Kamis, 29 Juli 2021

Kemudian Saat Kau Katakan

Sutan Iwan Soekri Munaf
sinarharapan.co.id
 
Kemudian saat kau katakan cinta, aku percaya saja. Malam itu terasa berbunga-bunga, yang aromanya menyebar ke setiap sudut di kafe Dago Pakar. Bahkan aroma rumput yang membasahi hujan sore itu, sama sekali tak terasa. Apalagi cahaya bulan hampir penuh purnama semakin menambah denyar darah dalam nadiku berdenyut kencang. Dan remasan jemarimu pada jemariku terasa hangat.
 
Aku sandarkan kepalaku ke bahumu yang lebar. Dan kau pun merangkulkan tanganmu ke bahuku. Aku mendiamkan, ketika tanganmu merengkuh agak kencang. Aku merasakan kehangatan itu. Lebih hangat daripada berdiang depan perapian saat malam perpisahan sekolah kita di sebuah vila di Puncak.
 
Semua masih membekas dalam hatiku.
Walau kemudian kita harus berpisah, saat kau harus melanjutkan studi ke Prancis.
 
Kehangatan itu kembali berdenyar ketika kuterima surat-surat atau kartu posmu. Kisah-kisahmu yang kau coretkan di lembaran kertas atau kartu pos, seolah-olah kau duduk di sampingku di kafe Bandung Utara itu, dan bercerita dengan lancar tentang apa saja, termasuk gagasan-gagasanmu tentang masa depan kita maupun masa depan bangsa ini. Dan aku mendengarkan sambil merasakan kehangatan rengkuhan lenganmu, walau aku tidak mengerti saat kau lancarkan kritik kebobrokan oknum aparat yang korup. Baik saat mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM), atau membuat KTP, atau juga memperpanjang pajak STNK. Semua, katamu, adalah bentuk korupsi yang dilegalkan. Rakyat tak bisa berbuat atas perilaku aparat laknat. Konon katanya, oknum aparat. Aku seperti murid yang bodoh, mendengarkan celotehanmu tanpa mengerti, namun hanya merasakan kehangatan yang tak akan terlupakan.
 
Dalam suratmu itu, engkau katakan, hal itu sulit terjadi di Prancis. Mereka yang korup akan mendapat pelajaran setimpal. Tidak seperti di negeri kita, paling-paling kalau ketahuan, dipindahkan ke bagian lain. Tak pernah mendapat hukuman setingkat kriminal yang berat. Sungguh, aku tak mengerti pendapatmu itu. Pasalnya, di sini, semua orang ikhlas dikorup. Lantas, kalau orang ikhlas memberi, apakah itu korup juga? Entahlah.
 
Sampai tahun kedua, kabarmu menjadi pelipur rinduku. Nyaris setiap hari aku periksa kotak pos depan rumah. Ya, rindu menggebu itu terasa terpenuhi setelah membaca coretanmu. Dan hari menjadi berwarna, setelah sekian rindu membaca kabarmu. Walau banyak pelajaran lewat kata-katamu yang tak kumengerti, namun aku senang saja membaca suratmu.
 
Sampai suatu hari, aku membaca tulisanmu di koran nasional yang terbit di Jakarta. Aku kabarkan padamu, tulisanmu itu menggelegarkan masyarakat pembaca. Pemerintah seperti kebakaran janggut. Dalam tulisan itu, engkau bukakan pusat-pusat korup yang selama ini tak tersentuh. Banyak pro dan kontra tentang tulisanmu.
 
Tapi setelah tulisanmu itu, aku tak lagi menerima surat darimu. Aku berminggu-minggu menunggu, kotak pos selalu kosong melompong. Kerinduan itu makin menggebu.
 
Ketika Edward pulang liburan, dia sengaja datang ke rumahku. Sayangnya aku lagi KKN di daerah. Suratmu diberikan Edward pada orangtuaku. Dan dia pun pergi ke Medan menjenguk orangtuanya, yang kemudian dia langsung berangkat ke Prancis.
Ya, sekembalinya KKN, aku baca suratmu.
 
Aku memahami, bahwa engkau dianggap anasionalis, sehingga paspormu tak diperpanjang. Ya, engkau tak berwarganegara. Sampai selesai kuliahmu, engkau pun tetap tinggal di Paris. Dan waktu yang bergerak dan jarak yang memisahkan kita ini, telah terbentang lima tahun semenjak keberangkatanmu dulu. Aku tak tahu bentuk wajahmu, selain foto yang terselip dalam suratmu, yang berlatar belakang menara Eiffel, dengan di sana-sini terlihat salju turun.
 
Aku memahami, bahwa engkau mencintaiku. Begitu pun engkau tak menyesal, karena jiwa kritismu, kita terpaksa berpisah.
“Kenapa engkau tak ke Paris saja?” tanya Mimi, kakakku yang sudah beranak dua.
“Ke Paris?” tanyaku mengulangi.
Mimi mengangguk.
Aku menggeleng.
 
Percakapan kami ini diperhatikan Mama. Dan beliau hanya memberikan senyum penuh arti, dengan tatap cukup jelas pada Mimi. Mimi pun kemudian menuju dapur.
 
Kenapa aku tak ke Paris? Tanya itu menggema lagi saat mataku belum terpejam di kamar. Hingga jauh larut, Tanya itu mengejarku terus. Kalau aku mencintaimu, seharusnya aku menuju Paris, menemuimu. Tapi, apakah engkau masih Iwan yang dulu? Apakah engkau masih lajang? Apakah engkau tak tergoda pada gadis-gadis di Prancis itu? Yang paling penting, apakah engkau masih mencintaiku?
Keraguan itu berulang kali datang. Aku sulit mengenyahkannya.
 
Barangkali aku harus memahami realitas, tidak terpaku dalam romantisme yang tak jelas, bahwa engkau bukanlah Iwan yang dulu. Semua sudah berubah. Bahkan engkau makin hari makin dikenal di negeri kami sebagai pembangkang nomor satu, yang ingin melancarkan revolusi agar terjadi perubahan drastis pada republik kita ini. Kau menjadi selebritas. Aku sering mendengar pernyataanmu di radio-radio luar. Semua bernada minor terhadap pemerintah. “Republikku kini berada dalam genggaman diktaktor yang menyuburkan korupsi. Harus dilakukan perubahan secara radikal, agar menjadi republik yang demokratis,” pendapatmu di radio asing itu.
 
Di koran nasional, namamu makin lama makin buruk. Rakyat juga selalu diingatkan koran, bahwa engkau adalah pengkhianat. Yang selalu menjual negara kita pada kepentingan asing. Kalau saja aku tak mengenalmu, mungkin aku sudah berpendapat sama.
***
 
Kali ini aku menginjakkan kaki di Charles de Gaulle airport. Aku semangat sekali saat mendapat tugas dari kampusku mengajar, untuk mengikuti seminar di Paris. Semangatku ini, mereka kira, karena aku suka pada parfum. Mereka tidak tahu, Ratna bersemangat sekali ke negeri parfum ini, karena ingin menjumpaimu, Iwan.
 
Ya, perpisahan kita sudah lebih dari 30 tahun. Wajahku sudah dipenuhi keriput. Hm, ya, aku belum menikah. Mungkin itu pula yang mengecewakan Mamaku, sampai dia meninggal, selalu harapannya agar aku menikah.
 
Bagaimana aku akan menikah, karena sampai saat sekarang, aku belum ketemu denganmu. Aku harus mendapat penjelasanmu, tentang arti kata cinta dan bagaimana kelanjutan hubungan ini.
***
 
Selepas seminar, aku diantar seorang pelajar Indonesia ke kotamu, Perigaux. Dalam Renault-nya yang melaju di jalanan itu, Edi, pelajar itu menceritakan tentang dirimu yang gigih.
 
“Bu Ratna termasuk pengagum Pak Iwan?” Tanya Edi.
Aku hanya mengangguk.
“Sangat disayangkan, kritikannya kepada pemerintah tidak ditanggapi secara positif. Malah dia dimusuhi. Malah dikucilkan,” ujar Edi.
“Pak Iwan hampir frustasi. Sampai suatu saat, Gabrielle, salah seorang mahasiswinya, menyokongnya. Dan, sokongan ini pun terwujud dalam bentuk perkawinan. Padahal, jarang orang di Prancis yang mau terikat perkawinan,” tutur Edi.
 
Ratna terkesiap.
“Bahkan Pak Iwan sudah beranak sepasang. Gagah dan cantik.”
Pikiran Ratna semakin kacau.
Semakin kacau.
Kacau!

Bekasi, November 2008. http://sastra-indonesia.com/2009/03/kemudian-saat-kau-katakan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar