Muhammad Rain *
Di antara banyaknya pengguna kata dalam dunia sastra puisi, pakaian kata tentu berganti-ganti dipakai oleh penyairnya. Tuntutan adanya variasi akibat keseringan menggunakan kata yang sama disokong oleh pengaruh yang ingin menjembatani penulis puisi (penyair kata-kata) agar bahasa yang diramunya dapat terus terasa segar saat dibaca. Harapan puisi dapat mengalir seiring berkembangnya mode kata-kata selalu ada di setiap even penulisan. Dekade setelah reformasi, lemari kata-kata makin ramai dipenuhi oleh rujukan modernitas pengucapan. Bahasa (kata) yang biasa disusun ulang itu selanjutnya mempertemukan kemungkinan-kemungkinan pemaknaan baru, pola susunan putar-balik, transendent dan revision dari kedua sisi yang melingkupinya, baik secara ejaan maupun semantiknya.
Konsep kata pada dasarnya berunsur konvensional. Penyair tidak menulis untuk kalangan biasa, selanjutnya pakaian umum kata ini (kata bermakna lugas) dibordir, digosok dalam lajurnya yang baru, ditambah personil asesorisnya guna mempertinggi nilai abstraksi hasil penafsiran prismatis yang kelak dikehendaki penulis jika puisinya diapresiasi secara maksimal kelak, baik oleh pembaca umum apalagi kritikus yang eseis pula. Marilah kita cermati beberapa tanda pengubahan pakaian kata yang berusaha dikreasikan oleh penulis-penulis puisi berikut ini.
Penyair Satu
Judul Puisi: aku, setan, dan tuhan
Judul Antologi: Putri Berkicau
Karya: Putri Sarinande
Penerbit: Pustaka Kemucen
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 26
ibuku pernah bilang bapaku sudah mati
ibuku juga bilang bapaku itu setan
padahal bapaku sedang main judi
padahal bapaku hanya dikelilingi perempuan dan minuman
bapaku pernah bilang ibuku adalah setan
bapaku juga bilang bahwa ibuku jalang
padahal ibuku hanya seorang perempuan
padahal ibuku hatinya sedang meradang
ibuku menangisi aku yang mati
bapaku menangisi aku yang mati
semua menangisi aku yang mati
tapi ada satu yang menertawai aku yang mati
apakah dia setan?
bukan, dia bukan setan.
lalu siapa jika dia bukan setan.
dia adalah tuhan.
Mencermati puisi beraroma posmo di atas, pembaca sudah meyakini bahwa ini dunianya puisi, bukan dunia sehari-hari yang biasa manusia jalani. Pakaian kata yang dipakai di puisi ini murni telanjang dan nyaris tanpa berandai-andai, alias terbuka, langsung pada pokok persoalan. Sindiran juga gugatan tentang tuhan disampaikan secara keras oleh pengguna pakaian bahasa puisi di atas. Tuhan dianggap setan. Terlepas unsur ekstrinsik di atas, si penulis puisi bukan lagi murtat sebenarnya dalam menyampaikan tema gugatannya ini, namun ia ingin kita yang membaca paham, seperti apakah keyakinan bertuhan yang kita miliki, pakaian dalam berketuhanan yang bagaimana idealnya bagi seseorang yang mengaku beragama? Apakah kita sudah bertuhan dan beribadah juga percaya teguh terhadap takdir dari tuhan tersebut.
Bandingkan dengan puisi berikut:
Penyair Dua
Judul Puisi: Arah Kiblat
Karya: Faradina Izdhihary
Penerbit: Nurul Haqqy Publishing
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 29
tuhan menjelma dalam sarang burung,
mengerami telur-telur,
menghangatkan kasih ibu dan anak.
nafsuku bergelut pada bibir yang saling kecup,
pada tangan yang saling mendekap,
pada birahi yang tak bertepi.
tuhan dan nafsuku adalah satu, berkejaran dalam darah.
memuncak gairah: ketika ajal merekah
seperti gunting yang memotong tali, pada busur-busur mimpi
yang melejit tanpa kendali
pada tuhan sungguh aku bernafsu,
pada nafsu aku bertuhan
ke mana menemu arah kiblat?
Sadar tidak sadar, penulis puisi kedua ini sedang menawarkan alamat kiblat bagi kita, yang bagi orang muslim kiblat dianggap sebagai arah menghadap dalam beribadah (salat, wudhu, mandi junub bahkan menyembelih hewan dsb.) Kiblat yang dikehendakinya di sini mengarah kepada fungsinya secara visioner yang berarti arah pencarian dirinya sebagai makhluk berkeinginan memenuhi nafsunya. Penulis mempertanyakan pakaian kata sebagai eksistensi yang bagaimana sebenarnya dalam mencari tuhan? Berbeda cara pandang oleh yang ditampilkan penyair satu "aku, setan, dan tuhan" yang lebih mengambil jahitan kata-kata untuk membentuk pakaian pemahaman menjahit pakaian kebertuhanannya secara original, murni mode sendiri, desain sendiri. Meskipun pembicaraan kedua tema puisi tersebut masih soal ketuhanan, masih berwujud ketauhidan, kepercayaan yang menjadi akar sikap manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia.
Dua penyair di atas dengan terang sedang memutar benang pencarian pakaian kata mereka, yang satu memakai benang nilon tebal dan jarumnyapun tergolong besar, yang satu dengan jemari lentik kata perlahan menjahit menggunakan jarum berukuran lebih kecil dan cenderung sentimentil meski ditutup juga dengan keterbukaan sebuah jahitan yang belum kelar. Tentu jika pembaca ingin melihat pakaian mereka kedua ini, model-modelnya bagaimana saja dalam selemari yang terkumpul harus membaca sendiri dan dengan bebas menafsirkan seperti apakah sesungguhnya pakaian bahasa (kata) yang mereka pakai dalam buku antologi puisi mereka.
Selanjutnya kita cermati dua penyair lagi berikut ini dengan pakaian yang lebih halus kainnya bagai sutra, dengan benang jahit yang lebih limit dalam menawarkan bidang-bidang modenya sesuai selera penyairnya dalam menciptakan pembalut badan puisi sebagai bahan pokok alias bakal yang terkesan kontras dengan dua puisi di atas.
Penyair Tiga
Judul Puisi: Tahajud Ilalang
Judul Antologi: Sajak Emas 200 Puisi Sexy
Karya: Dimas Arika Mihardja
Penerbit: Kosa Kata Kita
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 44
setiap pagi dan petang, ilalang bergoyang
inna shalati wa nusuki...
rakaat demi rekaat merayap
di dinding rumah:
alifku rebah
siang merajut sujud
malam merenda kalam
iqra bismirobikaladzi...
setiap saat kubacabaca 99 nama:
jemariku letih
ilalang di belakang rumah
tak lelah
ibadah
juga
Penyair Empat
Judul Puisi: Diruapi Malam Harum, VI:I-ILXXVII
Judul Antologi: Kitab Para Malaikat
Karya: Nurel Javissyarqi
Penerbit: Pustaka Pujangga
Tahun Terbit/Hlmn: 2007 : 36
Ruh yang diberkati menyatukan jiwa sedenyut kasih sekapas lembut bertiup
melepaskan ada-tiada dalam ruangan sesama, seturut kehendak melati (VI:XXIX).
Ia dekati dadamu atau kau pada gemuruh jiwanya, rasakan keterbangunan
beling dingin ratapan, dan khusyuk sayap-sayapmu menjemput niatan (VI: XXX).
Bulu-bulu bebas meninggalkan kekang mengikuti panggilan gemawan,
merindu-rindu cahaya pembuka di jemari tangan-tangan dedoa (VI: XXXI).
(.....)
Hadir berdemaman didekapnya kesembuhkan, masukilah sumsum iman,
lantas kembalikan cinta dari kubangan rindu, kubur kenangan ajal (VI: XXXIX).
Apa yang menjadi pakaian penyair tiga meski masih berbahan sutera namun jahitannya tetap berbeda dibandingkan pakaian bahasa (kata) yang dipakai penyair empat. Penyair tiga dengan rutinnya memperhatikan jahitan pakaian kebertuhanannya lewat 99 jahitan tersebut, saban hari, saban waktu sampai lelah jemarinya meletih. Mengambil simbol ilalang yang beribadat di belakang rumah dengan perbandingan taatnya si "aku" lirik dalam beribadah pula, menyebut nama (asma) tuhannya. Sebagai insan kamil, makhluk yang seharusnya memimpin dunia, penyair tiga menyampaikan poin kritiknya bahwa manusia harus berpakaian syukur, syukur sebab ia dicipta lebih sempurna maka sebab itu tak pantas melupakan ibadahnya pada khalik. Ilalang sujud, manusia yang memiliki perangai tak rutin sujud, tak yakini lagi arti penciptaannya. Keindahan pakaian sindiran penyair tiga dengan lembut berupaya mencapai kesadaran mata, hati dan kelembutan peribadatan yang wajib dimiliki setiap umat manusia yang mengaku bertuhan.
Penyair empat menggunakan metode pakaian bahasa justru berbeda dari kebanyakan penulis puisi lain. Seolah tidak sedang berpuisi jika kita lihat dari ketiadaannya bait dan larik. Kalimat-kalimat meluncur sebagaimana seorang petasbih yang berzikir dalam mabuknya doa dan kata-kata, barangkali penyair jenis empat ini sudah muak dengan pakaian bait dalam berpuisi, ia merombaknya mendesain sendiri tipografinya sehingga penampilan pakaian bahasa yang dikenakan dalam berpuisi dan bergaya di bidang kesusastraan semacam pengasingan diri, asing di tengah riuhnya ramai penulis-penulis puisi yang masih memakai jahitan model konvensional. Kain-kain perca bahasa ia satukan, setiap kalimat berlintasan berlepasan dan berbuih namun tetap mencirikan ombak penampilan puisinya.
Kalimat-kalimat berupa larik puisi menyusun jedanya masing-masing, keadaan yang menjadi fasilitas kebermaknaan puisi berupa bait dari berlarik-larik pakaian kata selanjutnya menemukan ceruk, mendapati lubang-lubang penuh buih. Pembaca yang penasaran dan terlihat jarang menemukan pakaian kata di dalam puisi sejenis selanjutnya mengajak dirinya untuk mau mengetuk. Sebab dasar dari tujuan membaca adalah memahami maksud yang disampaikan penulis, dalam hal ini penulis puisi bukan penulis umum yang sekedar mencaplok kata-kata dari kamus dan kebiasaan pemakaiannya di lingkungan dunia penulisan. Kerjanya sebagai penghimpun pakaian kata yang unik justru mengharuskan dirinya sebagai pekerja seni bahasa untuk bekerja serius memperbaharui tenaga kata, mempertinggi nilai kandungan bahasa, juga turut mewaspadai matinya kata-kata yang akhirnya justru jadi kain lap, pembersih debu di dapur atau kain perca sebagai alat rumah tangga sekedar untuk dipijaki kaki yang kotor oleh tamu maupun tuan rumahnya.
Lemahnya daya kreasi pendesain pakaian kata akan mempengaruhi nilai dan mutu karya yang diciptakannya. Pengunjung lemari puisinya (pembaca antologi puisinya) hanya melihat sekilas pintas belaka terhadap pajangan di dalam lemari kaca itu, tidak mau memegangnya, memilih-milihnya mana yang cocok sesuai jiwa dan selera dan bahkan seperti melihat pameran mode maju yang konon justru memasang diskon besar dan obralan murah meriah. Kesan bahwa penyair sebagai tukang loak kata-kata tak bisa tidak dengan miris akan dihadapi oleh kaum sastra, keadaan seperti ini tentu tak layak dibiarkan. Perlu ada pemerhati desain kata, perlu ada tukang ukur kat, tukang pasang kancing kata, tukang jahit pinggir kata. Misalnya editor buku puisi, illustrator sampul buku puisi, juga penerjemah warna lokal (pakaian lokal) dalam buku puisi yang dibutuhkan untuk membedah nilai secara mumpuni, nilai kekaryaan, nilai konstruktif yang ikut membangun tingginya mutu karya sastra puisi.
Korelasi dunia kata-kata dengan dunia berpakaian sesungguhnya seperti melihat sesosok manusia modern yang rapi berdasi namun kalimat-kalimat pidatonya sebagai seorang pemimpin justru tidak seideal pakaian (pembalut tubuh) yang dikenakannya. Banyak sudah contoh perilaku kemanusiaan bangsa kita yang tanpa disadari telah meninggalkan kebudayaan dalam berpakaian perilaku berupa kata-kata pantas. Orang bermobil tapi caciannya kepada pengemis seakan lebih rendah dari bahasa penjahat. Perkataan justru menjadi penggenap kurangnya penampilan seseorang, jika ia seorang yang sederhana namun kalimat-kalimat yang diutarakannya sungguh memikat hati, tak urung orang lain bisa menganggapnya guru yang berbudi bahasa. Tradisi kita sebagai orang timur memang suka sekali memperpanjang kata-kata, memutar-mutarkan kalimat sehingga meliuk tak berujung pangkal, nah di sinilah perlu kita sikapi bahwa roda jaman mengharapkan kita lebih hemat dalam berkata, layak mempertimbangkan kepraktisan namun pemugaran ini butuh etika dan kedinamisan yang bijaksana.
Penulis puisi tidak serta merta dapat membebaskan pemakaian bahasanya dengan segala alasan yang tidak konstruktif, yang justru tidak ada sangkut pautnya dengan meninggikan mutu/nilai pakaian katanya. Compang-camping dan meresahkan hati pembaca. Sikap dewasa dalam berpuisi menggunakan kata berhati, bernas dan tetap sederhana justru tak ada ukuran idealnya. Lain lubuk lain ikan, dengan ragam bahasa yang ribuan suku ini, bangsa kita membutuhkan sikap berbahasa yang berlandaskan rasa kebersamaan. Konsep pembinaan bahasa yang dilakukan oleh lembaga bahasa Indonesia di seluruh propinsi sudah selayaknya disikapi proporsional, ranah sastra tak luput pula dari perhatian lembaga tersebut, proyek-proyek kreatif kesusatraan turut pula diatur secara bersinergi dengan sekolah-sekolah, lembaga kesenian di tiap daerah, para penyair lokal juga pemerintahan yang punya tuntutan kerja di bidang ini, bidang mengatur pakaian bahasa yang sepantasnya.
Tradisi menulis terpengaruh pula dari lingkungan di tempat penyair puisi tumbuh, jika Anda orang Medan, tentu bahasa lugas, tuntas dan tegas ikut menjadi bumbu puisi yang ditulis, jika Anda berlatar belakang masyarakat sosial suku Jawa, maka tak ayal bahasa Anda penuh santun dan sangat mempertimbangkan bunyi, jika Anda berlatar Melayu, bahasa Anda menjadi semacam pantun yang melambai seperti pucuk-pucuk para, atau jika pun Anda seorang Aceh yang gemar bercerita, bahasa Anda sedikit banyak nantinya dalam menulis puisi akan tampil ketegasan, kesopanan dan sedikit intonasi meninggi yang menyerupai dialektika orang Batak, Padang bahkan Bali.
Rumah puisi yang kita ibaratkan tadi semacam lemari kaca buat meletakkan pakaian-pakaian bahasa tersebut, harus berhasil menunjukkan kemauannya untuk menyesuaikan mode/desain dan tuntutan atmosfer baru dalam kancah seni bersastra puisi. Kita tak mungkin menggunakan pakaian bahasa seorang Amir Hamzah yang sudah usang bukan? Namun bukan dengan demikian artinya kita tidak menghargai usaha seorang pujangga besar di dekade kesusastraan lama ini, sebab dengan demikian kita telah bekerja di luar batas-batas kedirian kita, orisionalitas bangunan dasar (foundament) kesusastraan kita. Perlu dengan dewasa mencermati, apa yang penyair-penyair besar itu tanam (termasuk seorang Chairil Anwar) dengan benih mutu yang baik pada akhirnya memunculkan batang tubuh kesusastraan Indonesia yang kekar dan tahan cuaca.
Namun adalagikah upaya kita selain memelihara apa yang sudah ada, yang sudah menjadi pakaian kesusastraan kita untuk selanjutnya berubah, berevolusi sesuai jamannya? Kebijaksanaan para kreator pakaian bahasa kita jangan sampailah melanggar etika ketimuran kita, lupa diri dan Salah Asuhan dalam modernitas yang justru menjadi Belenggu, sementara Layar Terkembang jangan lagi menjadikan bangsa sastra masuk jurang. Manifes ya Manifes , Lekra ya Lekra, tapi kini jaman Millenia, segala yang secuil dapat menjadi api, segala yang menggunung dapat menjadi cenung.
Manusia mencapai kodratnya sebagai makhluk bahasa dan menempati keindahan sebagai tanah untuk berpijak dan di sinilah ia melangkah dengan pakaian bahasa, bahasa sebagai fitnah jika tak dipakai semestinya, bahasa yang membunuh jika ia menjadi harimau bagi dirinya, tentu saja kebutuhan pakaian baru selalu ada, rasa ketidakpuasan menjadi hukum alam dunia manusia, apa yang sudah lewat tidak semuanya perlu diubah dan apa yang di hadapan justru membutuhkan esensi dari pencapaian kodrat manusia demi kemaslahatan dunia seni sastra secara umum dan keberlangsungan berkarya para penyair itu. Sebetulnya tidak semua sastra yang membawakan suara jamannya pasti sastra yang baik, seperti pendapat Budi Darma (dalam buku Sejumlah Esei Sastra, cetakan 1, 1984:15). Sebab, kalau sastra yang membawakan suara jamannya adalah sastra yang baik, maka sastra yang baik ini adalah sastra yang latah dan tidak mempunyai kepribadian. Setiap jaman memang membawakan mode tersendiri. Dan seseorang yang latah adalah hasil jamannya dan sekaligus membawakan suara jamannya.
Jaman pembredelan sudah lewat maka di depan kita akan melihat sebuah jaman di saat buku menumpuk tanpa pembaca, nilai dinamis menjadi raja, kebermaknaan menjadi harga dan kesetiaan kepada pakaian bahasa menemukan tantangan besar. Marilah kita hadapi bersama sebuah masa transisi di antara kendaraan seni sastra yang makin berlintasan, kawan dan lawan harus tetap sejalan jangan bugil jangan malas bercermin seperti apa sudah pakaian bahasa kita? Selamat berjuang.
Langsa-Indonesia, 14 Juni 2011.
Muhammad Rain; bernama asli Muhammad, dilahirkan di Peureulak, Aceh Timur pada tanggal 14 September 1981. Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Medan, tahun 2004. Sekarang sebagai staf guru di SMAN 4 Langsa sekaligus dosen di beberapa PTN dan PTS di daerah Langsa maupun Aceh Timur.
http://sastra-indonesia.com/2011/06/pakaian-bahasa/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 25 Mei 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar