Fatah Anshori *
Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya, memilih gambar sampul sebuah foto—yang diambil oleh Bhagavad Shambada—tentang sebuah ruang yang acak-acakan, semrawut, dipenuhi barang-barang elektronik: Tape Recorder, DVD, Televisi yang monitornya seolah dipenuhi asap, tumpukan kabel, kardus bekas, pecahan kaca, PCB dan segala isi benda elektronik yang seperti dimuntahkan. Segalanya berserakan, berantakan, tidak tertata, tapi entah mengapa saya merasa ada sebuah keindahan. Entahlah mudah-mudahan saja estetika di kepala saya tidak sedang error, atau bisa jadi estetika di kepala saya dan kepala teman-teman memang telah berbeda.
Ini hanyalah buku esai sekaligus buku non-fiksi Dea, pertama setelah buku kumpulan puisi, Misa Arwah dan buku kumpulan cerpennya, Bakat Menggonggong yang diterbitkan oleh Buku Mojok. Saya mengerti nama Dea Anugrah sekaligus tertarik untuk membacanya, mungkin gara-gara seluruh cerpen Sabda Armandio yang saya baca habis di websitenya. Dalam cerpen-cerpen itu sesekali Dio mencantumkan nama Dea. Bahkan dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Dio, keduanya bertemu di Gurun Gobi, jika tidak salah saat itu di sebuah gurun pasir Dea sedang memancing ikan lele, dalam wawancara itu mereka seolah tidak terlalu serius membicarakan tentang kepenulisan dan segala isinya, jika tidak salah ingat, mereka sesekali menyinggung game, Suikoden, dan entahlah. Kemudian Dio pamit pulang dengan menumpang Burung Simurgh (burung mitologi)—Benar-benar kelewatankan keduanya, meski mereka tak terlalu banyak membicarakan kepenulisan, namun di tulisan atau laporan wawancara itu keduanya seolah telah menunjukkan pada saya yang tolol ini hal-hal tidak terduga yang hanya bisa dilakukan di dalam kepenulisan. Dan setelah perjalanan agak panjang akhirnya saya membaca Bakat Menggonggong, yang kisah-kisahnya benar-benar diluar nalar asyik dan tampak tidak biasa.
Dalam bukunya yang terbaru ini, ia seolah menjadi orang yang tahu segalanya. Ia seperti mengambil secuil ironi di dunia nyata lalu mengolahnya dengan referensi-referensi asing, kisah sebuah Barbershop di Amerika yang pelanggannya hanya para laki-laki pemberani, tentang seorang yang melepas pekerjaan tetap hanya untuk mengabdikan hidup pada fauna di sebuah pulau, Atau seseorang yang mengacak-acak ilmu pengetahuan dan membuat fatwa baru tentang salahnya geosentrisme yang semuanya mengantarkan ia pada kurungan penjara seumur hidup. Dan masih banyak lagi.
Esai-esai yang ditulis Dea entah kenapa terasa ringan tidak terlalu kaku dan hampir seperti cerita, namun sesekali membuat saya termenung memikirkan lebih dalam beberapa pernyataan yang disampaikan Dea dengan gaya yang tentu saja tidak biasa-biasa saja, dan mungkin juga berkesan quotable. Misalnya, “… Dan setiap yang bisa salah semestinya tidak menghukum orang dengan cara merampas darinya hal-hal yang tak terkembalikan.” Pernyataan itu membuat saya termenung lama dan seolah telah membuat sayatan di dinding ingatan. Ia adalah Bruno, Giordano Bruno seorang kosmolog, filsuf, dan bekas biarawan Dominikan yang dibakar hidup-hidup oleh Gereja Katolik pada 17 Februari 1600. Ia menolak pandangan geosentrisme yang mana Bumi sebagai pusat semesta, segala benda langit mengitari Bumi. Sementara pada masa itu Gereja menyatakan bahwa Bumi adalah pusat semesta. Orang-orang bekerja dan mencari keselamatan di Bumi. Seandainya ada kehidupan lain di planet-planet yang jauh, universalitas agama-agama di Bumi jelas akan terganggu. Orang akan bertanya, apa peduli mereka, penghuni planet lain terhadap ajaran rasul-rasul yang seluruhnya lahir di Bumi, yang tidak pernah berbicara tentang mereka, dan terakhir iman-iman agama Ibrahimi yang di dalamnya termasuk Kristen, agama-agama Samawi yang menempatkan Tuhan sebagai entitas esa yang tidak bisa disamakan dengan apapun. Itulah yang dilakukan Bruno, ia membuat pernyataan-pernyataan yang bertentangan dengan Gereja. Meski ia tahu itu akan membuatnya celaka. Mengusik Gereja mungkin juga mengusik orang banyak yang sudah nyaman dengan sistem dan dogma yang diterima begitu saja, tanpa berusaha mencari pembenaran. Dan melakukan penentangan berarti melawan orang banyak yang akan membuatnya celaka, dan anehnya itu tetap dilakukan.
Buku ketiga Dea ini adalah kumpulan esai yang mungkin terlalu menyenangkan. Mungkin juga sudah menjadi gaya menulisnya, ia tidak mau tampak sebagai penulis-penulis baik pada umumnya, ia memilih gayanya sendiri. Namun entah kenapa di esai terakhir buku ini: Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya. Saya seolah melihat Dea sebagai penulis yang tampak sederhana, tidak berusaha menunjukkan segala kemampuannya yang kerap membuat saya geleng-geleng kepala dan bertanya bagaimana cara membuat tulisan semacam ini. Di esai itu Dea seolah jujur mengisahkan salah satu pengalamannya ketika bersama teman sekampungnya. Keduanya mungkin teman yang akrab dan pernah melalui masa-masa yang tidak bisa dilupakan bersama. Namun ketika keduanya bertemu kembali setelah lama tidak bertemu, keduanya telah memiliki isi kepala yang berbeda. Seorang teman beranggapan seluruh masalah Indonesia akan selesai jika Indonesia menjadi negara seperti ini, dan Dea seakan tidak terima, secara spontan ia melontarkan argumen yang samasekali bertolakan. Si Teman lantas terdiam dan segera beranjak dari Dea. Mungkin itu semacam pukulan telak bagi si teman dan sebuah kekecewaan besar bagi Dea karena temannya telah meninggalkannya. Di esai terakhir itu Dea mencoba mengolok-olok dunia ideal, orang-orang optimis, keputusasaan dan bagaimana kita harus menjalani kehidupan. Itulah yang barangkali ingin dikatakan Dea. Tidak pernah ada dunia ideal seperti surga, dunia yang hanya dipenuhi orang-orang baik, dunia yang dipenuhi para malaikat, atau dunia yang barangkali hanya dipenuhi kue apem, begitu ucap Dea di esai terakhirnya.
Mungkin saya sudah terlalu kelewat berpanjang lebar di sini. Mungkin lebih lengkapnya silakan kawan-kawan cari sendiri bukunya, baca dan tafsirkan sendiri perkara-perkara sepele hingga kelewat rumit yang ditulis dalam buku Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya, Dea Anugrah. Dan terakhir saya seperti baru mengerti bahwa gambar sampul yang dipilih Dea untuk bukunya benar-benar sangat mewakili tulisan-tulisan Dea.
________________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com
http://sastra-indonesia.com/2020/03/membaca-esai-esai-dea-anugrah/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar