Sabtu, 31 Juli 2021

Anjing Sedap Malam

Eko Tunas
suaramerdeka.com
 
LOLONG anjing terdengar di seluruh kota, bahkan dari jarak meluluh jauh. Membayang moncong-moncongnya mendongak ke kegelapan langit malam. Kekelaman tersaput kepulan asap menghitam dari gedung-gedung tinggi kotak-kotak nyala neon. Bagai bintang-bintang segi empat di antara mega mendung paling gulita. Bau api yang membakar meruap, dan api terus berkobar. “Adakah anjing yang manis, sayangku…?” Suara di balik teriakan-teriakan parau. Adakah cinta telah berganti rupa, “…dan engkau tetap anjing kecil kesayanganku, manisku…manisku…?”
 
Lirih suaranya seperti lagu 60-an.
Bahkan anjing pun bisa menjadi lagu.
Juga lagu tentangmu…
 
Anjing itu hanya mondar-mandir dari kegelapan gerumbul ke pinggir jalan. Mengibas-ibaskan ekor. Di pinggir jalan menoleh kiri-kanan, seperti ada yang ditunggu. Masuk ke gerumbul gelap dengan suara yang meringik-ringik. Suara serak medok terdengar membisik, “Ssstt…tidak ada apa-apa, Bujel…” Suara seorang perempuan yang seperti kebanyakan berteriak. Mengelus-elus kepala si anjing yang meringkuk di pangkuannya. Mengibas-ibaskan ekor. Nyalang matanya seperti ketakutan.
 
Di jalan beraspal menggelap sesekali melintas deru panser mirip katak raksasa, dicercahi cahaya neon dari bawah jalan layang. Lampunya menyorot kelengangan jalan lingkar itu. Di kejauhan sana menerang cahaya memerah kobaran api. Sesekali terdengar suara tembakan. Sudah dua hari ini daerah pinggiran itu tersaput suasana mencekam. Hampir-hampir tak ada suara, kecuali ringik anjing dan bisik-bisik. Lalu titik-titik api nyala rokok. Gumam tinggal igau, “Mampir, Mas…”
 
Hanya sesekali saat kereta api menderu di belakang gerumbul, tampaklah orang-orang di gerumbul itu tersorot lampu lokomotif. Mereka menepi dari rel, dari deru yang menerpakan angin. Mereka hampir semua perempuan, kecuali para waria. Berdandan bagai menyalakan tubuh, berias pupur gincu menjalangkan muka. Aroma pewangi sedap malam merekalah yang sering dikira bau dedemit oleh pengguna jalan pada saat normal. Apalagi pada saat mencekam, mungkin bulu kuduk tentara pun jadi meremang. Tentu tidak, bagi si Bujel yang juga beraroma sama.
 
“Bujel dulu saya temukan masih sekepal,” kata si induk semang yang selalu membanggakan anjing jantan berkulit hitam putih. Waktu itu beras masih murah…
“Sekarang zaman repot nasi,” sahut perempuan lain.
“Repot nasi?” kikik waria, “lapor mati…!”
“Kemarin-kemarin di sini masih ramai…”
“Sekarang sepi…”
“Sepi” kikik, “..mati…!”
Ringik.
“Ssstt…”
 
Ada gubug-gubug karton di antara gerumbul, dan ada suara batuk-batuk lelaki. Dan ia duduk di muka penutup plastik pintu gubugnya.
***
 
“KAMU masih muda, dan kamu begitu manis…” Tapi kamu begitu tak terurus. Sebenarnya aku mau mengurusmu, tapi bagaimana mungkin di tempat seperti ini. Kecuali kalau kamu mau mengikuti ajakanku, pulang ke desa. Desa terpencil dan rumah kecil. Lihatlah senangnya kamu melucu, seperti yang kau bilang. Rumah, besar atau kecil tetap namanya rumah. Gubug kecil atau gedung tinggi, tetap namanya rumah. Senangnya kalau setiap orang punya pandangan seperti dirimu. Hidup tidak ada persoalan. Terutama kehidupan di desa.
 
Kita seperti ingin memeluk tubuh mereka.
Setelah mendekap tubuh suami.
Atau tubuhmu…
 
Tubuh para blandong penebang kayu jati, di daerah pegunungan. Daerah yang sulit karena tanahnya luas berbukit, membuat masyarakat di sana hidup bergotongroyong.
 
Tubuh para petani di ranah tengah, ranah pertanian. Ranah yang subur makmur, karena bahkan batang ditanam tumbuh. Membuat masyarakatnya suka berpesta, karena setiap panen tiba mereka melakukan kaul selamatan.
 
Tubuh para nelayan di wilayah pantai, wilayah kelautan. Wilayah para nelayan menarung nasib di tengah laut, antara hidup dan mati. Membuat masyarakatnya peka terhadap perkara kematian.
 
Ya, kehidupan kami di desa-desa itu tidak ada persoalan. Tapi begitu datang anjing-anjing kota, persoalan pun muncul. Mereka melolong di mana-mana, menguasai setiap jengkal tanah dengan lolong melengking setinggi langit. Berak di mana-mana, meneteskan kenajisan liur. Beranak-pinak. Bayangan moncong-moncong anjing begitu mencemaskan, membuat kami hidup dalam ketakutan. Kami tersisih dan tersingkir, kehilangan tanah atas pemilikan karena penguasaan para anjing kota.
(Birokrasi cukup hingga RT, apakah anjing-anjing itu musti dibasmi?).
 
“Siapa takut…,” si Bujel seakan mendusin dalam ringiknya.
“Aje gilee…!” celoteh rekan waria.
Lalu tohok perempuan, “Gile luh…”
“Ya, kenapa kita takut..?” decahnya, “karena kita diberi takut, tapi kenapa takut kita tidak kepada yang memberi takut?”
“Ada setaan…!”
“Hi hii, takut luuh…?!”
Sumpahnya, “Anjing, luuh…!!”
 
Oo, kutukan pada ketakutan. Pada kematian. Kenapa tidak takut kepada hidup dan yang memberi kehidupan?
Lihatlah, kita mengajarkan cara hidup anjing…
 
Belum lagi cara hidup kenajisan, yang membuat anak-anak kami menirukan bayangan moncong anjing yang melolong. Mencoba meneteskan liur di kota, lalu berak di desa. Menirukan gambar dalam ponsel, tidur dan bergaul-gaul sepanjang hari. Hidup dari perut ke bawah, tanpa kepala. Tanpa hati, menjual segala yang bisa dijual, membeli semua yang bisa dibeli. Mengubah keindahan menjadi kemewahan. “Tak ada anjing semanis engkau,” desahnya di antara celoteh dan kikik tawa. Adakah teknologi bisa menciptakan cinta, “Dan kau tetap anjing manisku, sayangku…sayangku…”
***
 
Oo, aku percaya pada kesetiaanmu. Kesetiaan anjing manis. Bahkan dengan penciumannya tahu, mana laki-laki baik dan mana laki-laki tak punya hati.
 
Seperti pernah terjadi pada satu malam, si Bujel gelisah saat seorang laki-laki datang untukku. Menggonggong-gonggong, meringik-ringik. Berlarian ke sana kemari. Bahkan mau menggigit kaki si Lelaki. Saat itu aku mengusirnya dengan sumpah serapah. Tapi si Bujel terus menggonggong dan meringik. Siapa sangka di dalam gubug laki-laki itu memperdayaku, memreteli perhiasan tabunganku dan menguras uang makanku.
 
Berbeda saat kau datang dari arah stasiun kota, dengan jaket lusuh, muka lebam dan tubuh berdarah. Si Bujel meringik-ringik menangisi, menjilati lukamu, mengingus-ingus mukamu. Aku segera memapahmu masuk gubug, membasuh lukamu. Dan aku berjanji mau mengurusmu bagai Bujel. Lihatlah begitu muda dan imut dirimu. Mirip Si Bujel, sayangku…sayangku…
 
Kau sama sekali bukan para anjing malam penjarah…Kau lebih mirip anak-anak muda yang menghadapi moncong senjata dengan kata…
 
“Aku bahkan melihat hatimu yang bercahaya di dadamu…” Pertanda bahkan Bujel bisa melihat yang baik dan yang batil. Ia tidak melolong seperti anjing-anjing lain, yang seolah ikut berpesta atas pembakaran kota. Mungkin bahkan Bujel tahu, siapa tangan yang sengaja menyulutkan api untuk membakar amarah. Lihatlah, dalam rebah nyalang matamu tetap menyalakan api amarah. Meski ada satu titik cahaya, berharap satu kebahagiaan dalam kehidupan sesama esok hari.
 
Ah, apakah kau mengerti bagaimanakah kebahagiaan. Bahwa: kebahagiaan adalah buah yang dipetik dari pohon tanggung jawab. Selebihnya hanya Tuhan yang tahu setiap yang hidup.
 
Oo, bagiku tidak ada kebahagiaan, yang ada susah sedikit dan senang sedikit. Hidup yang penting dilakoni, susah dan senang sama saja. Karena hanya itu isi hidup, susah atau senang, yang batasnya bagai kulit ari. Tapi entah kenapa begitu kau datang, aku merasakan seperti melahirkan anak yang belum pernah aku kandung. “Apakah ini yang disebut kebahagiaan…?”
 
Betapa pun semua ini harus aku katakan.
Kepada semua pecinta hidup.
Juga kepadamu…
 
Apakah kamu termasuk di antara mereka, yang meneriakkan kemenangan tapi sesungguhnya itu kemenangan paling sunyi. Kalau begitu apa sebenarnya perbedaan kalah dan menang. Kenapa manusia memburu manusia. Sejak Musa, Isa, Muhammad. Hingga engkau, sayangku…sayangku…Kenapa engkau diburu hanya karena perkara membasuh muka. Sungguh aku tidak mengerti, saat kau berkata bahwa itu semata-mata karena persoalan kekuasaan.
 
Oo, bagaimanakah wajah kekuasaan yang sebenarnya?
***
 
KERETA api malam kembali menyorotkan cahaya, menerangi gulita. Menderu dan menderak. Kemudian gelap kembali menyaput. Panik ringik. Dari kegelapan rel memanjang tampak sosok-sosok bergerak semakin mendekat. Api menyembur ke arah gerumbul, membakar gubug-gubug. Gonggong gelisah. Teriakan-teriakan ketakutan, lari dan lari hanya pilihan oleh perburuan manusia atas manusia. Suara tembakan ke udara berkali-kali. Aku lihat engkau tertatih lari menembus kegelapan. Dalam semburan api, aku lihat engkau tertegak di atas rel bersamaan rentetan tembakan.
 
Aku tercekat dan hanya bisa menyebut nama Tuhanku…
Aku ingin memelukmu Tuhanku.
Memeluk tubuhku sendiri.
Juga tubuhmu…
Wangi sedap malam bercampur bau mesiu, aroma kematian itu!
 
Tegal, 6 Juli 2010

Untuk penyair Wiji Tukul, Pahlawan Reformasi. http://sastra-indonesia.com/2010/09/anjing-sedap-malam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar