Sastra tanpa Aksara dalam Lontar tanpa Tulis...
IBM Dharma Palguna
balipost.co.id
BATIN punya telinga, biasa disebut telinga batin. Badan jasmani punya dua telinga. Tidak tahu saya, berapa banyaknya telinga batin. Tak juga saya diberitahu oleh siapa pun, apakah telinga batin berhubungan dengan pikiran, atau dengan ego, atau barangkali berhubungan dengan intelek.
Saya hanya dinasihati oleh Tradisi agar menggunakan telinga batin untuk mendengar suara yang tak tertangkap oleh telinga jasmani. Tradisi yang menasihati saya tidak menjelaskan sesungguhnya telinga batin itu apa. Tapi Tradisi berhasil meyakinkan saya, bahwa dengan telinga batin akan dapat didengar suara yang amat halus tentang hal yang juga bersifat suksma atau halus. Kata Tradisi, Pribadi yang sedang mendengar dengan Pribadi yang sedang bersuara, dipisahkan hanya selembar kelir jasmani. Itulah komunikasi yang paling dirindukan manusia. Karena akan membebaskan manusia dari lupa yang membuat kesadaran tidak ingat dengan jatidirinya.
''Yang didengar'' (smrti) begitulah konon suara itu disebut. Dan seperti itulah sastra pada mulanya dipahami: sesuatu yang didengar. Apa yang didengar kemudian disampaikan kepada orang yang patut atau boleh mendengar. Aturan tentang boleh dan tidak boleh dengan sendirinya ada secara alamiah. Karena suara halus hanya bisa didengar oleh orang yang punya kehalusan. Demikian seterusnya, melewati waktu yang terus berjalan, menyinggahi peradaban yang berkembang dan terus dikembangkan.
Sementara itu, suara yang menyebabkan sastra pernah dikelompokkan sebagai ''yang didengar'' tidak pernah lagi didengar. Bukan karena suara itu hilang, atau telah meniadakan dirinya, atau ditiadakan oleh waktu. Karena telinga tidak lagi benar-benar dilatih untuk mendengar. Karena apa yang dulunya didengar kini berubah menjadi dibaca. Ketika sedang membaca telinga kita tutup. Dengan sarana dua mata, pikiran memandang aksara dalam kata. Intelek memaknai teks dan konteks. Tahulah kita, telah terjadi perpindahan dari telinga ke mata. Perubahan itu kita sebut perkembangan. Tidak usah buru-buru menamainya kemajuan atau pun kemunduran.
Mencari jejak bangau terbang, begitu metafora yang sering dikatakan orang kepada saya, baik ketika saya bertanya maupun tidak. Jejak itu pasti ada, katanya. Tinggal bagaimana menemukannya. Pencarian yang dilakukan para pemikir sejak zaman dahulu, akhirnya menemukan jejak itu bukannya di langit, atau di awan, tapi di dalam diri Si Pencari. Begitulah tradisi mengajarkan; apa yang ada di dalam tidak bisa langsung digali di dalam. Ia pertama-tama harus dicari di luar. Mau damai harus perang dulu. Malam hanya didapat setelah melewati siang. Begitu pula yang disebut kosong hanya didapat dengan menghilangkan kepenuhan. Hanya orang yang penuh (siddhi) bisa mengadakan Yang Kosong (sunya) di dalam dirinya. Orang yang tidak pernah penuh tidak bisa menjadi kosong. Orang yang berangkat ke timur akan datang dari barat. Demikian pula sebaliknya. Karena, katanya, bumi ini bulat.
KEINDAHAN sastra bukan melayang-layang antara bahasa dan pikiran pembaca. Keindahan itu nyata ada pada orang yang bersastra ketika mereka telah menjadi sastra itu sendiri. Begitu saya diajarkan, dan seperti itu saya memahami. Sastra seperti itu akan nyata ada bila ada orang menjadikan dirinya sastra. Seperti sebuah jalan, ia hanya akan ada kalau ada orang berjalan. Keindahan yang dijanjikan sastra semacam itu akan nampak nyata pada orang yang berhasil dalam proses ''menjadi'' itu. Jalan setapak akan membentang sampai tujuan, bila Si Pejalan Kaki telah sampai ke tujuan. Sastra tidak terbatas pada bahasa, tidak juga pada pikiran, tapi di luar itu. Perjalanan juga tidak terbatas hanya pada fisik, dan jalan, serta tujuan. Perjalanan dipahami sebagai proses ''menjadi''.
Ungkapan ''sastra tanpa aksara dalam lontar tanpa tulis'' sering dijumpai dalam pembacaan teks produk abad silam. Ungkapan itu kita pahami sebagai suara dari masa lalu. Sepertinya mereka yang bersastra pada masa itu telah sampai pada batas akhir bahasa. Mereka mungkin sampai pada ruang yang tidak lagi bisa dimasuki bahasa. Konsekuensinya, tidak juga bisa dimasuki pikiran. Karena itu, untuk melanjutkan perjalanan batinnya, mau tidak mau bahasa ditanggalkan dan ditinggalkan. Harus rela, betapa pun indahnya seni bahasa. Bila tidak, bahasa akan menjadi beban menambah berat perjalanan ke tujuan. Seperti perahu mengantarkan orang ke seberang sungai. Setelah sampai, perahu itu ditinggalkan bila perjalanan hendak dilanjutkan. Apalagi yang ingin dituju adalah puncak gunung. Keindahan perahu adalah hambatan sebuah pendakian. Alangkah akan ironisnya, bila ada orang mendaki gunung dengan menjunjung perahu di atas kepalanya.
Ruang yang terbentang dari tepi kali, tempat menamatkan perahu-bahasa, sampai di puncak gunung disebut ruang kesepian penuh bahaya. Jalan yang menghubungkan kedua titik itu disebut jalan tan pabalikan yang artinya tidak ada sarana untuk kembali. Yang akan terjadi hanya hilang. Entah karena gagal mencapai puncak, alias tersesat, atau hilang karena sudah berhasil, sudah sampai, tiba, menjadi. Keduanya sama-sama hilang. Keduanya tidak sama.
Susah membedakan dua jenis hilang itu. Seperti orang tidak ngomong karena tidak tahu bahasa, dan orang tak lagi ngomong karena kenyang-bahasa. Banyak mahakawi mengaku ''tak bersastra'' setelah ia sampai pada sastra. Sebaliknya banyak orang yang telah berhasil meninggalkan perahu gagal mencapai puncak. Lebih banyak lagi yang gagal meninggalkan perahunya. Yang paling banyak justru gagal menyeberangi sungai. Yang jauh lebih banyak dari itu adalah orang yang sama sekali tidak menyeberang. Tetapi saya dinasihati agar tidak tertipu oleh penampakan. Katanya, orang yang sudah sampai akan nampak tidak berbeda dengan orang yang sama sekali tidak menyeberang.
Bahwa orang telah sampai di tepi yang lain dari sungai kehidupan, adalah sebuah prestasi dari proses penyeberangan yang meletihkan. Tiba dari tepi yang satu, yang kelihatan justru tepi yang satu lagi, tempat ia mulai penyeberangan. Keberhasilan menyeberang membuatnya kesepian. Kesepian itulah anugerah tertinggi kalau selanjutnya tidak berani membalikkan kesadaran. Sensitivitas adalah rahmat, dengannya banyak misteri dapat ditembus jauh ke dalam. Tetapi sentimentalitas adalah bencana yang bisa lahir dari sensitivitas.
Ruang antara tempat tertambatnya perahu dengan puncak gunung itulah yang sering disebut-sebut sebagai daerah ''sastra tanpa aksara dalam lontar tanpa tulis''. Bagaimana cara membacanya, atau, bagaimana cara mendengarnya? Reaksi badan halus nonmateri adalah pertanda terjadinya komunikasi antara yang berjalan dengan sastra tanpa aksara dalam lontar tanpa tulis. Proses leburnya yang berjalan di ''daerah'' itu bisa ditandai dengan mulai dirasakannya kebahagiaan yang tidak jelas asal-usulnya. Benda macam apakah kebahagiaan itu? Jangan bertanya seperti itu. Kebahagiaan bukanlah sesuatu untuk dijelaskan, tetapi dirasakan. Dengan apakah orang bisa menjelaskan apa itu asin, kalau tidak dengan ikut makan garam. Seperti asin atau manis, kebahagiaan adalah rasa. Agama menyebutnya rasa utama. Sastra menyebutnya rasa yang dalam. Kebahagiaan itulah janji sehingga sastra tanpa aksara dalam lontar tanpa tulis menjadi topik yang dicita-citakan. Apalah artinya bersastra jika darinya tidak didapatkan rasa menjanjikan itu. Diibaratkan orang menjunjung kendi berisi susu. Akan sia-sia jika tidak pernah meminum rasa susu itu. Diumpamakan orang yang setiap hari melakukan ritual agama, tetapi tidak mampu merasakan kehadiran ''yang halus'' akan sia-sia juga.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar