Kamis, 08 Juli 2021

Sastra TV dan Budaya Konsumen

Amien Wangsitalaja
kr.co.id
 
BULAN-BULAN di sepertigaan awal dan menginjak sepertigaan kedua 2003 adalah bulan-bulan milik Inul. Orang-orang mencoba bergoyang a la Inul atau mencoba menyaingi Inul dengan menawarkan gaya goyang lain (sampai ada goyang satu kaki Uut Permatasari), televisi ramai-ramai menayangkan program bertajuk Inul: ada Inultainment (TPI) Kenapa Harus Inul (SCTV), atau Inul Campursari (TV7), dan mungkin masih banyak lagi.
 
Mari kita menengok ke belakang. Ketika di bulan-bulan menjelang pertengahan tahun 2002 kemarin serial film Meteor Garden yang diputar di salah satu stasiun televisi kita hadir sebagai mata acara yang teramat populer dan digandrungi, remaja Indonesia kemudian tergila-gila kepada model rambut flat ion rebonding (FIR), sebuah model rambut lurus, lentur, rata, dan mengkilat yang mereka tiru dari penampilan tokoh-tokoh film seri Meteor Garden tersebut. Bukan hanya remaja umum, para selebritis pun terlibat “menjalankan ajaran” Meteor Garden ini, seperti Krisdayanti, Anang, Sophia Latjuba, Melly Goeslaw, dan Mira Lesmana (lihat laporan Kompas Minggu, 23 Juni 2002).
 
Fenomena Inul dan Meteor Garden ini adalah fenomena dominannya “sastra TV” dalam pembentukan wacana keseharian kemanusiaan kita. “Sastra TV” sendiri lebih dekat kepada stereotipe tradisi sastra lisan jika dibandingkan dengan tradisi keberaksaraan: ia hadir langsung sebagai narator di hadapan pendengarnya dengan proses penyerapan informasi yang berlangsung tanpa distansi (tidak seperti dalam sastra tulis yang tercerapnya bacaan ke dalam pikiran pembaca memerlukan banyak proses).
 
Jika kemudian TV telah sedemikian dekat dengan masyarakat (reseptor sastra) dibanding dengan terseok-seoknya sosialisasi buku-buku sastra dan tradisi membaca, adakah ini pertanda kita sedang kembali kepada masyarakat tradisi lisan?
 
Tradisi lisan sendiri telah hadir mendahului tradisi tulis dalam kehidupan bersastra kita. Situasi sosiokultural masyarakat Melayu (Indonesia) lama sangat memberi tempat bagi berkembangnya tradisi sastra lisan. Sastra lisan itu berkembang mengambil bentuknya yang khas dalam hikayat, dongeng, cerita pelipur lara, pantun, ataupun juga nyanyian. Termasuk dalam tradisi lisan ini adalah sasra wayang yang berkembang di Jawa.
 
Ketika sastra Indonesia modern muncul, dimulailah sebuah babak baru dalam tradiisi bersastra, yaitu berkembangnya sastra tulis yang diikuti memudarnya tradisi kelisanan dalam sastra. Sastra tulis berkembang secara pesat dan kemudian memonopoli bangun sejarah sastra Indonesia. Pemonopolian bangun sejarah sastra ini pula yang menyebabkan tradisi sastra lisan terjegal perkembangannya dalam tradisi sastra kita.
 
Betulkah tradisi lisan telah hilang dari tradisi sastra kita? Jika yang kita maksud dengan tradisi lisan itu mengacu kepada bentuk-bentuk sastra lisan yang khas tempo dulu, mungkin jawabannya adalah: ya. Tapi, jika tradisi lisan itu tidak musti dirujukkan kepada bentuk sastra lisan dan lebih dipahami sebagai sebuah tradisi kelisanan itu sendiri sebagai pertentangannya dengan tradisi tulis, jawabannya adalah: tunggu dulu.
 
Tradisi lisan dalam format konvensional barangkali memang telah pudar dalam kehidupan sastra kita. Namun, sebetulnya kehidupan sastra kita kini secara tidak sadar tengah digiring untuk menerima kembalinya tradisi kelisanan tersebut dalam formatnya yang kontemporer. Inilah yang dihasilkan oleh perkembangan teknologi informasi dengan berkuasanya media elektronik menjadi “pemandu” kehidupan sosial kita. Tradisi lisan kontemporer mengukuhkan TV sebagai singer atau tukang cerita dalam suasana kelisanan yang kontekstual oleh paralelisme sejarah.
 
Antara tradisi lisan konvensional dengan tradisi lisan kontemporer tentu saja terdapat perilaku-perilaku dan identitas-identitas yang berbeda, berubah, dan berkembang meski ada pula bagian-bagian dari stereotip genre itu yang tetap identik.
 
Perubahan yang paling radikal, sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi, adalah berkenaan dengan modus operandi penyampaian tradisi lisan kontemporer ini yang tidak lagi berjalan secara “manual”, tapi ditopang oleh simulasi teknologi komunikasi.
 
Di luar persoalan teknis penyampaian, ternyata beberapa perilaku intrinsik antara kedua tradisi lisan ini memiliki pola-pola stereotipe yang tidak berbeda.
 
Tradisi lisan memberi tempat bagi berkembangnya genre sastra yang sejalan dengan kebutuhan dan permintaan masyarakat, yaitu sastra massa (litterature de masse) yang dikehendaki dan disimak orang banyak. Keinginan memenuhi permintaan massa ini menghasilkan stereotip pemunculan karya yang mengekspose ilusi-ilusi massa yang mewujud dalam cerita detektif, petualangan, hantu, sains, istana, heroisme, dan common sense lain yang setipe dengan itu.
 
Sebagai genre sastra yang berjalan linear dengan permintaan massa, sastra lisan memiliki ciri-ciri antara lain, pertama, transendensi realitas: sastra mengangkat fenomena riil dari kehidupan manusia tidak secara wajar, tapi dieksploitasi sedemikian rupa dengan penseriusan, pemewahan, romantisasi, dan radikalisasi atas persoalan yang sebenarnya tidak serumit itu.
 
Kedua eksploitasi “mimpi”, ilusi-ilusi massa akan ideal-ideal kehidupannya dibangkitkan. Dan karena itu menuntut kepada ciri yang ketiga, yaitu pembangkitan emosi, serta ciri keempat, tersampaikannya ajaran dan pesan yang diusung oleh sastra lisan tersebut.
 
Lantas, bagaimanakah format tradisi lisan kontemporer yang berjalan dalam asuhan modernitas teknologi komunikasi ini?
 
Tradisi lisan kontemporer ditandai dengan andil besarnya media audio-visual menjadi mediator sekaligus narator dalam “komunikasi sastra” antarruang yang tidak lagi mengharuskan adanya kontak fisik antarpeserta komunikasi. TV menjadi singer yang mendongengkan kaba dan pantun tanpa harus berjalan door to door tapi merangkum ruang yang luas dari setiap pintu rumah siapa pun dalam waktu yang bersamaan.
 
Iklan, sinetron telenovela, dan film seri yang mendominasi mata acara TV dapat dijadikan representasi yang pas dari sastra lisan kontemporer ini.
 
Iklan, misalnya, dari satu segi ia merupakan miniatur dari televisi itu sendiri karena ia mencakup berita, hiburan, dan ajaran. Di sisi lain, presentasi iklan itu sendiri hadir melalui “kesadaran bahasa sastra”, seperti dengan adanya alur, suspensi, imaji, dan juga imajinasi. Iklan sendiri sebagai narator /singer juga bekerja sesuai kebutuhan massa akan informasi dan format iklan pun berjalan dalam hubungan timbal balik dengan mentalitas kebutuhan massa. Sementara itu sinetron, telenovela, dan film seri adalah sebuah cerita, karena itulah ia adalah juga sastra.
 
Bagaimanakah stereotipe sastra lisan itu terterapkan di dalam “sastra TV”?
 
Pertama, transendensi dan perumitan realitas. Stereotipe semacam ini banyak kita temui dalam iklan. Misalnya saja iklan sikat gigi: persoalan menggosok gigi yang pada mulanya tidak “bermasalah” harus dirumitkan dengan bahwa sikat gigi harus yang bisa menjangkau seluruh permukaan gigi sehingga harus memiliki tiga sudut? (iklan sikat gigi Pepsodent) atau bahwa sikat gigi harus “memiliki pegangan yang pas di tangan” (iklan sikat gigi Durodont).
 
Kedua, eksploitasi mimpi. Jika dalam konteks sosiokultural tradisi lisan kuno mimpi-mimpi terjelmakan dalam idealisasi kehidupan istana, dalam tradisi lisan kontemporer “sastra TV” ia terjjelmakan dalam hedonitas, glamouritas, dan konsumerisme hidup. Tokoh raja dari tradisi lisan kuno tertransformasikan ke dalam tokoh selebritis, artis, dan para orang kaya.
 
Ketiga, pembangkitan emosi. Emosi konsumerisme reseptor sastra dibangkitkan, bahkan dipercepat oleh diferensiasi produk: sebelum kita bisa memanfaatkan secara optimal fasilitas bluetooth di handphone kita, sudah dijejalkan kepada kita bahwa handphone harus bisa juga untuk kirim gambar, memotret, harus ada handycam-nya, bisa untuk mendengarkan radio, dst.
 
Keempat, tersampaikannya ajaran atau pesan. Efek ajaran “sastra TV” ternyata sangat tajam dan membekas. Fenomena berlomba-lomba menandingi Inul dan atau mengekspos Inul dan fenomena potongan rambut FIR tercontohkan di muka adalah satu bukti. Belum lagi bukti yang lebih umum berkenaan dengan pola hidup konsumtif-konsumeristik dan hedonis itu sendiri.
 
Di saat keberadaan sastra tulis kita yang terseok-seok, fenomena “sastra TV” dapat kita manfaatkan untuk memulai komunikasi yang lebih baik antara sastra dengan reseptornya. Namun, yang perlu didiskusikan kemudian adalah hegemoni budaya konsumen yang membalut komunikasi sastra jenis ini.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/11/sastra-tv-dan-budaya-konsumen/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar