Tjahjono Widijanto *
lampungpost.com
Dalam sebuah buku klasik yang berwibawa, The March of Literature: From Confucius to Modern Time karya Ford Madox Fox, dapat ditemukan sebuah adagium yang mahsyur; the quality of literreture, in short, is the quality of humanity. --lit
Teks sastra yang berkualitas tidak saja merupakan dokumentasi sastrawi semata-mata tetapi juga dokumentasi sejarah yang di dalamnya penuh luka-luka manusia. Demikian pula yang dapat dicatat dari awal tumbuh dan perkembangan sastra Indonesia modern tak lepas dari persolan luka kemanusiaan dan luka bangsa.
Dalam sastra kita, monumen-monumen luka manusia ini juga diikuti dengan hero-hero yang keheroikannya bisa jadi tidak sedahsyat cerita-cerita dalam sejarah ansich. Ambil contoh roman Surapati karya Abdoel Moeis, Pulang (Toha Mohtar), Surabaya, Corat-coret di Bawah Tanah (Idrus), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis), Keluarga Gerilya, Perburuan, Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer), dan Burung-burung Manyar karya J.B. Mangun Wijaya, semua menunjukan sisi paradoksal antara hero, heroisme, dan tragik.
Tokoh Untung Surapati dalam sejarah ditampilkan sebagai sosok yang memiliki kompleksitas kejiwaan, mulai dari persoalan harga diri hingga affairnya dengan seorang noni Belanda bernama Suzana. Demikian pula tokoh Tamin dalam Pulang, dan tokoh Guru Isa dalam Jalan Tak Ada uUung, tidaklah tampil sebagai tokoh yang supersakti dan superhebat seperti hero-hero dalam sejarah tetapi justru menghayati tumbuhnya heroisme dalam dirinya pada saat kondisi jiwanya terjepit dan tersia-sia.
Tokoh Tamin bisa tampil sebagai hero setelah menyadari betapa ia telah tercerabut dan tidak berartinya bagi lingkungannya. Tokoh guru Isa bahkan harus menjadi seorang yang impoten dan penakut terlebih dahulu sebelum mendapatkan keberanian. Rasa heroismenya muncul justru pada saat ia berada pada puncak ketakutan ketika mengalami penyiksaan serdadau Belanda di tahanan.
Munculnya hero dan heroisme dibarengi dengan tragedi mulai tampak dengan kuat pada karya-karya masa 1940-an pada saat pendudukan Jepang. Pendudukan singkat Jepang telah membawa perubahan yang luar biasa dalam aspek linguistik dan wilayah imajinasi literer--yang oleh Teeuw (1980) disebut sebagai cultural revolution.
Pada masa sebelumnya (Poejangga Baroe dan Pra-Pujangga Baroe), karya sastra kita cenderung menampilkan hero dan heroisme dengan berteriak lantang, gegap gempita nyaris tanpa darah dan luka. Puisi-puisi M. Yamin--Bahasa Bangsa--dan Sanusi Pane, misalnya, tampil dengan gagah perkasa dan lantang menyuarakan pemujaan sekaligus kerinduannya terrhadap kebesaran Indonesia masa lalu.
Sajak-sajak Yamin dan Pane sama-sama mengingatkan kita pada konsep kebudayaan kebangsaan yang dianut para pemuda di wilayah pergerakan seperti nasionalisme Jawa versi Soerjo Koesoemo atau nasionalisme Sumatra model Mohamad Amir dan Bahder Johan.
Dalam perkembangan selanjutnya, novel-novel Sutan Takdir Alisyahbana (STA) seperti Layar Terkembang, Kalah dan Menang, serta Grota Azura mencoba membentangkan hero dan heroisme dalam uoaya mensosialisasikan orientasi kebudayaan dan kebangsaan. Justru karena hero dan heroisme tampil kelewat "gagah perkasa" novel-novel STA menjadi kelihatan "musykil" dan ajaib, yang oleh Keitch Foulcher (1991) malahan dikatakan tidak segemilang esai-esainya.
Semangat hero dan heroisme kebangsaan dalam sastra kita mencapai puncaknya di tangan Chairil Anwar yang justru mencampuradukkan hero, heroisme dengan pengorbanan bahkan ketragisan. Puisi-puisi Chairil meski sepentas kilas menggelegar namun menghadirkan antara yang heroik dan yang tragik. Tragik dan heroik saling berpaut, antara maut dan kekalahan senatiasa beriringan dengan sebuah "kebermaknaan": sekali berarti sesudah itu mati!
Pada karya-karya berikutnya tragedi luka-luka kemanusiaan beriringan dengan hero dan heroisme ini semakin tampil mencekam. Luka-luka kemanusiaan yang muncul bersamaan dengan hero dan heroisme itu masuk pada ruang-ruang tragedi pribadi, keluarga dan masyarakat.
Karena itu dalam cerita-cerita Pramoedya dapat kita temukan sebuah kegetiran dan tragedi yang dahsyat ketika seorang bapak harus tega memenggal kepala bapanya yang menjadi mata-mata musuh. Dapat pula ditemukan sorang kakak yang menukar kehormatannya dengan nyawa adiknya yang tertangkap musuh. Pada titik ini pembaca dipaksa untuk menyaksikan tragic of execution, sebuah tragedi yang memperkuat hero dan heroisme, juga sebaliknya hero, heroisme yang memperjelas dan menegaskan ketragikan.
Hero, heroisme, dan ketragisan dalam karya sastra kita juga dihadirkan tidak saja dalam nada getir namun bisa juga sinis, satire bahkan menggelikan. Dalam Corat-coret di Bawah Tanah dan Surabaya, Idrus memandang dari sisi lain peritiwa pertempuran Surabaya. Pertempuran Surabaya yang menggetarkan itu di dalam teks sastra karya Idrus justru ditampilkan dengan parodi.
Para pemuda yang bersenjata dilukiskan sebagai koboi-koboi pemula yang sedang memiliki kegemaran baru bermain-main dengan senjata. Hero dan heroisme tidak lagi diletakkan sebagai sesuatu yang keramat, sakral dan luar biasa namun diletakan pada sebuah situasi kejiwaan yang ganjil yang tumbuh dari situasi chaos yang bisa jadi tidak disadari dan tak dimengerti oleh "sang hero" itu sendiri.
Cerpen-cerpen Idrus ini mengingatkan kita pada naskah Don Quixote de La Mancha karya Carvantes. Melalui tokoh "hero"-nya, Don Quixote (Don Kisot), Carventes menyindir kaum bangsawan dan satriya pada zamannya yang gemar memosisikan diri sebagai hero.
Bagi Carventes (juga Idrus) hero dan heroisme tidak lebih dari khayalan menggelikan dari segelintir orang yang merasa telah berbuat sesuatu yang besar yang sebenarnya hanyalah ilusi belaka dari ketakberdayaan. Heroisme adalah sebuah pelarian dari utopia yang tak kunjung mewujud.
Sudah lama pula, teks-teks sastra dianggap bisa juga mewadahi dan menghadirkan kerinduan akan "hero-hero imajinatif" dari masyarakat akibat krisis hero dalam realitas itu sendiri. Teks sastra dianggap mampu menawarkan suatu gambaran ideal seorang hero yang danggap dapat menawarkan sebuah dunia yang juga ideal justru pada saat realitas sosial masyarakat berada dalam puncak frustrasi.
Contoh semacam ini dapat ditemukan dalam serat Sabda Pranawa dan Kalatida, karya pujangga Jawa terakhir, Ranggawarsita. Kalatida yang berarti zaman edan (disebut juga kalabendu) menggambarkan carut marutnya sosial, budaya dan ekonomi masyarakat akibat krisis pemimpin yang ideal. Penderitaan ini berakhir setelah munculnya pemimpin baru, hero baru bernama Ratu Adil yang membawa masyarakat pada zaman keemasan (kalasabu).
Pada akhirnya, penghadiran hero-heroisme sekaligus tragedi dalam sastra pada hakikatnya ingin menunjukan bahwa realiats sehari-hari gerak-gerik manusia ada batasnya, dalam sastra apa yang terjadi dalam realitas bisa diulang dan diolah kembali dengan berbagai kemungkinan dan penafsiran yang berbeda-beda.
*) Penulis, penyair, dan esais, tinggal di Ngawi, Jawa Timur.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar