Suminto A. Sayuti
Kesanggupan Guru
Dalam konstelasi pengajaran sastra, guru tetap menduduki posisinya yang
utama. Akan tetapi, posisi utama itu tidak dalam artinya yang selalu
berorientasi pada tindakan teacher-teaching, melainkan kapasitas dan kemampuan
guru dalam mengarahkan dan memberikan dorongan kepada para siswa. Jadi,
learner-learning tetap menjadi prioritas utama.
Masalah yang sering muncul di kalangan para guru yang terutama ialah adanya
keluhan bahwa mereka belum memiliki kesanggupan yang memadai dalam
mengapresiasi dan memahami karya-karya, termasuk misalnya bagaimana membacanya
secara estetis di hadapan siswa. Terbatasnya pengalaman para guru, baik dalam
hal keterlibatannya dengan karya-karya kanon maupun dalam hal mencermati
perkembangan karya-karya sastra mutakhir, merupakan sumber asal-muasal
munculnya problematika semacam itu.
Dalam mengajarkan karya sastra, hendaknya guru tidak terlalu bersifat kaku,
misalnya saja dalam menjelaskan makna karya yang sedang dijadikan bahan
pengajaran. Dalam kaitan ini, guru benar-benar berperan sebagai fasilitator
bagi siswa-siswanya. Guru menampung bermacam-macam pandangan siswa mengenai
karya yang sedang dibicarakan itu, mengarahkan, hingga akhirnya menyimpulkan
dan memberikan penjelasan seperlunya, baik dari segi ciri formal karya maupun
dari segi sejarah dan nilai kulural yang dikandungnya. Dengan cara demikian,
imperatif edukasional dan kultural yang mesti ditunaikan oleh dan lewat
pengajaran sastra dapat sekaligus dilaksanakan. Tujuan pengajaran yang bersifat
literary knowledge diharapkan dapat tercapai bersamaan dengan elaborasi guru
dalam mengaitkan teks yang dijadikan bahan pengajaran dengan nilai-nilai budaya
yang penting untuk ditanamkan di kalangan para siswa. Oleh karena itu, salah
satu strategi pembelajaran yang tepat untuk disarankan dalam konteks ini adalah
strategi transaksional.
Jika hal tersebut dapat dilakukan secara terus-menerus, dapat diharapkan
bahwa fungsi sekolah sebagai tempat “menghafal” informasi, sedikit demi sedikit
akan bergeser dan akan menjadikan sekolah berfungsi sebagai tempat untuk
“memperoleh dan mengolah” informasi, termasuk di dalamnya informasi sastra
dalam rangka menumbuhkan aspresiasi di kalangan para siswa.
“Meruwat” Sastra dalam Kurikulum 2013
Jika dicermati secara saksama, dari waktu ke waktu, dari kurikulum yang
satu ke kurikulum penggantinya, dunia pendidikan kita lebih cenderung memaknai
kurikulum sebagai sebuah perencanaan bagi pembelajaran,[1] yang berisi berbagai
materi yang diajarkan di sekolah:[2] kurikulum merupakan sebuah rencana atau
program, yang melaluinya pembelajar memperoleh pengalaman diri di bawah arahan
sekolah.[3] Dalam kaitannya dengan pelajaran Bahasa Indonesia, secara material
Kurikulum 2013 berisi seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran Bahasa Indonesia. Akan tetapi, khusus dalam kaitannya
dengan sastra, terdapat catatan yang perlu dikemukakan. Pertama, sastra tidak
dihadirkan secara eksplisit, baik dalam rumusan KI maupun KD. Kedua, terkait
dengan yang pertama, sastra dihadirkan secara implisit dalam KD, tetapi
terbatas pada sedikit subgenre.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, baik melalui diskusi terbatas, seminar,
maupun wawancara aksidental dengan guru, “hilangnya” sastra dalam kurikulum
telah menimbulkan kegelisahan dan kebingungan. Bagi saya sendiri, ibarat anak,
kurikulum sudah lahir. “Cacat bawaan” atau sukerta yang dibawanya tentu tidak
membuat kita ingin membuang atau membunuhnya. Ia tidak boleh dibiarkan, tetapi
mesti diruwat agar ia mampu tumbuh dan berkembang secara wajar. Artinya,
berbagai upaya harus dilakukan agar kurikulum itu dapat diimplementasikan
dengan baik. Bukankah setiap kurikulum hampir selalu membawa serta sukerta-nya
masing-masing?
Upaya pertama yang dapat dilakukan agaknya terkait dengan terminologi
“teks” yang terdapat dalam KD karena diam-diam kurikulum ini disusun dengan
basis utama teks. Artinya, hadirnya teks-teks dalam kurukulum dapat disikapi
sebagai pintu masuk untuk mengintrodusir sastra seperti dicita-citakan bersama.
Terlepas dari persoalan apakah kurikulum ini mendasarkan diri pada teori teks
sastra, yang jelas “any text is constructed as a mosaic of quotations; any text
is the absorption and transformation of another,” seperti dinyatakan Julia
Kristeva, atau pernyataan Teeuw bahwa teks sastra kapan pun diciptakan tidak
mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya.
Tujuan utama mengkaji teks-teks sastra dalam perspektif pembelajaran adalah
memaknai teks yang dikaji itu secara lebih penuh, yakni dalam konteks-konteks
yang dimungkinkannya. Terlebih jika disadari bahwa pada hakikatnya teks-teks
sastra adalah world in words, “jagat dalam kata-kata,” seperti kata Dresden.
Jadi, ketidakhadiran “karya sastra” yang digantikan dengan kehadiran “teks”
dalam kurikulum kita sikapi secara positif saja. Karena apa? Karena sesuai
dengan kecenderungan puitika kontemporer: seyogyanya memang digunakan istilah
teks dan bukan karya, karena, seperti dinyatakan oleh Roland Barthes, istilah
karya (work) hampir selalu merujuk pada sesuatu yang dihasilkan oleh seorang
pembuat (maker), sementara text merupakan sebuah gelanggang tempat bermacam
ragam kutipan dan referensi bergabung, berseteru, dan kemudian berpadu.
Dengan demikian, terminologi teks dalam kurikulum hendaknya diartikan secara
sempit dan luas. Dalam pengertian yang sempit, sebuah “teks” berarti sepotong
tulisan yang memiliki sifat eksplisit, terbatas, dan terstruktur. Pada sisi
lain, “teks” juga diartikan sebagai sistem pemaknaan, dan karenanya, pembaca
adalah penerima pesan, dan penulisnya harus dipahami dalam pengertian yang
abstrak. Penyikapan seperti ini memang memerlukan keberanian tertentu dari para
guru karena upaya dekonstruktif tidak dapat dihindari, dan hal ini meniscayakan
resiko tertentu.
Dekonstruksi terhadap istilah teks yang terdapat dalam KD tentu akan
berpengaruh terhadap elemen kurikular lainnya, baik dalam kaitannya dengan
rumusan tujuan, penetapan skopa, maupun dalam hal penetapan strategi
pembelajaran berikut evaluasinya. Yang jelas, upaya dekonstruksi itu memang
harus selalu disertai upaya rekonstruksi. Demi kemaslahatan, tidak ada jeleknya
ke depan kurikulum ini memang wajib dilihat ulang agar cacat-condetnya dapat
diperbaiki.
Seperti apa pun kurikulumnya, pembelajaran sastra di sekolah pasti
berorientasi pada literary knowledge dan literary appreciation. Orientasi itu
dapat diturunkan menjadi knowing, doing, dan being sastra; apresiasi, ekspresi,
dan produksi sastra; atau dapat dirumuskan dalam (istilah Jawa) nga-3: ngerti,
nglakoni, dan ngrasakke sastra, yang kesemuanya dapat dikontestualisasikan
secara lebih luas, dapat didialogkan dengan “teks-teks” lain.
Seperti halnya dengan persoalan yang ramai dibicarakan orang, titik tolak
Kurikulum 2013 adalah tematik-integratif. Bagi saya, dalam kaitannya dengan
pembelajaran sastra, hal itu juga bukan sesuatu yang baru. Demikian pula halnya
dengan persoalan kompetensi. Jika dalam kurikulum terdahulu dikenal Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar, dalam Kurikulum 2013 digunakan istilah
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Bagi saya, esensinya sama. Pembelajaan
sastra di sekolah berbasis kurikulum manapun sudah seharusnya
tematik-integratif jika pembelajaran sastra dikehendaki untuk berfungsi
kontributif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan, apalagi
ketika kita sedang menggalakkan educating for character. Fungsi-fungsi
edukatif, ideologis, dan kultural selalu melekat dalam praksis pembelajaran
sastra di tingkat persekolahan. Tematik-integratif itu tidak terbatas pada
konektivitas antara sastra dengan mata pelajaran lain, yang biasa digambarkan
secara variatif: jejaring, konektif, dan lainnya; bahkan dalam tataran
relasional antara bahasa dan sastra itupun harus terintegrasi. Demikian pula
halnya dengan tataran knowing, doing, dan being.
Khusus untuk yang terkait dengan genre teks sastra, Kurikulum 2013
melakukan reduksi besar-besaran. Dari sejumlah kekayaan yang ada dalam khasanah
sastra Indonesia, hanya sebagian kecil saja yang disebutkan secara eksplisit.
Bagi saya, hal ini tidak perlu dirisaukan, apalagi di tangan seorang guru
sastra yang kreatif. Penyebutan yang banyak juga sering menjadi sia-sia jika
tidak disikapi secara kreatif dalam praksis pembelajaran.
Mengajarkan sastra pada dasarnya merupakan sebuah upaya menciptakan suatu
sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar sastra. Sistem
lingkungan ini terdiri atas komponen-komponen yang saling mempengaruhi, yang
terdiri atas: (a) tujuan instruksional yang ingin dicapai; (b) teks sastra yang
diajarkan; (c) guru-siswa yang harus memainkan peranan serta ada dalam hubungan
sosial tertentu; (d) bentuk kegiatan pembelajaran yang dilakukan; (e) sarana
dan prasarana belajar-mengajar yang tersedia. Komponen-komponen sistem
lingkungan ini saling mempengaruhi secara bervariasi. Dengan demikian, setiap
peristiwa belajar-mengajar sastra pun menuntut “profil” yang unik.
Untuk mencapai tujuan belajar sastra harus diciptakan sistem lingkungan
belajar sastra yang khas pula. Dalam kaitan ini, tujuan-tujuan belajar sastra
yang diusahakan dengan tindakan instruksional untuk mencapai efek instruksional
menjadi penting. Akan tetapi, tujuan-tujuan yang lebih merupakan efek pengiring
juga tidak kalah pentingnya. Dinyatakan demikian karena siswa menjadi to live
in lingkungan belajar sastra, misalnya saja mereka menjadi berkemampuan
berpikir kritis, berpikir kreatif, dan bersikap terbuka dalam menerima pendapat
orang lain.
Seorang guru sastra harus memilih satu (atau biasanya lebih) strategi
belajar-mengajar jika ingin mencapai efek instruksional, efek pengiring
tertentu, atau karena ingin mencapai kedua-duanya. Apapun yang dikehendaki,
kesadaran pertama dan utama yang harus selalu dipegang adalah bahwa penekanan
lebih ditujukan pada “siswa-belajar sastra” dan bukan pada “guru-mengajarkan
sastra.” Karena, the learning process is complete only when the learner
understands, accepts and puts the knowledge acquired into practice. Oleh karena
itu, “continuous interplay between texts and the reader” menjadi imperatif yang
seharusnya ditunaikan dalam pelaksanaan pembelajaran.
Uraian di atas menunjukkan bahwa untuk dapat melaksanakan tugas secara
profesional, dalam arti memilih dan melaksanakan SBM yang efektif, seorang guru
sastra membutuhkan wawasan yang cukup memadai tentang kemungkinan-kemungkinan
strategi belajar-mengajar sastra yang sesuai dengan tujuan-tujuan belajar
sastra, baik dalam arti efek instruksional maupun efek pengiring, yang ingin
dicapai berdasarkan rumusan tujuan pendidikan yang utuh. Di samping itu, ia
juga memerlukan penguasaan teknis di dalam menyiapkan (baca: mendesain) sistem
lingkungan belajar-mengajar sastra berikut implementasinya secara efektif.
***
http://sastra-indonesia.com/2014/06/bingkai-bingkai-kajian-sastra-dalam-konteks-pengembangan-pengajaran-sastra-iii/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Jalal
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Abdoel Moeis
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Achi Breyvi Talanggai
Achiar M Permana
Aditya Ardi N
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Fatoni
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akrom Hazami
Al Azhar Riau
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Albertus Prasetyo Heru Nugroho
Aldika Restu Pramuli
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alia Swastika
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Ana Mustamin
Andhika Dinata
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardi Wina Saputra
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asrul Sani
Astrikusuma
Ayung Notonegoro
Azizah Hefni
Badrul Munir Chair
Bahrum Rangkuti
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin
Benee Santoso
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hatees
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chusnul Cahyadi
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Damiri Mahmud
Danang Ari
Danarto
Daoed Joesoef
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
di Bentara Budaya Yogyakarta
Dian Sukarno
Dick Hartoko
Didin Tulus
Din Saja
Diskusi
Djohar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dodit Setiawan Santoso
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Tunas
Emha Ainun Nadjib
Erik Purnama Putra
Esai
Evan Ys
F. Aziz Manna
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gusti Eka
H.A. Karomani
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Happy Widiamoko
Hardy Hermawan
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Haris Firdaus
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hazwan Iskandar Jaya
HB Jassin
Helvy Tiana Rosa
Hendri R.H
Herry Lamongan
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Parthama
I Nyoman Tingkat
I Putu Sudibawa
IBM Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Ika Feni Setiyaningrum
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Nawawi
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Ipik Tanoyo
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iva Titin Shovia
Iwan Simatupang
J Anto
Jefrianto
Jhumpa Lahiri
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Junaidi Khab
Jurnalisme Sastrawi
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardi Asih
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kiki Astrea
Koesalah Soebagyo Toer
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kuntowijoyo
Kurnia Effendi
Kurniasih
Kurniawan
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laila Putri Rizalia
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Linus Suryadi
Literasi
LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu)
M Fadjroel Rachman
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
Mahbib
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mariana A Sardino
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Masuki M. Astro
Matdon
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Moh Khairul Anwar
Moh. Husen
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Ali
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musfeptial Musa
Muslim Basyar
Mustafa ismail
Mustakim
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Neli Triana
Nelson Alwi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Nobel Sastra
Noor H. Dee
Nur St. Iskandar
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Penerbit Pelangi Sastra
Pentigraf
Pidato Kebudayaan
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Politik
Pramoedya Ananta Toer
Priska
Priyo
Prosa
Puisi
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qomarul Adib
R. M. Sutjipto Wiryosuparto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahadian Bagus
Rahmadi Usman
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ridwan
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rodli TL
Ronny Agustinus
Rosidi
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini K.M.
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Sastra dan Kuasa Simbolik
Satu Jam Sastra
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Indonesia
Sergi Sutanto
Shella
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sides Sudyarto DS
Sigit Sugito
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Hadi Purnomo
Soe Hok Gie
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Harjanto Sahid
St. Takdir Alisjahbana
Subagio Sastrowardoyo
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaifuddin Gani
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thomas Ekafitrianus
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Pustaka Pujangga
Toto Sudarto Bachtiar
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Universitas Jember (UNEJ)
Veven Sp Wardhana
Veven Sp. Wardhana
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Triono KS
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widodo DS
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wizna Hidayati Umam
Wuryanti Puspitasari
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yok's Slice Priyo
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yos Rizal S
Yudha Manggala P Putra
Yudhi Fachrudin
Yulhasni
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Zadie Smith
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar