Kamis, 31 Desember 2020

Sebuah Ziarah kepada Puisi

Judul: Curriculum Vitae
Penulis: Frans Nadjira
Tebal: 203 halaman
Penerbit: Matamerabook, 2007
Peresensi: Riki Dhamparan Putra
balipost.co.id


 
MATAMERABOOK kembali menerbitkan kumpulan puisi penyair Frans Nadjira, “Curriculum Vitae” (CV) di pertengahan 2007 ini. Buku ini terbit dwi bahasa (Indonesia dan Inggris) dalam edisi hard cover dan soft cover, berisi 55 karya puisi terbaru penyair Frans Nadjira, dilengkapi dengan catatan pengantar oleh D. Zawawi Imron dan Arif Bagus Prasetyo. Ini buku yang kehadirannya sangat dirayakan karena dapat memberi orang teladan dalam hal produktivitas dan totalitas seorang penyair. Mengingat di usia yang sudah makin senja, Frans masih sangat produktif menulis.
 
Banyak yang berpendapat bahwa kecenderungan puisi Frans di buku ini sangat berbeda dengan kecenderungan dua buku kumpulan puisinya yang lalu — “Springs of Fire Springs of Tears” dan “Jendela”. Kecenderungan itu ditandai dengan nuansa solidaritas sosial yang muncul begitu kuat pada sebagian besar sajak di CV. Apalagi dalam catatan Arif Bagus Prasetyo dicantumkan pula pernyataan Frans tentang “kepenyairan dan kenyataan sosial” yang cukup mengejutkan. Seperti pernyataan “Kini kita tak butuh penyair kalau itu eksklusivisme. Yang kita butuhkan sekarang, orang menulis kenyataan yang dialami suatu bangsa…” atau pernyataan yang lebih pedas lagi, “masih pantaskah kita bermain metafora?”
 
Pernyataan semacam itu cukup kontroversial karena dilontarkan oleh seorang guru, sahabat, sekaligus motivator di dalam menulis puisi. Ia akan berpengaruh tidak hanya dalam penilaian para penyair kepada Frans, juga dalam proses pencarian bahasa puisi para penyair itu sendiri. Sebab, bagaimanapun, metafora adalah standar yang mesti dicapai untuk melahirkan puisi yang utuh atau “jadi”. Nah, sekarang muncul gugatan: masih pantaskah kita bermain metafora?
 
Menurut Arif, pernyataan itu disampaikan Frans pada 1997. Keperluannya untuk mengulang pernyataan itu kembali dalam esai pengantar CV yang terbit sepuluh tahun kemudian tentu berkaitan dengan usahanya memahami kepenyairan Frans secara utuh. Arif akhirnya menyimpulkan bahwa Frans bukanlah penyair dengan tipikal puisi sunyi magis saja, tetapi sajak-sajaknya juga menunjukkan kesan solider dan keberpihakan pada orang lemah. CV tampaknya telah memberi Arif kesempatan untuk menyampaikan pandangannya itu.
 
Jika melihat situasi sosial politik pada 1997 yang sedang bergerak melepaskan diri dari tirani Orde Baru, dapatlah dimengerti mengapa Frans sampai mengeluarkan pernyataan itu. Saat itu banyak terjadi peristiwa penculikan aktivis dan pembungkaman gerakan-gerakan yang menuntut perubahan. Situasi seperti itu tentu telah menyentuh nurani penyair dan menginspirasinya untuk menulis puisi-puisi yang bercerita tentang kenyataan. Salah satunya, Frans yang kelahiran Makassar tahun 1943 ini. Ia diam-diam menulis puisi sosial dan baru mempublikasikannya selang sepuluh tahun kemudian.
 
Tidak Pamrih
 
Rupanya Frans bukanlah seorang narsis politik yang suka menonjol-nonjolkan diri paling berperan dalam sebuah perubahan. Ia tak ingin puisi tampil sebagai kerja heroik yang pamrih hanya karena telah berbicara tentang kenyataan. Kumpulan puisinya yang terbit setahun setelah ia bercakap dengan Arif itu malah “Springs of Fire Springs of Tears” yang tidak berpretensi menyeret-nyeret tema sosial di dalamnya. Itulah sikap yang tepat untuk menjaga kemurnian sebuah kerja kepenyairan.
 
Di CV, Arif juga menyimpulkan bahwa pernyataan Frans yang demonstratif mengenai hubungan penyair dengan kenyataan sosial itu toh tidak mengurangi kesan “sunyi” yang biasa didapatkan dari sajak-sajak sebelum CV. Frans masih tetap berkhidmat di dalam pencarian kesunyiannya yang seakan-akan abadi. Artinya, keluar masuk dunia sosial-dunia sunyi sebenarnya adalah usaha Frans untuk menemukan kepenuhan dirinya sebagai manusia kolektif sekaligus manusia penyair.
 
Mengutip Octavio Paz, Arif mengatakan hal itu karena puisi pada dasarnya adalah usaha untuk melakukan ziarah pada sejarah. Dalam konteks CV, ziarah itu tentu tidak hanya ziarah sosial, juga ziarah kepada puisi-puisi itu sendiri. Puisi adalah ziarah kepada puisi. Hal itu bermula dari adanya ketegangan relasional klasik antara puisi dan kenyataan hidup di sekitar penyair. Bahasa — lewat keindahan dan daya magisnya — kerap membuat jarak yang tak termaafkan antara puisi dan kenyataan. Sehingga penyair sering terisolasi atau terindividual oleh pencapaian bahasanya sendiri.
 
Itulah sebabnya, para penyair besar selalu berupaya menggugah kembali bahasa puisi mereka. Melakukan ziarah atas sikap serta tindak bahasa yang telah mereka yakini sebelumnya, untuk mendapat arti yang lebih segar dari sebuah kerja puisi. Demikianlah misalnya, penyair Subagio Sastrowardoyo pun melakukan hal yang sama ketika ia menulis sajak berjudul “Sajak”: “….Apakah arti sajak ini// Kalau anak semalam batuk-batuk// bau vicks dan kayu putih melekat di kelambu…// Apakah arti sajak ini?”
 
Relasi pernyataan Frans sebagaimana dikutip di bagian permulaan esai ini mesti dilihat dari sisi untuk menggugah kemapanan cara pandang tentang bahasa tersebut. Sama sekali ini memang bukan sebuah siasat bahasa atau strategi penyair untuk membuat puisi yang hanya mengandalkan makna dapat diterima sederajat dengan puisi yang kaya metafor. Dan bukan pula usaha untuk menghancurkan metafora sebagai salah satu fondasi terpenting dalam sebuah bangunan puisi.
 
Rendah Hati
 
Sesungguhnya, CV menghadirkan sikap rendah hati seorang penyair dalam menghadapi ego bahasa dan kenyataan yang tidak seimbang. Kalau boleh menggunakan pepatah “badik telah diikat sekarang…” yang tertinggal adalah sebuah pengakuan di depan waktu:
 
“Unda… terimakasih telah mendidikku berendah hati. Cara berpikiran yang polos dan sederhana// Memandang hidup sebagai sebuah lakon lengkap. Bahwa tak ada sesuatu yang terjadi/Tanpa kehendakNya// Mengantar aku ke suatu tempat// di mana kutemukan makna hidup// menepis jumawa dan mabuk ketokohan…”
 
Tentu banyak hal lagi yang masih dapat diperbincangkan soal buku ini maupun Frans Nadjira sebagai penyair. Yang jelas, selain memperkaya khazanah pustaka puisi kita, terbitnya CV dengan tampilan yang mewah dan dua bahasa, kembali menimbulkan rasa bangga kita kepada puisi dan penerbit lokal kita. Bersama-sama dengan buku puisi yang diterbitkan secara mandiri lainnya, CV bakal menginspirasi orang untuk mengurangi ketergantungan kepada penerbit besar di Jakarta maupun kota besar lain. Mudah-mudahan usaha penerbit buku ini dapat diteladani para penerbit lokal lainnya di Bali.
***

https://sastra-indonesia.com/2009/04/sebuah-ziarah-kepada-puisi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar