Jo Batara Surya *
Sewaktu mengikuti acara
bedah buku karya penulis Muhammad Muhibbuddin dari Jogjakarta. Rasanya, saya
menemukan ruang-ruang lama di Mainteater Bandung, Jl. Cirateun Peuntas No.32,
Wangunsari, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, yang menjelma di Sanggar Pasir, beralamat
di Jalan Bangsalsari, Banyuurip, Mulyasari, Ujungpangkah, Gresik, tempat
kegiatan tersebut dilangsungkan.
Pemaparan dari penulis saya
rasakan cukup dalam disaat menelaah perjalanan seorang besar W.S. Rendra. Muhib
telah berhasil menyuguhkan sosok sastrawan kelahiran Solo itu dengan pandangan natural,
yakni apa-adanya bersegala prosesi kesehariannya; proses pencarian dirinya
dalam berkarya, penajaman intelektual, pergumulan pada teater, hingga
intuisinya sangat cadas memahami esensi spiritual.
Teranglah salut atas
proses penulis yang setia berada dijalur keterbatasan yang saya dengar sendiri
dari pembedah buku, seorang penyair yang cadas pula; Nurel Javissyarqi. Nurel tidak
terlalu masuk pembahasan ke dalam buku, namun lebih membedah proses kreatif penulis
yang sudah melahirkan banyak karya. Terlepas itu, Nurel mengakui sosok Rendra
memiliki energi sangat besar. Dari sini, inginlah langsung pada pembahasan
menurut kacamata saya mengenai Sang Burung Merak.
WS Rendra yang Out of the
box
Jika melihat dari daftar
nama penyair Indonesia, Rendra salah satu penyair yang mempunyai perjalanan
hayati sebagai sastrawan yang hidup dalam beberapa era, mulai Zaman Penjajahan
(menyongsong Kemerdekaan NKRI), Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Sekecilnya
di zaman OrLa dan OrBa, Rendra tetap hadir sebagai diri yang tangguh tidak
terhanyut seperti lainnya; ia menantang segala kesangsiannya dimasa Presiden Soekarno
juga Soeharto. Rendra menjelma penyeimbang kesadaran sosial politik di masanya,
inilah pandangan yang jarang kita temukan dari para sastrawan. Rendra lebih memilih
(mengambil) jalan terjal sebagai lelangkah laku kematangan untuk karya-karyanya,
demi bangsanya juga bagi alam semesta.
Rendra berhasil menemukan
keresahannya dalam meracik perubahan hingga dinamai pembaharu (meskipun sebutan
itu ditolaknya). Dan saya melihatnya memakai metode lingkaran dari titik nol berjalan
menuju angka 1, 2, seterusnya, lalu kembali dalam angka nol tanpa gengsi; walau
sudah melewati ratusan hingga jutaan hikmah yang mendewasakan. Atau Rendra tak
segan bersikap seperti anak kecil menghadapi realitas kekanak-kanakan dengan
bekal ketajaman intuisi serta intelektualnya; ini bisa dilihat di lembar-lembar
karyanya sangat mengena realitas tanpa basa-basi, mendobrak skat-skat
pembodohan, penindasan, dan ketidakadilan hidup.
W.S. Rendra dan Global
solidarity
Pandangan Rendra yang universal
mencapai aspek-aspek estetika karya; sosial, politik, tradisi, kemanusiaan, kesemestaan
hingga keTuhanan, merupakan bukti dirinya memiliki energi besar. Saya pikir,
sastrawan yang hanya berkutat di satu aspek saja, tidak mungkin sanggup membaca
kekuatan energi Rendra. Penempaan di berbagai dimensi hidup, telah menghasilkan
visioner pandangan jauh melampaui penyair-penyair lainnya.
Rendra begitu lengkap,
jika menelusuri perjalanan juangnya, memulai dirinya dari setetes air yang
bertarung dalam arus sungai deras, lalu tiba di samudra, lantas ditempa kembali
ombak kehidupan; mulai dari keluarga, pencarian Tuhan, hingga aplikasi kesadarannya
yang susah menerimanya. Jika salah satunya, sebab Rendra seorang mualaf, maka negri
(bangsa) ini belum bisa menembus ketinggian pemikirannya. Buktinya, kita tak
mempunyai hari W.S Rendra, yang ada hanya hari untuk Chairil Anwar. Kita memang
belum siap bertanding di medan keluasan disiplin ilmu, dan masih asyik mencari
titik aman di tengah arus zaman menuntut perubahan, yang akhirnya sumbangsi
seniman tidak lagi terasa serupa di zamannya Rendra yang membara dalam
kesadaran.
Kecerdasan seniman,
apakah penyair, pelukis, musisi, bagi saya saat ini seperti masuk kotak-kotak
tertentu, sehingga pola pikirnya terbentuk dari sebuah kotak kepentingan (pesanan).
Tapi saya terus meyakini, tidaklah semua seniman seperti itu, kita masih
memiliki spirit yang Rendra tinggalkan, yakni menjunjung tinggi kebenaran, dan keadilan
bagi kehidupan. Dan generasi kini seolah tidak akan ada yang mampu melampaui,
minimal menyamai Rendra, ketika masih asyik mengamini bersegala pembodohan terjadi
dalam realitas, dikarena karya seorang Rendra ialah cerminan dari realitas itu
sendiri.
***
Sayangnya, saya tak dapat
mengikuti acara bedah buku tersebut di malam harinya oleh suatu hal, diadakan di
Kedai Kopi Sastra, Jln. Raya Ketanen, Sono, Siwalan, Panceng, Gresik, yang
terlihat semarak seperti dikabarkan Zuhdi Swt lewat facebooknya, karena dihadiri
komunitas-komunitas teater sekitarnya; Teater Ndrinding, Teater DonKrak, Teater
Barongan, Teater EKSIS, Teater MODEL, Teater Sakalentang, Teater Saroeng,
Teater Ilat, dll. Inilah foto-foto yang merekam kemeriahannya.
*) Seniman asal Bandung
yang tinggal di Lamongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar