Minggu, 16 Februari 2020

Kesusastraan Tanpa Kehadiran (Apresiasi) Sastra

M. Taufan Musonip
Lampung Post 17 Maret 2013

Secara ekstrem apakah dapat dikatakan sebuah krisis kebudayaan dapat disebabkan karena manusia kurang memerhatikan sastra sebagai produk kebudayaan di antara produk lain yang berkembang dalam masyarakat?

Sastra Tanpa Kehadiran Sastra sebagaimana ditulis oleh Wiratmo Soekito (Sastra dan Kekuasaan: 1984) dalam kacamata hari ini bisa jadi merupakan gambaran kondisi masyarakat yang dilingkupi karya sastra, pada situasi tanpa keterjalinan komunikasi, sehingga gagasan-gagasan yang dibangun dalam sebuah karya sastra mengenai kebaikan, melalui hantaran daya estetik belum menjadi tempat rujukan lain dalam usaha membangun pencerahan.

Simak saja misalnya telaah Ikram dalam Filologia Nusantara terhadap empat karya naskah sastra kuno dalam dua bab, diantaranya Hikayat Sri Rama, Hikayat Pocut Muhamat, Serat Panji Jayakusuma dan satu bab mengenai Cerita Panji, tentang adanya kandungan makna soal kekuasaan yang langsung dihadapkan dengan narasi modern tentang kepemimpinan. Sebenarnya bisa menjadi semacam inspirasi bagi kehidupan politik hari ini yang menurut Ikram jika merujuk pada Sarachek, dalam poin kepemimpinan sebagai siasat dan tipu daya, tak bisa didapatkan dalam tiga naskah kuno itu.

Tapi jangankan sastra lama yang sulit dijangkau dan terkadang dianggap kolot itu, kehadiran sastra kontemporer pun terlihat masih kurangnya minat, apa sebab?

Tiga Sebab

Kalangan sastra pun banyak yang mengatakan bahwa bangsa ini lahir dari tradisi lisan, padahal jika menengok sejarah Sastra Nusantara, tradisi tulis bangsa Melayu bahkan tercatat dimulai sejak abad 6 M, dalam prasasti Telaga Batu  (Mu’jizah, 2012). Indonesia juga punya naskah sastra terpanjang di dunia yaitu La Galigo dari Bugis, Syair-syair hamzah Fansuri, saduran/salinan naskah-naskah kuno dan penulisan cerita rakyat (folklor) di beberapa daerah. Pada masa penjajahan, Indonesia juga meneruskan tradisi membaca melalui terbitnya koran Medan Prijaji  sebagai rintisan Tirto Adhi Surjo dan beberapa karya sastra yang ditulis Moehamad Moesa seperti Panji Wulung dan beberapa wawacan, di daerah Garut Jawa Barat. Sedang pada masa menjelang kemerdekaan tradisi tulis dapat dibuktikan dengan terbitnya karya-karya yang ditulis diluar konvensi Balai Pustaka sebagai penerbit corong pemerintah kolonial, di antaranya ada nama Kwee Thiam Tjing yang banyak menulis esai satire dalam bahasa melayu pasar, di Surabaya, karyanya telah dikumpulkan dalam Tjamboek Berdoeri Indonesia: dalem Api dan Bara (1972), tulisan Kwee kebanyakan seputar perlawanan terhadap otorarianisme pemerintah kolonial bahkan terhadap kaum tionghoa-Indonesia yang sangat kooperatif terhadap penjajah (BR O’Gorman Anderson, dalam Kosmopolitanisme Kolonial: Etnohistori.org).

Sastra merupakan ruang yang menampung segala peristiwa, ketika koran dan majalah kekurangan ruang menuliskannya. Tak ayal pada masa-masa sulitnya pergerakan pers, maka karya sastra paling depan mencatat berbagai peristiwa melalui caranya sendiri, walaupun terdapat resiko besar di dalamnya, sebagaimana dialami para pengarang di masa-masa pemerintahan otoriter. Pada masa kebebasan kreatif sekarang ini, tentunya sastra tak pernah berhenti membicarakan banyak hal, hanya saja kali ini dia kehilangan apresiasi pembaca, yang pada sejarahnya disebabkan oleh adanya kekuatan politik yang mempengaruhinya di antaranya sebagai berikut: (1) masa awal kolonialisme dan ekspansi bisnis kaum eropa yang mengatakan timur sebagai jaman kegelapan, dengan merujuk pada studi antropologi Radcliffe-Brown (2012, dalam etnohistori.org), yang menyebut studinya sebagai antropologi tanpa sejarah, demi kepentingan perluasan wilayah jajahan. Histori-antropologi hanya memungkinkan adanya dokumen bagi pembelajaran perkembangan kebudayaan manusia,  sementara masyarakat timur hadir tanpa tradisi tulis, oleh karenanya terbelakang. Klaim itu kemungkinan tercipta karena munculnya semangat pencerahan jaman Descartes, dan ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg, kemudian menepuk dada sendiri: “di luar Barat tak ada peradaban”.

(2) masa kolonialisme terutama pada masa politik etis, yang hendak menyatukan dua benua secara berjauhan (Belanda dan Indonesia) dengan bias politik balas budi penjajah salah satunya melalui pendirian Komisi untuk Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Volkslectuur), membentuk kasta buku bacaan, karya sastra yang lahir di luar lembaga itu disebut sebagai bahan bacaan dari kaum rendahan. Lembaga penerbitan yang kelak akan bernama Balai Pustaka itu menasbihkan diri sebagai satu-satunya menara pergerakan sejarah sastra Indonesia, diperkuat oleh statemen Sutan Takdir Alisyahbana tentang kebudayaan Indonesia baru dengan mengubur kelanjutan sejarah Indonesia masa lalu. Oleh karenanya Sastra-sastra lama kemudian menjadi nisan kuburan tradisi tulis nenek moyang Indonesia.

(3) Kehadiran Balai Pustaka tentu tak mengubur aktifitas sastra  di luar arus mainstream hingga paska kemerdekaan, akan tetapi pada masa orde baru gairah itu ditumbangkan dengan  pembreidelan buku dan media massa yang tak sejalan dengan kebijakan politiknya. Minat baca masyarakat tergusur dalam hal ini karena tradisi kritik sosial dalam sastra kemudian absen.

Poin (1) dan (2) memungkinkan adanya masyarakat baca yang sengaja dihapus dalam sejarah -sebagai kekuasaan- untuk melekatkan cema pada bangsa kita, sebagai bangsa yang dilahirkan tanpa tradisi tulis. Sementara pada poin (3) selain kuatnya pencemaan di atas, memang terjadi pengalihan secara struktural dari masyarakat baca menuju lisani. Oleh karenanya perlu digiring kembali budaya baca itu melalui kanal sastra sebagai teks yang memiliki kandungan pencerahan dan hiburan sekaligus.

Proses

Memang ada proses yang mesti dijalani -selain pendekatan sejarah tradisi tulis di Indonesia- dimulai dari perlunya retrospeksi adanya berbagai konvensi sebagai tandingan dari menara mahzab yang pada saat ini menjulang berdiri. Mahzab itu masih seputar karya sastra sebagai “seni untuk seni” berhadapan langsung dengan budaya populer sebagai jerat kegairahan membaca.

Sebuah keadaan yang menuntut digelarnya kembali sejarah hujah antar konvensi dari landasan mimetik, pragmatisme dan sosiolinguistik terhadap kajian formalisme dan close reading sebagaimana pernah terjadi pada masa lalu dalam sastra dunia. Untuk menggairahkan itu perlu dibuka kembali tradisi kritik sastra yang selama ini pingsan setelah buku Sebuah Pertemuan karya Arif Budiman terhadap Chairil Anwar termasuk kritik Dami N Toda kepada tiga buku novel Iwan Simatupang itu. Hadirnya konvensi-konvensi sastra dalam diskursus kritik sastra menerbitkan warna-warna baru penulisan sastra, pararel dengan penciptaan berbagai horison harapan pembaca. Akan tetapi tantangan terberatnya justru bagaimana mengimbangi budaya populer yang semakin mencengkram akhir-akhir ini, oleh itu mungkin diperlukan semacam konvensi baru sastra Indonesia, muncul dari tradisi kritik yang mulai dibangun kembali.

Cikarang, 20 Februari 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar