Sabtu, 08 Februari 2020

2 Cerita Mini tentang Kolonialisme Karya Ahmad Yulden Erwin *

1. KAKEKNYA

Semarang, 1927. Tepat tiga hari setelah Chiang Kai Sek menggorok leher kaum komunis di Cina, kakeknya yang bertulang punggung tegap laiknya Homo Soloensis, nekat mendaftar jadi anggota Partai Komunis Indonesia (di bawah pimpinan utusan rahasia Komintern, Paul Mussotte), di kota Semarang.

Kenekatan kakeknya menjadi anggota PKI, partai yang baru setahun berdiri serta gagal total melakukan pemberontakan di Jawa dan Sumatera, awalnya dilandasi semacam rasa dendam yang aneh, karena istrinya—juga sawahnya—telah dirampas oleh seorang meneer Belanda. Sentot Kidri, kakeknya itu, yang konon masih segaris keturunan dengan Panglima Sentot Alibasya dalam perang Diponegoro, mulanya hanyalah seorang tuan tanah yang santun. Laiknya para priyayi level menengah di Jawa ia pun memiliki dua puluh bidang sawah. Namun, setelah pemerintah kolonial Belanda memaksa para petani dan tuan tanah untuk menanam tebu, Sentot Kidri menolak dan memutuskan menjadi aktivis kiri radikal.

Bersama deru kereta uap pengangkut batang tebu, simbol industrialisasi pertama di Jawa guna memuaskan hasrat para meneer akan rasa manis, maka lidah kakeknya yang kerap diserang rasa pahit secara fantastik bertransformasi menjadi lidah api. Kemudian, dari bintik-bintik di ujung lidah api itulah muncul titik-titik api yang menyimpan percik paling panas di bawahnya, yang kelak tanpa ampun akan membakar ladang-ladang tebu milik Ratu Wilhelmina di selatan Kota Semarang.

Muasal lidah api itu tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi hasil proses penggodokan sistematis dari kursus politik di partainya. Setelah Sentot Kidri mendaftar menjadi anggota PKI di Semarang, dimulailah hari-hari padat jadwal kursus politik yang dilakukan sembunyi-sembunyi, hari-hari baru yang penuh gairah intelektual Eropa. "Fajar baru akan terbit di tanah Hindia ini, Sentot!" Itulah kalimat pertama yang didengarnya dari Semaun, mentor politiknya, seorang aktivis buruh kereta api yang pernah menjadi Ketua Committee Central PKI.

Selanjutnya, hari-hari Sentot Kadri diisi dengan tembakan-tembakan senapan yang meletus dari ujung mata penanya. Ia menjadi wartawan Koran Serikat Merah, koran partai yang selalu menggelorakan perlawanan terhadap kolonialisme: Boeroeh Kereta Api Moesti Mogok! — Boeroeh Tani Keboen Teboe Djangan Maoe Coema Djadi Kebo Belanda! — Ganjang Itoe Kaoem Bordjoeis Djawa Antek Kolonial! — Kita Orang Boekan Anjing Para Meneer! — Djalan Baroe, Mari Bebareng Bergerak! Begitulah, hanya dalam waktu lima bulan, Sentot Kidri telah melahirkan puluhan tulisan penuh aroma kebencian terhadap borjuasi dan kolonialisme di tanah Jawa. Hingga suatu kejadian, yang bermula dari satu pancuran bambu, membuatnya mengamuk bagai banteng terluka dan membakar ladang-ladang tebu pemerintah kolonial Belanda. Ia pun ditangkap dengan dua rusuk patah dan satu codet di keningnya.

Semua kejadian itu bermula ketika Sentot Kidri mendapat penugasan khusus melakukan pengorganisasian buruh tani perkebunan tebu di Dusun Sekaten (percayalah, kau tak akan menemukan dusun ini sebagai titik hitam pada peta di pulau Jawa, karena yang tersisa kini hanyalah ladang-ladang tebu, tepatnya bekas ladang-ladang tebu), di selatan Kota Semarang. Suatu penugasan pengorganisasian massa pertama yang ia terima dengan suka cita dari ketua partai, Paul Mussotte, yang juga salah satu mentor politik paling dikaguminya. Penugasan itu jelas bukanlah penugasan konyol, apalagi setelah pencidukan besar-besaran para aktivis politik akibat kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926, karena sang ketua partai dengan kematangan pikiran hasil pertobatan ideologisnya di Moskow, telah merancangkan satu penugasan rahasia bagi Sentot Kidri dengan kamuflase peliputan berita Koran Serikat Merah.

Hal yang sama sekali tak diduganya dalam penugasan revolusioner itu adalah guyuran air-cinta yang luar biasa sejuk, mengalir dari pancuran bambu, menyentuh cahaya fajar pertama yang menyusup dari celah daun-daun akasia, dan memercik ke jantungnya. Lalu dapat kaubayangkan bagaimana aktivis kiri radikal itu tiarap ke tanah, mengendap di balik semak, menatap kemurnian tubuh sintal seorang gadis remaja di antara suara ricik pancuran bambu. Itulah tatapan aneh yang membuat Joko Tarub tega mencuri selendang seorang bidadari yang tengah mandi di sebuah telaga. Dan kini ia seolah menjadi Joko Tarub yang lain, di bawah air terjun yang lain, yang lebih kecil, tetapi dengan tingkat keterpanaan yang sama dahsyatnya. Lalu, suara terpekik itu! Jeritan terkejut gadis sintal berkulit sawo matang itu meluncur begitu murni dari tenggorokannya, membuat nada-nada pentatonis menari-nari di antara pita suaranya: Siapa di situ? Siapa sembunyi di semak-semak itu?

Kali ini, dengan keberanian genetik khas Panglima Perang Sentot Alibasya, bangkit berdirilah Sentot Kidri dari balik semak, memancarkan seringai khas macan akar, lantas berkata dengan suara agak berat: Maaf, saya tidak tahu kalau ada yang sedang mandi di sini.

"Apa kamu tidak tahu di sini bukan tempat mandi laki-laki?" bentak gadis itu. "Tempat mandi kamu di sana, di bawah pohon jati itu."

Joko Tarub Dadakan, yang tak menyangka akan mendapatkan jawaban polos seberani itu, terbata menjawab: Maaf, saya keponakan Pak Dali. Saya baru kemarin malam datang dari Kota Semarang.

Dengan berkacak pinggang bidadari pancuran bambu itu berkata: "O, keponakan Mbah Dali. Ya sudah, cepat pergi sana, sebentar lagi ibu-ibu akan mencuci baju di sini!"

Joko Tarub Dadakan yang sepenuhnya telah kikuk merespon dengan gagap seperti seekor anjing kampung yang baru saja ditimpuk: Maaf, maaf, maaf.

Sekilas ia masih sempat menoleh ke belakang, menatap wajah oval kedondong bidadari pancuran bambu dengan sudut matanya, sebelum ia tersandung akar pohon entah apa (Sial! umpatnya dalam hati) dan membuat tawa berderai gadis sintal itu menderas bersama aliran sungai kecil di tepi hutan kecil. Kini Joko Tarub Dadakan merasa pasti ia telah jatuh cinta untuk kedua kalinya.

Namun, beginilah akhir dari kisah itu: gadis pancuran bambu, kekasih revolusioner Joko Tarub Dadakan, tewas setelah diperkosa dengan keji oleh empat serdadu pribumi Kerajaan Belanda. Dan, masih dalam nuansa politik etis, Joko Tarub Dadakan akhirnya dihukum kerja paksa dan dipenjara, sebagai konsekuensi atas tindakan kalapnya membakari ladang-ladang tebu di selatan Kota Semarang. Begitulah, tiga tahun kemudian, Sentot Kidri mati di penjara dengan tubuh kurus kering. Mayatnya dilempar ke jurang bagai bangkai anjing.

_____________________



2. PARA PEMAKAN BANGKAI

30.000 tahun setelah para pemakan bangkai itu meninggalkan gua-gua, mereka masih juga tertipu oleh yang-bukan-rahasia.

_____________________
*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandarlampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).
http://sastra-indonesia.com/2020/02/2-cerita-mini-tentang-kolonialisme-karya-ahmad-yulden-erwin/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar