Dulu,... saya tulis catatan ini, saat aliran Bengawan
Solo daerah Lamongan dan Gresik kering kerontang oleh kemarau panjang. Kini, dibaca
ulang di Malam Takbiran menyambut Idul Fitri tahun 2020, dan paragraf ini pembuka,
penambahannya. Adalah jarak waktu, ingatan, kenangan benar tersimpan, tatkala
disalin ke dalam teks, meski lewati batas kadaluarsa dari peristiwa yang sudah
tersirat takdir-Nya. Rentangan tempo dari kemarau hingga penghujan yang tidak
pada musimnya, antara sekarang dan tulisan lama, menelan masa setengah tahunan.
Alhamdulillah, masih diberi-Nya napas-napas demi menghidupi kesaksian kepada para
pembaca.
I
8 November 2019, saya didapuk pemateri bersama Rakai
Lukman di Sanggar Pasir, Dusun Mulyosari, Desa Banyuurip, Ujung Pangkah, Gresik,
Jawa Timur, dengan bahasan di atas. Ini sejenis makalah barangkali, lantaran
akan ngoceh sana-sini. Maklumlah, saya bukan penutur baik, tetapi menjelma
indah jikalau menyimak seksama. Sebab alam permenungan, menjanjikan bentukan
karakter jiwa insan, dibanding dongengan lewati bibir, lekas pudar disapu angin
pantai utara Paciran.
Saya tak kenal Tom Wolfe pun karya-karyanya, yang
dikabarkan pencetus New Journalism. Saya lebih percayai kitab-kitab sastrawi
karangan Homer; Iliad dan Odyssey, sebagai mula jurnalisme sastra. Dan karya
terbesarnya Ibnu Khaldun bertitel Muqoddimah, dapatlah masuk ke dalamnya.
Apa jurnalisme sastrawi? Saya bukan wartawan, tapi
sastrawan amatiran. Namun pembaca boleh tengok bentuk esai-esai saya tuangkan menyerapi
kedua kutub itu. Jurnalisme-sastrawi, tidak hanya keindahan bahasa, elok pula
peristiwa diunggah. Metode dipakai pun patut berparas rupawan, dan data diusung
bukan fiksi belaka, meski pun alam mitologi pernah setubuhi bahan pelajaran di
masa Yunani Kuno.
Saya juga tak tahu esai-esai naratif jurnalisme sastra ditulis
A.J. Liebling, Joseph Mitchell. Esai-esai Ernest Hemingway hanya sekelumit saja.
Dan tidak mengenal karyanya John McPhee, John Hoagland, Richard Rhodhes, Richard
Preston, Mark Singer, Tracy Kidder pula Adrian Nicole LeBlanc. Saya pula tak
mewajibkan diri mengetahui buah pena mereka. Di Tanah Air seturut kabar
Wikipedia, jurnalisme sastrawi dipelopori Majalah Tempo, saya pun tidak
mengikuti perkembangannya.
***
II
Kini, mari melompat membakar semangat kawan-kawan, demi
kelak bermental baja, tidak tunduk kecuali pada kebenaran pengetahuan, di atas
keimanan digali bersegenap daya dimiliki. Tidak mudah menghamba sekelas taklid
buta, sebelum bergulat habis-habisan dengan perolehan di jalanan kembara. Pencarian
menerus sealunan makolah nan terpegang; “Menuntut ilmu dari buaian hingga liang
lahat.”
Saya tak ingat persis tahun berapa awal membaca karya
Hamka “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.” Kisahnya sangat memikat, semula kabar
terbitnya berupa cerita bersambung di Majalah Pedoman Masyarakat, Medan 1938. Terbitan
lanjut berbentuk buku novel di tahun 1939, oleh penerbit swasta temannya M.
Syarkawi, cetakan kedua penerbit sama. Lima cetakan berikutnya mulai tahun 1951,
oleh Balai Pustaka. Cetakan delapan tahun 1961 atas Penerbit Nusantara,
diteruskan Bulan Bintang.
Karangan Hamka berlatar berita karamnya Kapal Van der
Wijck, hari selasa 20 Oktober 1936, ketika berlayar melintasi perairan laut
utara Lamongan, tepatnya 12 mil dari pantai Brondong. Novel dengan latar
jurnalisme sastra, ditulis ketika usianya menginjak 31 tahun. Dan sepertinya,
banyak yang tak tahu kalau pernah berguru kepada santrinya Kyai Ageng Hasan
Besari, Tokoh Pergerakan Nasional, H.O.S. Cokroaminoto, ketika itu, umur Hamka 16
tahun (Kompas, 25 Juli 1981).
Ulama asal Minangkabau, lahir di Nagari Sungai Batang,
Tanjung Raya, Agam, Sumatra Barat 17 Februari 1908, dan meninggal di Jakarta 24
Juli 1981. Hamka dengan novelnya itu, telah menyadarkan diri ini, seolah nilai-nilai
puitika tanah kelahiran Lamongan diambil olehnya. Sedang saya baru menulis
puisi mengenai kisah tanah Jawa-Sumatera, Balada Jala Suta, di bulan September
tahun 2000 di Gunung Kidul, Yogyakarta, terhimpun dalam buku puisi “Balada-balada
Takdir Terlalu Dini,” Cetakan I, FKKH, Mei 2001, ke II, Lintang Sastra, Januari
2006.
***
Sepertinya, lelangkah menundukkan turangga liar
kata-kata, belajar menulis puisi dengan kesungguhan, kegigihan serta kesabaran
purna, harus dilakoni menempuh waktu bertahun-tahun, sekiranya ingin menjadikan
“kata” sebagai sekutu terbaik. Ialah jelas terlihat penyair baru menundukkan
“kata,” telah sanggup mengendarai dalam karya-karyanya; mengenali setahun,
lima, sepuluh, berpuluh tahun sedarah daging berbalutan ruh kehidupan di dalam
dirinya mengakrabi nafas-nafas kata.
Olehnya harus menyenggamai perubahan, berkawan
matahari-rembulan, karena keduanya patokan mengenali masa, merasai ketebalan
angin atas musim-musim berganti, tanah lempung dipijak serupa komposisi
ruang-waktu mendiamkan diri, disamping pahami jenis-jenis sepi, keramaian. Dan
hampir seluruh bidang diserap, di sisi memaknai jalanan takdir; nasib malang
melintang mujur berpapasan insan lain, demi mendapati pandangan tetap normal,
meski laku fisik seolah linglung.
Keadaannya mengenali sejarah setiap kata, sehingga dapat
melesat jelma angin, batu, air, api kehidupan. Dengan iqro’ menyimak bayu,
melihat deburan ombak, gulungan gelombang, menyaksikan halilintar, mengguyuri
tubuh di bawah hujan lebat serta kelembutan gerimis. Memaknai tragedi, meresapi
tangisan, menginsafi kebodohan ditampakkan usia. Melipat garis kesibukan,
berkaca kesuburan taman, mengelus kematian, drama bahagia dalam sandiwara hidup.
Meski usia penyair tak cukup menggemuli seluruh keakraban sepadan, tapi patut
diperturut, sebab diperintah selalu belajar, menempuh hayat bergelimang ingatan
juga kesilapan.
Menikmati jejenis musik bersama lorong-lorong panjangnya,
menekuni warna lukisan, atau wewarna musiklah al-hayat, yang menerjemah kembang
di waktu senggang, memaknai kebekuan embun cairkan permasalahan. Dengan pahami
warna musik unsur angin bersegenap musim dibawai, bisa mengurai
panjang-pendeknya masa, kepadatan-kelenturannya, juga rerupa kata dan perangainya
yang keras, lembek. Maka seyogyanya mensyukuri amanah atas indra-indra,
keluar-masuknya napas setubuhi ruang-waktu, seibarat anak di kandungan, sedarah
daging ibunda kehidupan.
***
III
Tiba-tiba ingatan saya dilempar ke Jalan Pantura. Herman
Willem Daendels lahir di Hattem, Belanda 21 Oktober 1762, dan meninggal di
Elmina, Guinea, Belanda 2 Mei 1818. Seorang politikus menjabat Gubernur
Jenderal Hindia Belanda ke-36 (1808-1811), saat negeri kincir angin dikuasai
Prancis.
Ketika langkah sepatu sang jenderal menginjak tanah Jawa,
berangan-angan lantas mewujud. Membangun Jalan Raya Pos, terbentang sepanjang
utara pulau Jawa, dari Anyer hingga Panarukan. Pada setiap 4,5 km didirikan
pemberhentian (penghubung) atas pengiriman surat-surat mempelancar komunikasi
antar daerah, sekaligus demi benteng pertahanan Pantai Utara Pulau Jawa dari
serangan Inggris.
Jalan Raya Pos tercipta dengan mewajibkan setiap para penguasa
pribumi lokal mengerahkan rakyatnya lewat paksaan. Untuk pekerja yang gagal
akan dibunuh, kepalanya digantungkan di pucuk-pucuk pohon di kiri-kanan ruas
jalan. Dengan tangan besinya tak mengenal ampun, jalan tersebut selesai dalam
tempo setahun pertama Willem Daendels memerintah secara bengis, kejam, dan
membabi buta.
***
Cukuplah derita moyang bagi tenaga tangan terkepal
menegakkan ujung pena menggurat jalur selanjutnya, tidak bermalas-malasan
membaca sejarah didalam keterbatasan. Dan lama saya berpikir agar ini menyatu
dalam satuan ruh tarikan nafas pembaca, atau tidak sekali duduk jikalau
frekuensi kenangan silam belum terkumpul, maka bebatu ingatan dikumpulkan
sebelum ditata serupa bangunan.
Dan kerap saya membayang kesamaan-perbedaan antara karya
tulis dan jembatan atau jalan raya. Kadang disergap cemburu kala menilai
manfaat dan lamanya usia keduanya, di atas catatan tertorehkan. Kemudian balik
menghibur diri disisi terus membenahi. Jalan Raya Daendels masih menyejarah
diingatan orang-orang lama, sedang generasi kini luput mengingat derita silam,
tapi jalannya terus menghantui lelembaran sejarah manusia-manusia dari Anyer ke
Panarukan;
Di Anyer, seperti berkibar bendera Merah Putih Biru. Di
Cilegon, nyala api membara, di Banten bersimbah darah. Di Serang, serangan
bertubi-tubi dari orang-orang bumi putra. Para pemuda Balaraja menyerbu tentara
bayaran. Di Tangerang, diselimuti awan duka para janda, demikian juga di Daan
Mogot. Serdadu jelata di Grogol mengamuk sampai bibir Sunda Kelapa. Di Glodok,
pembantaian pekerja berlangsung ganas. Di Ancol, mayat-mayat gelimpangan
menahan lapar. Para pemudi Kemayoran merayu bandit-bandit Londo. Di Pasar Baru,
ramai membicarakan beribu orang mati. Di Tanah Abang tentara gerilya menyusup
malam-malam. Di Gambir, gemparlah siasat licik dicium telik sandi, lari ke
Pasar Senen. Di Salemba, terus terjadi pertumpahan darah, di Matraman mata-mata
diciduk-diseret, di Manggarai penyiksaan pada pekerja merajalela, di Jatinegara,
pemuda-pemudi bersatu menggelorakan perlawanan, di Tebet basis tentara pemberontak,
di Kramat Jati pekerja usia lanjut dihabisi nyawanya, di Pancoran tidak
berhenti juga siksaan, di Pasar Minggu para preman menjelma pahlawan. Di
Kebayoran, bedil-bambu runcing saling serang. Di Depok, kaum perempuan disekap
serdadu musuh, di Lebak Bulus anak-anak dipekerjakan. Di Ciputat dan Cibubur,
kepala-kepala manusia menjadi tontonan, di Parung banyak tentara Belanda mati.
Di Cileungsi, puluhan pekerja dicambuki punggungnya. Di Jonggol timbunan mayat setiap
malam datang, di Cibinong, pembelotan dipimpin pemuda tanggung. Di Bogor,
pencurian bedil meminta banyak tumbal. Di daerah Batu Tulis terserang malaria
pula. Di Ciawi dan Cisarua, darah tercecer hingga Mega Mendung. Di Puncak,
kerap terjadi pencurian makanan menelan korban. Di Cipanas, para wanita pribumi
dipaksa melayani tentara musuh. Di Sukabumi, sarang pembantaian, di Cianjur
kaki tangan penjajah musuh dalam selimut. Di Padalarang berkumpulnya para
pejuang. Di Cimahi, air sungai berwarna merah darah, di Parahyangan para
pegawai Londo korupsi besar-besaran. Di Cileunyi burung-burung gagak menguntit
nyawa, di Sumedang, setiap subuh kokok ayam kematian. Di Palimanan, perlawanan
sengit. Di Cirebon, titik pantai berulang amis darah, keangkuhan Merah Putih
Biru berkibar di atas mayat-mayat. Di Kanci dan Losari, bau darah disapu angin
tertiup. Masuk Pejagan dan Brebes, basis rakyat menggalang kekuatan, di Tegal,
peperangan dilangsungkan. Di Pemalang, hari-hari diliputi awan kepiluan, di
Pekalongan, kepedihan kian merana. Di Batang, dedahan pohon dihiasi kepala-kepala
pekerja dibantai. Di Weleri, seorang nenek meratapi cucu semata wayangnya. Di Kendal,
para begundal dikerahkan menculik orang-orang untuk dipekerjakan. Di Semarang,
Londo berpesta pora. Di Demak, Kudus dan Pati, perlawanan dipimpin para kyai
dari pelosok-pelosok desa, di Juwana, daun-daun kabarkan duka, di Rembang,
angin bersatu ratap tangisan. Di Lasem, pohon-pohon jadi saksi kebusukan
Daendels. Di Tuban, bayu pantai sedap maut. Di Sidayu memasuki Lamongan, dan Gresik,
kaktus-kaktus liar jadi mata-mata penderitaan. Di Surabaya, mereka hura-hura di
atas derita. Di Wonokromo, kematian serupa candu kedua. Di Waru, Sidoarjo,
muda-mudi darahnya bergolak memburu lawan, tetapi ditumpas habis di Porong. Di
Gempol, pepohon gempol dirasuki arwa orang-orang mati. Di Bangil, tiada lagi
ketentraman. Di Pasuruan, mereka dengan sombong menenteng senjata bedil. Di
Probolinggo, para remaja berkumpul cari siasat. Di Paiton, kaum bersarung turut
andil bagian. Di Besuki, pribumi tiada lagi harganya, sampai Panarukan mencapai
1000 km derita siksaan.
***
IV
Ayo, melempar diri ke buku-buku lawas, memburu bacaan
lama, kitab-kitab usang, menyusuri situs-situs jual beli buku online. Atau di
manapun ada secarik kertas, sobekan koran bekas pembungkus nasi pecel. Atau
kertas-kertas kosong, cerminan wajah-wajah pena. Lalu duduk di pojokan, mengekalkan
waktu dengan catatan, seperti dalam kurungan penjara, tiada siapa pun hanya
keterjagaan. Mata memandang tembus masa-masa tidak terbantah; kekelaman,
terpuruk, rasa malu memilukan, sesempit sedap maut. Berjalan di kegelapan,
tiada siapapun kecuali keterkucilan. Pekak telinga mendengar suara-suara di
balik sunyi sayup-sayup ejekan, merangsek diselimuti gelap mencium kemungkinan,
di setitik cahaya menghimpun napas kekuatan, sebelum memburu waktu-waktu
diharapkan.
Membeli buku-buku menghirup napas-napas kata, selidiki
terus berketekunan berulang. Jangan kasih lena, hatamkan tingkah lekukan
imbuhan “kata.” Kuras daya-dinaya yang disuguhkan, lumat habisi diluar kepala,
hingga menjelmalah penghuni alam bawah sadar penciptaan. Di situlah pandangan
terpancar terang, merasuki batas-batas melebihi bayangkan mereka.
Barangkali kepayahan menebus luka-luka pendahulu.
Membaca, berjalan kaki merasai keseluruhan diri dalam kesadaran langkah, dan
menulis ialah berjalan sambil membawa beban, sedang merevisi itu kenangan bertambah,
bertumpuk. Panggullah setinggi dalam lamanya membaca lelembaran masa. Tiada
jalan lain merawat iqro,’ menyimak pelan. Mengupas kulit-kulit kalimat, membuka
pepintu kata, menerawangi jendela kata-kata, menyelidiki daya bandul rapatan
kata dalam harum pesonanya, lantas kemungkinan lain dapat dipetik darinya.
Di sini tak sekadar dibaca sepintas. Rekamlah jalan-jalan
itu, kelak kan berjumpa kesadaran berbeda. Seperti perputaran siang-malam
melekati masa lalu, sekarang pula hari kemudian; penjumlahan pengertian di sisi
pengurangan di atas kesilapan sempat luput dari jangkauan.
08/11/2019, 24/05/2020, Lamongan, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar