Christopher
Colombus, tokoh utama novel ini (Lain
Waktu, Elex Media Komputindo, 2019) menyapa pertama kali dengan dibangunkan
oleh Elizabeth, ibunya, dengan kalimat yang cukup menghentak; “Le, bangun, Le,” (hal. 1). Bagaimana tidak, nama Christopher Colombus dengan ibu
bernama Elizabeth namun ditandai dengan kata panggilan; “Le”?
Bagi
publik penikmat sastra Indonesia, terlebih yang pernah membaca karya-karya
berlatar Jawa, kata panggilan “Le” merupakan diksi komunal yang acapkali
digunakan oleh orang yang lebih tua untuk menyebut generasi yang lebih muda
yang menyiratkan kedekatan, keakraban, kasih sayang, kepedulian, juga
perhatian. Meski, tak dapat dipungkiri, diksi ini terkadang menyiratkan pesan
sindiran satir dalam konteks percakapan tertentu.
Hentakan
di awal ini merupakan satu dari sekian benturan yang coba dicipta-tawarkan oleh
seorang Hilmi Abedillah melalui novel karyanya yang berjudul Lain Waktu (2019). Selanjutnya, berlaksa
benturan jatuh bertubi-tubi, meruah, dan saling menindih dengan kehadiran
nama-nama tokoh lainnya seperti Marco Polo, Srikandi, Siti Hajar, Margareth,
Pak Dhe, Margono, Kenshin, Bil Gates, Geronimo, dan masih banyak lagi.
Nama-nama
tersebut merupakan sederet teks mapan dalam khazanah pengetahuan masyarakat
pembaca kita. Marco polo adalah nama tokoh penjelajah samudera di era Gold, Glory, dan Gospel, menjadi diraja motivasi penjelajahan dunia. Srikandi
merupakan nama salah satu istri Arjuna dalam kisah pewayangan Mahabharata.
Sedang, nama Siti Hajar telah dipahami publik kita sebagai nama salah satu
istri Nabi Ibrahim AS dalam Al Qur’an.
Rangkaian
peristiwa di dalam novel ini, selanjutnya, memporak-porandakan kekaprahan pengetahuan pada teks-teks tersebut dengan
membenturkannya dengan hal-hal yang tidak berkorelasi. Semisal, ketika Bill
Gates kebingungan memilih nama buat anaknya yang belum lahir, nama Adol Hitler
disebut sebagai nama tetangga mereka yang meninggal karena kurapan. Dan atau,
ketika istri Bill Gates meninggal, istrinya yang biasa dipanggil “Sis” saja
ternyata namanya bukan “Sisilia” seperti yang dikira Colombus dan Pak Dhe.
Namanya, adalah “Siskamling”, sebuah diksi yang kaprah dalam publik kita
sebagai akronim dari ‘Sistem Keamanan Lingkungan”, dan bukanlah lazim untuk
sebuah nama.
Benturan
yang dihadirkan penulis novel ini semakin rumit ketika latar waktu yang
mengikuti nama-nama teks mapan yang dipergunakan sebagai tokoh cerita saling
tumpang tindih tidak karuan. Hingga, sukar ditentukan; kapan cerita novel ini
terjadi? Sesuatu yang membenarkan tulisan endorsemen Ahmad Tohari di cover
belakang buku ini bahwa penulisnya tengah mempermainkan matra ruang dan waktu.
Saya
sempat memelihara pendapat bahwa aksi memporak-porandakan kekaprahan ini semata
dilakukan penulisnya untuk menunjukkan (boleh dibaca; ‘memamerkan’)
pengetahuannya tentang teks-teks mapan yang mengikuti nama-nama. Akan tetapi,
pemeliharaan saya pada pendapat tersebut dimentahkan penulisnya dengan nukilan
yang menyinggung tentang Shakespeare berikut ini:
“Lah, itu
yang namaanya nama. Nama itu asal enak didengar. Nama tidak bisa diartikan
dengan kaidah bahasa, walaupun sejatinya diambil dari bahasa. Microsoft itu
nama yang keren, lho,” kata Bill Gates.
“Kau
salah, nama seharusnya punya makna,” bantah Colombus.
“William
Shakespeare, seseorang yang di dunia nyata adalah penulis, pernah berkomentar
soal nama.”
“Bagaimana kau bisa mempercayai dia. Dia orang nyata, sedang kita
hanyalah fiksi,”
“Apa arti
sebuah nama. Batu disebut batu atau yang lain, tetap saja keras. Air disebut
air atau yang lain, tetap saja lembut. …
(Lain Waktu,
2019:18-19)
Hingga saya tiba pada pendapat bahwa tentang nama
terselip motif lain dari penulis, tidak semata menunjukkan pengetahuan.
Ditandai dengan penyebutan nama Shakespeare dengan quote terkenalnya tentang nama tersebut.
Motif
lain ini serupa pemberontakan terhadap sesuatu yang benar-benar telah mapan di
dalam masyarakat –termasuk di antaranya logika- sebagaimana ikon yang melekat
pada karya-karya sastra bernuansa absurd. Bukankah kata ‘absurd’ sendiri
berarti ‘tidak masuk akal’, ‘mustahil’ (https://kbbi.web.id/absurd).
Pemberontakan penulis melalui novelnya ini bisa jadi belum seliar kredo puisi
Sutardji Chalzoum Bachri terhadap makna kata yang terstruktur dan
di-semiologi-kan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913), mengingat dirinya
masih setia mengakui kekaprahan pemaknaan oleh publik bahwa Kenshin adalah
seorang samurai dan ahli menggunakan Katana secara terbalik (Hiten Mistsurugi). Juga, Margono yang
merupakan nama lain dari tokoh wayang Arjuna, yang piawai dengan busur dan anak
panah. Mungkin akan menjadi sangat liar apabila nama Kenshin adalah nama seorang
penggali kubur atau seorang pelaut tangkas.
Lepas
dari perspektif kadar pemberontakan tersebut, satu hal yang mencuri perhatian
adalah banyaknya dialog yang melompat-lompat ke sana ke mari. Namun,
menghadirkan pesan-pesan mendalam yang layak diperjuangkan sebagai quote-nya seorang Hilmi Abedillah,
sebagaimana harapannya di Kata Pengantar. Entah karena terinspirasi Pidie Baiq
lewat Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun
1990, Dilan Bagian Kedua: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991, dan Milea: Suara Dari Dilan, ada beberapa
nukilan novel ini yang memenuhi 1000 syarat untuk di-quote-kan. Di antaranya
adalah;
“Setiap
nama adalah doa. Kau memang tak bisa mengubah awan jadi hitam. Karena awan
memang terlahir untuk jadi putih. Tetapi kau tidak tahu, anakmu dilahirkan
untuk jadi apa. karena itu kau perlu memberinya makna yang menjadi doa.”
(Lain Waktu,
2019:19)
Kerja
keras dan keras kepala sama-sama keras. Lebih keras daripada benda paling
keras, batu, atau baja.
(Lain Waktu, 2019:74)
Walaupun
dia hebat, masih ada yang lebih hebat. Di atas langit masih ada langit. Begitu
pula di dalam tanah, masih ada tanah.
(Lain Waktu,
2019:106)
Rumahmu
perlu direnovasi menjadi rumah tangga. Kita akan hidup bersama menjamin
keberlangsungan yang membawa nasihat-nasihat orang tua kita.”
(Lain Waktu,
2019:198)
Harapan saya, pembaca lain menemukan quote lain yang menyentuh hatinya usai membaca novel ini. Mungkin, di waktu
yang lain.
***
*) Penulis,
bergiat di LISSTRA.
[Disampaikan dalam acara Selasastra Boenga Ketjil #46 “Bincang Buku LAIN WAKTU” Hari Selasa, 18 Februari 2020, Pukul 19.30 – 22.30 WIB, di Warung Boengaketjil, Parimono V/40 Plandi, Jombang, Jawa Timur]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar