Gubuk-gubuk itu berderet di sepanjang tepian sungai.
Setiap malam menjelang, gubuk-gubuk itu makin sibuk meremang. Kesibukannya
sangat berlawanan dengan dinginnya malam pegunungan. Gubuk-gubuk itu sempit
saja, sesempit jangkauan cahaya lampu minyak, namun tempat parkirnya sangat
luas, bisa memuat puluhan truk yang mengantri pemuatan pasir dari dasar sungai.
Mesin-mesin penggali dan penyaring pasir bekerja tanpa berhenti selama 24 jam,
mesin-mesin besar dan boros bahan bakar ini harus diberi makan dari penjualan
bertruk-truk pasir. Selain memberi makan perut pemiliknya yang seperti jurang
tanpa dasar.
“Kene, pangku
kene!” kata Pardi sopir yang membawa truk besar.
“Bagaimana kabarmu, Mas Bos?” tanya Rita dengan
kemanjaan level pabrik yang sedang kepayahan.
“Kopi Cah Ayu!”
perintah Pardi.
“Kopi sama pangku?” tanya Rita.
“Kaya biasane,”
jawab Pardi pendek.
“Seket ewu,”
Rita mencoba menawar.
“Kalau cuma pangku ya dua puluh…” kata Pardi jual
mahal.
“Nanti tak bonusin,” kerling Rita.
Pardi pun mengeluarkan selembar uang lima puluh
ribuan. Dia tahu antrian pemuatannya masih panjang. Lima puluh ribu impaslah
untuk dua jam menunggu daripada sepi kedinginan di truk.
“Suamimu masih belum mau menjual pekarangannya?”
tanya Pardi, “kalau dijual pasirnya bisa beratus-ratus truk, kamu akan kaya.”
Rita menggeleng, dia ingat bahwa sudah tiga tahun
ini Saimun, suaminya, enggan melepas tanah warisan orang tuanya. Tanah di
sepanjang tepian sungai itu menarik perhatian para cukong tambang karena
kandungan pasirnya yang banyak. Sebagian lerengnya yang berbatasan dengan
sungai telah dicuri pasirnya oleh mesin-mesin pengeruk. Dalihnya tidak sengaja,
sambil membersihkan pasir yang hanyut di sungai. Tetapi erosi yang disebabkan
oleh alat buatan manusia itu telah meruntuhkan dapurnya hingga hanyut ke sungai.
Mesin-mesin yang
tak kenal lelah itu memang telah menghanyutkan dapurnya. Bersama dapurnya yang
hanyut, telah hanyut pula harga dirinya. Tanah mereka memang hanya tegalan yang
ditanami kayu dan rumput, dari kayu mereka membangun rumah dan dari rumput itu
mereka bisa beternak seadanya. Tanah keluarga Saimun sekarang menjadi yang
paling menjorok ke sungai, karena posisinya lama kelamaan tanah itu akan hanyut
oleh erosi. Tanah lain di kanan dan kiri Saimun telah diambil pasirnya sehingga
rata dengan sungai. Bagi Saimun, erosi ini berakibat pada matinya sumur mereka,
karena air tidak bisa lagi naik secara alamiah ke sumurnya yang sekarang
menjadi lebih tinggi dari yang lain.
Saimun hanya bisa menjadi penggali pasir di hulu.
Dia tidak punya sawah. Sawah kakeknya telah dikuasai kakak-kakak ibunya yang
laki-laki. Begitulah cara membagi warisan di kampung, anak laki-laki mendapat
lebih banyak. Ibu Saimun bercerai sehingga dia tidak bisa mewarisi apapun dari
suaminya. Guna hidup, Saimun menambang secara manual menggunakan enggrong. Dia sengaja menambang jauh
hingga ke hulu, yang sulit dijangkau, karena ia berusaha menutup mata atas
keributan penambangan bermesin ini. Ia enggan pula bertemu orang-orang, yang
bila bertemu dengannya, serta-merta mereka tergoda untuk menjadi makelar
penjualan tanahnya yang penuh kandungan pasir itu. Mereka akan merayu Saimun
untuk menjual tanahnya karena mereka mengharapkan sedikit komisi dari cukong
pasir.
“Semua orang menjadi semakin lapar setelah tahu
kalau pasir sekarang ada harganya,” ujar Saimun keras kepala.
Keluarga Saimun yang sudah susah sekarang menjadi
semakin sengsara. Penjualan pasir Saimun semakin sepi karena tambang
bermesin. Lima hari dia mengeruk pasir
di sungai baru bisa mengisi satu buah truk, namun jarang ada truk yang mau
mengambil pasir ke hulu. Mereka sibuk menyusu dari tambang bermesin yang lebih
mudah aksesnya.
“Kita tidak bisa melawan mesin-mesin itu,” kata Mbah
Paimo teman menambang Saimun, “sekali keruk dia bisa mengisi sepertiga truk.”
“Apa gununge
ora jugruk,” kata Saimun mengkhawatirkan gunungnya akan segera runtuh.
Guna menutupi kebutuhan hidup keluarganya, Rita
menjual kopi. Pada mulanya, dia hanya menjual kopi dan gorengan seadanya, tetapi
sepi, karena penjaja-penjaja kopi yang lain juga menyediakan bilik dengan kasur
empuk dan pramusaji yang cantik dan menggoda. Akhirnya Rukiyah istri Saimun pun
mengalah, sekarang namanya di kedainya telah menjadi Rita.
****
Bagi penduduk di lereng gunung, Merapi dianggap ibu.
Sebagai ibu, Merapi punya badan yang harus dijaga setara dengan manusia.
Kadang-kadang dia sehat, kadang pula dia sakit. Sekali tempo, dia juga punya
hajat seperti manusia. Hajatan Merapi terjadi saat gunung itu erupsi, penduduk
akan menyingkir sebentar, mereka membiarkan Merapi menyelesaikan hajatannya.
Tidak ada yang terlalu sedih berlarut-larut, bila Merapi hajatan dan
menimbulkan kerusakan hebat. Sawah-sawah akan terkubur pasir, pohon-pohon mati
terkena abu, atap rumah runtuh karena terlalu berat menahan beban material
letusan yang jatuh dari langit. Penduduk
tidak ada yang sedih karena itu, mereka tahu bahwa setelah hajatan maka ibu
akan memberi lebih banyak lagi.
“Kita tidak sendirian,” kata warga ketika ditanya
mengapa tidak begitu sedih, “kita sudah mengambil terlalu banyak dari ibu, tapi
setelah ini ibu akan memberi lebih banyak lagi.”
Setelah erupsi, warga tahu bahwa pasir akan
melimpah, mereka bisa menjualnya. Mereka juga tahu, setelah melewati dua-tiga
musim tanam yang buruk, sawah-sawah akan menghasilkan lebih banyak bulir padi.
Seperti padi, saat erupsi, pohon salak pun akan layu namun setelah musim hujan
yang menghalau segala debu, pohon-pohon akan bersemi kembali dan akan berbuah
lebih manis pada musim panen berikutnya.
“Mulai dari nol ya…” sindir para pemuda yang motor
kreditannya hangus terkena awan panas Merapi.
Beberapa penduduk akan meregang nyawa karena tidak
sempat menyingkir saat ibu hajatan, namun itulah harga yang harus dibayar
kepada ibu. Sedih itu pasti karena kematiannya nampak sangat tragis, namun
hidup harus terus berlangsung.
Dapur magma Merapi, sumber semua pasir yang membuat
makmur itu, ada jauh di sebelah selatan pesisir pulau Jawa. Gempa-gempa dari
kecil hingga besar sering terekam seismograf dari daerah ini. Biasanya,
berdasarkan ngelmu titen warga,
setelah ada gempa besar di pesisir ini maka lima atau enam tahun kemudian ibu
Merapi akan hajatan. Hubungan aktivitas perut bumi di pesisir selatan dan di
Merapi ini sudah digambarkan oleh para leluhur orang Yogyakarta dengan garis
imajiner yang membentang dari selatan ke utara. Mereka membuat larangan
bangunan-bangunan masif di sepanjang garis imajiner ini. Penjelasan logisnya
karena banyak patahan dan pergerakan magma.
Selain harus menghadapi konspirasi alamiah perut
bumi yang sudah bisa terbaca polanya oleh para orang tua, Saimun dan
kawan-kawannya harus menghadapi lakon baru, dimana dia menjadi wayang dan harus
jumpalitan tidak karuan. Lakon itu terkait rencana pembangunan jalan tol di
pulau Jawa. Pasir menjadi komoditas yang semakin menarik para raksasa
perekonomian, karena rencana pembangunan ini membutuhkan jutaan kubik pasir.
“Mana pernah pasir bisa laku sejuta seperempat tiap
truknya,” kata Pardi sambil mengelus Rita.
“Jadi kau sekarang kaya?” tanya Rita tanpa ingin
tahu.
“Kaya apanya, yang kaya juragannya,” kata Pardi
sengak, “dia yang makan setoran paling banyak.”
Di antara orang-orang yang hidup dari pasir memang
ada kasta-kasta. Kasta tertinggi adalah para juragan pemilik mesin-mesin tambang,
lalu juragan pemilik truk angkutan dan pemilik depo pasir. Sisanya adalah kelas
buruh yang juga menganut kasta-kasta seperti bangunan di atasnya. Pardi dan
kawan-kawannya sesama sopir adalah kasta tertinggi di bawah mandor mesin
tambang. Kasta berikutnya adalah para buruh yang melayani mesin tambang. Rita
dan para gula-gula warung kopi adalah kasta terendah setelah pemilik warung.
Bagaimana dengan Saimun? Ada di manakah kastanya?
“Kamu sebenarnya tidak sengsara-sengsara amat,” kata
Pardi pada Rita, “hanya suamimu yang keras kepala, kalau dia mau menjual
tanahnya maka kalian bisa beli motor.”
Rita diam saja.
“Berleha-leha sedikitlah, seperti yang lain,” ejek
Pardi.
Hati Rita pilu, dia tahu betul keyakinan suaminya.
Dia pun tahu, dia sengsara dan harus ikut puasa karena keengganan Saimun untuk
menjual tanahnya. Dahulu, ketika Rukiyah masih kecil, manusia belum bisa
menguraikan kebutuhan-kebutuhannya sebanyak sekarang. Sekarang
ini, manusia telah merinci kebutuhan hidupnya begitu detail. Manusia-manusia
baru ini bahkan telah mengukuhkan kedudukannya dari seberapa banyak dia mampu
memenuhi kebutuhannya. Seseorang menjadi terhormat bila dia mampu mencukupi
kebutuhannya lebih banyak dari orang lain, bahkan guna menjaga kehormatannya,
dia menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang tidak begitu hakiki namun tidak
mampu dijangkau oleh orang lain.
Rincian kebutuhan sebanyak yang lain itulah yang
tidak dimiliki oleh Saimun. Saimun sudah merasa cukup bila tidak bermotor,
Saimun sudah merasa eksis meskipun tidak punya ponsel, Saimun sudah cukup tanpa
itu-itu semua. Di satu sisi dia bersyukur dengan Saimun, hidupnya yang
bersahaja akan menjamin warisan bagi
anak-anaknya kelak. Saimun tidak tergoda untuk menjual tanah mereka sekarang sekedar
untuk memenuhi kebutuhan perut..
“Kau tidak ingin beli motor?” tanya Rita pada
Saimun.
“Tidak, pekerjaanku cuma mencari pasir, aku bisa
jalan kaki ke hulu.”
“Tapi anak-anakmu makin besar, sekolahnya semakin
jauh, mereka akan butuh motor.”
“Tapi itu bukan sekarang kan?” tukas Saimun, “sekarang
mereka masih bisa sekolah jalan kaki.”
“Pikirkanlah, sekarang jalan pun semakin ramai dan
rusak oleh truk-truk pasir itu,” lanjut Rita, “banyak kubangan di mana-mana.”
Belakangan ini, kecelakaan yang mengorbankan
anak-anak memang semakin banyak, jalanan menjadi berdebu dan berlubang karena
jejak truk-truk penambang.
“Asu!”
Saimun hanya bisa memaki sambil merasa ngeri bila sesuatu terjadi pada
anak-anaknya.
Yang menjadi persoalan bagi Rita adalah hidupnya
yang bersahaja pun sekarang tambah susah, Rita semakin tua, hanya Pardi makhluk
langka yang masih mau memberinya tips. Kadang
ada juga sih, yang mau bercinta dengannya, bila antrian pemuatan pasir sedang
panjang dan pria-pria jantan iseng itu kekurangan perempuan untuk mengusir
dingin. Kalau hanya mengandalkan jualan kopi seribu lima ratus segelas,
bagaimana dia bisa hidup? Sekecil apapun itu, kebutuhan bermotor dan berponsel
akan segera muncul dari anak-anaknya yang mulai besar.
****
Saimun bukannya tidak tahu sepak terjang yang
dilakukan Rukiyah guna mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun Saimun terlalu
kecut untuk marah, ia menyadari hasilnya menggali pasir memang tidak akan
pernah cukup berpacu dengan kebutuhan hidup mereka. Kadang-kadang,
meski pasir sudah terkumpul tapi tidak ada truk yang mau mengangkut. Mereka
sibuk di tetek tambang bermesin itu.
“Kowe ora duwe
butuh po?” tanya Mbah Paimo.
“Ya, ada,” jawab Saimun.
“Ha geneyo?
Kenopo pekaranganmu ora mbok dol?” gugat Mbah Paimo menyayangkan sikap
Saimun.
“Itu bukan milikku, itu warisan simbok,” jawab Saimun.
“Mbangane
kintir, Mun.”
Mbah Paimo mengkhawatirkan tanah Saimun yang
perlahan-lahan akan hanyut karena erosi yang disebabkan oleh aktivitas
pertambangan itu.
“Pancen asu.”
Keakuan Saimun sudah lama tipis bersamaan dengan
semakin terkikisnya tanah warisan ibunya. Dia hanya bisa membiarkan Rukiyah
beralih ke pelukan Pardi. Dia pura-pura tidak tahu saja. Dia tahu tidak ada
niatan Rukiyah untuk menghianatinya, semua hanya karena kebutuhan yang terlalu
merongrong mereka. Saimun pun tidak berani menggugat tindakan Rukiyah karena
dia pasti akan mengganggu pendirian Saimun soal tanah keluarganya itu.
Hidup keluarga Saimun seperti terendam air setinggi
mulut. Mereka nyaris tidak bisa bernafas, sedikit saja riak gelombang kehidupan
akan membuat mereka susah bernafas.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?”
“Sekarang adik sudah stabil, Bu,” kata dokter rumah
sakit, “hanya dia mungkin perlu perawatan panjang untuk cedera kepalanya.”
Saimun terpaku di samping ranjang anaknya. Anaknya
mengerang kesakitan. Dia jatuh terserempet truk saat berangkat sekolah. Setelah
ada tambang, truk memang menjadi pembunuh nomor satu di kecamatan Saimun.
Saimun dan istrinya harus bolak-balik ke rumah sakit
setiap hari. Anaknya memang dirawat menggunakan jaminan BPJS, namun ongkos
mondar-mandir tidak ditanggung BPJS. Belum lagi biaya kesempatan yang hilang
karena Saimun dan istrinya tidak dapat bekerja. Pihak pemilik truk pun enggan
bertanggung jawab, ia menyalahkan sopir yang tidak hati-hati, dan sopir yang
terpojok hanya bisa mengiba perdamaian. Pemenuhan biaya hidup keluarga Saimun
jelas menjadi semakin megap-megap sekarang. Hutangnya semakin banyak.
“Sudahlah, mungkin memang suratan nasib kita harus
begitu,” kata Rukiyah, “kita tidak bisa menjaga warisan orang tua.”
Saimun diam. Ia teringat kata-kata Mbah Paimo
temannya, daripada tanahnya hanyut sia-sia karena aktivitas tambang, lebih baik
dijual.
“Kita sudah baik berusaha tidak menjual tanah itu,
tapi apakah kita punya pilihan?” tanya Rukiyah.
“Aku mung
kepengin iso marisi bocah-bocah, Bu, yo
sak duwe-duweku tinggalan, aku juga cuma dapat warisannya simbok.” kata Saimun.
“Itu Bosnya Pardi sudah berani menawar tanahmu.”
“Ya silahkan kalau mau menjual warisan, itu
sebaiknya ahli warisnya yang mengambil keputusan.”
“Kamu kan ahli waris satu-satunya dari almarhum simbok sekarang?”
Saimun lagi-lagi diam. Ia merasa seperti anak wayang
yang sedang dipermainkan oleh dalang kehidupan. Apa yang salah dari hidupnya
sehingga kekuatan-kekuatan besar menyempatkan diri untuk mempermainkan
nasibnya.
****
Rupanya permainan nasib Saimun belum selesai.
Tersudut di sana-sini masih belum dianggap cukup untuk menandingi Samun yang
keras kepala. Pagi ini sebuah pukulan dahsyat kembali menghantam Saimun dan
keluarganya.
“Selamat pagi, Pak,” sapa dokter yang merawat anak
Saimun.
“Pagi, Bu,” balas Saimun.
“Ini hasil periksa darah putrinya sudah selesai,
Pak.”
Putri Saimun baru kelas satu SD, dia lahir dua tahun
setelah Merapi erupsi. Kata Saimun, dia adalah rezeki yang dijanjikan oleh ibu
gunung. Dia lahir tepat setahun setelah bonanza pasir dimulai di lereng Merapi.
“Selain cedera kepala kemarin, putri Bapak juga
mengalami infeksi virus,” kata dokter, “untuk itu karena putri Bapak masih kecil
maka ibunya juga perlu diperiksa darahnya karena penularan dari ibu adalah
salah satu peluang masuknya virus itu pada anak kecil.”
Kepala Saimun sekarang melayang-layang seolah tidak
ada lagi pikiran sehat yang bisa memberatinya agar tetap stabil. Virus anak
Saimun bukanlah virus main-main, tanpa penanganan yang benar, virus itu bisa
berujung pada kematian. Penularan virus ini biasanya disebarkan oleh pria
jantan, beruang dengan mobilitas yang tinggi dan moralitas yang rendah. Virus
ini seolah mewakili semua kekalahan Saimun dalam hidupnya. Virus ini
melambangkan semua kekuatan besar yang mengerjai nasib Saimun.
“Bagaimana hasilmu?” tanya Saimun.
“Aku juga positif,” kata Rukiyah, ”kamu juga harus
periksa kalau begitu.”
“Kita semua mungkin sudah terkena virus.”
Virus Saimun adalah playmaker yang baik. Dia berhasil mengubah permainan di hati
Saimun. Saimun yang tadinya keras kepala sekarang menjadi layu, bukan karena
hantaman dari luar yang selama ini berhasil dia abaikan, namun karena infeksi
dari dalam yang menggerogoti hatinya sehingga musnah semua harapan yang
digadangkannya.
Malam ini Saimun tidak menginap di rumah sakit. Dia
pamit kepada Rukiyah untuk menemui Bosnya Pardi. Rukiyah senang.
“Iya, betul begitu, semoga kita bisa mendapat harga
yang baik, kita bisa memulai yang baru,” kata Rukiyah penuh pengharapan.
“Titip…,” kata Saimun tidak meneruskan kata-katanya.
Saimun keluar dari rumah sakit, namun dia tidak
menuju ke rumah Bosnya Pardi. Dia langsung menuju ke rumahnya.
Sore ini terasa begitu sepi bagi Saimun. Rumahnya
masih gelap, semua di rumah sakit, tidak ada yang menyalakan lampu. Rumpun
bambu yang rimbun pun tidak mampu meramaikan hati Saimun, pun dengan suara
jangkrik yang riuh. Hati Saimun sepi seperti bisu. Saimun menatap peralatan
menambang pasirnya, tangannya meraba ujung enggrong-nya
yang mengkilat. Hari sudah mulai gelap, mesin-mesin penambang pasir di sungai
masih bekerja. Sungguh mesin yang tidak mengenal lelah dan tanpa perasaan.
Saimun berkata-katanya sendiri, “Biarlah ahli
warisnya yang mengambil keputusan untuk menjual atau tidak menjual tanah itu.”
“Aku sekarang bukan ahli warisnya lagi,” lanjut
Saimun sebelum ajal menjemput atas kemauannya sendiri.
Seolah mesin penambang berhenti berderak, malam
sangat hening hingga fajar tiba, saat Rukiyah menjerit histeris di rumahnya.
****
Keterangan:
“Kene, pangku kene!”: “Sini, dipangku
sini!”
“Kopi Cah Ayu,”:
“Kopi
anak cantik,”
“Kaya biasane,”:
“Seperti biasanya,”
“Seket ewu,”:
“Lima puluh ribu,”
Enggrong: sekop
bertangkai pendek untuk menggali pasir.
“Apa gununge
ora jugruk,”: “Apa gunungnya tidak runtuh?”
Ngelmu titen: pengetahuan
berdasarkan pengamatan yang lama
“Asu!” :
“Anjing!”
“Kowe ora duwe
butuh po?”: “Kamu tidak punya kebutuhan apa?”
“Ha geneyo?
Kenopo pekaranganmu ora mbok dol?”: “Ha, mengapa? Kenapa pekaranganmu tidak
kamu jual saja?”
Simbok: ibu
“Pancen asu.”:
“Memang anjing.”
“Aku mung
kepengin iso marisi bocah-bocah, Bu, yo
sak duwe-duweku tinggalan, aku juga cuma dapat warisannya simbok.”: “Aku hanya ingin bisa mewarisi
anak-anak, Bu, ya seadanya warisan, aku juga cuma dapat warisannya ibu.”
Playmaker: pemain
yang mengendalikan permainan.
__________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar