Senin, 09 Agustus 2021

Sastrawan Itu Unik

Damiri Mahmud
Analisa, 7 Agu 2011
 
Nada panggil ponsel saya malam menjelang Isya itu saya biarkan berlalu berulang. Saya pernah berkali-kali menjawab panggilan dari nomor yang tidak saya program dan selalu menerima kekecewaan, “Maaf, salah sambung…” jawab saya terbata-bata, ketika yang memanggil di seberang sana langsung menerpa karena menganggap sudah kenal.
 
“Salah sambung? Siapa rupanya situ…?” Hebat orang Medan. Dia yang salah sambung awak yang kena damprat.
 
Berselang sekitar setengah jam kemudian ponsel saya bordering lagi. Nomor yang sama. Saya berkesimpulan si pemanggil tentulah punya kepentingan yang serius.
 
“Maaf, Bang, adik Abang, Ichwan…” Ichwan Azhari? Sudah lama saya tak berjumpa. Selintas, lima tahun yang lalu, di Garuda Plaza saya melihat sosoknya ketika menjadi panelis di sebuah diskusi. Dia telah menjadi Doktor sejarah jebolan Universitas Hamburg. Waktu saya memberikan tanggapan, Ichwan berkomentar, “Saya ingat bang Damiri ketika dia membawa saya menjajakan sastra masuk sekolah…”
 
Itu sekitar tahun 1979. Dia menulis esai dan cerpen kemudian menerbitkan bulletin “Selokan” yang bertahan satu tahun. Tahun 1978-1981 menjadi redaktur sastra remaja “Suara Pembangunan”.
 
Dalam pembicaraan telepon malam itu, dia mengatakan berhasrat menerbitkan naskah saya.
 
“Ada dananya, Bang…” Kami janji bertemu di Taman Budaya. Saya membawa naskah tentang Amir Hamzah yang dimintanya.
 
Pembicaraan tentang Amir Hamzah memang telah selalu saya lakukan. Pernah di Univa, kemudian di Pemda Tebing Tinggi. Kemudian atas prakarsa Edi Elison KR, didiskusikan pula di Sei Karang. Ikut pada waktu itu NH Dini sebagai penulis biografi Amir Hamzah dan putri tunggalnya T. Tahura. Ada pula di UISU, bersambung ke USU. Kemudian dalam diskusi yang digelar oleh Dewan Kesenian Sumatera Utara. Pertemuan Sastrawan Sumatera Utara 1997 di TBSU. Terakhir di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur dalam Seminar Sastra Bandingan Antarbangsa, 2007.
 
Dalam omong-omong kami itu, Ichwan buka kartu. “Ada pejabat dari Jakarta yang mau mendanai naskah abang itu. Dia pengagum Abang… Namanya Suhaimi.” Agak heran hati saya. Seorang pejabat yang mengagumi sastra. Sudah selalu sekali diresahkan di negeri ini bahwa sastra minus pembaca. Barangkali sosok ini merupakan kekecualian. Walau bagaimanapun saya tak mengenal nama itu. Kami bikin janji akan bertemu di Tip-Top, karena Sang Pendana akan pulang ke Medan dua hari lagi.
 
Tip-Top di Kesawan, Sabtu malam itu sungguh penuh pengunjung. Berbagai warna kulit bergabung di situ. Kuning, putih, abu-abu dan sawo matang. Ditambah dengan aura awal abad dua-puluh zaman keemasan Toean-toean Kebon di Deli. Ada pula orkes mengiringi santap malam yang mengalunkan lagu-lagu Medan tempo doeloe. Ini Medan Bung!
 
Meskipun hujan menderas ditingkah guruh dan petir, bahkan menambah romantika omong-omong kami, hingga pukul sebelas malam itu. Pendana itu adalah T. Suhaimi Idris, pernah menjadi jaksa di Medan kemudian menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang. Kini menjadi pejabat salah satu instansi di Jakarta. Ternyata sosok ini akrab dengan puisi. Dia punya nama pena pula lagi. TSI Taura! Mendengar nama itu saya terperangah. Sekitar awal delapan-puluhan, nama itu banyak mengisi rubrik budaya di harian Medan dengan tulisan-tulisannya berupa cerpen dan terutama puisi. Begitu juga puisi-puisi dan cerpennya banyak termuat di ruang Rebana dan RRPA harian Analisa. Dia masih akrab bercakap-cakap tentang sastra. Bahkan di samping kesibukan rutinitasnya, TSI Taura ini masih terus bergulat dengan puisi, hingga sekarang. Dia menunjukkan dua berkas naskahnya kepada saya yang rencananya akan diterbitkan pula. Dalam naskah itu secara sepintas saya lihat beberapa topik dia tulis, tentang diri dan keluarga, impresi tentang tempat di mana bertugas, tragedi tsunami Aceh dan Padang, hingga ke memorial Rendra dan Mbah Surip.
 
Waktu menulis di Medan, dia segenerasi dengan Foeza M. Hutabarat (ketika itu masih memakai nama Foeza March Esha), Ichwan Ar, Bahman Signal, Koentara DM, Mihar Harahap, Wirja Taufan, Asro Kamal Rokan. Dia katanya akrab dengan Foeza, namun walaupun sekarang sama-sama mukim di Jakarta tapi sekali pun tak pernah berjumpa.
 
Untuk menyambung ingatan kita terhadapnya sebagai penyair, diturunkan sebait puisinya berjudul “Gelisah” (ditulis di Bandung, Juli 2006) yang terasa relijius dan kuyup dengan pengakuan dan kesadaran akan kefanaan:
 
Seusai sujud terakhir ini
Jika Engkau usir aku
Di depan pintuMu
Aku tidak pergi
Karena cintaku telah lahir dalam firmanMu
Telah kutemukan cahaya ghaib
Sebelum senja luruh
 
Malam yang ditingkah hujan yang menderas dan sesekali dikejutkan oleh petir yang memekakkan anak telinga tak membuat pertemuan kami menjadi kecut. Apa lagi suasana arsitektur Hindia-Belanda yang masih kental mewarnai tempat pertemuan kami itu membuat Ichwan, sang doktor sejarah itu bertambah bersemangat. Bertambah kuno satu peristiwa bertambah menarik baginya. Apa lagi kaitannya dengan sastra begitu erat. Disertasi doktornya di Universitas Hamburg berkaitan tentang sastra sejarah dalam naskah Melayu Klasik, dengan tema perlawanan wacana dunia Melayu terhadap ekspansi Majapahit.
 
Ichwan berkisah ketika baru-baru ini ke negeri Belanda dia telah menemukan seratus ribu dokumen tentang media koran dan majalah di Sumatera Utara pada zaman kolonial. Sepuluh ribu di antaranya telah dia rekam dan dibawanya pulang. Malam itu dia menunjukkan di layar laptopnya sebuah artikel yang berasal dari harian Medan (“Benih Merdeka”) terbitan tahun 1918 yang berbicara secara terbuka tentang kemerdekaan. Ichwan berkomentar:
 
“Di Jawa dan di Jakarta, para pemuda berbicara tentang Indonesia Merdeka baru pada akhir tahun dua-puluhan. Di Medan, koran Medan sudah bicara tentang kemerdekaan secara terang-terangan. Bahkan nama korannya pun “Benih Merdeka!””
 
Ada juga yang tak kalah menariknya. Ichwan mengatakan bahkan koran “Benih Merdeka” itu, dan “Soeara Jawa” (1916), telah memuat cerita.
 
“Itu kisah fiksi?” Tanya saya.
“Ya, fiksi! Cerpen… Bahkan novel!” jawabnya, “dimuat secara bersambung.”
“Kalau begitu, temuan ini bisa meledak juga,” komentar saya.
 
Saya menyebutkan, dalam sejarah Sastra Indonesia Modern, genre novel (atau roman) baru mulai tahun 1920 ketika Merari Siregar menerbitkan Azab dan Sengsara atau pada tahun 1922 ketika Marah Rusli menerbitkan Siti Nurbaja. Genre cerpen baru ditemukan sekitar tahun 1935 ketika M. Kasim menerbitkan cerita-cerita “penggeli hati” yang terkumpul dalam Teman Duduk terbitan Balai Pustaka. M. Kasim itulah yang dianggap sebagai Pemula Cerpen Indonesia.
 
Kalau apa yang ditemukan oleh Ichwan itu memenuhi persyaratan sebagai sebuah cerpen, sejarah sastra itu haruslah dikaji ulang.
 
Apa lagi Ichwan menambahkan pula, dia juga menemukan puisi-puisi di kedua harian Medan (tahun 1916 dan 1918) itu dan bukan syair atau pantun. Dalam pelajaran sastra Indonesia Modern dikatakan, puisi modern kita baru mulai setelah Rustam Effendi dan Mohammad Yamin mengadopsi bentuk soneta dari Itali ke dalam Bahasa Indonesia tahun 1926.
 
Ichwan juga punya rencana “yang mendebarkan hati” tentang kepedulian terhadap sastrawan. Dia, punya lahan dua hektar yang akan dibangunnya sebagai museum sejarah di Kota Cina, Paya Pasir. Direncanakannya nanti akan mengundang para sastrawan, satu orang selama satu bulan sebagai Sastrawan Tamu untuk dapat menulis dengan bebas. “Segala fasilitas akan kita penuhi,” janjinya.
 
“Sastrawan itu unik,” ungkap Ichwan. “Sejarawan tidak bisa dan tidak boleh seperti mereka. Penulis sejarah menulis berdasarkan fakta dan penyelidikan sementara sastrawan berkarya berdasarkan imajinasi dan rekaan. Di mata mereka tulang-tulang yang sudah lapuk pun masih bisa bercakap-cakap…” Maklum dia sangat akrab dengan sastra dan seperti katanya, “Pernah bermimpi jadi sastrawan besar…!”
***

http://sastra-indonesia.com/2021/08/sastrawan-itu-unik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Jalal A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Abdoel Moeis Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Abubakar Batarfie Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Achi Breyvi Talanggai Achiar M Permana Aditya Ardi N Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Akrom Hazami Al Azhar Riau Alang Khoiruddin Albert Camus Albertus Prasetyo Heru Nugroho Aldika Restu Pramuli Alfian Dippahatang Ali Audah Alia Swastika Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aming Aminoedhin An. Ismanto Ana Mustamin Andhika Dinata Andong Buku #3 Andong Buku 3 Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardi Wina Saputra Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Asarpin Asrul Sani Astrikusuma Ayung Notonegoro Azizah Hefni Badrul Munir Chair Bahrum Rangkuti Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Kritik Sastra di PDS H.B. Jassin Benee Santoso Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hatees Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chusnul Cahyadi D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Damiri Mahmud Danang Ari Danarto Daoed Joesoef Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni di Bentara Budaya Yogyakarta Dian Sukarno Dick Hartoko Didin Tulus Din Saja Diskusi Djohar Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dodit Setiawan Santoso Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Pranoto Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Tunas Emha Ainun Nadjib Erik Purnama Putra Esai Evan Ys F. Aziz Manna F. Rahardi Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Alayubi Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Franz Kafka Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Gampang Prawoto Gandra Gupta Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gusti Eka H.A. Karomani Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Happy Widiamoko Hardy Hermawan Hari Puisi Indonesia (HPI) Haris Firdaus Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hazwan Iskandar Jaya HB Jassin Helvy Tiana Rosa Hendri R.H Herry Lamongan Herta Muller Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Parthama I Nyoman Tingkat I Putu Sudibawa IBM Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ignatius Yunanto Ika Feni Setiyaningrum Imadi Daimah Ermasuri Imam Nawawi Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Ipik Tanoyo Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iva Titin Shovia Iwan Simatupang J Anto Jefrianto Jhumpa Lahiri JJ. Kusni Jo Batara Surya Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Junaidi Junaidi Khab Jurnalisme Sastrawi Kahfie Nazaruddin Kalis Mardi Asih Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kiki Astrea Koesalah Soebagyo Toer Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kuntowijoyo Kurnia Effendi Kurniasih Kurniawan Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laila Putri Rizalia Lan Fang Launching dan Bedah Buku Linus Suryadi Literasi LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) M Fadjroel Rachman M. Adnan Amal M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef Mahbib Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Mariana A Sardino Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Masuki M. Astro Matdon Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Moh Khairul Anwar Moh. Husen Mohammad Sadam Husaen Muhammad Ali Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musfeptial Musa Muslim Basyar Mustafa ismail Mustakim Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nasru Alam Aziz Neli Triana Nelson Alwi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Nobel Sastra Noor H. Dee Nur St. Iskandar Nur Taufik Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Parimono V / 40 Plandi Jombang Penerbit Pelangi Sastra Pentigraf Pidato Kebudayaan Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Politik Pramoedya Ananta Toer Priska Priyo Prosa Puisi PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qomarul Adib R. M. Sutjipto Wiryosuparto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahadian Bagus Rahmadi Usman Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ridwan Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rodli TL Ronny Agustinus Rosidi Rukardi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini K.M. Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Sastra dan Kuasa Simbolik Satu Jam Sastra Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Indonesia Sergi Sutanto Shella Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sides Sudyarto DS Sigit Sugito Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Hadi Purnomo Soe Hok Gie Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Harjanto Sahid St. Takdir Alisjahbana Subagio Sastrowardoyo Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaifuddin Gani Syamsudin Walad T Agus Khaidir Tanjidor Lembor-Brondong-Lamongan Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thomas Ekafitrianus Tjahjono Widijanto Toko Buku Pustaka Pujangga Toto Sudarto Bachtiar Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Universitas Jember (UNEJ) Veven Sp Wardhana Veven Sp. Wardhana Vino Warsono Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Triono KS Wawan Eko Yulianto Wawancara Widodo DS Wiratmo Soekito Wita Lestari Wizna Hidayati Umam Wuryanti Puspitasari Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yok's Slice Priyo Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yos Rizal S Yudha Manggala P Putra Yudhi Fachrudin Yulhasni Yulia Permata Sari Yurnaldi Zadie Smith Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zulfikar Akbar