan makna hidup yang sebenarnya.
Buku Alur Alun Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan (1952-2019)
Saya pribadi merasa terkesan dengan cara penulis menyajikan data, merunut rangkaian peristiwa-peristiwa yang berlangsung sepanjang Tanjidor mengalun di Desa Lembor. Terutama metode dan cara pengungkapan hasil dengan bahasa yang cenderung bisa diterima semua kalangan. Hal lain yang tak kalah mengesankan adalah keberhasilan penulis memaparkan kenyataan yang berada di luar jangkauan asumsi-asumsi banyak orang terkait Tanjidor di Lamongan, terlebih di Desa Lembor.
Buku ini tidak tebal. Hanya 160 lembar. Tapi proses penulisannya melewati jalan yang terjal dan penuh kelok. Kurang lebih 10 bulan, sang penulis berjibaku di bawah terik matahari, menyusuri panas aspal sepanjang jalan raya Kalitengah, Brondong sampai Ujungpangkah, Gresik. Menemui para sepuh seniman yang tersisa untuk melakukan wawancara.
Benar saja, proses jarang sekali menghianati hasil. Buku ini lahir dengan cerita yang berwarna. Barang kali perlu saya katakan, tanpa buku ini, bisa saja kesenian tanjidor di Desa Lembor tidak lagi diketahui bagaimana dan dari mana asalnya. Buku ini cukup berhasil menjelaskannya.
Tentu saja kekurangan tetap ada, semisal hasil wawancara yang barangkali perlu ditulis dengan menggunakan bahasa masyarakat secara apa adanya, agar kesan lokalitas tersampaikan, dalam buku ini hal tersebut tidak tampak.
Meski demikian, kekurangan tersebut tidak mengurangi penghargaan bagi penulisnya.
Sebab pada kenyataannya, kajian tentang Kesenian-Budaya rakyat dengan peradaban Islam yang mengambil kajian desa sebagai obyeknya, (sebatas pengetahuan saya) sangat jarang dilakukan. Meskipun sudah banyak orang mengamini, melalui desa-desalah peradaban Islam tumbuh. Tentunya, fakta yang demikian itu sangatlah menarik apabila kajian-kajian tersebut berhasil disusun menjadi buku seperti buku ini.
Pada titik ini, saya melihat kesungguhan yang cukup besar penulisnya, sehingga buku ini bisa lahir. Sebab harus diakui, bahwa buku yang mengulas seputar desa masih sangat lemah. Ini disebabkan, bisa jadi karena urusan semen, pasir dan batu lebih penting dari catatan seputar desa menjadi buku. Dengan kata lain, mayoritas desa lebih butuh pengecoran daripada penulisan tentang masalalu dan asal usul sebuah desa.
Akhirnya, hadirnya buku ini diharapkan mampu menjadi jembatan penghubung antara generasi muda (baca: Milenial) yang saat ini lebih menikmati dan menghayati kesenian asing kontemporer dari pada menikmati minimal menghayati (untuk tidak mengatakan lupa) produk dari cipta, rasa dan karsa seniman dan pelaku kebudayaan leluhurnya sendiri.
Dalam hal ini, barangkali perlu diajukan sebuah pertanyaan kepada kita semua: kapan terakhir kali kita mendengar alunan musik tradisional di desa kita masing-masing?
Judul buku : Alur Alun Tanjidor Lembor, Brondong, Lamongan (1952-2019)
Penulis : A.H J Khuzaini
Penerbit : Russa
Tahun Terbit Beserta Cetakannya : Cetakan kedua, November 2019
Tebal Buku: xx+160 Halaman
ISBN: 978-602-7095-92-2
https://radarbangsa.co.id/alur-alun-tanjidor-sebuah-usaha-permulaan-penulisan-kesenian-tradisional-rakyat-yang-merdu/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar