Senin, 25 Mei 2020

Yasunari Kawabata, Deru Gunung

Fatah Anshori *

Deru Gunung, gelora cinta usia senja. Novel Kawabata ini diterjemahkan oleh Nurul Hanafi dari versi Bahasa Inggrisnya, The Sound of the Mountain yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1954. Seperti kata M Aan Mansyur dalam Kata Pengantar yang ia berikan untuk buku ini, bahwa membaca Deru Gunung adalah melakukan perjalanan yang membosankan dan menyenangkan, menyakitkan dan indah, menyedihkan dan berwarna-warni, sederhana dan penuh rahasia, singkat dan tak berujung. Secara keseluruhan saya agak setuju dengan apa yang dikatakan M. Aan Mansyur.

Deru Gunung adalah buku kedua Kawabata yang saya baca di tahun 2017. Di buku pertamanya yang saya baca, Cerita–cerita Telapak Tangan yang merupakan kumpulan cerpen-cerpennya, saya tidak menaruh banyak ketertarikan pada tulisan-tulisan Kawabata. Saya merasa ia sama saja dengan penulis-penulis lain yang tidak memiliki karakter kuat yang bukunya saya baca kemudian selesai, tidak mengusik dan meninggalkan bekas di kepala saya, dan seiring berjalannya waktu saya lupa begitu saja pada Kawabata dan tulisan-tulisannya. Atau sangat mungkin itu juga karena ketololan dan kekurangtajaman saya dalam memerhatikan karya sastra sehingga saya menganggap Kawabata biasa-biasa saja, saat membaca Cerita–cerita Telapak Tangan di buku tersebut saya merasa beberapa cerita tampak mengambang dan samar-samar. Sama sekali berbeda dengan pengalaman membaca Norwegian Wood, Haruki Murakami.

Apa yang Murakami ceritakan tampak jelas sebagaimana sebuah film, seolah tidak ada hal yang sublim di dalamnya. Meski Murakami dalam Norwegian Wood tampak menggunakan tokoh-tokoh yang saya rasa abnormal, sedang mengalami gangguan psikologis sehingga sangat menyimpang dari kebiasaan tokoh manusia pada umumnya. Keganjilan atau penyimpangan-penyimpangan semacam itu mungkin secara tidak sadar telah membuat saya memberi perhatian yang lebih pada Murakami dan membuat namanya seperti terpatri dalam ingatan saya. Sebagaimana kita tahu beberapa guru di sekolah kita pernah mengatakannya, untuk menjadi murid yang selalu diingat para guru jadilah yang paling pintar atau yang paling bengal, jangan pernah jadi yang setengah-setengah. Mungkin semacam itulah yang dilakukan Murakami.

Sangat berbeda dengan Kawabata di novel Deru Gunung kalian akan menemukan perjalanan yang membosankan sekaligus menyenangkan. Kita akan menemui kejadian sehari-hari yang tampak biasa-biasa saja. Menyaksikan seorang kakek berbicara dengan anggota keluarganya, mengamati pohon, percakapan di kereta api saat berangkat kerja, atau seorang kakek yang mampir belanja bahan masakan saat pulang kerja. Sebelumnya saya merasa hal itu merupakan kejadian biasa-biasa saja, sebelum saya sadar bahwa didalamnya seperti ada yang berbeda diantara kewajaran yang kerap kita jumpai dalam keseharian kita.

Sebagai otodidak saya tidak begitu banyak mengerti tentang perihal-perihal kecil di dalam novel, teknik menulis, gaya kepenulisan, atau unsur-unsur lain yang membuat sebuah cerita itu tampak bagus dan pantas dikatakan sebagai sebuah karya sastra. Saya hanya mencoba meniru apa yang dilakukan penulis-penulis itu didalam karyanya, kadang memodifikasinya menjadi sebuah cerita baru, memotong-motong adegan kedalam cerita baru, atau berusaha memerhatikan hal-hal kecil seperti jenis pohon, budaya lokal di mana cerita berlangsung. Di Deru Gunung, Kawabata seakan mengumbar psikologis tokohnya, menceritakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh tokohnya. Membuat narasi-narasi dari perasaan dan pikiran seorang tokoh mungkin adalah sebuah teknik tersendiri, yang saya rasa sangat tidak mudah untuk dilakukan jika tidak terbiasa. Dan Kawabata melakukannya dengan sempurna, dengan tempo dan irama yang seolah telah diperhitungkan secara matang. Pada saat-saat tertentu membaca Deru Gunung kita akan merasakan sedang membaca haiku atau semacam puisi dengan kalimat-kalimat yang indah dan terasa lembut.

Sekali lagi membaca karya sastra luar menurut saya adalah pengembaraan ke ranah asing, sekaligus mencoba mengenalinya meski dengan mengeja dan terbata-bata. Sebagaimana kata Eka Kurniawan, membaca karya sastra adalah meneropong suatu bangsa dari celah yang sangat kecil. Kita akan mencoba menafsir dari hal-hal yang berhasil kita tangkap melalui sebuah karya sastra. Sebagaimana pengalaman membaca Deru Gunung, kadang semua terasa samar, plot yang tidak jelas entah akan membawa kita kemana, bahkan kita harus siap menerima kemungkinan akan sampai pada hal-hal yang tak berujung. Kita tidak menemui klimaks dari sebuah cerita. Sama sekali berbeda dengan sebuah film yang kerap memiliki klimaks sebuah cerita. Dan rasanya kepuasan semacam itu seolah adalah imbalan yang harus kau dapat setelah membeli tiket untuk sebuah film.

Tapi entah kenapa beberapa karya sastra ditulis dengan ending yang tampak tak memiliki ujung. Seolah cerita belum selesai, namun sebagaimana kata M Aan Mansyur, hal semacam itu merupakan estetika dari sebuah cerita. Sebagaimana pernah saya lakukan juga, sebagai penulis saya mengalami kepuasan tersendiri ketika menyelesaikan sebuah cerita yang tampak mengambang dan seolah belum selesai. Dan ini seperti memberikan lubang pada pembaca untuk mengira-ngira seperti apa cerita selanjutnya atau pembaca lain akan tampak penasaran dengan kejadian selanjutnya dan merasa tidak terpuaskan. Mungkin ini yang dimaksud kita telah memberikan ruang berpikir bagi pembaca, memberikan kebebasan untuk menafsirkan apa yang akan terjadi selanjutnya dan semacamnya. Sehingga semua itu dilakukan bukan karena penulis egois atau apa tapi yakinlah, mungkin mereka hanya ingin melakukannya saja seperti yang pernah saya lakukan satu atau dua kali jika saya mau.

Terakhir saya mohon maaf saya tidak banyak mengulas tentang bagaimana keseluruhan cerita di novel Deru Gunung, tapi jika anda mau silakan baca sendiri dan rasakan perjalanannya.

Catatan:
Haiku: puisi Jepang yg biasanya menggunakan ilusi dan perbandingan, terdiri atas 17 suku kata yg terbagi menjadi 3 larik, larik pertama 5 suku, larik kedua 7 suku, dan larik ketiga 5 suku.

____________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com
http://sastra-indonesia.com/2020/05/yasunari-kawabata-deru-gunung/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar