Kamis, 15 Juli 2021

Kerudung Hitam Sanikem

Rakhmat Giryadi
 
Adzan Dhuhur terdengar sayup-sayup. Dokar yang ditumpangi Sanikem, tergoncang-goncang, karena jalan aspal yang bergelombang dan penuh lubang, persis seperti hidupnya yang penuh jebakan.
 
“Beginilah Neng kalau jalan dikorupsi itu,” kata kusir dokar.
 
Sanikem, hanya tersungging sedikit. Lesung pipinya tertutup kerudung hitam yang dikenakannya. Matanya melihat-lihat sekitar. Pikiranya juga masih mereka-reka, apakah orang tuanya masih ada atau tidak?
 
Kini Sanikem sudah berubah. Ia tidak sehitam dulu. Kini kulitnya sudah kuning langsat. Badanya terawat, dan kelihatan seperti Mulan Jamaela. Wajahnya polesan metropolitan. Rambutnya bergaya Krisdayanti. Tidak salah kalau kusir dokar tak mengenalinya.
 
Namun Sanikem masih merekam segala kenangan dengan desanya, meski kini telah berubah total. Apalagi wajah Paryono, laki-laki berkacamata tebal yang ambisinya menjadi lurah melebihi keinginannya untuk berumahtangga.
 
Begitu juga bapaknya, yang ambisinya menjadi lurah, melebihi cintanya pada istri dan anaknya. Ambisi itulah yang membuatnya menghalalkan segala cara. Bahkan Sanikem yang masih kencur, dijadikan taruhan.
 
“Kalau aku kalah, ambilah anakku, sebagai istri, Paryono,” kata Bapaknya, kala itu.
 
“Ya, itu artinya meskipun kamu tidak menjadi lurah, tapi punya Bu Lurah,” ledek Paryono.
 
Mendengar rencana Bapaknya itu, Sanikem merinding. Lebih merinding lagi, nasibnya ditentukan dalam suasana pesta minuman keras, di tengah dentuman musik dangdut koplo. Dan yang lebih menakutkan, rencana itu bukan basa-basi. Setelah dinyatakan menang di Pilkades, Paryono menagih janji.
 
“Sastrotomo, mana calon Bu Lurah, saya?”
 
Sanikem memberontak. Jelang Subuh, Sanikem nekat menerobos kabut dan hutan, minggat ke kota.
***
 
Dokar berhenti di depan rumah gedhong magrong-magrong bercat kuning. Pohon petai, rambutan, dan nangka tumbuh di pekarangan. Sanikem hanya ingat, pohon petai dan rambutan itulah, pohon yang pernah ditanam Bapaknya. Tetapi rumah itu rumah siapa?
 
“Apakah ini benar rumahnya, Pak Sastro?” tanya Sanikem, sembari memberikan uang pada kusir dokar.
 
“Sastrotomo, maksud, Neng?” Sanikem membenarkan. “Lo, dia kan sudah meninggal enam tahun yang lalu. Ini rumah mantan lurah sini, Pak Paryono,” lanjut kusir dokar itu.
 
Sanikem ragu-ragu melangkah ke rumah gedhong magrong-magrong itu. Dalam hatinya bertanya, apakah itu rumahnya yang dulu? Pintu dari kayu jati diketuknya. Seorang laki-laki berkacamata tebal muncul dari balik pintu. Kumisnya yang tebal, bertabur warna putih. Dahinya tiba-tiba berkerut. Ada sesuatu yang diingatnya. Berselang lima belas tahun, tak membuatnya lupa. Karena gadis itu masih melekat dalam hatinya.
 
“Kamu pasti Sanikem?” tanyanya tiba-tiba.
 
“Apakah ini benar rumahnya, Pak Sastro?” tanya Sanikem, tanpa menghiraukan pertanyaan, laki-laki setengah tua.
 
“Sudah aku duga, kamu Sanikem. Saya, Paryono. Silahkan masuk,” kata Paryono.
 
“Tidak. Saya ingin bertemu Ibu,” sahut Sanikem sambil mengangkati barangnya kemudian pergi begitu saja.
 
Paryono, tersenyum kecut. Ia masih terpikat betul dengan kecantikan Sanikem.
 
“Hai, Ibumu ada di belakang sana!” seru Paryono.
 
Sanikem segera menuju belakang rumah Paryono. Sebuah tempat mirip kandang sapi. Dari celah gedheg, ia mendengar dengus napas tersengal-sengal. Segera ia membuka pintu. Seorang perempuan tua, tengah berbaring di tikar butut, di atas amben reot.
 
“Ibu, ini aku. Sanikem, anakmu!”
 
Mendengar kata Sanikem seketika Ibunya bergairah. Tubuhnya yang menua segera bangkit memeluk anak satu satunya. Isak tangisnya, njujeh ati. Di dalam isak tangisnya itulah Ibunya menumpahkan segalanya.
 
“Nafsunya menjadi lurah, telah merubah semuanya,” kata Ibunya memulai kisah penderitaannya.
 
Setelah kalah taruhan saat menjadi lurah, hutang Bapaknya menumpuk. Sawah, dan rumah terpaksa dijual untuk menutup hutang taruhan.
 
“Yang belum terbayar, hanya balasan cintamu, Nduk,” kata Ibunya. “Untuk menebus cintamu itu, Paryono meminta rumah kita. Namun karena kamu tak juga pulang, Ibu dan Bapak diusir,” lanjut Ibunya.
 
Karena diusir, terpaksa Ibu dan Bapaknya menempati bekas kandang sapi yang berada tak jauh dari rumah Paryono. “Bapakmu, mati ngenes. Karena dimasa tuanya ia harus menderita seperti ini.”
 
Sementara Sanikem sendiri tak kuasa berbicara apa-apa. Kerudung hitam yang dikenakannya telah menjadi saksi perjalanannya selama menggelandang di Surabaya, Pontianak, Batam, dan Medan. Lima belas tahun, telah menjadi catatan panjang yang tak akan habis-habisnya untuk diceritakan.
 
“Astafirullah. Jangan kau katakan itu pada Ibu,” bisik hatinya.
 
“Ehem!” tiba-tiba Paryono, nyelonong masuk. Laki-laki ini masih memendam bara cinta di hatinya. Meski sudah udzur ternyata cintanya pada Sanikem masih segar.
 
“Nak Paryono, dia baru pulang dari jauh, mungkin masih lelah, “ kata Ibu.
 
“Nanti mampir ke rumah, Kem,” kata Paryono, kemudian pergi begitu saja.
 
“Istrinya sudah meninggal setahun lalu. Kayaknya ia masih berharap padamu,” bisik Ibu.
 
Sampai malam, Sanikem bergeming. Ia duduk di kursi reot. Paryono hanya berdehem-dehem di luar gubuk. Ibunya mendorong Sanikem agar mau menemui Paryono. Namun, Sanikem telah menjadi batu.
 
“Nanti kita diusir!” bisik, Ibunya.
 
“Sebernarnya ia sudah membunuh kita!” sahut Sanikem.
 
Di luar terdengar deheman. Namun tak membuat hati Sanikem gentar. “Kalau kamu mau usir saya dan Ibu, usir saja!” serunya.
 
Paryono terdiam. Suara burung hantu membelah malam. Napas Paryono tersengal-sengal. “Kalau tidak mau, ya pergi sana!” kata Paryono. Suara dehemnya kini berganti batuk rejan.
***
 
Hidup yang keras, membuat Sanikem memilih kembali ke Surabaya bersama Ibunya. “Apa kamu sudah punya rumah, punya suami, atau punya anak, Nduk?” Tanya Ibu.
 
“Apakah perempuan kalau tidak punya suami, tidak disebut perempuan,” kata Sanikem. Ibunya Sanikem tidak tahu apa yang dikatakan anaknya itu.
 
“Ini tempat apa, Nduk?” tanya Ibunya.
 
Sanikem tidak menjawab. Kerudung hitam, ia lepas. Rambutnya berwarna-warni. Kaca mata hitam ia kenakan. Ibunya linglung dengan perubahan penampilan anaknya.
 
“Mari Non, saya bawakan?” kata pemuda tinggi besar yang menghampiri Sanikem, yang baru turun dari taxi.
 
“Apa dia suamimu?” bisik Ibunya.
 
“Dedy, ini Mamaku, kenalkan?” kata Sanikem, yang dipanggil Nona Ike.
 
“Saya Dedy, anak buah Nona Ike.”
 
Sejenak Ibunya, mengerutkan kening. Bahkan sesampai di ambang pintu rumah yang gedhong magrong-magrong seperti kerajaan itu, air mukanya bertambah pucat pasi, karena puluhan pemuda, menyambut kedangatan Non Ike. Mereka semua memberi tabik.
 
“Sssttt…mereka semua bojomu, Nduk?”
 
“Mereka pengagum saya,” jawab Non Ike, sekenanya.
 
Jawaban anaknya itu membuatnya pusing. Lebih pusing lagi, setiap malam, ada saja tamu yang datang ke rumah anaknya itu. Mereka adalah perempuan-perempuan seusia anaknya.
 
Tapi yang tak kalah memusingkan setiap malam di rumah anaknya ini berdentum suara musik. Di lantai dansa perempuan-perempuan seusia anaknya berjoget bersama laki-laki kekar. Musik itu baru berhenti tengah malam. Kemudian rumah kembali sepi, Sementara laki-laki dan perempuan-perempuan itu menghilang seperti ditelan malam.
 
“Ah peduli amat dengan semuanya ini,” kata Ibu, yang kini sering dipanggil Mama.
 
“Ya, aku bisa!” Serunya.
 
Ibunya, memoles wajah dengan make up, sembari bergoyang ke kiri dan ke kanan. “Yah, aku bisa!”
 
“Selamat datang di kota buaya!” seru Nona Ike.
 
Musik berdentum keras, ditingkai suara manja. Malam semakin malam. Ibu dan Non Ike merasakan ada kunang-kunang di keningnya.
 
“Apa ini yang namanya mabuk, Nduk? Eh..Non…?”
 
“Iya, Bu…eh, maksudku, Ma…..”
 
Kerudung hitam itu membuka mesterinya.
 
Sidoarjo, Akhir Tahun 2007 http://sastra-indonesia.com/2009/01/kerudung-hitam-sanikem/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar