Novel Salah Asuhan (1928) karya Abdoel Moeis
Maman S. Mahayana *
Suara Karya, 15 Mei 1994
Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial-politik-kultural. Novel Salah Asuhan (1928) karya Abdoel Moeis, juga kelahirannya tak dapat dilepaskan dari faktor-faktor tersebut. Itulah sebabnya, usaha mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dibalik teks Salah Asuhan, penting artinya untuk menangkap amanat pengarangnya yang juga berkaitan erat dengan situasi sosial dan semangat zamannya.
Novel Salah Asuhan ditulis awal tahun 1927 ketika Abdoel Moeis sudah meninggalkan kegiatan politiknya dalam Sarekat Islam (1912-1924), dan menjadi petani di Garut sejak tahun 1924. Waktu itu (sejak 19 Januari 1924), Abdoel Moeis dikenai larangan mengunjungi semua daerah di luar Jawa dan Madura sebagai akibat terjadinya peristiwa Toli-Toli di Sulawesi Tengah (Juni1919), pemogokan pegawai pegadaian di Jawa (11 Februari 1922), dan keterlibatannya dalam membantu masyarakat Minangkabau dalam memperjuangkan hak-hak tanahnya yang juga berkaitan dengan masalah belasting (pajak).
Pada Februari 1928, naskah Salah Asuhan dikirimkan ke Balai Pustaka. Sebelumnya novel itu pernah dimuat di harian De Express sebagai cerita bersambung. Balai Pustaka yang menerima naskah itu, tidak segera menerbitkannya, bahkan bermaksud menolaknya. Menurut kriteria Balai Pustaka, Salah Asuhan menampilkan tokoh wanita Belanda (Corrie) yang justru dapat menimbulkan citra buruk bangsa Belanda (Barat) secara keseluruhan.
***
Menurut Dr Drewes, Hoofdambtenaar Balai Pustaka waktu itu, Salah Asuhan termasuk karangan yang ditulis secara lancar dan memikat, tetapi karena adanya unsur-unsur "negatif" yang digambarkan pada diri tokoh wanita Belanda itulah yang membuat Balai Pustaka merasa perlu mempertimbangkan kembali penerbitannya.
Selanjutnya, Dr Drewes, menyatakan bahwa bagi Balai Pustaka akan sulit mempertahankan diri terhadap kemungkinan kritik tentang penerbitan karangan itu. Volkslectuur seharusnya memperhatikan batas-batas dalam penerbitannya. "Saya kira kepada Volkelectuur saya tidak dapat menyarankan untuk diterbitkan," demikian Drewes yang dikutip Sjafii St Batuah dalam esai Di Balik Tirai Salah Asuhan, Pustaka dan Budaya, 22/V/ November-Desember 1964.
Pertimbangan K St Pamuntjak, salah seorang redaktur Balai Pustaka kala itu antara lain begini: Saya kira tak akan melebih-lebihkan kalau saya katakan bahwa oleh Volkslectuur belum ada diterbitkan suatu roman pribumi yang dapat dibandingkan dengan karangan ini. Dari mula sampai akhir perhatian pembaca terikat olehnya. "Ia mempunyai nilai didikan besar bagi orang pribumi yang menganggap diri mereka orang-orang Eropa hanya karena dapat bicara Hollands dan adalah suatu pedoman bagi orang-orang tua pribumi dalam memberikan didikan kepada anak-anak mereka." Tanggapan Pamuntjak ini berbeda dengan salah seorang pegawai Belanda waktu itu: "Seluruh pokok karangan dan penggarapannya tak simpatik. Ini bukanlah karangan yang baik untuk Volkslectuur."
Setelah Abdoel Moeis diminta untuk mengadakan perubahan pada peranan yang dimainkan tokoh Hanafi dan Corrie, akhirnya Salah Asuhan dapat juga diterbitkan. Dalam hal ini, St Batuah menyatakan: "Dalam naskah asli Corrie adalah wanita 'royal' yang disamping menjadi istri Hanafi, juga 'main' dengan laki-laki lain. Hanafi tidak sanggup lagi, karena itu mereka bercerai. Corrie terjerumus dalam percabulan: Ia menjual dirinya untuk membayar utang kepada seorang Arab, dan jadi langganan kapten kapal, akhirnya jadi pelacur umum. Ia mati ditembak salah seorang 'kekasih'-nya yang cemburuan. Beda sekali dengan Corrie versi Balai Pustaka yang dibidadarikan. Pembeberan Abdoel Moeis yang menelanjangi kehidupan 'donker Batavia', juga dihilangkan!"
Sebuah resensi buku berjudul Abdoel Moeis: Salah Asuhan (Indonesia, 1954 : 662 -5) menyatakan hal yang sama, bahwa naskah asli roman itu telah banyak diubah dan diolah Balai Pustaka. "Hingga di mana unsur-unsur autobiografis terdapat di dalam Salah Asuhan masih belum diketahui, tapi tidak mustahil, bahkan sangat boleh jadi terdapat unsur tersebut. Tentu dengan paduan seperlunya antara Dichtung und Wahrheit."
Demikianlah, dilihat dari segi orisinalitas Salah Asuhan sudah mengalami perubahan yang masalahnya erat kaitannya dengan kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahan. Disamping itu, kita sesungguhnya masih dapat melihat sikap seorang bumiputera terhadap masalah sosial politik yang terjadi pada zamannya. Untuk mengungkapkan masalah tersebut, tidak bisa lain, kita terpaksa mengandalkan sumber-sumber sejarah yang tersedia.
***
Secara tematis Salah Asuhan mempertegas tema novel-novel sebelumnya, Azab dan Sengsara dan Sitti Nurbaya; tema tidak lagi terkukung pada masalah adat, melainkan pada hubungan Timur (Hanafi) dan Barat (Corrie). Dalam kaitannya dengan masalah itu, Salah Asuhan dapat dipandang sebagai kritik Abdoel Moeis atas kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda dan orang (-orang) yang membelanda. Gambaran Hanafi yang menjadi "Malin Kundang" adalah sikap keprihatinannya pada golongan terpelajar kita waktu itu yang tak sedikit justru melupakan bangsanya sendiri. pembicaraan Corrie dengan ayahnya, Du Bussee, tampak jelas hendak mengangkat ketidakadilan yang berlaku di tanah jajahan. Jika lelaki Eropa (: Belanda) dapat begitu gampang memelihara istri-istri simpanan (nyai-nyai), lalu mengapa pula ada semacam larangan bagi lelaki bumiputera yang hendak mengawini wanita Eropa?
Alasan yang dikemukakan Du Bussee yang mengutip kata-kata Rudyard Kipling, "Timur tinggal Timur, Barat tinggal Barat, dan tidaklah keduanya menjadi satu" (hlm 27) sesungguhnya merupakan pembenaran pada ketidakadilan rezim penjajah. Kipling dikenal sebagai penyair imperialisme. Menurutnya, imperialisme bagaikan agama; ia merupakan "kekuatan pembudaya" (civilizing force). Salah satu kewajiban imperialisme adalah membawa misi "membudayakan orang-orang pribumi". Dengan kata lain, ia harus bertindak sebagai "mesias", sebagaimana yang menjadi misi sistem pendidikan kolonial di tanah jajahan.
Tindakan Hanafi yang memandang rendah bangsanya sendiri, juga merupakan "pantulan" pandangan Belanda terhadap bumiputera. Demikian pula perlakuan tak adil yang dialami Hanafi dalam usahanya memperoleh pengakuan haknya sederajat dengan bangsa Eropa, merupakan satu ironi bahwa seorang bumiputera dinegerinya sendiri, justru harus bersusah payah mengurusi soal haknya sebagai manusia. Ini menunjukkan ketidakadilan bangsa penjajah yang merasa lebih berbudaya dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, namun malah mencampakkan hak manusia bangsa lain.
Masalah ketidakadilan bangsa Belanda itu, terutama dalam memandang rendah bangsa Timur, tampak pula dalam peristiwa di dalam hal yang ditumpahi Hanafi. "Seorang penumpang sedang membaca sehelai surat kabar Belanda yang terbit di Betawi, yang sudah masyuhur bencinya kepada Bumiputera. Surat kabar itu memperkatakan hal pertunangan seorang studen bangsa Indonesia (Moeis tidak menyebut bangsa Bumiputera; MSM) di Nederland dengan seorang nona, yang sama-sama menuntut ilmu di sekolah tinggi dengan dia. Bukan sedikit nista dan maki dituliskan oleh surat kabar itu terhadap kepada kaum Bumiputera yang terpelajar terhadap kepada ethischepolitiek?"
Begitulah dalam banyak hal Salah Asuhan condong mengangkat persoalan ketidakadilan bangsa penjajah. Hanafi laksana simbol seorang bumiputera yang lupa akan kewajibannya terhadap bangsanya sendiri. dalam hal ini, sumber sejarah menyebutkan bahwa studen bangsa Indonesia di Nederland yang bertunangan dengan seorang nona, tidak lain adalah Dr Abdoel Rivai. Dokter pertama yang mendapat beasiswa ke Belanda itu memperistri gadis Belanda. Ia kemudian tinggal di sana.
***
Sikap Abdoel Moeis kiranya makin jelas jika kita perhatikan novel Abdoel Moeis lainnya, katanya, Robert Anak Surapati (1953). Tokoh Robert hasil perkawinan Surapati (Timur) dan Suzane Moor (Barat/Belanda), dihadapan dua dunia. Ia berkeras untuk diakui sebagai bangsa Belanda, tapi bangsa Belanda sendiri menolaknya. Sementara, ayahnya, Surapati, secara ksatria menawarkan pilihan; memilih bangsa ayahnya (Indonesia) atau bangsa ibunya (Belanda). Secara naif akhirnya Robert memilih menjadi bangsa Belanda dan bertempur dengan pasukan ayahnya sendiri. Robert akhirnya mati, dan bangsa Belanda baru mengakui kebelandaanya justru setelah Robert tewas. Inikah sikap bangsa yang konon hendak mengadabkan bangsa lain? Sebuah sikap diskriminatif yang sering justru dipertahankan bangsa Barat.
Jelas kiranya bahwa kasus Hanafi? Corrie lebih merupakan sebuah binkai untuk menutupi kecamannya terhadap bangsa penjajah. Bangsa Timur memang memerlukan pendidikan Barat, tetapi tidak berarti bahwa semuanya harus dibaratkan. Itulah sebabnya, tokoh Syafei (bandingkan dengan tokoh Robert) merasa perlu untuk menyatakan janjinya: "Sepulangnya dari negeri Belanda kelak, akan kembali ke kampung meluku sawah?"
Itulah yang tampaknya menjadi sikap Abdoel Moeis dalam memandang persoalan Timur-Barat. Dunia Barat tetap dipandang penting dalam hubungannya dengan dunia pendidikan waktu itu. Akan tetapi, kemajuan yang telah diperoleh dari dunia Barat, hendaknya jangan sampai melupakan tradisi dan akar budaya tanah tumpah darah sendiri. Malahan, lewat kemajuan yang telah dicapai di dunia Barat itulah, keadaan dunia pendidikan bangsa Timur (Indonesia) justru harus lebih ditingkatkan. Persoalan itulah yang sesungguhnya menjadi amanat novel Salah Asuhan.
***
_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar