Jumat, 15 Mei 2020

FSS DAN 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL

S Yoga
Kompas Jatim

Dari tanggal 1-15 Juni nanti, kita akan disuguhi hajatan kebudayaan yang bernama Festival Seni Surabaya (FSS) 2008, dengan mengambil tema ?Seratus Tahun Kebangkitan Nasional: Tribute to Surabaya? sebuah tema besar sebenarnya. Namun memang demikian sebuah hajatan sudah umum mengambil tema yang gagah dan mentereng. Dan bila kita cermati kelakuan ini sudah berlangsung sejak zaman kolinial Belanda, yang oleh Clifford Gertz disebut sebagai Negara Panggung. Sebuah negara yang lebih suka mementingkan gebyar atau penampilannya saja.

Tentu saja kita berharap FFS kali ini bisa memaknai kebudayaan secara subtansial. Sehingga relevansi antara kebangkitan nasional dan kontribusi kebudayaan akan kita dapatkan. Khusunya dengan perkembangan dan dinamika kesenian di Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya. Yang mana semangat nasionalisme, berupa pencarian jati diri dan identitas lokal yang merupakan spirit penciptaan karya dapat mewarnai dan ditampilkan sebagai kebanggaan Jawa Timur. Baik oleh pementasan teater, tari, seni rupa, musik atau sastra. Yang akhirnya akan memberikan simpati dan semangat para generasi muda untuk berkarya lebih baik lagi.

Bila kita tengok kembali kelahiran Kebangkitan Nasional, yang dipelopori oleh Dr. Boedhi Oetomo, Dr. Cipto Mangunkusumo dan Dr Wahidin Sudiro Husodo, yang ketika itu merupakan mahasiswa kedokteran STOVIA, Jakarta. Sehingga kelahiran organisasi Boedhi Oetomo (BO) pada tanggal 20 Mei 1908, dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Yang tahun ini merupakan peringatan yang ke-100 tahun (seabad), sebuah angka yang keramat dan spesial bagi bangsa Indonesia.

Namun demikian seringkali masih terjadi perdebatan, siapa sebenarnya yang layak disebut sebagai tonggak kebangkitan nasional. Karena ada yang berpendapat Syarikat Islamlah (SI) yang merupakan cikal bakalnya karena terlebih dahulu dilahirkan sebelum BO. Yakni pada tanggal 16 Oktober 1905, di Solo dengan tokoh pendirinya Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Yang justru menentang kolonial Belanda, keanggotannya bersifat kerakyatan dan terbuka. Dalam novel Jejak Langkah-nya Pramoedya Ananta Toer hal itu digambarkan dengan baik.

Sedangkan BO lebih bersifat elitis, banyak dipimpin oleh para ambtennar, pegawai negeri, dan digaji oleh Belanda. Misal BO pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam VIII Yogyakarta. Anggota BO juga merupakan anggota Freemasonry Belanda (Vritmejselareen). Dan pada akhirnya Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, pun keluar dari BO, mungkin karena arah perjuangannya sudah tidak sesuai lagi dengan cita-citanya.

Tentu kita tidak perlu memperdebatkan hal itu lagi, yang lebih penting kita mengetahui sejarahnya dan mengambil hikmah dari cita-cita yang hendak mereka perjuangkan, yakni kebangkitan nasional. Namun apakah kebangkitan nasional atau nasionalisme itu memiliki arti yang subtansial bagi kita semua. Sementara korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela di sekitar kita, bahkan yang banyak melakukan adalah para pejabat atau birokrat. Bagaimana hal ini bisa dijelaskan bila dikaitkan dengan cita-cita BO, yang ingin mengangkat nilai-nilai luhur, semangat kebangsaan dan kesadaran terhadap pembangunan. Rupanya cita-cita itu banyak dikhiananti oleh para pejabat sendiri. Dan hal inilah pula yang perlu direspon oleh para penyaji kebudayaan dalam FSS kali ini, sehingga bisa merefleksikan apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam masyarakat. Bila tidak yang terjadi hanya nasionalsimse semu yang romantis dan formal, tidak kritis dan konstruktif.

<strong>Penyeimbang Kebudayaan</strong>

Karena menilik sejarah yang ada sejak zaman kolonial Belanda sebenarnya kebangsaan kita telah dicerai berai dengan politik devide et impera, memecah belah. Dan ada pepatah juga yang menyatakan, Wong Jawa mati dipangku walanda. Hal ini bisa dipahami karena selama penjajahan telah terjadi involusi dibidang ide, cita-cita dan pandangan dunia. Konsep magis religius dan elite birokrasi dari negara panggung pada masa kerajaan macet. Ia harus menyesuaikan diri pada konsep negara birokrasi (beambtenstaat) Belanda. Maka munculah neo priyayi-neo priyayi baru yang lebih patuh kepada Belanda daripada negara. Dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam pengarang kelahiran Ngawi, hal itu dijelaskan dengan segala akibat dan resikonya hingga pada masa Orde Baru.

Rupanya masalah kebangkitan nasional juga merupakan tema utama dalam karya sastra, antara lain Umar Kayam, Pramoedya Ananta Toer, Muhammad Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, Y.B. Mangunwijaya, Idrus dengan cerpen Surabayanya (yang mengkritisi arti perjuangan). Dan generasi muda sekarang diharapkan dalam FSS kali ini juga dapat memberikan kontribsui yang berarti tentang makna kebangsaan atau nasionalisme sehingga dapat memberikan kontribusi atau penyeimbangan kebudayaan yang ada. Karena selain rasa kebangsaan yang digerogoti oleh dekadensi moral pribadi masing-masing individu, juga dalam era globalisasi ini, kita telah digempur habis-habisan oleh budaya massa yang bersifat profan dan kapitalis. Di mana di depan ruang tamu kita, sudah siap menyerang budaya barat lewat layar kaca. Sehingga pola hidup kita tiba-tiba telah berubah dari nilai-nilai ketimuran dan kearifan lokal yang ada.

Lalu bagaimana selama ini, semenjak Orde Lama dan Orde Baru kebangkitan nasional dimaknai. Bila kita cermati ada hal yang keliru sehingga masyarakat kita mendapatkan dampaknya, kerapuhan mental, sosial dan ekonomi. Karena semenjak Orde Lama apa yang dikamsud dengan nasionalisme adalah memperkuat negara, terlebih pada masa Orde Baru, sehingga negara merupakan idealisme dari rasa kebangsaan. Yang akhirnya terus-menerus memperkuat birokrasi yang ada. Negara mengontrol konsep jati diri bangsa lewat struktur kekuasaannya. Yang ada adalah nasionalisme negara buka nasionalisme kerakyatan, padahal nasionalisme mestinya milik masyarakat. Sementara semangat kerakyataan; semangat solidaritas sosial dan demokrasi dihindari, dan yang muncul demokrasi seolah-olah. Memperkuat negara dan melemahkan rakyat. Akibatnya ketika terjadi krisis, rakyat tidak dapat mengatasi dirinya sendiri. Terjadilah amuk masa karena krisis ekonomi. Maka jatuhlah Soekarno dan Soeharto lewat cara yang sama.

Untuk itu pentinglah konsep kebudayaan dan nasionalisme yang kritis, kita tengok kembali. Dan lewat FSS kali ini meski dengan tema megah, semua persoalan bangsa dapat dicerna, direfleksikan, dan diambil hikmah untuk mencari jalan keluarnya. Karena pada saat ini, kita juga sedang dihadapkan pada krisis, baik itu krisis pangan, krisis moral dan krisis kepemimpinan yang benar-benar memahami isi hati rakyatnya. Karena yang ada seringkali justru ketika menjabat mereka lupa akan kebutuhan rakyat dan hanya mempertahkan status quo saja.

Tentu kita berharap FSS kali ini bisa berjalan dengan baik, dan para penyajinya pun bisa memberikan susuatu yang dapat menambah wawasan kebangsaan kita dalam arti yang lebih luas. Sehingga terjadi transformasi budaya. Dan di sini pula letak pentingnya kedudukan seni di dalam kehidupan. Ia bukan lokomotif demokrasi tapi ia gerak roh budaya demokrasi itu sendiri. Yang akan membimbing manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya secara lebih manusiawi.
***

*) Penyair tinggal di Situbondo, Anggota Komite Sastra DK-Jatim. syoga.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar