Kamis, 23 April 2020

ASRUL SANI: KONSEPTOR SURAT KEPERCAYAANG GELANGGANG

Maman S. Mahayana *

Ketika kita bicara soal Polemik Kebudayaan, serta-merta nama yang segera muncul dalam ingatan kita adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Tokoh inilah yang menggelindingkan perdebatan kultural saat bangsa ini dilanda kegandrungan romantisisme. Harapan untuk mendirikan dan merumuskan kebudayaan Indonesia menjadi sebuah keniscayaan yang mengejawantah di dalam perjuangan politik pergerakan dan berbagai gagasan mengenai kebudayaan Indonesia. Nama Alisjahbana lalu menjadi semacam mitos dalam perjuangan kebudayaan.

Selepas merdeka, tepatnya pertengahan 1946, atas usaha Chairil Anwar bertemulah sejumlah seniman, antara lain, Asrul Sani, Baharuddin, Basuki Resobowo, Henk Ngantung, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, Mochtar Apin, dan M. Balfas. Mereka berkumpul untuk merealisasikan pendirian perkumpulan kebudayaan (kunstkring) Gelanggang Seniman Merdeka. Pada tanggal 19 November 1946, lahirlah preambul Gelanggang. Perkumpulan ini kemudian mengklaim diri sebagai Generasi Gelanggang.

Dalam preambul Anggaran Dasarnya itu, dinyatakan bahwa Generasi Gelanggang lahir dari pergolakan roh dan pikiran yang sedang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian bangsa ini. Oleh karena itu, ia harus melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk. Ia juga harus berani menentang pandangan, sifat dan anasir lama itu untuk menyalakan semangat dan bara kekuatan baru. Secara padat, semangat, elan, dan sikap Generasi Gelanggang ini lalu dirumuskan dalam sebuah surat terbuka yang diberi nama Surat Kepercayaan Gelanggang, bertarikh 18 Februari 1950, hampir setahun setelah Chairil Anwar meninggal.

Siapakah sesungguhnya konseptor di balik perumusan Surat Kepercayaan Gelanggang itu? Apa pula signifikansinya sehingga Surat Kepercayaan Gelanggang akhirnya dipublikasikan, justru setelah Chairil Anwar meninggal dan hampir empat tahun setelah berdiri Gelanggang Seniman Merdeka?

Sebelum pemuatan Surat Kepercayaan Gelanggang dalam Siasat, 22 Oktober 1950, Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani menerbitkan sebuah antologi bersama yang berjudul Tiga Menguak Takdir (1949). Seperti pisau bermata dua, buku ini secara idealis, menolak konsepsi kesusastraan baru Pujangga Baru dan sekaligus menentang gagasan Alisjahbana tentang kemutlakan menatap Barat. Yang hendak ditekankan angkatan ini adalah harga diri untuk tidak menerima secara membuta-tuli semua yang datang dari Barat. Tetapi, di lain pihak ketiga penyair ini pun sesungguhnya melanjutkan gagasan Alisjahbana itu. Periksa saja mukadimah Anggaran Dasar Generasi Gelanggang serta semangat yang melandasi Surat Kepercayaan Gelanggang. Secara jelas kita masih merasakan adanya jejak pemikiran Alisjahbana. Dengan demikian, Generasi Gelanggang bukan tanpa sadar hendak melanjutkan perjuangan Alisjahbana.

Dalam berbagai pembicaraan Angkatan 45, Surat Kepercayaan Gelanggang dianggap mewakili pendirian, semangat, dan sikap estetik mereka. Jadi, dalam hal ini, meskipun dalam soal penerimaan pengaruh Barat kita masih dapat menelusuri jejak Alisjahbana, demikian juga pandangan mengenai tradisi masa lalu yang dikatakan “tidak ingat kepada melaplap hasil kebudayaan sampai berkilat… tetapi memikirkan kebudayaan baru yang sehat,”angkatan ini tampak lebih reflektif dan berhasrat menggali kemampuan sendiri.
***

Sementara itu, publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang yang dimuat dalam Siasat, 22 Oktober 1950, terlambat hampir sembilan bulan lamanya jika melihat tarikh yang tercantum di sana. Penyiaran itu sangat mungkin dimaksudkan sebagai reaksi atas publikasi Mukadimah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dicetuskan 17 Agustus 1950. Indikasinya tampak dari beberapa faktor berikut.

Pertama, Baharudin, Basuki Resobowo dan Henk Ngantung yang semula termasuk pendiri Generasi Gelanggang, justru masuk Lekra. Menyusul kemudian Rivai Apin, tercatat menjadi anggota pada sekretariat pusat Lekra. Dengan sendirinya, mereka tidak dapat lagi mewakili Generasi Gelanggang. Baharudin, misalnya, dalam sebuah artikelnya yang dimuat Spektra, II, 9, 29 September 1950, mengatakan: “Kewajiban seni adalah mendidik dan dalam hiburan mempunyai satu tujuan yang tegas yaitu kegembiraan kerja dan semangat perjuangan rakyat.” Di bagian lain, dengan tegas ia juga menolak gagasan humanisme universal yang pada awalnya justru merupakan sikapnya dalam ikut melahirkan Gelanggang Seniman Merdeka.

Kedua, secara ideologis, Lekra berseberangan dengan Generasi Gelanggang. Pertentangan ini sesungguhnya terjadi karena memang Lekra dan Generasi Gelanggang berpijak pada pandangan yang berbeda mengenai kesusastraan dan kesenian pada umumnya. Lekra berangkat dari gagasan realisme sosialis yang menuntut keberpihakan seniman pada rakyat dan menempatkan politik sebagai panglima. Generasi Gelanggang menganjurkan humanisme universal, kemanusiaan sejagat, tanpa memandang status sosialnya. Sedangkan urusan politik dan kesenian (kesusastraan) adalah persoalan yang tidak perlu saling mencampuri. Kebudayaan tidak perlu terlibat dalam urusan politik. Pembelaan budayawan hanyalah pada nilai-nilai kemanusiaan universal.

Ketiga, kemajuan Lekra yang begitu luas memasuki sejumlah kota besar di Indonesia setelah beberapa bulan pendiriannya, jauh lebih bergema dan berpengaruh dibandingkan kiprah Generasi Gelanggang. Setidak-tidaknya, pengaruh itu diukur berdasarkan gencarnya publikasi sastrawan Lekra dan bertumbuhannya cabang-cabang Lekra berikut berbagai organisasi keseniannya. Beberapa bulan setelah pendirian Lekra, misalnya, di Surabaya, Yogyakarta, Medan, dan Bandung telah berdiri cabang-cabang Lekra yang disemarakkan pula dengan berbagai kegiatan keseniannya. Setelah itu, kemudian berlanjut dengan munculnya cabang-cabang Lekra di sejumlah kota di pulau Jawa dan luar Jawa. Prestasi ini diikuti pula oleh usaha penerbitan. Zaman Baru, Republik (Surabaya), Harian Rakjat, Sunday Courier (Jakarta) dan Rakjat (Medan) adalah media massa yang berada di bawah penerbitan Lekra yang ketika itu banyak dimanfaatkan pula sebagai corong Partai Komunis Indonesia (PKI).

Keempat, Lekra yang secara tegas menyatakan bahwa “rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan” seolah-olah sengaja hendak menanfikan keberadaan Generasi Gelanggang yang terkesan elitis. Pertentangan antara dua paham yang berbeda itu, yaitu antara golongan pendukung gagasan humanisme universal dan sastrawan Lekra yang menganut paham realisme sosialis, makin melebar dengan fitnah dan teror yang banyak bermunculan di berbagai media massa. Dalam perkembangannya, pendukung humanisme universal didukung oleh sastrawan dan seniman lainnya yang lalu mencetuskan pernyataan sikapnya yang tertuang dalam Manifes Kebudayaan. Puncaknya terjadi ketika Presiden Soekarno, 8 Mei 1964, melarang Manifes Kebudayaan. Para penada tangan pernyataan itu diberangus dan tak diberi ruang gerak apa pun.
***

Terlepas dari persoalan yang melatarbelakangi publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang, pengaruhnya sendiri yang semula kurang begitu bergema, terus bergulir dan menjadi besar justru lantaran serangan pihak Lekra. Nama Asrul Sani sebagai penulis naskah itu, seolah tetap surut di bawah hingar-bingar polemik dan bayang-bayang nama besar Chairil Anwar. Meskipun demikian, dalam pandangan sastrawan tahun 1950-an, pengaruh Asrul Sani, sama besarnya dengan Chairil Anwar, Idrus, atau Pramoedya Ananta Toer. Asrul Sani dan Chairil Anwar, tetap menempati kedudukan yang khas di mata sastrawan masa itu. Ketika desakan Lekra begitu kuat, Asrul Sani bersama Usmar Ismail kemudian mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang berinduk pada partai Nahdhatul Ulama (NU).
***

Pada tahun 1954, saat diundang Universitas Harvard untuk menghadiri seminar tentang kebudayaan, Asrul memanfaatkan kesempatan itu untuk memperdalam pengetahuannya tentang teater. Inilah awal ia terjerumus pada bidang teater. Sekembalinya dari Amerika tahun 1955, ia mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) bersama Usmar Ismail dan D. Djajakusuma. Dari sinilah ia meluaskan kiprahnya, memasuki teater dan film. Puluhan naskah drama dan film telah dihasilkannya.

Lalu bagaimana gagasan Asrul Sani tentang idealismenya membangun kebudayaan Indonesia yang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang dinyatakan sebagai “… ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.”Dalam artikelnya, “Surat Kepercayaan” (Gelanggang, I, 1, Desember 1966), Asrul tetap konsisten pada sikapnya semula: “Kita tidak menolak ‘isme’ apapun dalam kesenian… kita adalah penentang keras pendirian ‘politik adalah panglima’”. Satu hal yang penting dan tidak boleh diabaikan dalam pembangunan kebudayaan Indonesia, dinyatakan Asrul dengan kalimat: “Agama sebagai kesatuan yang merupakan pengikat dan memberi bentuk batin kesatuan kebudayaan.”

Sejalan dengan perjalanan waktu, sosok Asrul Sani terus menggelinding. Membongkar dan meneroka kebobrokan elite penguasa korup, sambil terus mengingatkan: bahwa masalah pembangunan di tanah air kita ini bukan hanya masalah uang, alat dan keamanan, tetapi terutama kualitas manusia. Dan bangsa ini hancur lantaran negeri ini dikelola oleh sebuah rezim yang berkualitas meminggirkan kebudayaan; para pemimpin yang tidak mau menempatkan pembangunan kebudayaan sebagai semangat mengangkat harga diri bangsa! Sesungguhnya Asrul telah mengingat masalah itu lewat pernyataannya dalam Surat Kepercayaan Gelanggang. Inilah kontekstualitas gagasan Surat Kepercayaan Gelanggang bagi kita.
***

Kini, salah satu tokoh penting Angkatan 45 itu, telah meninggalkan kita. Malam hari, 11 Januari 2004, Asrul Sani menghembuskan nafas terakhirnya. Meski demikian, Asrul Sani telah menaburkan banyak karya dengan konsistensinya mengusung kebudayaan sebagai salah satu bagian penting dalam pembangunan kualitas manusia. Semangatnya –seperti juga semangat Chairil Anwar—niscaya akan tetap hidup dalam jiwa manusia Indonesia yang mengusung kebudayaan sebagai teras dalam upaya mengangkat martabat bangsa. “Selamat jalan Sang Konseptor Surat Kepercayaan Gelanggang!”

_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2008/10/asrul-sani-konseptor-surat-kepercayaang-gelanggang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar