Selasa, 06 Juli 2021

Babi dalam Dompet

A. Rodhi Murtadho *
 
Dompet lengket di saku celana. Babi terus mendengkur. Paijan terus berjalan dari rumah ke rumah. Sales. Bukan kerja yang sembarangan. Tak semua orang bisa menekuni profesi ini. Paling tidak harus punya mulut yang kuat bicara. Lidah yang pandai bersilat. Tatapan mata meyakinkan. Bau badan tidak kecut. Baju rapi. Sepatu mengkilat. Senyum menawan dengan gigi putih dan bau nafas tidak apek. Potongan klimis biasanya ikut mendukung.
 
Setiap kali Paijan mengetuk pintu, dia harus memegang erat dompetnya. Setiap ketukan mengakibatkan dengkur yang keras Babi yang ada di dompet. Kalau sampai tiga kali lebih ketukan, biasanya Babi itu berusaha meloncat keluar. Menggedor pintu dan menyeruduknya hingga jebol.
 
“Selamat siang, Bu!” ucap Paijan lembut.
 
“Siang, ada apa ya?” sahut Salamah, Ibu rumah tangga. Leher, tangan, dan kaki berkilatan penuh dengan emas. Biar paras tak begitu lembut tapi kilau benda yang ada di tubuhnya membuat para lelaki berpikir dua kali. Ingin mengambil semua perhiasan dan menjualnya.
 
“Saya punya kosmetik. Lengkap, Bu. Ada bedak, gincu, per…”
 
“Sudah…Sudah. Saya tidak mau membeli. Saya sudah punya banyak. Lemari saya sudah penuh dengan barang-barang seperti itu.”
 
“Tapi ini bagus lho, Bu. Asli buatan negeri tropis. Sejuk. Menjadikan kulit mulus, cantik. Apalagi parfum ini. Hidung lelaki akan mengikuti Ibu. Apalagi yang hidung belang. Banyak artis yang menggunakan ini, Bu. Wah, pokoknya dijamin Ibu akan cantik. Kalau tidak percaya, boleh Ibu coba.”
 
Jurus terakhir ketika ada penolakan dari calon pembeli. Mencobakan. Paijan mulai mengeluarkan satu set kosmetik. Mulai melukis dengan hati-hati wajah Salamah. Menyemprotkan minyak wangi pada area bebas biar tidak bercampur peluh. Menghindari kontaminasi. Menjaga agar minyak wangi tidak berbau tak karuan. Apek.
 
“Nah, Ibu lihat kan. Ibu bertambah cantik. Makin cantik. Saya yakin suami Ibu bakal betah di rumah. Tidak akan selingkuh karena sudah melihat Ibu yang aduhai memikat hati. Eh…sampai-sampai saya sendiri juga tertarik pada Ibu.”
 
“Ah, Mas, bisa saja. Boleh saya pinjam cerminnya?”
 
Paijan mendekatkan cermin ke tangan Salamah. Kanan kiri Salamah memandangi wajahnya dengan bergaya manja. Cantik, lirih ucapnya. Rasanya juga sejuk dan nyaman.
 
“Ehm…! Oke! Saya membeli kosmetik ini tapi uangnya lusa. Kosmetiknya ditinggal di sini saja. Uangnya ada di kotak dalam lemari. Saya mau mengambil tapi kuncinya dibawa suami saya. Bisa ya, Mas. Pasti saya bayar.”
 
Babi yang ada di dompet Paijan meronta keluar. Seakan tak terima barang dagangan dikredit. Dicegah Paijan. Dipegang erat dompetnya. Tak membiarkan Babi itu nyruduk keluar atau dengkurannya terdengar.
 
“Ya, bolehlah, Bu. Lusa saya akan datang lagi.”
***
 
Malam bertambah kalut. Bau kemenyan lekat dan menyengat. Senyum Lasmini terus menghiasi mata Paijan. Lasmini sudah mengerti isyarat dari Paijan. Babi dalam dompet segera keluar. Lasmini harus terlentang membuka seluruh pembungkus badan. Menyeringai. Mengangkang. Babi keluar dari dompet lantas meloncat keluar dan mendarat di atas Lasmini. Dengkurannya membuat tubuh Lasmini bergetar. Moncong hidung dihenduskan di sekujur tubuh. Menggeliatkannya. Lasmini terpejam merasakan kehangatan yang menempel di selangkangan masuk ke tubuh. Babi itu menghilang.
 
Lasmini lantas menyalakan lampu ublik. Kemenyan ditambahkan pada bara arang membara. Mantra diucapkan. Ia ingat pesan suaminya kalau rumah tujuan babi adalah rumah Bu Salamah. Telanjang tubuh Lasmini beraromakan kemenyan membuat nyamuk tak doyan menempel. Lasmini duduk bersila. Berkonsentrasi.
 
“Ambil, ambil, hisap, hisap. Hisap semuanya,” perintah Lasmini dalam mantranya.
 
Uang bertebaran dari langit-langit kamar yang jelas tak berlubang. Entah dari mana. Ia tak mempertanyakannya. Hanya melihat uang berlembar-lembar bertaburan. Lasmini tersenyum.
 
Ada suara di balik pintu kamarnya. Dengkuran Babi. Mungkin hanya perasaan saja, pikirnya. Mas Paijan belum selesai menghisap uang. Aneh yang dirasakan Lasmini. Uang bertaburan tak henti-henti. Banyak sekali. Namun yang ada di lantai hanya sedikit. Ke mana uang itu? Lasmini hanya keheranan. Pasrah. Mungkin memang sedikit yang didapatnya.
***
 
Salamah terus mendesak suaminya, Parman, untuk pergi ke rumah Paijan. Sales Kosmetik. Sudah sejak sore Salamah menyiapkan kembang, kemenyan, dan lilin. Namun suaminya menolak. Salamah tak peduli dan langsung memantrai suaminya yang tidur-tiduran. Menjadikannya babi. Dengan begitu, Salamah mudah memerintahnya.
 
“Pergi kau ke rumah Paijan. Hisap semua uangnya. Aku tunggu hasilnya di kotak dalam lemari.”
 
Rupa binatang membuat jiwa binatang ada dalam diri Parman. Babi Parman bergegas keluar rumah. Tanpa membuka pintu. Dalam perjalanan, Babi Parman menjumpai banyak babi berkeliaran. Saling menyapa dengan dengkuran. Tak memperdulikan arah mereka. Biarpun ada salah satu babi yang menuju rumahnya. Babi Parman tak peduli.
 
Babi Parman memasuki rumah Paijan. Tanpa permisi atau mengetuk pintu dan langsung menuju kamar yang berbau uang. Membenturkan kepala di pintu dan mendengkur. Dengan begitu uang yang ada dalam kamar langsung masuk ke kotak dalam lemari.
***
 
Proses penghisapan Babi Paijan dan Babi Parman terus berlangsung mungkin selamanya akan tetap berlangsung. Sampai kiamat pun mungkin terus berlangsung. Uang Parman di kotak dalam lemari dihisap Babi Paijan kemudian masuk ke kamar Lasmini. Setelah uang masuk ke kamar Lasmini, dihisap Babi Parman masuk ke kotak di dalam lemari Salamah.
 
Lilin di hadapan Salamah mulai habis meleleh. Merasa khawatir dengan suaminya yang tak kunjung kembali. Lilin segera habis. Kalau tidak kembali sebelum lilin habis, Parman harus menunggu malam berikutnya untuk dimantrai lagi untuk menjadi manusia.
 
Salamah tak mampu berbuat apa-apa lagi. Lilin telah habis. Merasa putus asa. Salamah keluar membuka pintu kamar. Tak disangka seekor babi terus mengeluskan kepala di dinding kamar. Salamah menghampiri babi itu. Menggendong masuk. Memperlakukannya seperti bayi. Mengelus, mencium, dan menimang di dadanya. Salamah menuju kamar. Babi itu menyeruduknya dengan dengkuran. Ekornya berkibas tak tentu arah. Mungkin sedang bernafsu. Salamah pun segera membuka pembalut tubuh. Takut kalau keinginan Babi itu tidak dituruti, dirinya akan terkena kutuk. Berdosa.
 
Minyak tanah lampu ublik Lasmini mulai habis. Tubuhnya mulai merasa dingin. Adzan subuh akan datang sebentar lagi. Kalau suaminya tak kembali berarti ia tidak akan bisa keluar rumah. Harus telanjang terus. Menunggu sehari untuk memantrai Babi. Lasmini bingung. Tak ada tanda bahaya. Uang masih bertebaran. Tapi lampu mulai redup dan mati. Menghentikan tebaran uang. Mungkin Mas Paijan menggoda, pikirnya.
 
Lasmini beranjak dari duduknya. Melangkahkan kaki dan membuka pintu. Ia menemui babi yang menempelkan kepalanya pada dinding luar kamar.
 
“Mas. Mengapa tidak masuk. Sekarang lihat rupa mas. Babi. Sungguh babi. Kalau Mas masuk sebelum lampu mati tadi, pasti bisa berubah lagi. Sekarang, lampu sudah mati. Mas harus menjadi babi seharian. Sementara aku juga harus telanjang seharian.”
 
Lasmini menggendong Babi itu masuk ke kamar. Mencoba memantrainya tapi gagal. Lasmini pun memutuskan untuk menunggu esok malam. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang. Memposisikan dirinya di samping Babi.
 
Babi itu mulai berulah. Lasmini pun tak segan lagi. Membiarkan tubuhnya diendus dengan dengkuran babi. Dijilati lidah yang penuh liur babi. Lasmini membuka selangkangan. Mengangkang di atas ranjang. Tanda Lasmini mengizinkan babi untuk menindihnya. Kadang dari atas. Kadang dari kiri. Kadang dari kanan. Kadang dari belakang. Tetapi kadang juga di bawah, ditindih Lasmini.
***
 
Malam kembali mengalir. Babi Paijan dan Babi Parman tak dimantrai oleh istri mereka untuk menjadi manusia. Mereka langsung diperintah untuk menghisap uang dari tetangga yang banyak uangnya.
 
Babi Paijan yang berada dalam genggaman Salamah kembali ke rumah. Kepada istrinya, Lasmini. Babi Parman yang berada dalam buaian Lasmini juga kembali ke rumahnya. Alasan yang sama yang mereka utarakan kepada istri mereka. Capek dan besok harus bekerja. Agar tetangga dan teman kerja tak banyak menaruh curiga.
 
Pagi hari, Parman berangkat bekerja di pabrik. Paijan juga berangkat bekerja menjadi sales sambil meniliki rumah hartawan.
 
Paijan mengetuk pintu rumah Salamah. Suara langkah mengalun dari dalam. Membukakan pintu. Senyum dari gigi berlarik menyeringai. Menyambut Paijan yang juga lekat dengan senyum. Saling mengangguk dan menyapa. Salamah mempersilahkan Paijan masuk.
 
“Eh. Begini, Bu. Saya mau…”
 
“Ya, saya sudah mengerti. Tunggu sebentar. Saya ambil uangnya dulu. Tunggu sebentar. Pasti cepat kok.”
 
Sekelebat Salamah masuk kamar. Salamah keluar dengan membawa sejumlah uang dan diberikan kepada Paijan.
 
Paijan, dengan tersenyum, menerimanya. Diambil dompet. Berniat untuk memasukkan uang yang baru diterima dari Salamah. Tiba-tiba Babi yang ada di dompetnya nyruduk keluar. Belum sempat Paijan memasukkan uang. Paijan lupa karena terlalu bahagia menerima uang. Babi itu meloncat kesana kemari. Mengitari Salamah lantas menyeruduknya. Babi itu kembali berada di atas tubuh Salamah.
 
Surabaya, 7 Juni 2006

*) A. Rodhi Murtadho, lahir di desa Madulegi Cuping, Sukodadi, Lamongan, 15 Maret 1983. Bersama kawan-kawan di Surabaya, menggagas dan mendirikan komunitas sastra Sanggar Interlude, pernah menjadi ketuanya. Sempat bergabung di komunitas Teater Kalang (Kaki Langit) Surabaya. Karya-karyanya dimuat dalam media lokal pun nasional. Sebagian puisinya ada di antologi bersama Dalam Dekapan Kata (2004). Sebagian cerpennya pada himpunan Pameran Makam (2008). http://sastra-indonesia.com/2009/01/babi-dalam-dompet/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar