Selasa, 13 Juli 2021

SASTRA NUSANTARA ADALAH SASTRA KEPULAUAN

[Cerita Untuk Andriani S. Kusni & Anak-anakku]
 
JJ. Kusni
Jurnal Toddopuli, Nov 30, 2008
 
Les Insolindes, Insulinde, barangkali adalah istilah lain dari Nusantara yang menunjukkan kepada suatu kawasan yang terdiri dari berbagai pulau. Pengertian sempitnya, barangkali identik dengan wilayah yang sekarang menjadi wilayah negara Republik Indonesia dan budaya Melayu sehingga mencakup Malaysia Barat & Timur serta Brunei. Mungkin termasuk juga Filipina Selatan dan Muangthai Selatan serta Timor Leste.
 
Sedangkan dalam dunia sastra, saya kira istilah ini menunjukkan kepada karya-karya seni yang menggunakan berbagai bahasa di berbagai pulau dan daerah di wilayah Republik Indonesia sebagai sarana utama pengungkapan diri, pengungkapan rasa dan karsa. Jika pemahaman begini benar maka konsekwensi nalarnya, bahwa yang disebut sastra Nusantara, tidaklah sebatas karya-karyaa sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sastra berbahasa Indonesia hanyalah menjadi salah satu saja dari sastra Nusantara atau sastra Indonesia.
 
Jika kita sepakat dengan pengertian Nusantara seperti ini maka kita akan memasukkan karya-karya besar seperti I La Galigo dari TanahBugis, Sansana Bandar Bandar,Sansana Kayau Pulang dari Tanah Dayak, pantun-pantun, gurindam dan seloka Melayu , karya-karya yang ditulis oleh warga dari etnik Tionghoa atau Indo sebagai bagian dari sastra Nusantara dan bukan hanya membatasinya pada karya-karya yang ditulis dalam bahasa Indonesia “Modern” yang secara usia sangat pendek usianya dibandingkan dengan karya-karya tersebut dan yang kita sangat kurang indahkan. Sedangkansastra Indonesia jauh lebih tua usianya daripada sastra berbahasa Indonesia. Membatasi cakupan sastra Nusantara pada yang berbahasa Indonesia “modern” lebih memperlihatkan kepongahan , kekenesan dan kecupetan atau sektarisme pandangan. Barangkali. Terdapat masalah jika dilihat secara otntologi sebagai sisa atau varian dari pandangan hegemonik “modernitas” dan yang disebut besar dan puncak sebagaimana yang dirumuskan dalam UUD ’45 dahulu.
 
Nusantara dan Indonesia adalah dua istilah berbeda makna jika dilihat dari periodisasi sejarah. Nusantara ada jauh sebelum Indonesia lahir. Sedangkan Indonesia dilihat dari segi politik menunjuk kepada wilayah Rempublik Indonesia. Wilayah Republik Indonesia ini, jika kita mau jujur dan realis, juga terdiri dari berbagai pulau dengan budaya masing-masing. Dengan sastra masing-masing pula. Kalau kita mengakui yang disebut Indonesia itu adalah wilayah Republik Indonesia maka sastra yang hidup dan terdapat di berbagai daerah dan pulau, termasuk sastra Indonesia juga, tidak hanya sebatas sastra berbahasa Indonesia. Tidak ada dominasi suku dan budaya besar atau kecil — yang bertentangan dengan prinsip bhinneka tunggal ika yang secara singkat disebut Indonesia dengan nilai republiken sebagai perekat. Saya khawatir bahwa di sekolah-sekolah dan di publik justru pandangan sempit inilah yang dominan dan diajarkan.Pandangan menyempitkan yang disebut sastra Indonesia begini sama sekali tidak representatif.
 
Kita fasih menyebut Indoneisia, republik, bhinneka tunggal ika tapi apakah maknanya belum dikhayati benar. Pendekatan dan pemahaman salah tentang prinsip-prinsip ini , apalagi hanya sebatas barang hapalan, akan menjalar dan berdampak negatif ke berbagai bidang, terutama pendidikan dan pengajaran. Dari segi ini, saya melihat karya Prof Teeuw yang dijadikan pegangan dalam pengajaran sastra Indonesia menjadi sangat timpang. Sastra lokal sama sekali diabaikan. Padahal di segi lain, dalam kurikulum sekolah-sekolah, terdapat yang disebut “muatan lokal”. Barangkali pelaksanaan kurikulum ini ada tautannnya dengan penyediaan bahan lokal, kebijakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan lokal, dan tidak kurang pentingnya, mungkin pada soal cara ajar-mengajar sastra di sekolah. Tidak kurang pentingnya adalah tulisan-tulisan apresiasi terhadap karya-karya sastra di suratkabar, radio dan televisi. Tapi di atas segalanya, barangkali yang perlu disepakati dahulu apakah yang disebut sastra Indonesia itu. Apakah hanya sebatas yang disebut karya-karya yang ditulis dalam bahasa Indonesia ataukah juga yang dituangkan dalam bahasa-bahasa lokal Apakah sastra yang berbahasa Sunda dan Jawa yang sekarang cukup berkembang, baik melalui majalah, koran dan radio bisa dihitung sebagai sastra Indonesia atau tidak? Apakah sastra lisan seperti misalnya sansana kayau yang masih hidup di Tanah Dayak bisa dimasukkan sebagai bagian dari sastra Indonesia atau tidak? Apakah soal sastra lokal ada disentuh-sentuh oleh Prof. Teeuw? Mengapa kita harus menggunakan karya Teeuw sebagai bukan pegangan dan bukan karya yang kita susun sendiri dan lebih mewakimi Indonesia dan bersifat republken? Sekedar pertanyaan.
 
Saya sendiri memandang bahwa semua sastra, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia atau pun bahasa daerah, termasuk yang ditulis oleh orang-orang Indonesia di negeri orang, seniscayanya tergolong sastra Indonesia dan sastra Nusantara. Demikian juga sastra cyber — sebagai suatu perkembangan baru di dunia sastra kita. Tentu saja perkembangan dan keadaan ini, akan membuat pekerjaan pengamat sastra Indonesia akan makin tidak sederhana jika mereka berniat bekerja cermat saat berbicara tentang sastra Indonesia dalam pengertian saya di atas. Tapi dengan kecermatan demikian agar ketika berbicara tentang Indonesia, agar benar bahwa Indonesia itu terlukiskan secara represntatif, mendorong kita untuk lebih mengenal diri sendiri, tanahair sendiri di samping mengenal sastra dari bagian-bagian dunia lain sebagai pembanding sesuai prinsip bhinneka tunggal ika dari skala global.
 
Sastra Nusantara, termasuk sastra Indonesia, pada prinsipnya adalah kebhinnekaan, ika dalam kemanusiaan. Kebhinnekaan, tidak berati pengurungan diri di bawah langit satu dua pulau atau kampung kecil ketika dunia menjadi sebuah kampung kecil dunia dan sejarah pun menunjukkan bahwa sastra berkembang tidak karena kecupetan tapi karena keterbukaan. Saya bahkan berhipotasa bahwa pada dasarnya nilai yang didukung oleh sastra itu bersifat universal yang dituang dengan warna-warna lokal. Karena pada galibnya kebudayaan etnik, nasional dan dunia, saya lihat tak obah sebuah bénang dinding [patch works]. Etnik dan bangsa hanyalah perbatasan semu bagi kemanusiaan yang dilahirkan oleh kondisi sejarah tertentu sehingga kita perlu mengindahkannya guna mengejawantahkan kemanusiaan itu sendiri sesuai perkembangan dan proses.
 
Saya membayangkan bahwa dengan menterapkan sastra Indonesia sebagai sebuah konsep luas yang mengakui adanya perkembangan sastra di berbagai pulau dan daerah sebagai dasar, maka sastra negeri kita akan makin marak dan kian berwarna. Kian mengakar dan tidak terkucil. Sastra menjadi suatu keperluan masyarakat seperti halnya sansana kayau di Tanah Dayak merupakan ungkapan diri masyarakat, mulai dari penangkap ikan, penakik karet, pendulang emas, sampai kepada pemotong rotan di hutan-hutan dan jumpa orang sekampung. Sansana kayau sebagai salah satu bentuk sastra sama sekali tidak terasing dari kehidupan,tidak menjadi milik hanya segelintir kelompok masyarakat yang sering sibuk dan asyik dengan diri sendiri serta menilai lebih diri mereka dari yang lain. Dunia seakan berputar di sekitar diri mereka. Karena itu saya masih melihat bahwa sastra Nusantara [les insulindes], termasuk sastra Indonesia, pada dasarnya adalah sastra kepulauan. Membatasi sastra Indonesia hanya pada yang berbahasa Indonesia, barangkali menyangkal ciri Indonesia itu sendiri dan menyederhanakan apa yang dinamakan Indonesia. Saya selalu merasa terilhami dan batin saya diperkaya, saban membaca puisi-puisi lokal dari daerah dan pulau mana pun di Nusantara, termasuk pulau-pulau dan daerah-daerah di tanahair. Universal dalam nilai, berwarna-warni dalam bentuk penuangan. Barangkali penyelenggara negara , cq bagian kebudayaannya, perlu mempertimbangkan penerapan politik kebudayaan yang memang republiken dan berkeindonesiaan, demikian juga para sastrawan-seniman sebagai aktor-aktris kebudayaan, kiranya perlu menjawab apakah sastra-seni Indonesia itu sesungguhnya? Saya lebih menekankan pengembangan kebudayaan dari bawah. Seperti yang dikatakan oleh penyair Tiongkok Kuno, “raja satu dan yang lain turun silih berganti, tapi rakyat tetap rakyat, tak bergonta-gonti”. Bzrangkat dari pandangan inilah saya menghargai prakarsa-prakarsa seperti Ode Kampung, Tour de Java Sastra Makkasar, dan kegiatan-kegiatan sejenis.
***
 
Perjalanan Kembali, Musim Dingin 2008.

http://sastra-indonesia.com/2013/03/sastra-nusantara-adalah-sastra-kepulauan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar